• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Ekonomi Kopi Rakyat dan Peranannya Terhadap Perekonomian Wilayah Kabupaten Lampung Barat Provinsi Lampung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Ekonomi Kopi Rakyat dan Peranannya Terhadap Perekonomian Wilayah Kabupaten Lampung Barat Provinsi Lampung"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

LAMPUNG BARAT PROVINSI LAMPUNG

LINA MARLINA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Ekonomi Kopi Rakyat dan Peranannya Terhadap Perekonomian Wilayah Kabupaten Lampung Barat Provinsi Lampung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2014

(3)

Perekonomian Wilayah Kabupaten Lampung Barat Provinsi Lampung.Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN and YETI LIS PURNAMADEWI

Harga kopi yang diterima petani kopi di Provinsi Lampung khususnya Kabupaten Lampung Barat sangat kecil jika dibandingkan dengan harga eceran di negara pengimpor utama. Rendahnya harga yang diterima petani diduga karena panjangnya rantai komoditas pemasaran komoditas kopi dan struktur pasar yang tidak kompetitif. Periode waktu yang relatif lama bagi komoditas perkebunan untuk memperoleh hasil menyebabkan petani harus mencari alternatif pendapatan di luar usaha tani kopi diantaranya dari sektor non pertanian. Kopi merupakan komoditas penting di Kabupaten Lampung Barat karena selain merupakan salah satu sentra produksi kopi sehingga kopi merupakan salah satu komoditi unggulan daerah, juga karena usahatani kopi merupakan perkebunan rakyat dengan skala usaha yang relatif kecil. Dengan demikian, pembangunan komoditas kopi tidak hanya sebagai penopang perekonomian daerah, tetapi juga turut membangun perekonomian atau kesejahateraan rakyat.

Penelitian ini memiliki tiga tujuan utama sebagai berikut: (1) menganalisis tataniaga komoditas kopi di Kabupaten Lampung Barat; (2) mengkaji dan menganalisis sumbangan ekonomi kopi terhadap rumah tangga petani kopi di Kabupaten Lampung Barat; (3) menilai dan mengkaji peran sektor perkebunan kopi rakyat dalam mendukung perekonomian Kabupaten Lampung Barat.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni hingga Juli 2013 yang berlokasi di Kabupaten Lampung Barat Provinsi Lampung. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa daerah ini merupakan sentra penghasil kopi terbesar di Provinsi Lampung. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Penelitian ini dilakukan dengan metode survei, sehingga ditentukan sampel yang representatif terhadap populasi target. Adapun responden dalam penelitian ini adalah kepala keluarga yang bekerja sebagai petani kopi dan pedagang yang terlibat dalam pemasaran kopi, dan Kelompok Wanita Tani (KWT). Analisis yang digunakan dalam penelitian ini meliputi analisis pendapatan usahatani, analisis pendapatan dan pengeluaran rumah tangga petani, analisis pemasaran, dan analisis kewilayahan.

(4)

yang tidak kompetitif, yaitu oligopsoni menyebabkan petani lebih sebagai price taker.

Semua strata rumah tangga, baik rumah tangga petani berlahan sempit, sedang maupun luas memiliki pola nafkah ganda dan usahatani kopi memberikan peranan penting dalam ekonomi rumah tangga mereka. Pendapatan usahatani kopi menyumbang lebih dari 60% terhadap total pendapatan rumah tangga dan sumbangan terbesar terjadi pada rumah tangga petani luas. Petani berlahan sempit dan sedang mengandalkan sektor non farm sebagai sumber pendapatan tambahan karena dengan keterbatasan lahan tersebut sulit untuk petani berusahatani selain kopi sehingga alternatif pekerjaan yang dapat dilakukan adalah bekerja pada sektor yang tidak terkait dengan pertanian. Sedangkan petani dengan penguasaan lahan yang luas, sektor on farm non kopi merupakan salah sumber pendapatan yang tinggi selain kopi.

Ditinjau dari tingkat pendapatan rumah tangga, berdasarkan kategori Bank Dunia serta kemampuannya dalam melakukan investasi, rumah tangga petani berlahan sempit tergolong kurang sejahtera sedangkan rumah tangga petani berlahan sedang dan luas tergolong sejahtera. Namun demikian, ditinjau dari tingkat pengeluaran rumah tangga, hanya petani berlahan luas yang relatif sejahtera. Pada rumah tangga petani berlahan sempit dan sedang pengeluaran masih terkonsentrasi untuk memenuhi kebutuhan dasar, sedangkan pada rumah tangga petani berlahan luas pengeluaran tertinggi adalah untuk pemenuhan kebutuhan tersier.

Ditinjau dari beberapa indikator, komoditas kopi mempunyai peranan penting dalam perekonomian wilayah. Sektor perkebunan kopi di Lampung Barat merupakan sektor basis (memiliki daya saing) dan komoditas yang maju, serta mempunyai kontribusi yang besar terhadap nilai PDRB dan penyerapan tenaga kerja, serta adanya potensi tambahan pendapatan dari hasil kopi sebesar Rp. 2.908.425.000.000,- jika diolah di wilayah Kabupaten Lampung Barat, ini menunjukkan terjadinya kebocoran wilayah.

Temuan di atas menunjukkan bahwa komoditas kopi merupakan sektor basis di Kabupaten Lampung Barat serta mempunyai peranan besar dalam ekonomi rumah tangga petani kopi, maka komoditas tersebut dapat diandalkan untuk memacu pertumbuhan ekonomi regional serta rumah tangga. Untuk dapat meningkatan peranannya tersebut maka peningkatan produktivitas dan mengefisienkan tataniaga kopi menjadi utama. Dalam hal ini pemerintah harus mendorong dan memfasilitasi masyarakat petani untuk melakukan peremajaan tanaman, memperbaiki teknik budidaya dan pasca panen serta mendorong berkembanganya industri pengolahan kopi yang berdayasaing yang mampu meningkatkan nilai tambah kopi. Disamping itu dalam mengefisienkan pemasaran juga diperlukan peran kelembagaan seperti kelompok/koperasi agar petani mampu meningkatkan bargaining position, economic of scale serta untuk dapat memotong jalur pemasaran.

(5)

to Regional Economic of West Lampung Regency The Province of Lampung. Supervisor by ARYA HADI DHARMAWAN and YETI LIS PURNAMADEWI

The coffee prices received by coffee farmers in Lampung Province, especially in West Lampung Regency, are very small when compared to retail prices in major importing countries. The low prices received by farmers are caused by the extensive coffee commodity marketing chain length and the uncompetitive structure of the coffee commodity market. A relatively long period of the commodities in obtaining the result leads the farmers to look for alternative income, outside of coffee farming, from non-agricultural sector. Coffee is an important commodity in West Lampung Regency because besides this regency is being a center of coffee production so that coffee is one of the leading regional commodity, a coffee farming is smallholders plantation with relatively small-scale businesses. Thus, the development of the coffee commodity is not only as regional economic supporter, but also builds the economy or the people’s welfare.

This study has three main objectives as follows: (1) analyzing the commodity value chains in West Lampung Regency; (2) reviewing and analyzing the economic contribution to the household of coffee farmers in West Lampung Regency; (3) assessing and examining the role of coffee plantations sector in supporting the economy of West Lampung Regency.

The Research carried out in June and July 2013 was located in West Lampung Regency, Lampung Province. The choice of location research is intentional (purposeful) with the consideration that this area is the largest and the central coffee producer in Lampung Province. The type of data used in this study are primary data and secondary data. The main of this study is done by a survey method, to determine a representative sample of the target population in obtaining the desired data. The respondents of this study were family heads who work as coffee farmers and traders involved in the marketing of coffee, and a cluster of Women Farmers (KWT). The analysis used in this study involves the analysis of farm income, household income, production of farmers, marketing analysis, and regionalism analysis.

(6)

double living pattern with coffee farming is as an important role in their households economic. Coffee farming income contributes more than 60% of total household income. The greatest contribution is occured to the households that have wide coffee field. The farmers with small and middle field are relying on the non farm sector as a source of additional income because the limitations of the land leads difficulty to the coffee farmers to plant other farming excluded coffee farming, so that, the alternative work to do by the coffee farmer is working on a sector that is not related to agriculture. While for the farmers with large land tenure, the non-coffe on farm sector is a high source of income besides coffee.

Reviewed from the level of household income, based on the category of the World Bank and its ability to invest, the farmer households with small scale field area are classified as less prosperous, while the farmer households with middle scale and wide scale field area are relatively prosperous. However, in terms of the level of household expenditure, only wide scale field owners are relatively prosperous. The expenses in farmer housholds with small and middle scale field are still concentrated to meet basic needs, while the highest expenses in wide scale field owner farmer households are spent for tertiary fulfillment.

Reviewed from some indicators, coffee commodity has an important role in regional economic. Coffee plantation in West Lampung is a sector basis (competitive) and commodities advanced, having greatly contributed to the value of GDP and employment, and indicating the additional income from coffee in amount of Rp. 2.908.425.000.000,- if the coffee is processed in West Lampung Regency region. This show a regional leakages.

The above findings show that coffee is a commodity basis sector of West Lampung Regency as well as having a major role in the household economy of coffee farmers, then the commodity can be relied on to stimulate regional economic growth and household. In order to increase the role of commodity cofee, the increasing of productivity and the efficiency of business administration are the priority. In this respect, the government have to encourage and facilitate the farmers to do replanting, improve cultivation and post-harvest techniques, and encourage the growth of competitive coffee processing industry that is able to increase the value-added coffee. Besides, the role of institutional, i.e., groups or cooperations, is necessary for marketing efficiency, in order farmers are able to improve their bargaining position, economies of scale, and to cut marketing channels.

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)

LAMPUNG BARAT PROVINSI LAMPUNG

LINA MARLINA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

Nama : Lina Marlina NRP : H152110091

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Arya Hadi Dharmawan, MScAgr Dr Ir Yeti Lis Purnamadewi, MScAgr Ketua Anggota

Diketahui Oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(11)

Bismillahirrahmannirrahim. Alhamdulillahi Rabbil’alamin atas rahmat dan kasih sayangNya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Analisis Ekonomi Kopi Rakyat dan Peranannya Terhadap Perekonomian Kabupaten Lampung Barat Provinsi Lampung dapat diselesaikan salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister sains di Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada komisi pembimbing: Dr Ir Arya Hadi Dharmawan, MScAgr dan Dr Ir Yeti Lis Purnamadewi, MScAgr atas bimbingan, saran dan kritiknya dalam pembuatan tesis.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS selaku ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD), Dr Ir Eka Intan Kumala Putri, MSc selaku sekretaris Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD), serta Dr Amzul Rifin SP, MA sebagai penguji pada ujian tesis yang telah memberikan masukan bagi kelengkapan penulisan tesis ini.

Terima kasih kepada Rektor Universitas Lampung dan Dekan Fakultas pertanian yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk melanjutkan sekolah pada jenjang pascasarjana di Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih pula kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Barat, Kecamatan Gedung Surian, Kepala Pekon dan masyarakat Puramekar dan Trimulyo yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini, Dinas Perkebunan Kabupaten Lampung Barat dan Provinsi Lampung.

Ucapan terima kasih tak terhingga kepada orangtua tercinta Dra Cut Rohani, MPd dan Dr Sultan Djasmi, MPd atas kasih sayang, nafkah, motivasi, dan doa untuk penulis. Terima kasih yang luar biasa juga kepada suami tercinta Ujang Efendi, MPdI atas doa, cinta, dan pengorbanannya dan anak tersayang Muhammad Zayan Fariz Arkan Efendi sebagai sumber inspirasi. Terima kasih juga kepada kakak-kakak, adik-adik, dan keponakan atas dukungannya.

Kepada pengajar, staf, dan teman-teman S2 dan S3 PWD, terima kasih atas kebersamaannya selama kegiatan perkuliahan, serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Penulis sadar bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karenanya saran dan kritik sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa mendatang. Akhir kata, penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Juni 2014

(12)

DAFTAR TABEL

Saluran Pemasaran, Fungsi Pemasaran dan Efisiensi Pemasaran Saluran Pemasaran

Jenis, Sumber dan Metode Pengumpulan Data Definisi Operasional

Metode Pengambilan Sampel Metode Analisis Data

Analisis Pendapatan Usahatani

(13)

6 ANALISIS PEMASARAN KOPI

Analisis Saluran dan Fungsi Pemasaran Kopi Analisis Efisiensi Pemasaran Kopi

Analisis Struktur Pasar

7 ANALISIS EKONOMI KOPI RAKYAT Analisis Budidaya dan Usahatani Kopi

Struktur Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga Petani 8 PERANAN KOPI RAKYAT DALAM PEREKONOMIAN

WILAYAH

Kontribusi Kopi dalam Pendapatan Domestik Regional Bruto Peranan Kopi Rakyat dalam Penyerapan Tenaga Kerja

Analisis Potensi Pertumbuhan Sub Sektor Perkebunan dan Produksi Komoditas Kopi

Efek Dampak Balik (Backwash Effect) dan Kontribusi Kopi terhadap Ekonomi Kawasan

9 SIMPULAN, SARAN, DAN KONSEPTUALITAS GAGASAN DAFTAR PUSTAKA

1. Volume ekspor komoditi kopi Provinsi Lampung tahun 2007-2011 2. Luas areal dan produksi tanaman kopi rakyat menurut kabupaten/kota di

Provinsi Lampung tahun 2007-2011 3. Bentuk-bentuk pasar

4. Jenis dan sumber pengambilan data 5. Sistematika prosedur pengambilan sampel

6. Penggunaan lahan kering di Kabupaten Lampung Barat tahun 2008 7. Luas, produksi, dan produktivitas kopi di Kabupaten Lampung Barat

tahun 2012

8. Jumlah penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan usaha di Kabupaten Lampung Barat tahun 2012

9. Kepadatan penduduk per kecamatan di Kabupaten Lampung Barat tahun 2012

10. Jumlah murid dan guru di Kabupaten Lampung Barat tahun 2012 11. Fasilitas pendidikan di Kabupaten Lampung Barat tahun 2012

12. Data penyebaran kelompok tani per kecamatan di Kabupaten Lampung Barat tahun 2012

(14)

15. Pengalaman berusahatani kopi

16. Sebaran jumlah anggota keluarga responden 17. Pekerjaan responden pada sektor non pertanian 18. Penguasaan lahan

19. Umur tanaman kopi responden

20. Fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan oleh lembaga pemasaran kopi 21. Biaya pemasaran setiap lembaga pemasaran kopi

22. Nilai marjin pemasaran kopi pada setiap jalur pemasaran kopi 23. Share biaya dan keuntungan lembaga pemasaran kopi 24. Budidaya kopi di wilayah penelitian

25. Luas lahan, populasi, jarak tanam, umur, produksi dan produktivitas 26. Rata-rata penerimaan usahatani kopi per hektar area berdasarkan

kategori luas lahan

27. Rata-rata biaya usahatani kopi per hektar area berdasarkan kategori luas lahan

28. Rata-rata pendapatan usahatani kopi per hektar area berdasarkan kategori luas lahan

29. Pangsa masing-masing sumber pendapatan dan rata-rata pendapatan petani kopi dari on farm kopi, on farm non kopi, non farm, dan off farm

30. Struktur pendapatan rumah tangga petani kopi berdasarkan kategori luas lahan

31. Rata-rata pengeluaran per tahun dan pangsa pengeluaran rumah tangga petani kopi

32. Rata-rata pengeluaran rumah tangga per tahun petani kopi berdasarkan kategori luas lahan

33. Rata-rata pendapatan bersih rumah tangga petani kopi

34. Rata-rata pendapatan bersih per tahun petani kopi berdasarkan kategori luas lahan

35. Rata-rata nilai pendapatan bersih petani kopi

36. Perbandingan pendapatan per kapita petani dengan garis kemiskinan BPS dan bank Dunia berdasarkan kategori lahan

37. Rata-rata nilai investasi berdasarkan kategori lahan

38. PDRB atas dasar harga konstan 2000 menurut lapangan usaha di Kabupaten Lampung Barat tahun 2007-2011 (juta rupiah)

39. Luas areal dan produksi tanaman perkebunan di Kabupaten Lampung Barat tahun 2007-2011

40. Karakteristik penduduk, jumlah, dan persentase di Kabupaten Lampung Barat tahun 2011

41. Jumlah petani kopi di Kabupaten Lampung Barat tahun 2009-2011 42. Analisis shift-share sektor perkebunan dan komoditas kopi

(15)

44. Analisis pertumbuhan produksi sub sektor perkebunan

45. Hasil perhitungan LQ dan IS berdasarkan sektor perekonomian dan subsektor perkebunan di Kabupaten Lampung Barat tahun 2011 46.Rincian perhitungan nilai ekonomi (economic value) kopi

88 89

91

DAFTAR GAMBAR

1. Skema pemasaran kopi secara modern 2. Skema pemasaran kopi secara tradisional 3. Kurva konsumsi pendapatan

4. Kerangka penelitian

5. Saluran pemasaran kopi di wilayah penelitian 6. Pelaku perdagangan kopi

7. Struktur pendapatan rumah tangga petani kopi 8. Pangsa pendapatan rumah tangga petani kopi

9. Pangsa pendapatan rumah tangga petani kopi lahan sempit 10.Pangsa pendapatan rumah tangga petani kopi lahan sedang 11.Pangsa pendapatan rumah tangga petani kopi lahan luas 12.Pangsa pengeluaran rumah tangga petani kopi

13.Pangsa pengeluaran rumah tangga petani kopi lahan sempit 14.Pangsa pengeluaran rumah tangga petani kopi lahan sedang 15.Pangsa pengeluaran rumah tangga petani kopi lahan luas

9

2. Kelompok wanita tani di Kabupaten Lampung Barat 3. Analisis shift share sektor perekonomian

4. Analisis shift share sektor perekonomian (lanjutan) 5. Analisis shift share komoditas perkebunan

6. Analisis shift share komoditas perkebunan (lanjutan) 7. Identitas petani kategori lahan sempit

8. Identitas petani kategori lahan sedang 9. Identitas petani kategori lahan luas

10.Karakteristik petani kategori lahan sempit 11.Karakteristik petani kategori lahan sedang 12. Karakteristik petani kategori lahan luas

(16)

14. Biaya usahatani kopi dan penerimaan kopi rumahtangga petani kategori lahan sedang

15. Biaya usahatani kopi dan penerimaan kopi rumahtangga petani kategori lahan luas

16. Sumber pendapatan rumah tangga petani kategori lahan sempit 17. Sumber pendapatan rumah tangga petani kategori lahan sedang 18. Sumber pendapatan rumah tangga petani kategori lahan luas 19. Pengeluaran dan pendapatan bersih rumahtangga petani kategori

lahan sempit

20. Pengeluaran dan pendapatan bersih rumahtangga petani kategori lahan sedang

21. Pengeluaran dan pendapatan bersih rumahtangga petani kategori lahan luas

22. Identitas pedagang dan tataniaga kopi

23. Identitas pedagang dan tataniaga kopi (lanjutan)

115

116

117 117 118 119

119

120

(17)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sektor pertanian memiliki peranan penting dan strategis dalam pembangunan regional dan nasional. Sektor pertanian merupakan basis dan landasan perekonomian Indonesia selama ini, mengingat secara ekonomi kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian nasional relatif masih cukup besar dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya.

Tanaman kopi merupakan tanaman perkebunan yang berperan strategis dalam menyumbang terhadap pendapatan devisa PDB Indonesia. Indonesia merupakan negara produsen kopi keempat terbesar dunia setelah Brazil, Vietnam dan Colombia. Dari total produksi, sekitar 67% kopi diekspor sedangkan sisanya (33%) untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (AEKI 2012). Ditjen PPHP Kementan (2012) juga menjelaskan, permintaan yang tinggi dari pasar dunia terhadap kopi Indonesia dapat dilihat dari total ekspor kopi (biji dan olahannya) tahun 2010 sebesar 433,6 ribu ton dengan nilai US$ 814,3 juta yang dipasarkan ke-65 negara tujuan ekspor.

Bila ditinjau dari pangsa pasar kopi Indonesia atas dasar volume di negara tujuan utama, untuk pasar Jerman, Indonesia merupakan pemasok terbesar ke lima atau 5,70 % dari total impor Jerman dari dunia sebesar 1.150,5 ribu ton. Untuk pasar Jepang Indonesia menempati posisi ke tiga setelah Brazil dan Columbia dengan pangsa pasar 14,22 % dari total impor Jepang. Kemudian untuk pasar Malaysia, Indonessia memasok 44,68 % dari total impor Malaysia, sekaligus menempati posisi kedua setelah Vietnam, sedangkan untuk pasar Inggris, Indonesia menempati posisi kedua setelah Vietnam dengan pangsa pasar 13,93 %. Perkembangan hingga tahun 2010, pasar baru bagi kopi Indonesia meliputi Jerman, Amerika Serikat (AS), Jepang, Italia, Malaysia, Inggris, Belgia, Mesir, Algeria dan Rusia. Kemudian ditambah dengan negara Korea Utara, Laos, Kiribati (Ditjen PPHP Kementan 2012). Negara-negara tersebut khususnya Eropa memiliki ketergantungan terhadap ekspor kopi dari negara berkembang diantaranya Indonesia. Sebagai contoh, dari data ISTAT (2008) diketahui bahwa pertumbuhan impor kopi Italia dari Indonesia sebesar 18,1%, dari USD 20,3 juta di tahun 2003 menjadi USD 34 juta di tahun 2007 (Kemendag 2012).

Peran strategis kopi selain sebagai penghasil devisa juga karena merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja. Mayoritas perkebunan kopi secara nasional dikelola secara oleh rakyat sehingga banyak masyarakat yang terlibat di dalamnya. Menurut data dari AEKI (2014) luas areal perkebunan kopi Indonesia saat ini mencapai 1,2 juta hektar. Dari luas areal tersebut, 96% merupakan lahan perkebunan kopi rakyat dan sisanya 4% milik perkebunan swasta dan Pemerintah (PTP Nusantara). Oleh karena itu, produksi kopi Indonesia sangat tergantung dari perkebunan rakyat.

(18)

ke depan dan belakang langsung dan tidak langsung lebih besar dari satu. Hal ini berarti peningkatan permintaan di industri biji kopi dan kopi olahan sebesar satu satuan akan meningkatkan output di semua industri, termasuk terhadap dirinya sendiri, yang relatif besar yaitu 1,5 kali lipat. Dengan memperhitungkan efek konsumsi masyarakat, yaitu jika terjadi peningkatan pengeluaran rumah tangga yang bekerja di industri kopi, maka kenaikan output tersebut dapat mencapai 3 kali lipat. Industri biji kopi dan kopi olahan juga mempunyai kemampuan untuk meningkatkan pendapatan tenaga kerja di semua industri. Efek induksi pendapatan tenaga kerja di industri kopi dan kopi olahan terhadap industri lain sekitar 1,6 kali lipat. Meskipun demikian industri biji kopi dan kopi olahan memiliki keterbatasan dalam daya penyebaran ke belakang yang lebih tinggi dibandingkan daya penyebaran ke depan, sehingga pertumbuhan industri ini lebih banyak tergantung pada pertumbuhan ekonomi nasional.

Provinsi Lampung, Bengkulu, Sumatera Selatan, Sumatera Utara dan Jawa Timur menurut AEKI (2014) merupakan provinsi yang menjadi sentra produksi kopi di Indonesia. Ekspor kopi Lampung sendiri berdasarkan data dari BPS (2012) selama lima tahun terakhir (2007-2011) meskipun berfluktuatif baik dari sisi volume maupun nilainya tetapi menunjukkan nilai positif. Rata-rata volume ekspor kopi adalah 52,33 persen dari ekspor seluruh komoditas pertanian dan kehutanan, dengan nilai ekspor rata-rata 28,13 persen.

Tabel 1. Volume ekspor komoditi kopi Provinsi Lampung tahun 2007-2011

Tahun

Tingginya permintaan komoditas kopi Lampung untuk ekspor diharapkan berdampak terhadap peningkatan produksi di dalam negeri dan pendapatan di tingkat petani khususnya pada daerah sentra produksi kopi di Kabupaten Lampung Barat Provinsi Lampung. Sektor pertanian dalam pengembangan ekonomi wilayah Kabupaten Lampung Barat merupakan sektor yang memberikan kontribusi terbesar bagi pendapatan domestik bruto (PDRB) Kabupaten Lampung Barat, yakni sebesar 57,21 persen. Dari jumlah tersebut, tanaman perkebunan memberikan kontribusi sebesar 24,82 persen, tanaman bahan makanan 18,24 persen, kehutanan 6,11 persen, perikanan 5,86 persen, dan sisanya sebesar 2,18 persen dari sektor peternakan.

(19)

Kabupaten Lampung Barat sebagai Kabupaten penghasil kopi terbesar di Provinsi Lampung jika dibandingkan dengan kabupaten/kota penghasil kopi lainnya yang dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 memperlihatkan bahwa Lampung Barat memiliki areal perkebunan kopi terluas yang mencapai 59.859 Ha dengan produksi terbesar di Provinsi Lampung pada tahun 2011 kemudian diikuti oleh Tanggamus 36.382 ton dengan luas lahan 44.671 Ha dan Way Kanan 19.252 ton dengan luas lahan 21.944 Ha. Hal ini wajar terjadi karena tanaman kopi di Kabupaten Lampung Barat merupakan komoditas primadona daerah yang berperan sebagai sumber pendapatan sebagian besar masyarakat dan telah dibudidayakan secara turun temurun hampir satu abad yang lalu, dirintis oleh masyarakat Semendo (Anonim 2012).

Perumusan Masalah

Perkembangan harga pada tingkat petani di Kabupaten Lampung Barat tahun 2012 berdasarkan data Disbun Provinsi Lampung (2012) berada pada kisaran Rp. 16.200,- per kilogram. Harga yang diterima petani jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan harga pada tingkat eksportir yang mencapai Rp. 19.000,- per kilogramnya. Harga yang rendah pada tingkat petani diikuti dengan produktivitas yang rendah dari hasil kebun kopi per tahunnya. Produktivitas kopi disana hanya 1,01 ton per hektar (BPS Kabupaten Lampung Barat 2012), nilai ini sangat kecil dibandingkan dengan produktivitas kopi di negara vietnam yang bisa mencapai 2,5 ton per hektar (AEKI 2012).

Produktivitas yang rendah menurut Saragih (2011) tidak semata karena adanya kendala ekonomi namun dapat juga karena kendala sosial budaya, serta disebabkan oleh pengelolaan kebun, panen dan penanganan pasca panen yang kurang memadai karena hampir seluruhnya kopi robusta diproduksi oleh perkebunan rakyat. Selain itu, produktivitas yang rendah juga karena rendahnya insentif harga yang diterima petani menurut Jaya (2009) pendapatan yang diperoleh petani dari budidaya selama hampir satu tahun dengan resiko yang diterima petani tidak seimbang dengan harga jual yang diterima petani jika dibandingkan dengan harga kopi di pasaran. Herman dan Susila (2013) juga menekankan bahwa pasar kopi sendiri masih menyerap seluruh produk kopi dan belum memberikan insentif harga yang memadai untuk kopi bermutu baik.

(20)

Tabel 2. Luas areal dan produksi tanaman kopi rakyat menurut kabupaten/kota di Provinsi Lampung tahun 2007-2011

Kabupaten/Kota

2007 2008 2009 2010 2011

Luas Areal (Ha)

Produksi (Ton)

Luas Areal (Ha)

Produksi (Ton)

Luas Areal (Ha)

Produksi (Ton)

Luas Areal (Ha)

Produksi (Ton)

Luas Areal (Ha)

Produksi (Ton)

Lampung Barat 59.324 56.228 59.322 56.228 59.362 61.202 60.399 61.023 59.859 60.713 Tanggamus 54.283 45.245 54.284 45.245 54.346 45.354 44.633 36.750 44.671 36.382 Lampung Selatan 2.643 1.803 1.588 920 1.649 922 1.392 850 1.332 875 Lampung Timur 1.515 670 1.515 665 1.445 670 1.061 580 1.061 545 Lampung Tengah 1.798 895 1.799 897 1.705 907 1.587 800 1.584 870 Lampung Utara 15.748 12.130 15.777 12.123 15.865 12.130 16.744 12.070 16.240 12.119 Way Kanan 22.397 19.261 22.396 19.262 22.456 19.292 22.206 19.875 21.944 19.152 Tulang Bawang 607 381 608 382 663 383 104 55 92 31 Pesawaran 5.549 4.339 5.563 4.330 5.470 4.335 5.237 3.926 4.937 3.824 Bandar Lampung 81 10 81 8 8 9 222 9 224 10 Metro

Pringsewu 9.073 8.560 8.788 8.179

Mesuji 340 215 396 225

Tulang Bawang

Barat 125 90 125 71

Jumlah Provinsi 163.945 140.962 162.933 140.060 162.969 145.204 163.123 144.803 161.253 142.996

(21)

Pernyataan ini dikuatkan oleh Jaya (2009) yang menjelaskan bahwa rendahnya harga yang diterima petani di duga karena perbedaan margin harga yang tinggi antara harga di tingkat pasar dengan harga di tingkat petani. Jika melihat harga kopi yang diterima petani kopi Lampung sangat kecil jika dibandingkan dengan harga eceran di negara pengimpor utama.

Panjangnya rantai pemasaran komoditas kopi menyebabkan petani sebagai produsen kopi sangat tergantung pada para pedagang besar sehingga mereka tidak dapat lagi sebagai penentu harga (Hutabarat 2006). Nainggolan dalam Bakti (2011) menyatakan bahwa kemiskinan petani lebih disebabkan oleh ketidakmampuan petani untuk menentukan harga (price taker), tidak seperti pedagang yang mampu menentukan harga output dari produknya (price maker).

Perusahaan swasta yang bergerak di industri kopi di Provinsi Lampung tidak ada yang bergerak pada produksi kopi namun bermain pada level hilir yaitu sebagai ekportir dan pada bagian pengolahan akhir. Meskipun tidak memiliki perkebunan kopi namun perusahaan-perusahaan besar inilah yang menentukan harga kopi ditingkat petani dengan berdasarkan harga kopi dunia. Tentunya ini merupakan dilema petani yang sebagai produsen kopi namun tidak dapat berbuat banyak dengan harga yang telah ditetapkan.

Bhakti (2011) mengemukakan bahwa nasib petani kopi saat ini diserahkan pada pasar global di mana harga kopi ditentukan oleh mekanisme permintaan dan penawaran, sementara pemerintah perlahan tapi pasti mulai mengurangi campur tangan dari tempat transaksi petani dan pedagang kopi dalam sistem perdagangan global. Tantangan yang tidak dapat dinafikan dalam pembangunan dan pengentasan kemiskinan adalah fenomena yang ditandai dengan munculnya globalisme di mana dunia berada pada situasi politik, ekonomi, dan sosial budaya tanpa batas, yang mulai meragukan hakikat negara dalam memajukan kesejahteraan umum. Adapun semua keadaan ini terjadi karena saluran perdagangan kopi mulai dari input-input pertanian hingga penjualan hasil-hasil pertanian dikuasai oleh para pihak kapitalis, dari kapitalis lokal hingga kapitalis global. Sehingga berpotensi mendorong ulah para kapitalis tersebut untuk menekan nilai kerja petani di bawah nilai produk pertanian yang mereka hasilkan. Jika melihat sejarah kopi di Indonesia sebenarnya praktik kapitalis pada sektor ini telah terjadi sejak zaman Belanda. Kartodirdjo dalam Bhakti (2011), perkembangan tanaman kopi tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan kolonialisme, kapitalisme, dan modernisasi di Indonesia. Perkebunan modern (European Plantation) merupakan sistem perekonomian kolonial yang diperkenalkan oleh VOC. Gerakan kolonialisme yang didukung oleh perkembangan kapitalisme agraris Barat, memandang tanah jajahan menjadi sumber kekayaan bagi negara induk. Tersedianya tanah dan tenaga kerja murah yang melimpah di tanah jajahan, memungkinkan untuk dilakukan eksploitasi produksi pertanian yang menguntungkan bagi pasaran dunia.

(22)

termasuk Lampung yang perkembangannya berkembang hingga ke Lampung Barat yang terkenal sebagai sentra kopi di Lampung.

Meskipun Kabupaten Lampung Barat merupakan daerah sentra kopi, namun disana tidak ada perusahaan pengolah kopi. Perusahaan-perusahaan melalui perwakilannya hanya membeli biji kopi. Sebagai balasannya perusahaan-perusahaan tersebut melakukan pembinaan kepada sebagian petani kopi di Lampung Barat, diantaranya PT Indocafco, Nestle, Netcoffe, Armajaro dan Newmont Foundation (Disbun Kabupaten Lampung Barat 2012).

Tidak terdapatnya perusahaan pengolahan kopi di daerah sentra menyebabkan petani belum dapat menikmati nilai tambah dari kopi tersebut. Kindangen dan Bahtiar (2010) menyatakan bahwa permasalahan pokok pada umumnya masyarakat tani yaitu masih sulit keluar dari kondisi perolehan nilai produk mereka dan hanya tergantung dari nilai produk primer. Produk pada umumnya belum dilakukan pengolahan yang dapat memberi nilai tambah. Kondisi seperti ini telah memberi dampak keberadaan petani semakin tidak berdaya dan cenderung semakin banyak petani menjadi miskin.

Studi Ariswandi (2009) menjelaskan bahwa petani kopi di Kabupaten Lampung Barat masih belum dapat menikmati nilai tambah dari kopi tersebut. Hal ini karena meskipun sebagai penghasil kopi robusta terbesar, disana tidak terdapat perusahaan eksportir. Kopi di ekspor selama ini melalui kota Bandar lampung, sehingga kopi mengalir keluar daerah dan tidak memberikan manfaat ke daerah tersebut. Fenomena ini dalam pandangan Rustiadi et al. (2011) merupakan kebocoran modal ke luar wilayah (regional leakages) yang dapat memperparah lingkaran kemiskinan di suatu daerah. Kebocoran ini diakibatkan karena adanya backwash effect. Suatu wilayah dikatakan mengalami backwash apabila pendapatan wilayah yang mampu diciptakan dari suatu aktifitas ekonomi sangat rendah, padahal nilai ekonomi dari produk yang dihasilkan sebenarnya jauh lebih besar (Nurjihadi 2013).

Rendahnya harga kopi dan tidak adanya nilai tambah yang dirasakan petani menyebabkan petani harus mencari alternatif pendapatan di luar sektor perkebunan kopi untuk menopang kehidupan rumah tangganya. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Sumaryanto dan Sudaryanto (2009), bahwa sektor pertanian sebagai sumber pendapatan rumah tangga di pedesaan masih belum mencapai sasaran yang diharapkan, demikian pula halnya dengan tanaman perkebunan. Periode waktu yang relatif lama bagi komoditas perkebunan untuk memperoleh hasil menyebabkan petani harus mencari alternatif pendapatan di luar usaha tani kopi diantaranya dari sektor non pertanian. Meskipun sebagian besar dari kesempatan kerja non pertanian yang dapat diakses penduduk perdesaan adalah di sektor non formal, baik di perdesaan maupun di perkotaan.

(23)

Besarnya pendapatan yang diterima petani diharapkan akan berdampak terhadap re-investasi pada sektor pertanian khususnya ke perkebunan kopi. Semakin besar pendapatan maka semakin besar pula kemungkinan untuk berinvestasi. Menurut Teori Keynes dalam Sukrino (1999), apabila pendapatan bertambah tinggi maka investasi akan bertambah tinggi pula. Adanya re-investasi ini akan menggerakkan perekonomian di suatu wilayah khususnya di Kabupaten Lampung Barat. Hal ini sebagaimana pernyataan Saragih (2011), bahwa kopi akan menjadi salah satu komoditas penting dalam perekonomian wilayah dan berdampak langsung bagi kesejahteraan petani. Sebab, hampir seluruhnya (96 persen) areal kopi secara nasional dikelola oleh rakyat. Artinya, pengembangan kopi akan langsung menyentuh sendi-sendi kehidupan petani di berbagai sentra produksi. Adapun kopi merupakan komoditas unggulan daerah Kabupaten Lampung Barat. Sehingga diperlukan upaya pengembangan komoditas kopi tidak hanya sebagai penopang perekonomian daerah, tetapi juga turut membangun perekonomian rakyat.

Perekonomian wilayah juga akan berkembang jika adanya industri yang berkembang karena dapat menampung surplus produksi pertanian dan surplus tenaga kerja sehingga dapat menjaga tingkat pendapatan di sektor pertanian (Rustiadi et al. 2011). Penelitian Agustian (2005) menunjukkan bahwa usaha pengolahan kopi bubuk rakyat di Provinsi Lampung sangat dominan menggunakan biaya input domestik yang kuat sehingga lebih efisien dan memiliki daya saing. Selain itu, peluang dalam hal pemasarannya masih terbuka lebar karena pangsa ekspor kopi olahan di pasar dunia seperti kopi roasted dan ekstrak.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dapat diidentifikasikan beberapa permasalahan yang perlu segera ditangani dalam pengelolaan sektor perkebunan kopi di Kabupaten Lampung Barat, antara lain sebagai berikut:

1. Bagaimanakah tataniaga komoditas kopi di Kabupaten Lampung Barat? 2. Seberapa besarkah ekonomi kopi menyumbang terhadap rumah tangga petani

kopi di Kabupaten Lampung Barat?

3. Sejauhmana sektor perkebunan kopi rakyat mendukung perekonomian Kabupaten Lampung Barat?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara spesik bertujuan untuk:

1. Menganalisis tataniaga kopi di Kabupaten Lampung Barat

2. Mengkaji dan menganalisis sumbangan ekonomi kopi terhadap rumah tangga petani kopi di Kabupaten Lampung Barat

(24)

Kegunaan Penelitian:

Penelitian ini diharapkan dapat:

1. Memberikan kontribusi bagi pemerintah daerah di Kabupaten Lampung Barat dalam usaha meningkatkan kesejahteraan petani khususnya kopi dan dalam pengambilan kebijakan terkait pengembangan komoditas kopi.

2. Sebagai bahan referensi bagi penelitian lanjutan yang lebih mendalam khususnya mengenai pengembangan sektor perkebunan kopi

2 TINJAUAN PUSTAKA

Saluran Pemasaran, Fungsi Pemasaran dan Efisiensi Pemasaran

Saluran Pemasaran

Pemasaran dalam pengertian Kotler dan Amstrong (2001) adalah proses sosial dan manajerial yang dengannya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan, dengan menciptakan dan menukarkan produk dan nilai dengan orang lain. Kemudian menurut Soekartawi (2002) pemasaran atau marketing pada prinsipnya adalah aliran barang dari produsen ke konsumen. Aliran barang ini dapat terjadi karena adanya peranan lembaga pemasaran. Peranan lembaga pemasaran ini sangat tergantung dari sistem pasar yang berlaku dan karakteristik aliran barang yang dipasarkan. Oleh karena itu

dikenal istilah “saluran pemasaran” atau marketing chanel.

Soekartawi (2002) menjelaskan bahwa saluran pemasaran dapat berbentuk secara sederhana dan dapat pula rumit sekali. Tergantung dari macam komoditi lembaga pemasaran dan sistem pasar. Sistem pasar yang monopoli mempunyai saluran pemasaran yang relatif sederhana dibandingkan dengan sistem pasar yang lain. Komoditi pertanian yang lebih cepat ke tangan konsumen dan yang tidak mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, biasanya mempunayi saluran pemasaran relatif sederhana.

Soekartawi (1993) juga memaparkan bahwa dalam pemasaran komoditi pertanian, seringkali dijumpai adanya rantai pemasaran yang panjang (bahkan dapat diaktakan terlalu panjang), sehingga banyak juga pelaku lembaga pemasaran yang terlibat dalam rantai pemasaran tersebut. Akibatnya adalah terlalu besarnya keuntungan pemasaran (market margin) yang diambil oleh para pelaku pemasaran tersebut. Adapun sebab terjadinya rantai pemasaran hasil pertanian yang panjang dan produsen (petani) sering dirugikan antara lain karena:

(a) pasar yang tidak bekerja secara sempurna (b) lemahnya informasi pasar

(c) lemahnya produsen (petani) memanfaatkan peluang pasar

(d) lemahnya posisi produsen (petani) untuk melakukan penawaran untuk mendapatkan harga yang baik,

(25)

Lembaga tataniaga (pemasaran) dalam perspektif Soekartawi (2002) memegang peranan penting dan juga menentukan saluran pemasaran. Fungsi lembaga ini berbeda satu sama lain, dicirikan oleh aktivitas yang dilakukan dan skala usaha. Misalnya pedagang pengumpul tugasnya adalah membeli barang secara dikumpulkan baik dari produsen atau pedagang perantara dengan skala yang relatif lebih besar dibandingkan dengan skala usaha pedagang perantara. Begitu pula halnya dengan pedagang besar, mempunyai skala usaha yang lebih besar daripada pedagang pengumpul.

Jalur pemasaran hasil pertanian dalam perspektif Rahardi et al. (2007) adalah saluran yang digunakan petani produsen untuk menyalurkan hasil pertanian dari podusen sampai ke konsumen. Lembaga-lembaga yang ikut aktif dalam saluran ini adalah petani produsen, pedagang pengumpul, pedagang besar, pengecer, dan konsumen.

1. Petani produsen; merupakan penghasil barang-barang hasil pertanian untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan para konsumen.

2. Pedagang pengumpul; merupakan pedagang yang mengumpulkan barang-barang hasil pertanian dari pedagang pengumpul dan atau langsung dari petani produsen serta menjual kembali kepada pengecer dan pedagang lain dan atau kepada pemakai industri, pemakai lembaga, dan pemakai komersil yang tidak menjual dalam volume yang sama pada konsumen akhir.

3. Pengecer; merupakan pedagang yang menjual barang hasil pertanian ke konsumen dengan ttujuan memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen dalam jumlah minimum.

4. Konsumen; adalah setiap orang yang ingin memenuhi keinginan dan kebutuhannya terhadap barang-barang hasil pertanian.

Ada dua jalur perdagangan kopi di Indonesia menurut Panggabean (2011) yaitu secara modern dan tradisional. Berikut ini skema jaringan pemasaran dan perdagangan kopi yang umum dilakukan di Indonesia, baik secara modern maupun tradisional.

Gambar 1. Skema pemasaran kopi secara modern Supplier atau Pedagang

Petani Kecil Petani Kecil

Petani Kecil Petani Kecil

Petani Kecil

Kelompok Tani

Trader atau Eksportir

(26)

Panggabean (2011) menjelaskan di tingkat petani kecil, kopi umumnya dijual dalam bentuk biji berkulit tanduk dengan kadar air sekitar 20-25%. Untuk pemasaran kopi secara modern, terdapat kelompok tani yang berguna untuk menampung hasil panen dari para petani kecil. Sementara itu, untuk pemasaran secara tradisional, petani umumnya menjual hasil panennya ke pasar tradisional. Setiap kelompok tani atau pengumpul di pasar tradisional umumnya memiliki jaringan suplier yang siap menampung hasil kopi dalam jumlah besar. Selama kopi berada di supplier, kopi diolah dengan mengupas kulit tanduk menggunakan mesin huller. Setelah itu, supplier menjual kembali dalam jumlah yang besar ke trader atau perusahaan eksportir. Dari eksportir atau trader, kopi dijual dalam bentuk kemasan karung goni atau kantong plastik ke pasar umum, baik dalam negeri maupun luar negeri.

Gambar 2. Skema pemasaran kopi secara tradisional

Fungsi Pemasaran

Gumbira-Sa’id dan Intan (2004) menerangkan, fungsi penyaluran barang atau jasa dari produsen ke tangan konsumen akhir memerlukan berbagai kegiatan fungsional pemasaran yang ditujukan untuk memperlancar proses penyaluran barang dan atau jasa secara efektif dan efisien untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen. Kegiatan fungsional tersebut disebut fungsi-fungsi pemasaran. Fungsi-fungsi pemasaran dilakukan oleh lembaga-lembaga pemasaran yang terkait atau terlibat dalam proses pemasaran suatu komoditas, yang membentuk rantai pemasaran atau sering disebut sebagai sistem pemasaran. Klasifikasi fungsi-fungsi pemasaran dalam agribisnis adalah sebagai berikut: 1) Fungsi pertukaran, meliputi fungsi usaha pembelian dan fungsi usaha

penjualan.

2) Fungsi fisik pemasaran, meliputi fungsi usaha penyimpanan, fungsi usaha pengangkutan, dan fungsi usaha pengolahan

Pengumpul atau Supplier atau Pedagang

Petani Kecil Petani Kecil

Petani Kecil Petani Kecil

Petani Kecil

Pasar Tradisional

Trader atau Eksportir

(27)

3) Fungsi fasilitas pemasaran, meliputi fungsi standarisasi dan penggolongan produk, fungsi usaha pembiayaan, fungsi penanggungan resiko, dan fungsi penyediaan informasi pasar.

Fungsi pertukaran meliputi semua kegiatan yang berhubungan dengan pemindahan hak milik suatu barang dan atau jasa melalui suatu proses pertukaran. Proses pertukaran tersebut dapat terjadi apabila antara pembeli dan penjual menemukan kesepakatan dan menyetujui suatu jumlah unit tertentu dari suatu barang dan atau jasa yang akan diperjualbelikan. Fungsi pertukaran ini sangat penting untuk menambah nilai guna kepemilikan produk. Nilai guna kepemilikan tercipta karena produsen atau penjual menerima tingkat keuntungan tertentu dan konsumennya mendapat kepuasan karena memiliki dan atau mengkonsumsi produk tersebut.

Fungsi fisik adalah semua aktivitas untuk menangani, menggerakkan, dan mengubah produk-produk secara fisik sesuai dengan keinginan dan kebutuhan konsumen. Studi dan analisis fungsi fisik pemasaran berperan untuk menjawab pertanyaan kapan, di mana, dan apa. Dengan demikian, fungsi fisik sangat terkait dengan kegiatan fungsional pemasaran yang menimbulkan kegunaan waktu, tempat, dan bentuk.

Fungsi fasilitas pemasaran mencakup semua kegiatan yang dapat membantu kelancaran proses pemasaran. Fungsi standarisasi dalam fungsi fasilitas pemasaran adalah suatu ukuran tingkat mutu suatu produk. Kemudian fungsi pembiayaan berperan dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengevaluasian, dan pengendalian pembiayaan. Sedangkan fungsi penyediaan informasi pemasaran dapat memperbaiki tingkat efisiensi pemasaran.

Efisiensi Pemasaran

Efisiensi pemasaran dalam pandangan Downey dan Steven (1992) dalam Rahim dan Hastuti (2008) merupakan tolak ukur atas produktivitas proses pemasaran dengan membandingkan sumberdaya yang digunakan terhadap keluaran yang dihasilkan selama berlangsungnya proses pemasaran. Kemudian Rahim dan Hastuti (2008) menjelaskan, bahwa efisiensi pemasaran dapat didefinisikan sebagai peningkatan rasio output-input yang dapat dicapai dengan beberapa cara, pertama, output tetap konstan sedangkan input mengecil, kedua, output meningkat sedangkan input tetap konstan, ketiga, output meningkat dalam kadar yang lebih tinggi daripada peningkatan input, dan keempat, output menurun dalam kadar yang lebih rendah ketimbang penurunan input. Dua dimensi yang berbeda dari efisiensi pemasaran dapat meningkatkan rasio output dan input yaitu efisiensi operasional dan efisiensi penetapan harga.

(28)

masing-masing pihak yang terlobat dengan pemasaran puas atau responsif terhadap harga yang berlaku.

Marjin pemasaran

Asmarantaka (2009) menjelaskan, pengertian marjin pemasaran sering dipergunakan sebagai perbedaan antara harga di berbagai tingkat lembaga pemasaran di dalam sistem pemasaran. Pengertian marjin pemasaran ini sering dipergunakan untuk menjelaskan fenomena yang menjembatani gap antara pasar di tingkat petani dengan pasar di tingkat eceran. Sedangkan Rahim dan Hastuti (2008)menegaskan bahwa marjin pemasaran adalah selisih harga dari dua tingkat rantai pemasaran atau selisih harga yang dibayarkan di tingkat pengecer (konsumen) dengan harga yang diterima oleh produsen.

Secara rinci menurut Tomek dan Robinson (1990) dalam Asmarantaka (2009), ada dua alternatif definisi marjin pemasaran yaitu : (1) perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima produsen (petani), (2) merupakan harga dari kumpulan jasa-jasa pemasaran sebagai akibat adanya aktivitas-aktivitas bisnis yang terjadi dalam sistem pemasaran.

Marjin pemasaran merupakan M = Pr – Pf atau marjin pemasaran terdiri dari biaya-biaya dan keuntungan perusahaan yang terlibat dalam sistem pemasaran tersebut. Dengan demikian, marjin juga didefinisikan sebagai M = C +

∏, dimana C adalah biaya-biaya (input pemasaran) dan ∏ adalah keuntungan pemasaran. Marjin pemasaran sendiri ditentukan oleh: (1) perubahan harga-harga input, (2) efisiensi dari pengadaan jasa-jasa pemasaran, (3) jumlah dan kualitas jasa-jasa pemasaran, (4) perubahan struktur pasar dan teknologi.

Biaya pemasaran

Secara umum, biaya merupakan pengorbanan yang dikeluarkan oleh produsen dalam mengelola usahataninya untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Biaya pun merupakan korbanan yang diukur untuk suatu satuan alat tukar berupa uang yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu dalam usahataninya (Rahim dan Hastuti 2008).

Biaya pemasaran adalah biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pemasaran. Biaya pemasaran meliputi biaya angkut, biaya pengeringan, pungutan retribusi, dan lain-lain. Besarnya biaya pemasaran berbeda satu sama lain disebabkan macam komoditi, lokasi pemasaran, dan macam lembaga pemasaran dan efektivitas pemasaran yang dilakukan. Seringkali komoditi pertanian yang nilainya tinggi diikuti dengan biaya pemasaran yang tinggi pula. Makin efektif pemasaran yang dilakukan, makin kecil biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh lembaga pemasaran (Soekartawi 2002). Biaya pemasaran komoditi pertanian sendiri dalam merupakan biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan atau aktivitas usaha pemasaran komoditas pertanian. Biaya pemasaran komoditas pertanian meliputi biaya transportasi, biaya pungutan retribusi, dan lain-lain.

(29)

adalah bahwa aktivitas subsistem pemasaran dalam agribisnis masih ditantang untuk dapat berkontribusi dalam memberikan tambahan kesejahteraan pada petani sebagai pelaku sentral di sektor agribisnis. Kemudian Arifin (2002) juga menambahkan bahwa komoditas agribisnis memiliki elastisitas transmisi harga yang rendah dan kadang searah. Kenaikan harga komoditas agribisnis di tingkat konsumen tidak serta merta dapat meningkatkan harga ditingkat petani produsen. Namun sebaliknya, penurunan harga ditingkat konsumen umumnya lebih cepat ditransmisikan kepada harga di tingkat petani produsen.

Keuntungan pemasaran

Keuntungan pemasaran komoditas pertanian merupakan selisih antara harga yang dibayar ke produsen dan harga yang dibayarkan konsumen akhir. Perbedaan jarak dari produsen ke konsumen menyebabkan terjadinya perbedaan besarnya keuntungan. Produsen tidak dapat bekerja sendiri untuk memasarkan produknya sehingga memerlukan pihak lain atau lembaga pemasaran untuk membantu memasarkan hasil produksinya (Rahim dan Hastuti 2008).

Pernyataan ini diperkuat oleh Soekartawi (2002), bahwa selisih harga yang dibayarkan ke produsen dan harga yang diberikan oleh konsumen disebut

“keuntungan pemasaran”. Jarak yang mengantarkan produksi pertanian dari produsen ke konsumen menyebabkan terjadinya perbedaan besarnya keuntungan pemasaran. Begitu pula karena produsen tidak dapat bekerja sendiri untuk memasarkan produksinya, maka mereka memerlukan pihak lain atau lembaga pemasaran lain untuk membantu memasarkan produksi pertanian yang dihasilkan. Dengan demikian muncul istilah pedagang pengumpul, pedagang perantara, pengecer, pemborong, dan sebagainya. Masing-masing lembaga pemasaran ini ingin mendapatkan keuntungan, maka harga yang dibayarkan oleh masing-masing lembaga pemasaran itu juga berbeda. Jadi harga di tingkat petani akan lebih rendah daripada harga ditingkat pedagang perantara dan harga di pedagang perantara juga akan lebih rendah daripada di tingkat pengecer. Perbedaan harga di masing-masing lembaga pemasaran sangat bervariasi tergantung dari besar kecilnya keuntungan yang diambil oleh masing-masing lembaga pemasaran.

Rahim dan Hastuti (2008) juga menekankan, masing-masing lembaga pemasaran ingin mendapatkan keuntungan sehingga harga yang dibayarkan oleh lembaga pemasaran itu juga berbeda. Perbedaan harga di masing-masing lembaga pemasaran sangat bervariasi tergantung besar kecilnya keuntungan yang diambil oleh masing-masing lembaga pemasaran. Jadi, harga jual di tingkat produsen akan lebih rendah daripada harga jual di tingkat pedagang perantara. Harga jual di tingkat pengecer atau harga beli di tingkat konsumen akhir.

Struktur Pasar

(30)

pasar dalam pandangan Sugiarto et al. (2002) adalah suatu institusi atau badan yang menjalankan aktivitas jual beli barang-barang dan atau jasa-jasa.

Struktur pasar menurut Asmarantaka (2009) merupakan tipe atau jenis pasar yang didefinisikan sebagai hubungan (korelasi) antara pembeli dan penjual yang secara strategis mempengaruhi penentuan harga dan pengorganisasian pasar. Struktur pasar dapat dilihat dalam beberapa ukuran, antara lain:

1) Konsentrasi pasar

Pengukuran berdasarkan persentase dari penjual/aset/pangsa pasar 2) Kebebasan keluar masuk calon penjual

Perusahaan yang besar mempuanyai kelebihan dalam menentukan kontrol harga dalam rangka mempertahankan konsentrasinya di dalam pasar.

3) Diferensiasi produk

Perusahaan yang mempunyai konsentrasi pasar yang tinggi mempunyai kelebihan menentukan diferensiasi produk untuk usaha meningkatkan keuntungannya.

Berdasarkan sifat dan bentuknya, pasar dapat diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu pasar dengan persaingan sempurna (perfect competitive market) dan pasar dengan persaingan tidak sempurna (imperfect competitive market). Jenis-jenis pasar yang termasuk golongan pasar dengan persaingan tak sempurna antara lain adalah pasar monopoli, persaingan monopolistik, dan oligopoli (Sugiarto et al. (2002) . Secara lengkap bentuk-bentuk pasar seperti yang tersaji pada Tabel 3.

Pasar persaingan sempurna merupakan struktur pasar yang paling ideal, karena dianggap sistem pasar ini adalah struktur pasar yang akan menjamin terwujudnya kegiatan memproduksi barang atau jasa yang tinggi efisiensinya. Ciri dari pasar persaingan sempurna adalah suatu perusahaan tidak mempunyai kekuasaan untuk menentukan harga. Interaksi seluruh produsen dan seluruh pembeli di pasar yang akan menentukan harga pasar, dan seorang produsen hanya

“menerima’ harga yang sudah ditentukan (Sukirno 1999). Sukirno (1999) juga

memaparkan, struktur pasar yang bertentangan ciri-cirinya dengan persaingan sempurna adalah pasar monopoli. Monopoli adalah suatu bentuk di mana hanya terdapat terdapat satu perusahaan saja dan perusahaan ini menghasilkan barang yang tidak mempunyai barang pengganti yang sangat dekat. Biasanya keuntungan yang dinikmati oleh perusahaan monopoli melebihi normal karena terdapat hambatan yang sangat tangguh yang dihadapi perusahaan-perusahaan lain untuk masuk industri tersebut.

Pasar oligopoli adalah pasar yang terdiri dari beberapa produsen yang menghasilkan seluruh atau sebagian besar total output di pasar. Pasar oligopoli lebih menyerupai pasar monopoli murni yang dicirikan oleh sejumlah kecil perusahaan-perusahaan besar yang menghasilkan komoditas homogen atau komoditas yang berbeda corak. Dalam pasar oligopoli tidak terdapat keseragaman sifat-sifat perusahaan dalam berbagai industri (Sugiarto et al. 2002).

(31)

yang kurang beres dalam mekanisme pasar yang disebut juga sebagai kegagalan pasar (market failure). Kegagalan pasar dapat terjadi pada pasar persaingan tidak sempurna seperti adanya kekuatan monopsoni dan oligopsoni (Burhan 2006).

Arifin (2007) menjelaskan pasar monopsoni diartikan sebagai suatu keadaan ketika hanya terdapat seorang pembeli tunggal. Monopsoni dikatakan ada tidak hanya jika ada satu pembeli tunggal tetapi juga jika ada lebih dari satu pembeli yang bertindak bersama-sama seolah-olah mereka adalah pembeli tunggal. Dalam monopsoni pembeli berhadapan dengan kurva penawaran yang mempunyai slope positif dimana tindakannya dapat menaikkan atau menurunkan harga. Sedangkan pasar oligopsoni adalah suatu bentuk pasar yang dikuasai oleh lebih dari dua orang pembeli dengan penawaran dari sejumlah produsen atau penjual. Setiap pembeli memilih peran yang cukup besar untuk mempengaruhi harga yang dibelinya. Oligopsoni merupakan bentuk pemusatan pembeli merupakan suatu bentuk pasar yang terdiri atas pembeli-pembeli besar dan pembeli-pembeli kecil.

Tabel 3. Bentuk-bentuk pasar

No Bentuk Pasar Sifat-Sifat

1 Persaingan Sempurna

-Komoditas homogen

-Jumlah penjual dan pembeli banyak -Perusahaan sebagai penerima harga

Tidak ada penetapan dari luar yang memaksa -Semua unit ekonomi memiliki pengetahuan sempurna mengenai harga

-Perusahaan mudah keluar masuk industri 2 Monopoli -Terdiri dari satu perusahaan

-Tidak memiliki komoditas pengganti yang mirip -Tidak memungkinkan perusahaan-perusahaan lain

masuk karena adanya hambatan -Perusahaan sebagai penentu harga

3 Oligopoli -Menghasilkan komoditas standar atau berbeda corak -Kekuasaaan menentukan harga ada kalanya lemah

dan ada kalanya sangat tangguh

-Pada umumnya memerluka promosi iklan yang insentif

4 Monopsoni -Terdapat seorang pembeli tunggal atau lebih dari satu pembeli yang bertindak bersama-sama seolah-olah mereka adalah pembeli tunggal.

-Pembeli dapat menaikkan atau menurunkan harga 5 Oligopsoni - Pasar yang dikuasai oleh lebih dari dua orang

pembeli, terdiri atas pembeli-pembeli besar dan pembeli-pembeli kecil.

- Setiap pembeli berperan yang cukup besar untuk mempengaruhi harga yang dibelinya.

(32)

Komoditas agribisnis umumnya harus menghadapi struktur pasar yang monopsoni dan jauh dari prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat. Petani produsen senantiasa dihadapkan pada kekuatan pembeli, yang terdiri dari pedagang pengumpul dan pedagang besar, yang cukup besar dan membentuk satu

kekuatan yang dapat “menentukan” harga beli (Arifin 2002). Proses terciptanya kegagalan pasar (market failure) amat berhubungan dengan faktor ekonomi dan faktor non-ekonomi yang menyertai seluruh proses pemasaran. Ketidakmampuan petani produsen dan kepawaian pelaku pemasaran lain dalam menguasai aset dan akses ekonomi dalam proses produksi dan pemasaran komoditas agribisnis merupakan salah satu faktor ekonomi yang terpenting. Namun, tingkat ketergantungan secara sosio-psikologis petani kepada para pedagang pengumpul dan pemberi atau peminjam modal usahatani juga menjadi krusial dan merupakan faktor non-ekonomi paling signifikan dalam fenomena struktur pasar yang monopsonis tersebut.

Arifin (2002) juga menyatakan bahwa pola inti-rakyat lebih banyak mempersubur terciptanya kegagalan pasar yang ditunjukkan oleh struktur pasar yang sangat tidak sehat. Perusahaan inti yang diharapkan membina petani plasma, justru memanfaatkan power yang dimilikinya untuk menciptakan struktur pasar monopsonis. Inti menjadi penentu harga (price determinator) untuk produk-produk yang dihasilkan petani plasma, sedangkan para petani plasma hanya menjadi penerima harga (price taker) karena kemampuan tawar yang demikian rendah. Aktivitas pemasaran beberapa komoditas pertanian penting menjadi macet, alias tidak membawa kesejahteraan seperti yang diharapkan. Konsekuensi dari kegagalan pasar dan struktur pasar yang tidak sehat tersebut adalah bahwa komoditas agribisnis Indonesia menjadi amat lemah dan tidak mampu bersaing di pasar internasional.

Rahim dan Hastuti (2008) memaparkan bahwa pasar komoditas pertanian yang tidak efisien akan terjadi jika biaya pemasaran semakin besar dan nilai produk yang dipasarkan jumlahnya tidak terlalu besar. Efisiensi pemasaran dapat terjadi, yaitu pertama, jika biaya pemasaran dapat ditekan sehingga keuntungan pemasaran dapat lebih tinggi. Kedua, persentase perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dan produsen tidak terlalu tinggi. Ketiga, tersedianya fasilitas fisik pemasaran. Keempat, adanya kompetisi pasar yang sehat.

Efisien tidaknya suatu sistem pemasaran tidak terlepas dari kondisi persaingan pasar yang bersangkutan. Pasar yang bersaing sempurna dapat menciptakan sistem pemasaran yang efisien karena pasar yang bersaing sempurna memberikan insentif bagi partisipan pasar, yaitu produsen, lembaga-lembaga pemasaran dan konsumen.

Ekonomi Rumah Tangga Petani

Pendapatan Rumah Tangga Petani

(33)

Pendapatan rumah tangga menurut Prayitno dan Arsyad (1987) dapat berasal dari satu atau lebih sumber pendapatan. Sumber pendapatan yang beragam dapat terjadi karena anggota rumah tangga yang bekerja melakukan lebih dari satu jenis pekerjaan dan atau masing-masing anggota rumah tangga mempunyai kegiatan yang berbeda satu dengan lainnya.

Sumber mata pencaharian masyarakat desa masih didominasi oleh sektor pertanian sedangkan sektor non pertanian merupakan sektor pelengkap untuk menambah penghasilan keluarga (Sudana et al. 2000). Pertanian skala kecil dan buruh tani merupakan kehidupan atau mata pencaharian bagi puluhan juta penduduk Indonesia. Pertanian merupakan salah satu pekerjaan pokok, sumber pangan pokok, dan sumber pendapatan utama agar keluarganya dapat hidup layak dan bermartabat. Khusus di pedesaan terpencil dimana alternatif lapangan usaha atau lapangan kerja non-pertanian sangat terbatas atau praktis tidak ada, tidak ada alternatif mata pencaharian selain bertani maka bertani adalah untuk kelangsungan hidup. Jadi bertani bukanlah satu-satunya sumber penghidupan bagi daerah pedesaan yang telah berkembang industri atau usaha non-pertanian atau memiliki akses ke perkotaan yang menyediakan alternatif lapangan kerja, namun sumber utama pendapatan penduduknya adalah usaha non-pertanian, bertani hanyalah sebagai sumber pendapatan tambahan. Keluarga tani tidak dapat hidup layak jika hanya mengandalkan pertanian (Simatupang 2002).

Laporan Pembangunan Dunia 2008 menjelaskan, rumah tangga pedesaan terlibat dalam pertanian, tenaga kerja, dan migrasi, tetapi salah satu dari aktivitas-aktivitas ini biasanya paling menentukan sumber pendapatan. Ada lima strategi keluarga petani dalam menentukan sumber pendapatan. Beberapa keluarga petani memperoleh sebagian pendapatan mereka dari keterlibatan aktif mereka di pasar pertanian (petani gurem berorientasi pasar). Keluarga yang lain terutama bergantung pada pertanian untuk menjaga kelangsungan hidup mereka, tetapi menggunakan sebagian besar produksi mereka untuk konsumsi rumah tangga (petani berorientasi subsisten). Keluarga yang lain lagi mendapatkan pemasukan mereka dari kerja upahan dari kerja upahan di perekonomian perdesaan, atau dari wirausaha non pertanian (rumah tangga berorientasi tenaga kerja). Beberapa keluarga memilih untuk meningkatkan sektor perdesaan sama sekali, atau menggantungkan diri pada kiriman uang dari anggota mereka yang bermigrasi (rumah tangga berorientasi migrasi). Terakhir, rumah tangga terdiversifikasi, menggabungkan pendapatan dari pertanian, tenaga kerja di luar pertanian, dan migrasi.

(34)

pendapatan mempunyai peranan penting yang dapat menunjukkan kemampuan daya dukung sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia yang dimiliki.

Pendapatan farm menurut Dharmawan (2001) masih terdapat dalam Putri (2011) adalah total bersih pendapatan tahunan baik tunai dan lainnya yang diperoleh dari semua kegiatan pertanian yang dilakukan rumah tangga dalam setahun, pendapatan ini termasuk semua pendapatan yang didapat dari lahan milik sendiri dan pendapatan yang diperoleh dari lahan bukan milik sendiri, misalnya bagi hasil. Pendapatan off farm adalah total bersih pendapatan tahunan baik tunai dan lainnya yang diterima oleh rumah tangga sebagai konsekuensi dari meminjamkan lahan kepada orang lain. Pendapatan non farm adalah total pendapatan bersih baik berupa tunai dan lainnya yang diperoleh rumah tangga dari semua kegiatan ekonomi selain sektor pertanian. Sedangkan dalam pandangan Sadikin dan Subagyono (2009), pendapatan on farm mencakup hasil dari usahatani tanaman padi, palawija, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Pendapatan off farm meliputi hasil dari buruh tani dan menyewakan lahan/ternak/alat mesin pertanian. Sementara itu, pendapatan non farm berasal dari kegiatan perdagangan, industri, jasa/upah karyawan, dan subsidi/bantuan/kiriman dari pihak dalam dan luar keluarga, termasuk dari pemerintah

Pengeluaran (Konsumsi) Rumah Tangga Petani

Konsumsi rumah tangga adalah nilai perbelanjaan yang dilakukan oleh rumah tangga untuk membeli berbagai jenis kebutuhannya dalam satu tahun tertentu. Konsumsi yaitu membeli barang dan jasa untuk memuaskan keinginan memiliki dan mengunakan suatu barang. Perbelanjaan pendapatan yang diterima oleh rumah tangga untuk membeli makanan, membeli pakaian, membiayai jasa pengangkutan, membayar pendidikan anak, membayar sewa rumah dan membeli kendaraan dalam rangka pemenuhan kebutuhan merupakan bentuk dari konsumsi (Sukirno 1999). Alokasi pengeluaran untuk konsumsi dalam pengambilan keputusan rumah tangga dibatasi oleh tingkat pendapatan yang dimiliki rumah tangga (Saliem dan Ariningsih 2009).

(35)

tergantung dari pendapatan relatifnya. Maksudnya konsumsi seseorang tergantung dari tingkat pendapatannya dibanding atau relatif terhadap pendapatan orang lain. Orang yang berpendapatan lebih rendah akan meniru pola konsumsi orang yang pendapatannya lebih tinggi di sekelilingnya. Karakteristik lain dari pengeluaran konsumsi adalah pada waktu pengeluaran konsumsi seseorang meningkat, maka tidak mungkin pengeluaran konsumsi tersebut menurun sekalipun pendapatannya menurun. Ketiga, menurut Friedman konsumsi seseorang tergantung pada pendapatan permanennya (pendapatan yang rutin ia terima setiap periode tertentu) dan bukan pada pendapatan transitori (pendapatan yang tak terduga).

Menurut Sukirno (1999), fungsi konsumsi dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan aljabar. Persamaan fungsi konsumsi ialah : C = a + bY, dimana a = konsumsi rumah tangga ketika pendapatan adalah 0, b = kecondongan konsumsi marginal, C = tingkat konsumsi, dan Y = tingkat pendapatan.

Faktor terpenting yang menentukan tingkat pengeluaran rumah tangga adalah pendapatan rumah tangga. Hubungan antara konsumsi dan pendapatan memiliki beberapa ciri yaitu Pertama, pada pendapatan yang rendah rumah tangga mengorek tabungan. Kedua, kenaikan pendapatan menaikkan pengeluaran konsumsi. Ketiga, pada pendapatan yang tinggi rumah tangga menabung. Keempat, pendapatan adalah sama dengan konsumsi rumah tangga ditambah dengan tabungan rumah tangga. Persamaannya dinyatakan dengan: Y = C + S, dimana; Y = pendapatan, C = konsumsi, dan S = tabungan.

Teken (1977) berpendapat, pendapatan konsumsi berpengaruh pada pemilihan barang-barang yang akan dibelinya. Jika pendapatan konsumen tersebut kecil, jumlah barang yang dapat dibelinya akan terbatas dan tingkat kepuasannya akan rendah. Sebaliknya dengan pendapatan yang lebih tinggi, konsumen dapat membeli barang yang lebih banyak jumlah dan macamnya dengan tingkat kepuasan yang lebih tinggi pula. Umumnya konsumen yang berpenghasilan rendah yang mempergunakan penghasilan tersebut dengan persentase yang lebih besar untuk bahan makanan, jika dibandingkan dengan konsumen yang berpenghasilan lebih tinggi. Konsumen yang berpenghasilan rendah mungkin harus mempergunakan sebagian besar penghasilannya untuk bahan makanan, sedang mereka yang berpenghasilan tinggi mungkin hanya mempergunakan 20-30% dari penghasilannya untuk bahan makanan.

Apabila pendapatan seorang konsumen bertambah, terdapat kemungkinan untuk mempergunakan sebagian dari tambahan pendapatan untuk membeli barang-barang konsumsi dan sisanya ditabung atau dibelanjakan untuk memenuhi keinginan lain yang belum terpenuhi. Bagian dari tambahan pendapatan yang digunakan untuk konsumsi dinamakan kecenderungan konsumsi marjinal (marginal prospensity to consume) atau KKM. Angka KKM untuk konsumen yang berpenghasilan rendah umumnya lebih besar daripada KKM konsumen yang berpenghasilan tinggi. Tambahan jumlah barang yang dibeli karena tambahan penghasilan akan memberikan tingkat kepuasan yang lebih tinggi dari semula.

Gambar

Tabel 3. Bentuk-bentuk pasar
Gambar 3. Kurva konsumsi pendapatan
Gambar 4. Kerangka penelitian
Tabel 4. Jenis dan sumber pengambilan data
+7

Referensi

Dokumen terkait

menggunakan analisis Location Quotient / LQ, analisis yang digunakan untuk mengetahui peranan sektor unggulan terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi dengan membandingan antara

Dalam upaya meningkatkan peranan sektor industri pengolahan dalam pembangunan ekonomi Provinsi Jawa Barat, hendaknya pemerintah Provinsi Jawa Barat lebih memprioritaskan

Untuk mengetahui apakah komoditas kopi sebagai sektor basis dapat mendukung kegiatan perkebunan di Indonesia maka digunakan suatu metode analisis yakni

Untuk menjawab tujuan utama tersebut maka tujuan spesifik dari tujuan kajian ini adalah menganalisis keunggulan komparatif komoditas kopi di Kabupaten Lampung Barat sehingga

Untuk menjawab tujuan kedua digunakan Metode Location Quotient (LQ) yaitu untuk mengetahui apakah komoditas kopi robusta termasuk kadalam sektor basis atau non

Bahkan, akibat rendahnya harga yang diterima petani, banyak perkebunan kopi yang dikonversi ke tanaman lain terjadi di Propinsi Lampung yang mengakibatkan

Rendahnya akses masyarakat Kabupaten Lampung Barat untuk mengembangkan proses industri hilir komoditas kopi mengakibatkan nilai tambah produk yang cukup besar pada proses hilir

Nilai RM Komoditas Kopi Arabika Menurut Produksi di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2016-2018 SIMPULAN Daerah basis komoditas kopi arabika di Kabupaten Tapanuli Utara adalah Kecamatan