KORELASI ANTARA SKOR MONTREAL COGNITIVE ASSESSMENT VERSI INDONESIA (MoCA-Ina) DAN KADAR HOMOCYSTEINE
PADA LAKI-LAKI DENGAN SKIZOFRENIA SUKU BATAK DI RUMAH SAKIT JIWA PROF. DR. M. ILDREM
MEDAN
TESIS
OLEH
YOSEVA HOTNAULI 1 5 7 0 4 1 0 2 1
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS 1 PROGRAM STUDI PSIKIATRI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2019
KORELASI ANTARA SKOR MONTREAL COGNITIVE ASSESSMENT VERSI INDONESIA (MoCA-Ina) DAN KADAR HOMOCYSTEINE
PADA LAKI-LAKI DENGAN SKIZOFRENIA SUKU BATAK DI RUMAH SAKIT JIWA PROF. DR. M. ILDREM
MEDAN
TESIS
Untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik di Bidang Psikiatri Pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
YOSEVA HOTNAULI 1 5 7 0 4 1 0 2 1
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS 1 PROGRAM STUDI PSIKIATRI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2019
i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
Judul Tesis : Korelasi Antara Skor Montreal Cognitive Assessment Versi Indonesia (MoCA-Ina) dan Kadar Homocysteine pada Laki-laki dengan Skizofrenia Suku Batak di Rumah Sakit Jiwa Prof. DR. M. Ildrem Medan
Nama Mahasiswa : Yoseva Hotnauli Nomor Induk Mahasiswa : 157041021
Program Magister : Magister Kedokteran Klinik
Konsentrasi : Psikiatri
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Prof.dr. Bahagia Loebis, Sp. K.J. (K) dr. M. Surya Husada, M. Ked., Sp. K.J.
NIP. 19802032008011011
Ketua Program Studi Dekan Fakultas Kedokteran
Magister KedokteranKlinik
Dr.dr.Rodiah Rahmawaty Lubis,M.Ked(Oph),Sp.M(K) Dr.dr.Aldy Safruddin Rambe, Sp. S (K)
NIP. 19760417 2005012002 NIP. 196605241992031002
Telah diuji pada tanggal : 28 Oktober 2019
Tanggal Lulus : 28 Oktober 2019
Penguji :
Penguji I Penguji II
dr. H. Harun T. Parinduri, Sp. K.J. (K) Dr.dr.Elmeida Effendy, M.Ked.K.J, Sp. K. J. (K) NIP. 197205011999032004
Penguji III
dr. Mustafa M. Amin, M.Ked, M.Sc., Sp. K.J.(K) NIP. 19780330 200501 1 003
Mengetahui,
Ketua Departemen Psikiatri FK USU
Dr.dr.Elmeida Effendy, M.Ked.K.J, Sp. K. J. (K) NIP. 197205011999032004
iii
PERNYATAAN
KORELASI ANTARA SKOR MONTREAL COGNITIVE ASSESSMENT VERSI INDONESIA (MoCA-Ina) DAN KADAR HOMOCYSTEINE
PADA LAKI-LAKI DENGAN SKIZOFRENIA SUKU BATAK DI RUMAH SAKIT JIWA PROF. DR. M. ILDREM
MEDAN
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah dituliskan atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis mengacu dalam naskah ini dan disebutkan di dalam daftar pustaka.
Medan, 28 Oktober 2019
YOSEVA HOTNAULI
UCAPAN TERIMA KASIH
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya serta telah memberikan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.
Tesis ini disusun untuk melangkapi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Magister Kedokteran Klinik di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Namun demikian besar harapan penulis kiranya tulisan ini dapat bermanfaat dalam menambah perbendaharaan bacaan khususnya tentang
“Korelasi Antara Skor Montreal Cognitive Assessment Versi Indonesia (MoCA-Ina) dan Kadar Homocysteine pada Laki-laki dengan Skizofrenia Suku Batak di Rumah Sakit Jiwa Prof. DR. M. Ildrem Medan”.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama mengikuti Program Studi Magister Kedokteran Klinik bidang Psikiatri.
Dengan selesainya tesis ini, perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara, Ketua TKP PPDS–1 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dan Ketua Program Studi Magister Kedokteran Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang
v
telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. dr. Elmeida Effendy, M.Ked., Sp. K.J. (K) selaku Ketua Program Studi Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, juga sebagai guru dan penguji yang banyak memberikan dorongan, dukungan, dan kesempatan luas kepada penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
3. dr. Mustafa M. Amin, M.Ked., M.Sc., Sp. K.J. (K) sebagai guru dan penguji yang telah memberikan banyak bimbingan, pengetahuan yang berharga, dan dorongan kepada penulis.
4. dr.Vita Camellia, M.Ked., Sp. K.J. selaku guru yang telah banyak membagikan pengetahuan yang berharga, bimbingan, dan dorongan kepada penulis.
5. dr. M. Surya Husada, M.Ked., Sp. K.J. selaku Sekretaris Program Studi Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, sebagai guru dan pembimbing tesis penulis yang banyak membagikan pengetahuan yang berharga, bimbingan, dukungan, dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini.
6. Prof. dr. Bahagia Loebis, Sp. K.J.(K) selaku guru besar dan pembimbing tesis penulis yang banyak memberikan bimbingan, pengarahan, pengetahuan, dorongan, dukungan dan memberikan masukan-masukan berharga kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini.
7. dr. H. HarunT. Parinduri, Sp. K.J. (K) selaku guru dan penguji tesis penulis yang telah memberikan bimbingan dan pengetahuan yang berharga kepada penulis.
8. Prof. dr. H. M. Joesoef Simbolon, Sp. K.J. (K) selaku guru besar yang banyak memberikan bimbingan dan pengetahuan yang berharga kepada penulis.
9. dr. Nazli M. Nasution, M.Ked., Sp. K.J. sebagai guru dan pembimbing tesis penulis yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, dorongan dan pengetahuan yang berharga kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
10. dr. Dapot P.Gultom, Sp. K.J., M.Kes. sebagai Wakil Direktur Rumah Sakit Jiwa Prof. DR. M. Ildrem Medan, Sumatera Utara selaku guru penulis yang telah banyak memberikan pengetahuan yang berharga kepada penulis.
11. dr. Mawar Gloria Taringan, Sp. K.J. sebagai guru yang telah banyak memberikan bimbingan dan dorongan kepada penulis.
12. dr. Freddy Subastian, Sp. K.J. sebagai guru yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengetahuan kepada penulis.
13. Direktur Rumah Sakit Jiwa Prof. dr. M. Ildrem Medan, Sumatera Utara atas izin, kesempatan, dan fasilitas yang diberikan kepada penulis selama melaksanakan penelitian.
14. Rekan-rekan sejawat peserta PPDS–1 Program Studi Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dr. M.Affandi,M.Ked., dr. Friska Gurning, M.Ked., dr. Andrew Handi, M.Ked., dr.Suniaty D.
vii
Lumbantoruan, M.Ked., dr. Franky Hadinata Sitepu, M.Ked., dr. Nurul Utami, M.Ked., dr. Roslinda Damanik, M.Ked., dr. Anastasia V. F.
Sipayung, M.Ked., dr. Dahlia R. Turangan, M.Ked., dr. Yusuf Wibisono, dr. Arneil Sitepu, dan dr. Ridha Rizky yang banyak memberikan masukan serta selalu memberikan dorongan-dorongan yang membangkitkan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
15. Para perawat dan pegawai di berbagai tempat dimana penulis pernah bertugas selama menjalani pendidikan.
16. Keluarga dari orang dengan skizofrenia dan orang dengan skizofrenia yang telah bersedia berpartisipasi secara sukarela dalam penelitian untuk keperluan tesis ini.
17. Kedua orang tua yang sangat penulis cintai, St. Jompak Sitompul, S.Sos, M.Si. dan Rosinta Hutasoit, AMK dengan penuh kesabaran dan kasih sayang mendukung penulis dalam menjalani masa pendidikan dan penyelesaian tesis ini. Keberhasilan dalam hidup penulis tidak lepas merupakan berkat doa dan dukungan orang tua tercinta. Seluruh keberhasilan dalam hidup ini tentu saja penulis persembahkan kepada keduanya.
18. Suamiku terkasih, dr. Yocky Andre Siahaan, terimakasih atas segala doa dan dukungan, pengertian yang mendalam, pengorbanan, air mata, bahkan ikut berlelah membantu dalam segala hal. Tanpa semua itu, penulis tidak akan mampu menyelesaikan pendidikan dan tesis ini dengan baik. Terima kasih atas segala doa,kesabaran dan pengertian serta pengorbanan atas
segala waktu dan kesempatan yang tidak dapat penulis habiskan bersama- sama dalam suka cita dan keriangan.
19. Anak-anakku tersayang Yoan Gwynjoro Maruli Siahan dan Yovancha Andrea Zyanauli Siahaan dengan kelucuannya, menghibur dan menghapus lelah fisik dan jiwa sang Ibu.
20. Kedua mertua, AKBP (Purn) M. Siahaan dan E. Gultom, BA yang banyak memberikan semangat dan doa kepada penulis selama menjalani pendidikan.
21. Adik-adikku dr. Seventin Yuliana Sitompul, dr. Rionald Brian Robson Sitompul, dr. Martua Santoso Sitompul, dan dr. Putriana Sitompul, yang banyak memberikan semangat dan doa kepada penulis selama menjalani pendidikan.
Semoga Tuhan membalas semua jasa dan budi baik mereka yang telah membantu penulis tanpa pamrih dalam mewujudkan cita-cita penulis. Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, 28 Oktober 2019
Yoseva Hotnauli
ix ABSTRAK
KORELASI ANTARA SKOR MONTREAL COGNITIVE ASSESSMENT VERSI INDONESIA (MoCA-Ina) DAN KADAR HOMOCYSTEINE
PADA LAKI-LAKI DENGAN SKIZOFRENIA SUKU BATAK Yoseva Hotnauli1, Bahagia Loebis2, M. Surya Husada2, Nazli M. Nasution2
Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Univesitas Sumatera Utara
Latar Belakang: Skizofrenia merupakan gangguan mental kompleks yang diidentifikasi dengan gangguan dalam pengujian realitas, apatis, isolasi sosial dan gangguan kognitif.
Gangguan kognitif yang sedang terjadi diakui secara klinis sebagai salah satu gejala inti penderita skizofrenia. Patogenesis skizofrenia dapat dikaitkan dengan perubahan metilasi DNA, disfungsi mitokondria, gangguan neurotransmiter glutamate dan pengurangan asam folat. Metabolisme homocysteine yang abnormal dapat menyebabkan kelainan metilasi DNA. Kelainan homocysteine merupakan faktor resiko untuk patogenesis skizofrenia, morbiditas dan gangguan kognitif skizofrenia dapat dikaitkan dengan terjadinya peningkatan level homocysteine. Homocysteine dapat mempengaruhi 5- hydroxytryptamine dan biosintesis dopamine lobus frontal yang berefek pada fungsi lobus frontal. Hipofungsi prefrontal sehubungan dengan gangguan kognitif.
Tujuan: Untuk mengetahui korelasi skor Montreal Cognitive Assessment Versi Indonesia (MoCA-Ina) dan kadar Homocysteine pada Laki-laki dengan Skizofrenia suku Batak Metode: Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional dengan menggunakan desain analitik korelatif numerik-numerik, yang dilaksanakan di Poliklinik Rawat Jalan Prof.
DR. M. Ildrem Medan, Sumatera Utara dari Juli 2019 hingga September 2019. Subjek penelitian adalah Laki-laki dengan Skizofrenia suku Batak sebanyak 49 subjek. Alat ukur yang digunakan untuk menilai disfungsi kognitif adalah Montreal Cognitive Assessment Versi Indonesia (MoCA-Ina).
Hasil: Hasil analisis dengan uji pearson mendapatkan nilai p = 0,001 (p < 0,05), r = - 0.754
Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara skor Montreal Cognitive Assessment Versi Indonesia (MoCA-Ina) dan kadar Homocysteine pada Laki-laki dengan Skizofrenia suku Batak. Semakin tinggi kadar Homocysteine, maka semakin rendah skor Montreal Cognitive Assessment Versi Indonesia (MoCA-Ina) pada Laki-laki dengan Skizofrenia suku Batak.
Kata Kunci: Laki-laki suku Batak, skizofrenia, homocysteine, MoCA-Ina.
1. Peserta PPDS-1 Program Studi Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara 2. Staf pengajar Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
ABSTRACT
KORELASI ANTARA SKOR MONTREAL COGNITIVE ASSESSMENT VERSI INDONESIA (MoCA-Ina) DAN KADAR HOMOCYSTEINE
PADA LAKI-LAKI DENGAN SKIZOFRENIA SUKU BATAK
Yoseva Hotnauli 1, Bahagia Loebis2, M. Surya Husada2, Nazli M. Nasution2 Department of Psychiatry, Faculty of Medicine, Universitas Sumatera Utara
Background: Schizophrenia is a complex mental disorder that is identified with disorders in reality testing, apathy, social isolation and cognitive disorders. Cognitive impairment that is happening is recognized clinically as one of the core symptoms of schizophrenics. The pathogenesis of schizophrenia can be associated with changes in DNA methylation, mitochondrial dysfunction, glutamate neurotransmitter disorders and folic acid reduction. Abnormal homocysteine metabolism can cause DNA methylation abnormalities. Homocysteine disorders are risk factors for the pathogenesis of schizophrenia, morbidity and cognitive impairment of schizophrenia can be associated with an increase in homocysteine levels. Homocysteine can affect 5-hydroxytryptamine and dopamine frontal lobe biosynthesis which have an effect on the function of the frontal lobe. Prefrontal hypofunction associated with cognitive impairment.
Aim: To find out the correlation between the score of the Montreal Cognitive Assessment- Indonesian Version (MoCA-Ina) and Homocysteine levels in Male of Bataknese with Schizophrenia.
Method: This study was a cross-sectional study using a numerical correlative analytic design, which was carried out at Outpatient Polyclinic Prof. dr. M. Ildrem Medan Mental Hospital, Sumatera Utara from July 2019 to September 2019. Subjects were 49 male of Bataknese with schizophrenia. The measuring instrument used to assess cognitive dysfunction is the Montreal Cognitive Assessment Version Indonesia (MoCA-Ina).
Results: The results of the analysis with the pearson test obtained a value of p = 0.001 (p
< 0,05), r = -0. 754
Conclusion: There is a significant association between the score of the Montreal Cognitive Assessment- Indonesian Version (MoCA-Ina) and Homocysteine levels in Male of Bataknese with Schizoprenia. The higher level of the Homocysteine, lowering score of the Montreal Cognitive Assessment Indonesian version (MoCA-Ina) in Male of Bataknese with Schizophrenia.
Keywords: male of Bataknese, schizophrenia, homocysteine, MoCA-Ina.
1. Resident of Department of Psychiatry, Faculty of Medicine, Universitas Sumatera Utara.
2. The staff of the Department of Psychiatry, Faculty of Medicine, Universitas Sumatera Utara.
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i
LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... ii
PERNYATAAN... iii
UCAPAN TERIMAKASIH... iv
ABSTRAK... ix
DAFTAR ISI... xi
DAFTAR TABEL... xiii
DAFTAR GAMBAR……… xiv
DAFTAR LAMPIRAN... xv
DAFTAR SINGKATAN... xvi
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 5
1.3. Hipotesis ... 5
1.4.Tujuan Penelitian ... 5
1.4.1.Tujuan Umum ... 5
1.4.2.Tujuan Khusus ... 5
1.5. Manfaat Penelitian ... 6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1. Skizofrenia ... 7
2.1.1. Defenisi Skizofrenia ... 7
2.1.2. Epidemiologi Skizofrenia ... 8
2.1.3. Etiologi Skizofrenia ... 9
2.1.4. Simtom Klinis Skizofrenia ... 13
2.1.5. Kriteria Diagnosis Skizofrenia ... 14
2.1.6. Pedoman Diagnostik Skizofrenia ... 16
2.2. Fungsi Kognitif Pada Skizofrenia ... 16
2.3. Tes Penilaian Fungsi Kognitif ... 17
2.4. Homocysteine ... 17
2.4.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi Homocysteine ... 19
2.4.2. Hubungan Homocysteine dan Skizofrenia ... 21
2.4.3. Hubungan Fungsi Kognitif dan Homocysteine ... 22
2.5. Positive and Negative Syndrome Scale (PANSS) ... 23
2.6. Suku Batak ... 24
2.7. Kerangka Teori ... 25
2.8. Kerangka Konsep ... 26
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ... 27
3.1. Desain Penelitian ... 27
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ... 27
3.3. Populasi Penelitian dan Sampel Penelitian ... 27
3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 28
3.5. Besar Sampel ... 29
3.5.1. Perhitungan Besar Sampel ... 29
3.6. Persetujuan setelah Penjelasan / Informed Consent ... 31
3.7. Etika Penelitian ... 31
3.8. Cara Kerja Penelitian ... 32
3.9. Kerangka Operasional ... 35
3.10. Identifikasi Variabel ... 36
3.11. Definisi Operasional ... 36
3.12. Analisis dan Penyajian Data ... 38
BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 41
BAB 5 PEMBAHASAN ... 44
5.1. Diskusi ... 44
5.2. Kelebihan dan Keterbatasan ... 48
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 52
6.1. Kesimpulan ... 52
6.2. Saran ... 53
DAFTAR RUJUKAN ... 54
LAMPIRAN ... 57
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Pengukuran Skor MoCA – Ina dan Kadar Homocystein ... 30
Tabel 3.2 Skor Total PANSS ... 32 Tabel 4.1 Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Karakteristik
Demografik ... 41 Tabel 4.2 Kadar Homocysteine pada Laki-laki dengan Skizofrenia Suku
Batak ... 42 Tabel 4.3 Skor Montreal Cognitive Assessment Versi Indonesia
(MoCA-Ina) pada Laki-laki dengan Skizofrenia Suku Batak .. . 42 Tabel 4.4 Hasil Analisis Uji Korelasi Pearson antara Skor Montreal
Cognitive Assessment Versi Indonesia (MoCA-Ina) Kadar
Homocystein pada Laki-laki dengan Skizofrenia Suku Batak . .. 43
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Jalur Metabolisme Homocysteine... 18 Gambar 2.2 Kerangka Teori ... 25 Gambar 2.3 Kerangka Konsep ... 26
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Persetujuan Komisi Etik……… 57 Lampiran 2. Lembar Penjelasan kepada Calon Subjek Penelitian…… 58 Lampiran 3. Persetujuan setelah Penjelasan (Informed Consent)…… 60 Lampiran 4. Lembar Subjek Penelitian………. 61 Lampiran 5. Riwayat Hidup……… 62 Lampiran 6. Jadwal dan Biaya Penelitian………... 63 Lampiran 7. Positive and Negative Syndrom Scale (PANSS)………… 65 Lampiran 8. Montreal Cognitive Assesment Versi Indonesia………… 66 Lampiran 9. Output Analisis……….. 74 Lampiran 10. Data Responden………... 82
DAFTAR SINGKATAN
CPT :Continuous Perfomance Test DNA :Deoksiribonukleat
GABA :Gamma-Aminobutyric Acid GPT :Grooved Pegboard Test
HCY :Homocysteine
MTHFR :Metiltetrahidrofolat reduktase MoCA :Montreal Cognitive Assesment
MoCA-Ina :Montreal Cognitive Assesment-versi bahasa Indonesia NMDA :N-Methyl-D-Aspartate
PANSS :Positive And Negative Syndrome Scale
PPDGJ-III :Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia PT :Perguruan Tinggi
RISKESDAS :Riset Kesehatan Dasar
RAVLT :Rey Auditory Verbal Learning Test RCF :Rey Complex Figure
SPSS :Statistical Package for Social Science
SD :Sekolah Dasar
SMP :Sekolah Menengah Pertama SMA :Sekolah Menengah Atas TOL :Tower of London Test TMT :Trail Making Test (TMT) WHO :World Health Organization WAIS :Wechsler Adult Intelligence Scale YLD :Years Lost due to Disability
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Skizofrenia adalah gangguan mental kompleks yang diidentifikasi dengan gangguan dalam pengujian realitas, apatis, isolasi sosial dan gangguan kognitif.
Hal ini menyebabkan hubungan interpersonal, pekerjaan, kehidupan sosial, perawatan diri dan defisit kehidupan mandiri. Gejala skizofrenia yang digambarkan dari ketidakmampuan mulai dari simtom positif dan negatif, hingga gangguan kognitif seperti perhatian, kecepatan pemrosesan, memori kerja, memori verbal jangka panjang dan fungsi eksekutif.1
Skizofrenia tidak terjadi dengan sendirinya. Banyak faktor yang berperan terhadap terjadinya skizofrenia. Faktor-faktor yang berperan terhadap terjadinya skizofrenia antara lain adalah faktor genetik, biologis, biokimia, psikososial, status sosial ekonomi, stres, serta penyalahgunaan obat. Faktor-faktor yang berperan terhadap timbulnya skizofrenia adalah umur, jenis kelamin, pekerjaan, status perkawinan, dan status ekonomi. Skizofrenia terkait dengan perkembangan saraf yang berbeda, kelainan struktural dan perilaku. Telah diusulkan bahwa kelainan seperti itu bisa berasal dari gangguan fungsi gen atau faktor non-genetik seperti etnis, obat dan penyalahgunaan alkohol, gaya hidup, obat-obatan, pra- kelahiran dan neonatal infeksi, malnutrisi ibu, komplikasi selama kelahiran dan banyak faktor lainnya.2
Gangguan fungsi kognitif pada orang dengan skizofrenia seringkali dijumpai dan berdampak terhadap semua aspek kehidupan pasien, termasuk
kemampuan mereka dalam melakukan aktivitas hidup sehari-hari. Onsetnya dan perubahan yang ditimbulkannya dapat diamati sebagai penurunan yang lambat dan bertahap yang dalam banyak kasus, dimulai bahkan sebelum episode psikotik pertama. Tingkat prevalensi seumur hidup rata-rata gangguan kepribadian yang terbagi dengan karakteristik berupa perkembangan saraf kompleks dengan gangguan fungsi kognitif sebagai bagian utama, berdasarkan dari sejumlah studi yang dilakukan pada orang yang menderita skizofrenia dengan gejala klinis dan fungsi sosial pada orang dengan skizofrenia merupakan konsekuensi dari defisit neurokognitif. Defisit kognitif merupakan aspek inti dari penyakit skizofrenia.
Beberapa bukti, menunjukkan bahwa adanya domain penurunan nilai kognitif.
Misalnya, Bilder menemukan penurunaan ringan sampai defisit sedang dalam perhatian, kefasihan lisan, memori bekerja, dan kecepatan pemprosesan, dengan penurunan dalam memori verbal deklaratif dan eksekutif berfungsi.3-6
Saat ini, gangguan kognitif yang sedang terjadi diakui secara klinis sebagai salah satu gejala inti penderita skizofrenia. Patogenesis skizofrenia dan mekanisme terjadinya belum diketahui secara pasti. Beberapa studi menunjukkan bahwa patogenesis skizofrenia dapat dikaitkan dengan perubahan metilasi DNA, disfungsi mitokondria, gangguan neurotransmiter glutamat, dan pengurangan asam folat. Studi menemukan bahwa tingkat homocysteine pada orang dengan skizofrenia secara signifikan meningkat. Metabolisme homocysteine yang abnormal dapat menyebabkan kelainan metilasi DNA. Kelainan homocysteine merupakan faktor risiko untuk patogenesis skizofrenia dan morbiditas dan gangguan kognitif skizofrenia dapat terjadi dikaitkan dengan peningkatan level homocysteine.1
3 Pada studi Moustafa dan kawan kawan pada tahun 2014 di Australia menyebutkan bahwa peningkatan homocysteine pada orang dengan gangguan skizofrenia dan gangguan afektif, berkontribusi pada gangguan kognitif mereka.
Ada beberapa mekanisme terkait homocysteine pada gangguan psikiatri secara biologis. Telah ditemukan bahwa homosistein berinteraksi dengan reseptor N- Methyl-D-Aspartate (NMDA), menginisiasi oksidative stress menginduksi apoptosis, memicu disfungsi mitokondrial dan menimbulkan kerusakan vascular.7
Pada studi Deng dan kawan-kawan pada tahun 2018 di Cina menyebutkan bahwa peningkatan serum homocysteine secara signifikan dapat digunakan sebagai alat diagnostik laboratorium untuk menentukan keparahan disfungsi kognitif pada pasien orang dengan skizofrenia episode pertama. Studi ini menyebutkan terjadinya gangguan kognitif secara signifikan pada pasien pasien orang dengan skizofrenia secara klinis.Studi- studi sebelumnya menemukan bahwa serum homocysteine dapat mempengaruhi 5-hydroxytryptamine dan biosintesis dopamine lobus frontal yang nantinya berefek pada fungsi lobus frontal. Hipofungsi prefrontal sehubungan dengan gangguan kognitif.Inilah yang menyebabkan bahwa peningkatan serum homocysteine pada pasien dengan orang skizofrenia berkorelasi dengan fungsi kognitif. Pada studi ini, diteliti subyek orang dengan skizofrenia episode pertama dengan peningkatan serum homocysteine lebih dari 15 µmol/L secara signifikan memiliki tingkat serum homocysteine dan menurunkan fungsi kognitif dibandingkan subyek yang memiliki tingkat homocysteine kurang dari 15 µmol/L ( p < 0,05 ).1
Pada studi Ayesa-Arriola dan kawan-kawan pada tahun 2012 di Spanyol menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat homocysteine dan
gangguan kognitif. Studi ini menyimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara peningkatan tingkat homocysteine dan gangguan kognitif pada pasien psikosis episode pertama . Rey Complex Figure (RCF) p= 0.81, Wechsler Adult Intelligence Scale III (WAISS-III) p= 0.04, Rey Auditory Verbal Learning Test (RAVLT) p =0.05, Zoo Map Test I (ZMT-I) p = 0.004, ZMT-II p= 0.006, Tower of London Test (TOL) p=0.006.8
Dari berbagai latar belakang di atas, berdasarkan perbedaan studi-studi sebelumnya, oleh Ayesa-Arriola dan kawan-kawan yang menyebutkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat homocysteine dan gangguan kognitif, sedangkan studi oleh Moustafa dan kawan-kawan serta Deng dan kawan-kawan yang menyebutkan bahwa peningkatan homocysteine berkontribusi pada gangguan disfungsi kognitif, dan melalui peninjauan kepustakaan, belum pernah ada penelitian yang sama, pernah dilakukan di Indonesia. Maka melalui studi ini penulis ingin mengetahui apakah terdapat korelasi antara Skor Montreal Cognitive Assessment Versi Indonesia (MoCA-Ina) dan kadar homocysteine pada laki-laki dengan skizofrenia suku Batak di Indonesia, yang pada akhirnya dapat memberikan informasi kepada klinisi tentang apakah di Indonesia, Skor Montreal Cognitive Assessment Versi Indonesia (MoCA-Ina) berhubungan dengan kadar homocysteine pada laki-laki dengan skizofrenia suku Batak ?
5 1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka melalui studi ini disusun rumusan masalah sebagai berikut: Apakah terdapat korelasi antara skor Montreal Cognitive Assessment Versi Indonesia (MoCA-Ina) dan kadar homocysteine pada laki-laki dengan skizofrenia suku Batak ?
1.3 Hipotesis
Terdapat korelasi antara skor Montreal Cognitive Assessment versi Indonesia (MoCA-Ina) dan kadar homocysteine pada laki-laki dengan skizofrenia suku Batak.
1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui korelasi skor Montreal Cognitive Assessment versi Indonesia (MoCA-Ina) dan kadar homocysteine pada laki-laki dengan skizofrenia suku Batak.
1.4.2 Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui karakteristik demografik pada laki-laki dengan skizofrenia suku Batak di RSJ Prof. Dr. M. Ildrem Medan.
2. Untuk mengetahui nilai rerata skor Montreal Cognitive Assessment versi Indonesia (MoCA-Ina) pada laki-laki dengan skizofrenia suku Batak.
3. Untuk mengetahui nilai rerata kadar homocysteine pada laki-laki dengan skizofrenia suku Batak.
4. Untuk mengetahui korelasi antara skor Montreal Cognitive Assessment Versi Indonesia (MoCA-Ina) dan kadar homocysteine pada laki-laki dengan skizofrenia suku Batak.
1.5 Manfaat penelitian
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai korelasi antara skor Montreal Cognitive Assessment Versi Indonesia (MoCA-Ina) dan kadar homocysteine pada laki-laki dengan skizofrenia suku Batak di Instalasi rawat jalan RSJ Prof. Dr. M. Ildrem Medan.
2. Hasil penelitian ini dapat diharapkan sebagai acuan bahan penelitian lainnya yang sejenis.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pertimbangan untuk melakukan pemeriksaan homocysteine dan fungsi kognitif, pada praktek klinik.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Skizofrenia 2.1.1. Definisi
Skizofrenia adalah kumpulan sindroma klinis yang ditandai dengan kerusakan psikopatologi yang melibatkan kognisi, emosi, persepsi, dan aspek perilaku yang bermanifestasi pasa pasien dan mempengaruhi perjalanan penyakit dan berlangsung lama. Gangguan ini biasanya dimulai sebelum umur 25 tahun,menetap sepanjang hidup dan mempengaruhi seseorang dari semua kelas sosial. Baik penderita maupun keluarganya mengalami permasalahan sosial dari masyarakat akibat ketidak tahuan yang besar mengenai penyakit tersebut.9
Skizofrenia adalah gangguan otak yang mempengaruhi cara seseorang berperilaku, berpikir, dan melihat dunia. Orang dengan skizofrenia sering memiliki persepsi yang merubah realitas. Mereka mungkin melihat atau mendengar hal-hal yang tidak ada, berbicara dengan cara yang aneh atau membingungkan, percaya bahwa orang lain berusaha untuk menyakiti mereka, atau merasa seperti mereka terus-menerus diawasi. Hal ini dapat membuat sulit untuk bernegosiasi aktivitas kehidupan sehari-hari, dan orang-orang dengan skizofrenia menarik diri dari dunia luar atau bertindak dalam kebingungan dan ketakutan. Meskipun skizofrenia adalah gangguan kronis, ada bantuan yang tersedia. Dengan dukungan, pengobatan, dan terapi, banyak orang dengan skizofrenia dapat berfungsi secara independen dan hidup memenuhi.10
2.1.2. Epidemiologi
Risiko skizofrenia di keluarga, tingkat pertama dari penderita orang dengan skizofrenia adalah 10%. Jika kedua orang tua memiliki skizofrenia, risiko skizofrenia pada anak mereka adalah 40%. Kesesuaian untuk skizofrenia adalah sekitar 10% untuk kembar dizigot dan 40-50% untuk kembar monozigot.
Prevalensi seumur hidup skizofrenia secara umum diperkirakan sekitar 1% di seluruh dunia. Namun, review sistematis oleh Saha dan kawan-kawan, dari 188 studi yang diambil dari 46 negara menemukan risiko seumur hidup dari 4.0 per 1000 penduduk; estimasi prevalensi dari negara-negara yang paling maju secara signifikan lebih rendah dibandingkan dari negara digolongkan sebagai negara berkembang atau sedang berkembang. Imigran ke negara-negara maju menunjukkan tingkat peningkatan skizofrenia, dengan risiko memperluas ke generasi kedua.11
Di Amerika Serikat, sekitar 0.05 % dari total populasi diobati dengan diagnosa skizofrenia setiap tahunnya dan hanya setengah dari seluruh pasien orang dengan skizofrenik memperoleh pengobatan, meskipun mengalami gangguan yang berat. Prevalensi skizofrenia adalah sama antara laki-laki dan perempuan. Bagaimanapun perbedaan kedua jenis kelamin adalah pada onset dan perjalanan penyakit. Onset adalah lebih awal pada laki-laki daripada perempuan.
Umur puncaknya 25 sampai 35 tahun. Onset skizofrenia sebelum usia 10 tahun atau sesudah 60 tahun sangat jarang. Sembilan puluh persen pasien yang mendapat pengobatan skizofrenia berusia antara 15 sampai 55 tahun. Secara umum, wanita dengan skizofrenia mempunyai hasil yang lebih baik dibandingkan pria.9
9 Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada April 2016 menyebutkan ada 21 juta penderita orang dengan skizofrenia di seluruh dunia.
Data Global Burden Disease (WHO 2004) menunjukkan bahwa skizofrenia termasuk dalam 20 besar penyakit terkait Years Lost due to Disability (YLD).12
Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013, prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia seperti gangguan psikosis adalah 1,7 per 1000 penduduk, ini berarti lebih dari 400.000 orang menderita gangguan jiwa berat (psikosis). Angka pemasungan untuk orang dengan gangguan jiwa berat sebesar 14.3 % atau sekitar 57.000 kasus gangguan jiwa yang mengalami pemasungan. Sedangkan untuk Sumatera Utara sebesar 0,9 permil.13,14
2.1.3. Etiologi
2.1.3.1. Faktor Genetik
Terdapat kontribusi genetik bagi sebagian bahkan mungkin semua bentuk dari skizofrenia, dan proporsi yang tinggi dari varian dalam kecenderungan untuk skizofrenia adalah karena adanya pengaruh genetik, misalnya, skizofrenia dan gangguan yang berkaitan dengan skizofrenia, dimana hal tersebut muncul pada nilai hubungan yang meningkat di antara kerabat biologis pasien orang dengan skizofrenia.9
2.1.3.2. Faktor Biokimia 2.1.3.2.1. Hipotesis Dopamin
Rumusan yang paling sederhana dari hipotesis dopamin adalah bahwa skizofrenia merupakan hasil dari terlalu banyaknya aktivitas dopaminergik. Teori ini berkembang dari dua observasi. Pertama, efikasi dan potensi dari obat-obat antipsikotik misalnya, antagonis reseptor dopamin yang berkaitan dengan
kemampuan mereka untuk bertindak sebagai antagonis dari reseptor dopamine D2. Kedua, obat-obatan yang meningkatkan aktivitas dopaminergik merupakan psychotomimetic.9
2.1.3.2.2. Serotonin
Saat ini beberapa hipotesis menyatakan bahwa serotonin yang berlebihan merupakan penyebab dari simtom positif dan simtom negatif dari skizofrenia.
Aktivitas antagonis serotonin dari clozapin dan antipsikotik untuk menurunkan gejala-gejala positif pada pasien orang dengan skizofrenia yang kronik.9
2.1.3.2.3. Norepinefrin
Anhedonia telah lama diperhatikan sebagai ciri yang penting dari skizofrenia. Degenerasi neuronal selektif di dalam sistem saraf norepinefrin dapat menjelaskan aspek simtomatologi dari skizofrenia. Namun, data biokimia dan farmakologi yang berhubungan hal ini masih belum meyakinkan.9
2.1.3.2.4. Hipotesis GABA
Neurotransmiter ɣ-aminobutyric acid (GABA) memiliki pengaruh pada patofisiologi skizofrenia berdasarkan penemuan bahwa beberapa penderita skiofrenia mengalami pengurangan neuron GABAergik di hipokampus.9
2.1.3.2.5. Neuropeptida
Neuropeptida seperti substance P dan neurotensin terletak di lokasi yang sama dengan katekolamin dan neurotransmitter indolamin dan mempengaruhi aksi dari neurotransmiter indolamin dan mempengaruhi aksi dari neurotransmiter ini.
Perubahan dari mekanisme neuropeptida dapat memfasilitasi, menghambat, atau merubah pola tujuan dari sistem saraf.9
11 2.1.3.2.6. Glutamat
Glutamat merupakan neurotransmitter utama dalam sistem safar pusat dan kadang-kadang dianggap sebagai ― master switch‖ dari otak, karena dapat membangkitkan hampir semua neuron sistem saraf pusat.9
2.1.3.2.7. Asetilkolin dan Nikotin
Beberapa studi postmortem pada skizofrenia telah menunjukkan penurunan reseptor muskarinik dan nikotin dibagian caudal dari putamen, hipokampus dan beberapa bagian dari korteks prefrontal, dimana reseptor tersebut berperan dalam susunan dalam sistem neurotransmiter yang terlibat dalam kognitif, dimana terjadi gangguan dalam skizofrenia.9
2.1.3.3. Neuropatologi
Pada abad ke-19, ahli neuropatologi gagal untuk menemukan dasar neuropatologi untuk skizofrenia, dan oleh karena itu mereka mengklasifikasikan skizofrenia sebagai gangguan fungsional. Pada akhir abad ke-20, para peneliti telah membuat langkah-langkah yang signifikan dalam menyingkap dasar neuropatologi dari skizofrenia, terutama pada sistem limbik dan bangsal ganglia, mencakup abnormalitas neuropatologi atau neurokimia pada korteks cerebral, thalamus dan batang otak.9
2.1.3.4. Sirkuit Saraf
Evolusi bertahap dari konseptualitas skizofrenia sebagai gangguan yang meliputi area-area yang berlainan dari otak sebagai pandangan perspektif skizofrenia sebagai gangguan dari sirkuit saraf otak. Sebagai contoh, bangsal ganglia dan cerebellum secara timbal balik berkaitan dengan lobus frontalis, dan abnormalitas pada fungsi lobus frontalis terlihat dalam beberapa studi pencitraan
otak. Hal ini juga dapat memberikan hipotesis bahwa lesi perkembangan yang dini pada jalur dopaminergik ke korteks prefrontal menghasilkan gangguan fungsi prefrontal dan sistem limbik dan menyebabkan simtom positif dan negatif serta gangguan kognitif yang dapat diamati pada orang dengan skizofrenia.9
2.1.3.5. Metabolisme Otak
Studi menggunakan magnetic resonance spectroscopy, suatu teknik untuk mengukur konsentrasi molekul spesifik di otak, menemukan bahwa orang dengan skizofrenia memiliki level phosphomonoester dan fosfat inorganik yang lebih rendah serta level phosphodiester yang lebih tinggi dibanding kelompok kontrol.
Selanjutnya, konsentrasi dari N-acetyl aspartate lebih rendah di hipokampus dan lobus frontral pada orang dengan skizofrenia.9
2.1.3.6. Elektrofisiologi
Beberapa studi elektroensefalografi menunjukkan bahwa banyak orang dengan skizofrenia mempunyai rekaman yang abnormal, peningkatan aktifitas terhadap prosedur aktivasi, penurunan aktifasi alfa, peningkatan aktifitas theta dan delta, kemungkinan aktifitas epileptiform yang lebih dari biasanya. Orang dengan skizofrenia juga menunjukkan ketidakmampuan untuk menyaring suara-suara yang tidak relevan dan sangat sensitif terhadap lingkungan yang bising. Kerasnya suara dapat membuat sulit berkonsentrasi dan mungkin menjadi faktor timbulnya halusinasi pendengaran. Sensitivitas terhadap suara ini mungkin berkaitan dengan gangguan genetik.9
13 2.1.4. Simtom Klinis
Beberapa penelitian membuat sub kategori dari simtom penyakit ini kedalam 5 bagian yaitu : simtom positif, simtom negatif, simtom kognitif, simtom agresif dan simtom depresi/cemas.15
1. Simtom positif
Waham, halusinasi, penyimpangan dan pernyataan yang berlebih-lebihan dalam berbahasa dan berkomunikasi, pembicaraan/perilaku yang tidak beraturan, perilaku katatonik dan agitasi.
2. Simtom negatif
Afek tumpul, penarikan emosi, rapport yang buruk, ketidak pedulian, menarik diri dari kehidupan sosial, ganguan berfikir abstrak, alogia, avolisi, anhedonia, gangguan pemusatan perhatian.
3. Simtom kognitif
Gangguan berpikir, inkoherensia, asosiasi yang longgar, neologisme, gangguan pengolahan informasi.
4. Simtom agresif
Permusuhan, penghinaan verbal, penyiksaan fisik, menyerang, melukai diri sendiri, merusak barang-barang, impulsive, tindakan seksual.
5. Simtom depresi/cemas
Mood depresi, mood cemas, perasaan bersalah, ketegangan, iritabilitas cemas.15
2.1.5. Kriteria Diagnosis
Kriteria diagnosis untuk skizofrenia berdasarkan PPDGJI-III adalah sebagai berikut:16
Gangguan skizofrenia berdasarkan PPDGJI-III umumnya ditandai oleh distorsi pikiran dan persepsi yang mendasar dan khas, dan oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted). Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual yang dipertahankan, walaupun defisit kognitif tertentu dapat berkembang kemudian. Walaupun tidak ada simtom-simtom patognomonik yang khusus, dalam praktek ada manfaatnya untuk membagi simtom-simtom tersebut ke dalam kelompok-kelompok yang sering terdapat secara bersama-sama, misalnya :16
(a) ―thought echo‖, ―thought insertion‖ atau ―withdrawal‖ dan ―thought broadcasting‖
(b) Waham dikendalikan (delusion of control), waham yang dipengaruhi (delusion of influence) atau ―passivity‖, yang jelas merujuk pada pergerakan tubuh atau pergerakan anggota gerak, atau pikiran, perbuatan atau perasaan (sensations) khusus; persepsi delusional;
(c) Suara halusinasi yang berkomentar secara terus-menerus terhadap perilaku pasien, atau mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri, atau jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh;
(d) Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budayanya dianggap tidak wajar serta sama sekali mustahil, seperti misalnya mengenai identitas keagamaan atau politik, atau kekuatan dan kemampuan ―manusia super‖
15 (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain);
(e) Halusinasi yang menetap dalam setiap modalitas, apabila disertai baik oleh waham yang mengambang/melayang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu- minggu atau berbulan-bulan terus-menerus;
(f) Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan(interpolasi) yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme;
(g) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), sikap tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas serea, negativisme, mutisme, dan stupor;
(h) Simtom-simtom ―negatif‖ seperti sikap sangat masa bodo (apatis), pembicaraan yang terhenti, dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
(i) Suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan dari beberapa aspek perilaku perorangan, bermanifestasi sebagai hilangnya minat, tak bertujuan, sikap malas, sikap berdiam diri (self-absorbed attitude) dan penarikan diri secara sosial.16
2.1.6. Pedoman Diagnostik
Persyaratan yang normal untuk diagnostik skizofrenia ialah harus ada sedikitnya satu simtom tersebut di atas yang amat jelas (dan biasanya dua simtom atau lebih apabila simtom-simtom itu kurang tajam atau kurang jelas) dari simtom yang termasuk salah satu kelompok simtom (a) sampai (d) tersebut di atas, atau paling sedikit dua simtom dari kelompok (e) sampai (h) yang harus selalu ada secara jelas selama kurun waktu satu bulan atau lebih.16
2.2. Fungsi Kognitif Pada Skizofrenia
Penurunan kognitif pada proses memori, memori deklaratif dan perhatian adalah gejala dasar skizofrenia yang berkontribusi heterogenitas di fenomenologis gejala ekspresi dan pengaruh pada kompleksitas, keragaman dan hasil dari penyakit. Skizofrenia adalah gangguan kronis melibatkan sekitar 1% dari populasi umum. Prefrontal korteks memainkan peran yang dominan dalam kehidupan psikis manusia, karena mengintegrasikan informasi yang datang langsung dari daerah limbik, neokorteks, batang otak, hypothalamus dan secara tidak langsung melalui talamus dari hampir semua wilayah otak, sehingga disfungsional, yang tertentu struktural dan atau perubahan fungsional dalam hal ini bagian dari sistem susunan syaraf pusat menuju kuantitatif dan gangguan kualitatif kesadaran, perencanaan, pelaksanaan tindakan, kuantitatif dan kualitatif gangguan penglihatan, konsentrasi, pidato, emosi dan mempengaruhi. Sebagai kelompok, orang dengan skizofrenia memiliki prestasi yang lebih rendah padaberbagai tes kognitif, terutama yang berkaitan dengan regulasilobus frontal seperti perhatian, yang penggunaan strategi dan pemecahan masalah.5
17 2.3. Montreal Cognitive Assessment (MoCA)
Montreal Cognitive Assessment (MoCA) dirancang sebagai instrumen skrining cepat untuk disfungsi kognitif ringan. Hal ini menilai domain kognitif yang berbeda: perhatian dan konsentrasi, fungsi eksekutif, memori, bahasa, keterampilan visuoconstructional, pikiran konseptual, perhitungan, dan orientasi.
Waktu untuk mengelola Moca adalah sekitar 10 menit. Total skor adalah 30 poin;
skor 26 atau di atas dianggap normal.17
MoCA memiliki sensitivitas 90%, dan spesifitas 87% untuk menilai fungsi konitif. Di Indonesia, MoCA telah divalidasi ke dalam bahasa Indonesia oleh Husein dan kawan-kawan pada tahun 2009 dan disebut sebagai MoCA-Ina. Tes MoCA versi Indonesia (MoCA-Ina) telah valid menurut kaidah validasi transkultural dan dipercaya sehingga dapat digunakan.18,19
2.4. Homocysteine
Senyawa Homocysteine (Hcy) pertama kali ditemukan tahun 1932 dan diberi nama oleh du Vigneaud. Homocysteine (2 amino 4 mercaptobutanoic acid ) merupakan non protein sulfhydryl amino acid, yang metabolismenya terletak pada persimpangan antara jalur transulfurasi dan remetilasi biosintesis metionin.20
Homocysteine merupakan senyawa antara yang dihasilkan pada metabolisme metionin suatu asam amino esensial yang terdapat dalam beberapa bentuk di plasma. Sulfhidril atau bentuk tereduksi dinamakan homocysteine, dan disulfida atau bentuk teroksidasi dinamakan homocysteine. Bentuk disulfida juga terdapat bersama-sama dengan sistein dan protein yang mengandung residu sistein reaktif (homocysteine yang terikat protein), bentuk ini dinamakan disulfida
campuran. Bentuk teroksidasi merupakan bagian terbesar (98-99%) dalam plasma sedangkan bentuk tereduksi hanya 1% dari total homocysteine dalam plasma.
Dalam keadaan normal homosistein dalam darah relatif sangat sedikit, dengan kadar antara 5-15 umol/L. Kadar homocysteine di kompartemen ekstrasel ditentukan oleh beberapa hal yaitu pembentukannya di dalam sel, metabolisme dan eksresinya.21
Gambar 1.Jalur Metabolisme Homocysteine.
(Dikutip dari :Bolander-Gouaille C, Bottiglieri T. Homocysteine Related Vitamins and Neuropsychiatric Disorders. Second edition ed. New York: Springer; 2007.)
Tahap pertama metabolisme homocysteine adalah pembentukan S-adenosil metionin (Gambar 1) yang merupakan donor metil terpenting pada reaksi transmetilasi. S-adenosilmetinin, selanjutnya mengalami demetilasi membentuk S- adenosilhomocysteine, yang kemudian dihidrolisis menjadi adenosin dan homocysteine. Homocysteine selanjutnya memasuki jalur transsulfurasi atau jalur remetilasi. Sekitar 50% homocysteine yang memasuki transsulfurasi, secara irrevesibel berikatan dengan serin melalui pengaruh enzim sistasionin β-sintase, untuk membentuk sistasionin. Sistasionin ini selanjutnya di metabolisme menjadi
19 sistein dan α–ketobutirat melalui pengaruh γ-sistasionase. Sistein yang terbentuk dari homocysteine ini akhirnya di rubah menjadi sulfat dan di sekresikan ke dalam urin.21
Pada jalur remetilasi, homocysteine akan mengalami daur ulang menjadi metionin melalui 2 reaksi yang berbeda. Reaksi pertama memerlukan enzim 5- metil tetra hidrofolathomocysteine–metil transferase (metionin sintase). Untuk aktivitas enzim ini dibutuhka n metikobalamin sebagai kofaktor dan metiltetrahidrofolat sebagai kosubstrat. Metiltetrahidrofolat dibentuk dari tetrahidrofolat oleh pengaruh enzim metiltetrahidrofolat reduktase (MTHFR).
Reaksi ini terjadi di semua jaringan. Jalur kedua dikatalisir oleh enzim betain homocysteinemetil transferase. Reaksi dengan betain ini terutama terbatas di dalam hati. Proses daur ulang serta penyimpanan homocysteine akan menjaminpenyediaan metionin yang cukup.21
Pada keadaan kelebihan metionin, dimanfaatkan jalur transfulfurasi dengan meningkatkan regulasi sistasionin β sintase dan mengurangi regulasi jalur remetilasi, sedangkan bila terdapat defisiensi metionin dimanfaatkan jalur remetilasi.21
2.4.1. Faktor yang mempengaruhi Homocysteine
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan kadar homocysteine dalam darah ;21
1. Genetik
Gen untuk enzim sistasionin β sintase terletak pada kromosom 21, maka pada sindroma Down atau trisomi 21 dapat dijumpai keadaan yang
sebaliknya yaitu peningkatan enzim sistasionin β sintase. Penurunan kadar homocysteine plasma dijumpai pada anak dengan sindrom Down.
2. Usia
Kadar homocysteine plasma meningkat seiring dengan peningkatan usia.
Penyebabnya kemungkinan adanya penurunan kadar kofaktor atau adanya kegagalan ginjal yang sering dijumpai pada pasien lanjut usia. Selain itu aktivitas enzim sistasionin β sintase juga menurun seiring dengan meningkatnya usia.
3. Jenis Kelamin
Tingkat homocysteine rata-rata pada laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan. Sesudah menopause konsentrasi homocysteine akan meningkat. Perbedaan kadar homocysteine pada wanita dan pria mungkin disebabkan perbedaan hormon sex terhadap metabolisme homocysteine.
4. Disfungsi Ginjal
Terdapat korelasi positif antara kadar homocysteine dan kreatinin serum, walaupun mekanismenya belum jelas. Pada gagal ginjal kronik kadar homocysteine plasma akan meningkat 2-4 kali dari normal. Konsentrasi ini akan menurun setelah dialisis. Peningkatan homocysteine pada gagal ginjal mungkin disebabkan gangguan metabolisme.
5. Nutrisi dan Gaya Hidup
Korelasi negatif antara kadar folat serum dan B12 telah terbukti pada orang normal. Hyperhomocysteine didapat antara lain disebabkan oleh defisiensi vitamin B6, vitamin B9 dan vitamin B12. Merokok, dan minum
21 kopi dan minum yang mengandung alkohol, menyebabkan homocysteine meningkat.
6. Penyakit
Terdapat beberapa penyakit yang dihubungkan dengan peningkatan kadar homocysteine yaitu psoriasis, keganasan dan pemakaian obat-obatan.
Beberapa keganasan seperti Ca mamae, ovarium dan pankreas juga menunjukkan peningkatan kadar homocysteine. Plasma homocysteine juga dipengaruhi oleh obat-obatan seperti methotrexate, nitrous oxide, phenytoin, carbamazepine, azaribine, kontrasepsi oral dan penicillamine.
2.4.2 Hubungan Homocysteine dan Skizofrenia
Homocysteine merupakan asam amino non-protein neurotoksik yang telah dikemukakan sebagai faktor resiko independen untuk skizofrenia melalui efek perkembangan pada struktur dan fungsi otak. Peningkatan kadar plasma total homocysteine telah dikaitkan dengan disfungsi kognitif dalam beragam gangguan neurologis dan psikiatri.Homocysteine dikenal untuk berinteraksi dengan glutamatergic transmission di otak, ini merangsang reseptor NMDA meningkat masuknya kalsium ke dalam neuron yang memuncak pada neurotoksisitas dan apoptosis. Homocysteine juga menyebabkan stress oksidatif dan metilasi DNA yang menyimpang. Implikasi ini akan menjelaskan homocysteinemia pada skizofrenia.7,20
Sejumlah besar studi menegaskan adanya hubungan antara peningkatan kadar plasma homocysteine dan defisit kognitif pada penyakit Alzheimer, penyakit Parkinson, multiple sclerosis, gangguan bipolar dan skizofrenia.
Sebaliknya, beberapa studi sebelumnya belum memiliki bukti yang kuat hubungan antara kadar plasma homocysteine dan disfungsi kognitif pada skizofrenia.7
2.4.3. Hubungan Fungsi Kognitif dan Homocysteine
Homocysteine telah terbukti menjadi faktor risiko independen untuk disfungsi kognitif. Studi individu dengan jangkauan luas gangguan kognitif secara konsisten menunjukkan peningkatan plasma homocysteine dan kofaktor enzimatik yang menurun terlibat dalam metionin dan metabolisme homocysteine. Total plasma homocysteine plasma juga seperti menjadi penanda jaringan yang paling konsisten dalam kofaktor kekurangan gizi, serta kinerja kognitif pada orang tua. 22
Studi Teunissen dan kawan-kawan pada tahun 2005 di Belanda, menyatakan bahwa homocysteine berhubungan pada asfek kognitif dan neurologi.
Homocysteine merupakan marker fungsi kognitif dan sekaligus fungsi neurologis spesifik, ini disebabkan oleh mekanisme neuro degeneratif yang secara umum menyebabkan ketidakseimbangan jalur transmetilasi sehingga menyebabkan gangguan kognitif. Jalur transmetilasi aktif pada setiap sel sistem saraf pusat.
Efek homocysteine pada fungsi sel sistem saraf pusat dapat mempengaruhi secara intraseluler dan ekstraseluler, sehingga berefek terhadap ketidak-seimbangan parenkim sel sistem saraf pusat atau melalui efek pada vaskular sehingga meyebabkan aterosklerosis dan stroke.23
Stress oksidatif merupakan mekanisme yang sering sehubungan dengan peningkatan level homocysteine. Stress oksidatif dapat menyebabkan peningkatan kadar homocysteine karena autooksidasi dari kelompok sulfhydryl sehingga pada tikus peningkatan kadar homocysteine menyebabkan peningkatan kadar oksidasi, sel sistem saraf pusat dilaporkan terjadinya disfungsi kognitif. Peningkatan
23 homocysteine juga menyebabkan stress oksidatif melalui eksitotoksisitas.
Homocysteine dapat menginduksi eksitotoksisitas dengan mempengaruhi glutamate melalui pompa natrium kalium yang diobservasi setelah pemberian homocysteine pada tikus muda. Pompa natrium kalium penting untuk menjaga keseimbangan potensial membrane dan fungsi beberapa fungsi reseptor.
Eksitotoksisitas menyebabkan peningkatan influx kalsium intraseluler yang menyebabkan efek banyak fungsi seluler dan secara keseluruhan mempengaruhi beberapa stress oksidatif dan kematian sel, sehingga memungkinkan peningkatan homocysteine diinduksi oleh stress oksidatif.23
Mekanisme homocysteine menginduksi efek inhibisi dari mekanisme perbaikan DNA atau penurunan afibilitas metionin yang esensial untuk transfer metil melalui S-adenosilmetionin yang merupakan salah satu mekanisme sintesis dan degradasi dari neurotransmitter. Hyperhomocysteine dapat meningkatkan S- adenosil homocysteine yang menginhibisi metil transferase dan aktivitas ini ditunjukkan pada penurunan fungsi otak pada penyakit Alzheimer.23
2.5. Positive and Negative Syndromes Scale (PANSS)
Positive and Negative Syndromes Scale (PANSS) dikembangkan pada akhir tahun 1980-an yang bertujuan untuk menilai simtom klinis dari skizofrenia.
Skala ini diadaptasi dari skala psikopatologi sebelumnya, termasuk Brief Psychiatric Rating Scale(BPRS). PANSS memuat 30 item dalam tiga subskala, tujuh item meliputi simtom positif (misalnya, delusi dan halusinasi), tujuh item meliputi simtom negatif (misalnya, social withdrawal, flat affect, lack of motivation), dan 16 item meliputi psikopatologi umum (misalnya, ansietas dan
depresi). PANSS digagas sebagai instrumen operasional yang memperlihatkan gambaran seimbang gejala positif dan negatif, serta suasana hati (mood) dan gejala kecemasan. Penilaian dapat diselesaikan dalam waktu 30 hingga 40 menit.
Reliabilitasnya baik dan validitasnya sangat baik.24
2.6. Suku Batak
Berdasarkan buku ensiklopedia, suku bangsa di Indonesia, jumlah suku bangsa yang ada Indonesia secara keseluruhan mencapai 1.300 suku bangsa.
Selain jenisnya yang beragam, jumlah atau ukuran populasi dari setiap jenis suku bangsa juga sangat bervariasi. Suku Batak merupakan suku bangsa terbesar nomor urut kedua di Indonesia setelah suku Sunda sebanyak 36.7 juta jiwa (15.5%), dimana suku Batak sebanyak 8,5 juta (3.6 %). Suku Batak merupakan salah satu suku bangsa Indonesia yang terletak di Sumatera Utara. Nama Batak merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur. Suku bangsa yang dikategorikan kedalam suku Batak yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola dan Batak Mandailing. Banyak teori dan pendapat yang mempertanyakan asal usul suku batak, arti perkataan batak dan keberadaan suku bangsa di nusantara.Keterangan tertua tentang batak berasal dari Yunani dan Tiongkok. Keterangan-keterangan itu, mulai sejak abad pertama masehi.25, 26, 27
25 2.7. Kerangka Teori
Gambar 2. 2 Kerangka Teori Disfungsi Reseptor
DNA
Apoptosis Neuronal dan
disfungsi dopaminergik Homosistein
Stress Oksidatif
Disfungsi Mitokondrial Penyimpangan
metilasi DNA
2.8. Kerangka Konsep
Variabel Bebas Variabel Terikat
-Defisiensi Vitamin B (B6,B9,B12), usia, jenis kelamin,penggunaan alkohol dan merokok
Variabel Perancu
Gambar 2. 3 Kerangka Konsep Kadar
Homocysteine Pada laki-laki
dengan skizofrenia suku
batak
Fungsi Kognitif (Skor MoCA-Ina)
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan studi analitik korelatif numerik-numerik dengan pendekatan Cross-sectional study, yang menilai Korelasi antara skor Montreal Cognitive Assessment Versi Indonesia (MoCA-Ina) dan kadar Homocysteine laki- laki dengan skizofrenia suku Batak.
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat Penelitian :
- Pengambilan sampel penelitian ini ini dilakukan di Poliklinik rawat jalan RSJ Prof.Dr. M.Ildrem Medan .
- Pemeriksaan kadar homocysteine dilakukan di laboratorium unit terpadu FK-USU Lantai 2.
Waktu penelitian : Juli 2019 – Agustus 2019
3.3. Populasi Penelitian dan Sampel Penelitian
Populasi target : Laki-laki dengan skizofrenia suku Batak di Poliklinik rawat jalan RSJ Prof. Dr. M. Ildrem Medan.
Populasi terjangkau : Laki–laki dengan skizofrenia suku Batak di Poliklinik RSJ Prof. Dr. M. Ildrem Medan periode Juli 2019 sampai dengan Agustus 2019.
Sampel penelitian : Laki-laki dengan skizofrenia suku Batak di Poliklinik RSJ Prof. Dr. M. Ildrem Medan periode Juli 2019 sampai dengan September 2019 yang memenuhi kriteria inklusi.
Cara pengambilan sampel : dengan cara Nonprobability sampling tipe
consecutive sampling. Dimana semua subjek yang datang berurutan dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subjek yang diperlukan terpenuhi.
3.4 Kriteria Inklusi dan Ekslusi Kriteria Inklusi:
1. Laki-laki suku Batak dengan skizofrenia yang telah didiagnosis berdasarkan PPDGJ III
2. Usia antara 20 – 40 tahun.
3. Lama sakit 1 – 5 tahun 4. Total skor PANSS 60 - 80
5. Mengerti bahasa Indonesia, bersedia sebagai responden dan dapat diwawancarai.
6. Mendapat pengobatan antipsikotik risperidon 4 mg/hr/oral dalam dosis terbagi.
7. Pendidikan terakhir minimal Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau sederajat.
8. Frekuensi merokok ≤ 10 batang/hari (perokok ringan) Kriteria Eksklusi :
1. Memiliki gangguan medik umum dan atau komorbiditas lainnya 2. Riwayat penggunaan alkohol dan zat lainnya.
3. Riwayat pemakaian suplemen yang mengandung Vitamin B ( B 6, B 9, B 12 )
29 3.5. Besar Sampel
3.5.1. Perhitungan Besar Sampel
Besar sampel minimal yang dibutuhkan untuk mendeteksi Korelasi antara Skor Montreal Cognitive Assessment Versi Indonesia (MoCA-Ina) dan kadar Homocysteine Pada Laki-laki suku Batak dengan Skizofrenia digunakan rumus sebagai berikut:
Untuk jumlah sampel didapatkan:28
(( )
)
Keterangan :
n : Jumlah subjek penelitian Alpha (α) : Kesalahan tipe I
Zα : Nilai standar alpha, ditetapkan sebesar 5%, sehingga Zα= 1.964
Beta (β) : Kesalahan tipe II
Zβ : Nilai standar beta, ditetapkan sebesar 10%, sehingga = Zβ= 1.282
r : Koefisien korelasi minimal yang dianggap bermakna (-0.45)
Studi ini merupakan studi yang sampai sejauh pencarian literatur yang dilakukan penulis merupakan studi pertama yang meneliti korelasi Skor Montreal Cognitive Assessment Versi Indonesia (MoCA-Ina) dan kadar homocysteine pada laki-laki dengan skizofrenia suku Batak. Oleh sebab itu, untuk memperoleh nilai
korelasi minimal yang dianggap bermakna (r), dilakukan studi pendahuluan dengan merekrut 20 subjek orang dengan skizofrenia dan dilakukan prosedur studi dengan hasil seperti terlihat pada tabel berikut :
Tabel 3.1 Pengukuran Skor MoCA-Ina dan Kadar Homocysteine
No Nama SKOR
PANSS
Kadar Homocystein (µmol/l)
Skor MoCA- Ina
1. RN 71 24.6 22
2. ED 75 23.1 26
3. DR 77 13.8 24
4. RG 74 17.4 26
5. GS 73 21.8 25
6. SR 71 15.9 23
7. RS 75 18.6 23
8. JA 74 10.7 22
9. AH 72 19.3 19
10. WP 75 11.5 26
11. PM 76
12.9
25
12. JLT 72 18.9
19
13. JS 73 19.5
21
14. MS 72 24.4
18
15. PS 76 26.4
19
16. SB 71 20.1
18
17. SH 74 19.6
20
18. BS 73 34.5
15
19. S 75 30.7
27 18
31 Berdasarkan data dari tabel diatas, dapat dihitung nilai r adalah -0,45
Dengan demikian didapatkan :
(( )
)
(( )
( ) ( ))
(
)
(
) (
) ( )
3.6 Persetujuan Setelah Penjelasan/ Inform Consent
Semua subjek penelitian telah mengisi persetujuan secara tertulis untuk ikut serta dalam penelitian dengan terlebih dahulu diberi penjelasan secara terperinci dan jelas.
3.7 Etika Penelitian
Penelitian ini telah mendapat persetujuan dari Komite Etik Penelitian di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.