• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Budidaya dan Usahatani Kopi Sistem Budidaya

Budidaya kopi yang dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Lampung Barat khsusnya di wilayah penelitian telah dilaksanakan secara turun menurun meskipun begitu sebagian masyarakat telah mengadopsi teknologi budidaya kopi. Secara lengkap budidaya kopi di wilayah penelitian tersaji pada Tabel 24.

Karakteristik wilayah untuk bertanam kopi di wilayah penelitian telah sesuai dengan prasyarat untuk tumbuh tanaman kopi khusunya robusta dari segi ketinggian, curah hujan yang cukup, dan suhu yang sedang serta pH tanah yang agak masam. Sebagai pembanding Ernawati et al. (2008) menjelaskan bahwa kopi robusta dapat ditanam di atas ketinggian 300-600 meter di atas permukaan laut (mdpl), suhu 24 - 30oC dengan curah hujan rata-rata 1.500-3.000 mm/th. Dan sebaiknya ditanam pada tanah dengan pH 5,5 - 6,5.

Varietas yang dikembangkan di daerah penelitian adalah kopi robusta. Jenis kopi ini lebih tahan penyakit dan lebih mudah dalam segi perawatan serta hasil yang diperoleh lebih banyak per pohonnya dibandingkan kopi arabika. Bibit robusta pada generasi awal dibeli dari daerah sekitar sedangkan berikutnya adalah pembibitan sendiri. Umur tanaman kopi di daerah penelitian berkisar 27 tahun yang merupakan usia cukup tua bagi tanaman kopi yang dikhawatirkan akan mempengaruhi produktivitas. Produktivitas rata-rata yang diperoleh petani adalah 1,5 ton per ha.

Perawatan tanaman kopi telah cukup dilakukan dengan baik oleh para petani seperti penyiangan dan pemupukan setahun dua kali. Dalam pengendalian hama seperti semut petani melakukan semprot namun untuk jamur yang menyerang tanaman kopi sampai saat ini petani belum menemukan pengendaliannya sehingga tanaman yang mati akibat serangan jamur ini dibongkar dan diganti tanaman baru.

Pengolahan kopi menjadi biji kopi menggunakan dua cara, pertama di kilang biasanya dilakukan untuk hasil kopi panen pertama, dengan alasan desakan ekonomi maka kopi dikilang sehingga membutuhkan waktu lebih singkat selama proses penjemuran sekitar setengah bulan dibandingkan dengan jemur glondongan. Cara kedua dengan menjemur kopi dalam bentuk glondongan dibawah sinar matahari, proses ini membutuhkan waktu relatif lama sekitar satu hingga satu setengah bulan namun kualitasnya jauh lebih baik dari pada dikilang terlebih dahulu.

Permodalan usahatani kopi di wilayah penelitian telah cukup baik karena sebagian besar responden telah mengatur keuangan hasil dari panen. Biasanya para petani menyisihkan sebagian uang untuk kemudian dibelanjakan pupuk dan obat- obatan sehingga saat dibutuhkan tidak lagi kesulitan. Sedangkan sebagian petani masih ada yang berhutang baik uang maupun pupuk dan obat-obatan kepada pedagang kopi maupun pedagang saprodi sehingga berdampak pada kesulitan dalam memasarkan kopinya.

Tenaga kerja yang terlibat dalam usahatani kopi meliputi tenaga kerja dalam keluarga dan luar keluarga. Sistem gotong royong masih terjadi di wilayah ini. Petani membentuk dalam kelompok-kelompok dan bergantian dalam mengerjakan usahataninya khusunya dalam penyiangan, apabila seorang petani membutuhkan

tenaga kerja maka kelompoknya akan membantu melakukan pekerjaan tersebut, selanjutnya bergantian dengan anggota kelompok yang lain.

Tabel 24. Budidaya kopi di wilayah penelitian

No Keterangan Aplikasi

1 Karakteristik Wilayah Ketinggian 600-900 m dpl, curah hujan 2500-3000

mm setahun, suhu 20-250C, pH 5,5-6,2

2 Bahan dan Penanaman

- Varietas Robusta

- sumber bibit Pembibitan sendiri

- populasi tanaman/ha 2400

- jarak tanam 2 x 2

- umur tanaman 27 tahun

- produktivitas 1,5 ton/ha

3 Perawatan

- penyulaman Sesudah panen / tanaman ada yang rusak atau mati/ bertahap

- penggemburan tanah 1 x/tahun atau saat pemupukan - penyiangan 3 kali semprot, 2 kali koret - pemangkasan Ranting 1 kali, tunas 1 kali/ bulan - perawatan jalan 2 x/ tahun atau saat penyiangan

4 Pemupukan

- intensitas 2 kali

- cara pemupukan Dilubangi dan ditabur

5 Pengendalian HPT

- jenis Jamur, semut

- cara pengendalian Kikis, semprot

6 Panen dan Pascapanen

- waktu panen Panen awal, panen raya (4 bulan: juni-oktober), panen buah selang (sisa)

- pengolahan Kilang atau dijemur glondongan

7 Permodalan 21,67 persen responden berhutang

8 Tenaga Kerja Dalam dan luar keluarga

Sumber: Data primer diolah (2013)

Produksi dan Produktivitas

Petani di wilayah penelitian rata-rata menanam tanaman kopi pada jarak 2x2 meter persegi. Luas lahan yang dimiliki petani berlahan sempit rata-rata adalah 0,6 ha dn rata-rata lahan yang dimiliki petani dengan luas lahan sedang adalah 1,5 ha. Sedangkan petani dengan kategori luas rata-rata penguasaan lahan adalah 3,6 ha. Secara lengkap, data mengenai karakteristik penguasaan lahan, tanaman dan hasil dapat dilihat pada Tabel 25.

Mengamati data pada tabel, produktivitas kopi yang diperoleh petani dengan lahan sedang lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas kopi pada lahan luas dan sempit. Meskipun demikian, produksi petani dengan kategori lahan luas dua kali

lebih banyak dibandingkan dengan yang berlahan sedang. Produktivitas yang dimiliki tanaman kopi pada lahan sempit juga lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman kopi yang ditanam pada lahan luas. Apabila dibandingkan antara umur rata- rata tanaman kopi pada masing-masing kategori tidak jauh berbeda. Tanaman pada tiga kategori berumur lebih dari 20 tahun yang merupakan usia yang tidak lagi produktif. Produktivitas yang dimiliki oleh para petani tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara Vietnam yang telah mencapai hasil 2,5 ton/ha (AEKI 2011).

Tabel 25. Rata-rata luas lahan, populasi, jarak tanam, umur, produksi, dan produktivitas tanaman kopi

Kategori Luas (ha) Populasi (batang) Jarak (m2) Umur (tahun) Produksi (ton) Produktivitas (ton/ha) 1. Sempit 0,6 1.333 2 x 2 28,4 0,9 1,4 2. Sedang 1,5 3.654 2 x 2 27,5 2,3 1,6 3. Luas 3,6 7.065 2 x 2 24,8 4,6 1,3

Sumber: Data primer diolah (2013)

Analisis Penerimaan Usahatani

Penerimaan usahatani kopi tiap responden bervariasi yang ditentukan berdasarkan hasil bersih produksi dikalikan harga yang diterima petani pada saat tertentu. Penerimaan usahatani berdasarkan kategori luas lahan adalah sebagai berikut:

Tabel 26. Rata-rata penerimaan usahatani kopi per hektar area berdasarkan kategori luas lahan

No Kategori Luas Lahan

Rata-Rata Luas Lahan (ha)

Rata-Rata Harga (Rp/kg) Penerimaan (Rp) 1. Sempit 0,6 16.333,- 26.616.666,67 2. Sedang 1,5 16.016,- 27.268.617,16 3. Luas 3,6 16.046,- 21.220.344,34

Sumber: Data primer diolah (2013)

Berdasarkan tabel di atas dapat diperoleh informasi bahwa rata-rata harga jual biji kopi yang diterima petani hampir sama yaitu pada kisaran Rp. 16.000,- per kilogramnya. Penerimaan usahatani per hektar area pada ketiga kategori luas lahan tidak berbeda signifikan antara petani berlahan sempit, sedang, dan yang berlahan luas. Meskipun begitu, petani yang menguasai lahan pada kategori sedang ternyata memperoleh penerimaan lebih tinggi dibandingkan dua kategori luas lahan lainnya. Sedangkan penerimaan terendah diperoleh oleh petani dengan kategori luas. Meskipun petani dengan kategeri lahan luas dengan rata-rata penguasaan lahan yang lebih luas dua kali yaitu 3,6 ha dibandingkan dengan kategori lahan sedang yaitu 1,5 ha namun penerimaannya lebih rendah diantara semua kategori luas lahan. Hal ini

salah satunya disebabkan oleh tingkat produktivitas yang dimiliki petani dengan lahan luas paling rendah di antara yang lain yaitu 1,3 ton/ha, dibandingkan dengan produktivitas pada kategori lahan sedang yang mencapai 1,6 ha.

Biaya Usahatani

Biaya usahatani merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan selama satu musim tanam yang meliputi biaya-biaya variabel dan biaya tetap. Biaya yang dikeluarkan dalam usahatani kopi pada umumnya meliputi biaya pupuk, obat-obatan, tenaga kerja, penyusutan alat, ongkos giling, dan pajak. Biaya tenaga kerja yang diperhitungkan dalam penelitian ini hanya tenaga kerja luar keluarga, sedangkan tenaga kerja dalam keluarga serta tenaga kerja dengan sistem gotong royong tidak diperhitungkan. Demikian pula dengan sewa lahan tidak turut diperhitungkan dalam biaya usahatani. Secara rinci mengenai biaya usahtani berdasarkan kategori luas lahan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 27. Rata-rata biaya usahatani kopi per hektar area berdasarkan kategori luas lahan

No Biaya Usahatani

Lahan Sempit Lahan Sedang Lahan Luas

Nilai (Rp) Persen (%) Nilai (Rp) Persen (%) Nilai (Rp) Persen (%) 1 Pupuk 3.960.000,00 44,78 1.503.254,90 17,92 1.268.169,57 17,69 2 Obat-Obatan 48.666,67 0,55 112.838,24 1,34 107.468,28 1,50 3 Tenaga Kerja* 681.111,11 7,70 2.239.166,66 26,69 2.259.759,41 31,53 4 Pajak 19.555,56 0,22 36.267,16 0,43 15.845,60 0,22 5 Penyusutan Alat 551.277,89 6,23 434.773,53 5,18 266.629,58 3,72 6 Ongkos Giling 3.583.333,33 40,52 4.063.357,84 48,43 3.250.202,92 45,34 Jumlah 8.843.944,56 100,00 8.389.658,32 100,00 7.168.075,36 100,00

Sumber: Data primer diolah (2013)

*Tenaga kerja dalam keluarga serta tenaga kerja dengan sistem gotong royong tidak diperhitungkan

Biaya usahatani kopi per hektar area tertinggi yang dikeluarkan pada lahan sempit adalah biaya pupuk sebesar 44,78%, kemudian adalah ongkos penggilingan 40,52%. Pada kategori lahan sedang dan lahan luas biaya usahatani tertinggi untuk ongkos memecah kulit biji kopi yaitu masing-masing adalah 48,43% dan 45,34%. Kemudian pengeluaran biaya terbesar untuk biaya tenaga kerja sebesar 26,69% dan 31,53%. Pengeluaran terendah pada semua kategori luas lahan adalah untuk biaya pajak lahan.

Pada data juga diperoleh informasi pada kategori lahan sempit petani mengeluarkan biaya usahatani terbesar untuk pupuk karena petani ingin meningkatkan produktivitas hasil yang tinggi dengan keterbatasan lahan. Sedangkan bagi petani dengan kategori lahan sedang dan luas pengeluaran untuk tenaga kerja lebih tinggi dibandingkan dengan biaya untuk pupuk. Pada kategori ini usahatani mengandalkan tenaga kerja dari luar keluarga khususnya dalam pemupukan, penyiangan, panen dan pengangkutan hasil panen. Sedangkan pada lahan sempit tenaga kerja dominan menggunakan tenaga kerja dalam keluarga.

Ongkos penggilingan pada tiga kategori lahan menghabiskan biaya lebih dari 40% total biaya usahatani. Biaya yang tinggi harus dikeluarkan oleh petani untuk

melepaskan kulit kopi yang sulit dilakukan secara manual jika dalam jumlah banyak. Ongkos penggilingan yang harus dikeluarkan petani kopi pada kisaran Rp. 35.000,- hingga Rp. 40.000,- per kwintal.

Biaya yang dikeluarkan petani pada masing-masing kategori lahan akan berdampak terhadap besaran pendapatan bersihnya. Namun jika biaya yang dikeluarkan sesuai dengan hasil yang diperoleh maka tentunya petani tidak akan mengalami kerugian dalam usahataninya.

Pendapatan Usahatani Kopi

Setelah diketahui penerimaan dan biaya-biaya yang dikeluarkan selama satu tahun, selanjutnya dilakukan analisis usahatani kopi di wilayah penelitian dengan melihat selisih antara penerimaan dengan biaya-biaya usahatani sehingga diperoleh rata-rata pendapatan yang diterima responden selama satu musim panen. Untuk melihat secara rinci mengenai biaya, penerimaan, dan pendapatan responden dari usahatani kopi di wilayah penelitian berdasarkan kategori luas lahan, maka diperoleh sebagai berikut:

Tabel 28. Rata-rata pendapatan usahatani kopi per hektar area berdasarkan kategori luas lahan

No. Kategori

Lahan Penerimaan Biaya Pendapatan R/C B/C 1. Sempit 26.616.666,67 8.843.944,56 17.772.722,11 3,01 2,01 2. Sedang 27.268.617,16 8.389.658,32 18.878.958,84 3,25 2,25 3. Luas 21.220.344,34 7.168.075,36 14.052.268,98 2,96 1,96

Sumber: Data primer diolah (2013)

Berdasarkan informasi dari tabel di atas, biaya yang dikeluarkan dalam usahatani kopi sekitar 30% dari penerimaan yang diperoleh pada masing-masing kategori penguasaan lahan. Namun karena penerimaan yang diterima petani lebih besar dari biaya yang dikeluarkan selama satu musim maka pendapatan yang diperoleh bernilai positif.

Pendapatan yang diterima antara masing-masing kategori luas lahan per hektar area tidak berbeda cukup signifikan. Meskipun demikian, dari perhitungan penerimaan dikurangi dengan biaya-biaya maka diperoleh bahwa pendapatan terendah ada pada kategori lahan luas, sedangkan pendapatan tertinggi diperoleh pada kategori lahan sedang.

Pendapatan yang diterima oleh petani bernilai positif juga berarti bahwa berusaha tani tanaman perkebunan khususnya kopi menguntungkan. Usaha tani kopi di daerah penelitian menguntungkan atau tidak juga dapat dilihat dari nilai R/C, yaitu perbandingan antara penerimaan penjualan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan. Nilai R/C yang diperoleh pada setiap kategori luas lahan lebih besar dari 1 yang berarti usaha kopi di wilayah penelitian menguntungkan dan layak dikembangkan.

Kemudian, untuk melihat apakah usahatani kopi di wilayah penelitian memberikan manfaat pada perekonomian wilayah digunakan analisis B/C ratio. Nilai B/C ratio usahatani kopi rakyat di wilayah penelitian Kabupaten Lampung Barat untuk semua kategori luas lahan bernilai positif atau > 1. Nilai ini menunjukkan

bahwa manfaat yang diperoleh dari usaha tani kopi rakyat ini lebih tinggi dibandingkan biaya yang dikeluarkan, meskipun untuk petani berlahan sempit nilai B/C rationya lebih kecil dibandingkan yang lain. Oleh karena itu kopi rakyat dapat terus dikembangkan di daerah tersebut sebagai sumber pendapatan rumah tangga petani.

Struktur Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga Petani Struktur Pendapatan Rumah Tangga Petani

Struktur pendapatan rumah tangga petani menunjukkan sumber-sumber pendapatan utama keluarga petani dari sektor mana saja dan seberapa besar kontribusinya dapat membentuk besaran total pendapatan keluarga petani (Sadikin dan Subagyono 2009). Pendapatan total rumah tangga petani biasanya terdiri tidak hanya dari satu sumber saja melainkan dari berbagai sumber, yang apabila dikelompokan ada tiga sumber utama yaitu dari on-farm, non-farm dan off-farm. Penelitian ini akan menganalisis sumber utama pendapatan total rumah tangga petani yaitu yang berasal dari usahatani kopi (on farm kopi), usaha tani selain kopi (on farm non kopi), dan pendapatan selain dari usahatani (non farm dan off farm). Struktur pendapatan rumah tangga petani kopi dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Struktur pendapatan rumah tangga petani kopi

Usahatani kopi (on farm kopi) secara rata-rata menyumbangkan pendapatan tertinggi terhadap total pendapatan rumah tangga petani kopi di wilayah penelitian yaitu sebesar Rp. 32.758.298,88 dengan pendapatan tertinggi yang diterima responden mencapai Rp. 123.224.000,00. Kemudian pendapatan dari usahatani selain kopi (on farm non kopi) di antaranya lada, pisang, cengkeh, cabai hingga ternak rata-rata adalah Rp. 10.330.290,00 dan mencapai pendapatan tertinggi hingga Rp. 73.000.000,- per tahunnya. Pendapatan tinggi dari usahatani lainnya biasanya diperoleh dari hasil lada yang ditanam selang di antara tanaman kopi dimana per kilogramnya mencapai Rp. 50.000,-. Meskipun begitu lada tidak menjadi pilihan

utama petani di sana karena rentan penyakit dan membutuhkan perawatan yang lebih intensif.

Sumber pendapatan rumah tangga petani kopi yang berasal dari off farm rata- rata adalah Rp. 298.666,67 dan non farm Rp. 7.532.850,00. Pendapatan dari sektor ini ada yang berasal dari pendapatan anggota keluarga lainnya yaitu istri dan anak. Selanjutnya dilakukan analisis pangsa pendapatan sektor pertanian untuk melihat pangsa pendapatan dari masing-masing sumber pendapatan dengan sehingga diperoleh hasil seperti yang tertera pada Tabel 29.

Tabel 29. Pangsa masing-masing sumber pendapatan dan rata-rata pendapatan petani kopi dari on farm kopi, on farm non kopi, non farm, dan off farm

No. Pendapatan Rumah Tangga Nilai (Rp) Persentase (%) 1. On farm kopi 32.758.298,88 64,33

2. On farm non kopi 10.330.290,00 20,29

3. Off farm 298.666,67 0,59

4. Non farm 7.532.850,00 14,79

Jumlah 50.920.105,55 100

Sumber: Data primer diolah (2013)

Dari tabel di atas dapat diperoleh informasi bahwa hasil dari usahatani kopi (on farm kopi ) menyumbang pendapatan tertinggi terhadap pendapatan total rumah tangga yaitu sebesar 64,33%, sedangkan sumbangan pendapatan terkecil berasal dari off farm yaitu 0,59% dari pendapatan total rumah tangga. Data ini menunjukkan bahwa di wilayah penelitian kopi masih merupakan sumber utama mata pencaharian masyarakatnya. Apabila dibandingkan dengan persentase sumbangan kopi, persentase sumbangan dari sektor off farm terhadap pendapatan total rumah tangga termasuk sangat rendah. Fenomena ini karena sebagian besar responden memiliki kecenderungan untuk fokus mengurus dan mengharapkan hasil dari pertanian kopi dan memperoleh tambahan dari on farm non kopi dan non farm. Gambaran mengenai pangsa pendapatan petani kopi di wilayah penelitian dapat dilihat pada Gambar 8.

Pangsa pendapatan rumah tangga petani terbesar diperoleh dari hasil kopi karena merupakan pekerjaan utama masyarakat di sana. Meskipun sektor lain on farm non kopi seperti pisang yang saat ini mulai dikembangkan petani setempat memberikan sumbangan pendapatan yang tidak terlalu signfikan namun sangat membantu dalam memenuhi kebutuhan harian petani karena dapat dipanen setiap bulannya, bandingkan dengan hasil yang diperoleh dari kopi hanya dapat dinikmati setahun sekali. Kebutuhan harian petani kopi juga ditunjang dengan pendapatan dari sektor non farm, diantaranya menjadi guru dan pedagang. Sektor off farm sebagai salah satu sektor yang diharapkan dapat menambah penghasilan rumah tangga ternyata belum dapat memberikan sumbangan yang besar terhadap total pendapatan rumah tangga karena keterbatasan lapangan kerja pada sektor ini, selain itu petani kopi hanya bisa bekerja upahan dengan bayaran rendah yaitu Rp. 30.000,- dengan frekuensi waktu terbatas.

Gambar 8. Pangsa pendapatan rumah tangga petani kopi

Pendapatan rumah tangga petani kopi jika dibedakan berdasarkan luas lahan juga terlihat bahwa kopi tetap merupakan sumber pendapatan utama. Tabel 30 memperlihatkan secara rinci sumber pendapatan rumah tangga petani kopi berdasarkan kategori luas lahan.

Tabel 30. Struktur pendapatan rumah tangga petani kopi berdasarkan kategori luas lahan

No Pendapatan

Rumah Tangga Lahan Sempit %

Lahan

Sedang %

Lahan

Luas %

1 On farm kopi 10.571.972,17 62,53 26.410.040,21 60,07 50.206.236,65 68,82 2 On farm non kopi 2.634.066,67 15,58 7.250.470,59 16,49 17.874.850,00 24,50

3 Off farm 200.000,00 1,18 305.882,35 0,70 316.000,00 0,43

4 Non Farm 3.500.000,00 20,70 9.996.205,88 22,74 4.555.000,00 6,24

Total 16.906.038,83 100,00 43.962.599,03 100,00 72.952.086,65 100,00

Sumber: Data primer diolah (2013)

Petani berlahan sempit dan sedang mengandalkan sektor non farm sebagai sumber pendapatan tambahan karena dengan keterbatasan lahan tersebut sulit untuk petani berusahatani selain kopi. Sehingga alternatif pekerjaan yang dapat dilakukan adalah bekerja pada sektor yang tidak terkait dengan pertanian, seperti montir, guru, supir, dan pedagang. Sedangkan petani dengan penguasaan lahan yang luas sektor on farm non kopi merupakan salah sumber pendapatan yang tinggi selain kopi, dengan luasnya lahan maka petani dapat memanfaatkan lahan yang ada untuk bertanam tanaman lain seperti tanaman perkebunan dan hortikultura. Gambaran mengenai pangsa pendapatan rumah tangga pada lahan sempit, sedang, dan luas tersaji pada Gambar 9, Gambar 10, dan Gambar 11.

Gambar 9. Pangsa pendapatan rumah tangga petani kopi lahan sempit

Gambar 9 memperlihatkan bahwa pada petani dengan penguasaan lahan sempit, pangsa pendapatan terbesar kedua setelah kopi adalah sektor non farm yaitu sebesar 30% dari total pendapatan rumah tangga. Sedangkan pangsa pendapatan terendah atau sekitar 1% adalah sektor off farm. Pada sektor ini pekerjaan yang dilakukan adalah sebagai tenaga upahan dengan penghasilan rendah.

Gambar 10. Pangsa pendapatan rumah tangga petani kopi lahan sedang

Pangsa pendapatan rumah tangga petani kopi yang memiliki lahan sedang tidak berbeda jauh dengan petani kopi dengan lahan sempit. Sektor non farm merupakan sumber altenatif pendapatan terbesar setelah kopi yaitu 23% dari keseluruhan pendapatan rumah tangga. Alternatif pekerjaan yang dilakukan oleh petani dengan penguasaan lahan sedang adalah dengan berdagang seperti warung dan hasil bumi.

Gambar 11. Pangsa pendapatan rumah tangga petani kopi lahan luas

Pada gambar 10 dapat dilihat bahwa kopi merupakan sumber pendapatan yang paling besar yaitu 69% dari total pendapatan rumah tangga. Hal ini wajar karena luas lahan yang dimiliki dioptimalkan dalam penanaman kopi. Selain itu, sumber pendapatan lainnya diperoleh dari sektor on farmnon kopi yang mencapai 25% dari total pedapatan rumah tangga petani.

Jika diamati, pangsa pendapatan petani kopi ini pada umumnya mirip dengan pangsa pendapatan petani perkebunan lainnya salah satunya petani kakao seperti dalam penelitian Charisma dan Sudrajat (2013) bahwa pendapatan usahatani kakao memberikan sumbangan lebih besar dibanding dengan pendapatan usahatani non kakao dan pendapatan diluar pertanian. Pendapatan usahatani non kakao dan pendapatan diluar pertanian juga memberikan sumbangan walaupun tidak besar dan tidak mendominasi, namun secara keseluruhan pendapatan dari sektor ini cukup memiliki peranan yang sangat penting untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari petani terutama pada petani dengan lahan sempit.

Struktur Pengeluaran Rumah Tangga Petani

Pengeluaran rumah tangga petani kopi di wilayah penelitian diklasifikasikan dalam tiga saluran yaitu pengeluaran primer, sekunder, dan tersier. Pengeluaran primer mencakup kebutuhan sandang diantaranya untuk konsumsi beras, sayur, lauk pauk, minyak, dan gas. Kebutuhan sekunder meliputi biaya pendidikan, transportasi, bahan bakar minyak, air, dan listrik. Sedangkan kebutuhan tersier mencakup pembelian kendaraan bermotor, peralatan rumah tangga, emas, dan wisata. Selanjutnya dilakukan analisis pangsa pengeluaran sektor pertanian untuk melihat pangsa pengeluaran dari masing-masing saluran pengeluaran sehingga diperoleh hasil seperti yang tertera pada Tabel 31.

Tabel 31. Rata-rata pengeluaran per tahun dan pangsa pengeluaran rumah tangga petani kopi No. Pengeluaran Rumah Tangga Nilai (Rp) Persentase (%) 1. Primer 11.682.528,33 37,48 2. Sekunder 9.680.133,33 31,06 3. Tersier 9.806.500,00 31,46 Total 31.169.161,67 100

Sumber: Data primer diolah (2013)

Rata-rata pengeluaran total pada rumah tangga petani kopi yang menjadi responden adalah Rp. 31.169.161,67,-. Pangsa pengeluaran untuk konsumsi kebutuhan primer (pangan) sebesar 37,48% dari rata-rata pengeluaran total rumah tangga. Pangsa pengeluaran untuk kebutuhan non pangan yaitu sekunder dan tersier masing-masing adalah 31,06% dan 31,46%. Berdasarkan data tersebut diperoleh gambaran bahwa rata-rata responden memiliki kebutuhan yang merata baik primer, sekunder, maupun tersier. Pangsa pengeluaran rumah tangga dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Pangsa pengeluaran rumah tangga petani kopi

Pangsa pengeluaran kebutuhan primer dalam rumah tangga petani kopi masih lebih dominan dibandingkan yang lain.Tingginya nilai pengeluaran primer pada gambar menggambarkan bahwa petani kopi masih terkonsentrasi dalam memenuhi kebutuhan dasar, ini mengindikasikan bahwa petani kopi di wilayah penelitian masih merupakan petani subsisten. Selanjutnya, untuk melihat secara rinci pengeluaran rumah tangga petani kopi bedasarkan kategori luas lahan dapat diamati pada Tabel 32.

Tabel 32. Rata-rata pengeluaran rumah tangga per tahun petani kopi berdasarkan kategori luas lahan

No Pengeluaran Rumah Tangga Lahan Sempit (Rp) % Lahan Sedang (Rp) % Lahan Luas (Rp) % 1 Primer 8.489.833,33 38,16 11.715.623,53 41,07 12.584.075,00 32,82 2 Sekunder 7.422.333,33 33,37 9.819.323,53 34,43 10.120.850,00 26,39 3 Tersier 6.333.333,33 28,47 6.988.088,24 24,50 15.639.750,00 40,79 Jumlah 22.245.500,00 100,00 28.523.035,29 100,00 38.344.675,00 100,00

Sumber: Data primer diolah (2013)

Dari tabel terlihat bahwa petani berlahan sempit dan sedang memiliki kesamaan dalam hal pengeluaran dimana pengeluaran primer tertinggi dibandingkan yang lain. Untuk lebih jelasnya mengenai gambaran mengenai pangsa pendapatan rumah tangga dengan lahan sempit, sedang, dan luas tersaji pada Gambar 13.

Dokumen terkait