• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Faktor Penentu Ketahanan Pangan dan Ekonomi Rumahtangga Pertanian

DAFTAR GAMBAR

PENGELOLAAN KONSUMSI & POLA

2.3. Tinjauan Studi Terdahulu 1 Studi di Mancanegara

2.3.2. Studi di Indonesia

2.3.2.5. Analisis Faktor Penentu Ketahanan Pangan dan Ekonomi Rumahtangga Pertanian

Ketahanan pangan merupakan permasalahan lintas sektoral yang muncul sebagai isu nasional seiring dengan merebaknya berbagai kasus rawan pangan di sejumlah daerah di Indonesia (Muflich, 2006). Upaya mewujudkan ketahanan pangan di tingkat rumahtangga bukan persoalan yang sederhana. Sulitnya menanggulangi sumber-sumber distorsi akses terhadap pangan mengakibatkan kasus-kasus rawan pangan dalam bentuk Kekurangan Energi dan Protein (KEP) senantiasa terjadi dan bahkan menjadi salah satu masalah utama peningkatan kualitas sumberdaya manusia dari aspek gizi (Hardono, 2003).

Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi pencapaian ketahanan pangan. Saliem et al. (2005) menguraikan beberapa karakteristik inheren pada tiap subsistem ketahanan pangan yang mempengaruhi pencapaiannya, yaitu : (1) ter- kait subsistem ketersediaan, diantaranya adalah bahwa produksi pangan tidak dapat dihasilkan sepanjang tahun, kapasitas produksi beras nasional cenderung stagnan, sedangkan kebutuhan masyarakat terus meningkat, dan harga gabah cenderung rendah dalam beberapa tahun terakhir, (2) pada subsistem distribusi, antara lain adalah konflik kepentingan antara konsumen dengan produsen berkenaan dengan harga, dan (3) karakteristik inheren dalam mewujudkan ketahanan pangan terkait aspek konsumsi, diantaranya adalah tingginya tingkat pengangguran dan daya beli masyarakat.

Karakteristik sosial ekonomi keluarga sangat menentukan pencapaian ketahanan pangan rumahtangga. Yuliana et al. (2002) menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi bayi di Kota Bogor. Hasil temuan dari studi ini adalah bahwa besar keluarga berpengaruh negatif terhadap status gizi. Artinya, semakin banyak jumlah anggota keluarga, maka semakin besar resiko terjadinya gizi kurang. Karena semakin banyak anggota keluarga, maka semakin banyak makanan yang harus disediakan.

Hardono (2003) menganalisis dampak perubahan faktor-faktor ekonomi terhadap ketahanan pangan rumahtangga pertanian dengan metode simulasi menggunakan data PATANAS tahun 1999. Penelitian ini menggunakan pendekatan Model Rumahtangga Pertanian (RTP). Dalam hal ini, skala produksi usahatani ditentukan oleh tingkat pemanfaatan sumberdaya seperti luas lahan garapan, tenaga kerja, maupun modal, disamping pengaruh faktor eksternal pasar input

dan output. Penerimaan usahatani dan usaha produktif lain secara bersama-sama akan menentukan tingkat pendapatan rumahtangga.

Peningkatan kecukupan gizi atau energi berarti peningkatan terhadap derajat sehat. Semakin tinggi derajat sehat menunjukkan kualitas sumberdaya manusia yang makin baik, yang akan dapat mengurangi pengeluaran lain dalam rumahtangga, khususnya biaya kesehatan. Tabungan rumahtangga mempunyai beberapa peran, pada konteks ketahanan pangan, perannya adalah sebagai stabilisator konsumsi dalam menghadapi ancaman rawan pangan.

Spesifikasi model menghubungkan dua subsistem, yaitu produksi dan pengeluaran (konsumsi). Subsistem pertama mencakup keputusan usahatani dan usaha produktif lain pembentuk struktur pendapatan. Subsistem kedua mencakup keputusan penggunaan output produksi, pengeluaran rumahtangga (pangan, tabungan dan investasi sumberdaya manusia), serta pembentukan modal rumahtangga. Dalam subsistem ini termasuk perilaku kecukupan energi sebagai proksi kecukupan gizi. Model disusun secara linear aditif. Hasil analisis menunjukkan kenaikan alokasi sumberdaya internal rumahtangga (waktu berburuh dan luas garapan) berdampak positif terhadap ketahanan pangan rumahtangga pertanian. Dampak negatif akibat kenaikan harga-harga input (pupuk dan upah buruh tani) dapat dikompensasi bila kenaikan harga tersebut diikuti dengan kenaikan harga output secara proporsional.

Model ekonomi rumahtangga juga digunakan oleh Asmarantaka (2007) dalam menganalisis perilaku ekonomi rumahtangga petani di Provinsi Lampung. Karena terdapat perbedaan karakteristik rumahtangga yang spesifik antara pertanian tanaman pangan (padi dan ubikayu) dengan tanaman perkebunan (kopi), maka

diduga akan memberi dampak yang berbeda terhadap perilaku ekonomi rumahtangga petani, terutama dalam curahan kerja, pendapatan, pengeluaran konsumsi, investasi maupun tabungan keluarga. Analisis ekonomi RTP mempergunakan tabulasi, uji beda, dan ekonometrika melalui persamaan simultan.

Hasil analisis ekonomi antara lain menunjukkan pendapatan dari desa padi dan perkebunan terutama berasal dari pertanian, sedangkan desa ubikayu berasal dari non pertanian. Penggunaan tenaga kerja keluarga untuk mencari nafkah belum memenuhi kriteria waktu kerja penuh BPS, meskipun sudah memenuhi kriteria tahan pangan. Produksi padi tidak responsif terhadap perubahan harga (kecuali di desa kebun), tetapi responsif terhadap penggunaan tenaga kerja. Penggunaan tenaga kerja di desa pangan dipengaruhi oleh tingkat upah sedangkan desa kopi sangat dipengaruhi dan responsif terhadap nilai produksi kopi. Konsumsi pangan di tiga desa dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga, meskipun hanya desa padi yang responsif. Di desa kebun, konsumsi pangan sangat dipengaruhi oleh nilai produksi kopi. Kenaikan penggunaan tenaga kerja keluarga yang diiringi dengan kenaikan harga input dan output, mempunyai dampak positif terhadap produktivitas usahatani dan pendapatan RTP terutama di desa pangan padi.

Dengan menggunakan analisis kualitatif dan kuantitatif (regresi berganda), Sauqi (2002) meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi dan ketahanan pangan rumahtangga di daerah rawan pangan di Kabupaten Lombok. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Hasil penelitiannya antara lain adalah faktor yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan rumahtangga keluarga pra- sejahtera yaitu ketersediaan pangan dan daya beli rumahtangga.

menghadapi pasar bersaing sempurna, baik di pasar input maupun output. Hal yang berbeda dilakukan Kusnadi (2005) yang juga menggunakan model RTP, tetapi dengan asumsi bahwa petani menghadapi pasar yang bersaing tidak sempurna. Ketidaksempurnaan pasar ditangkap dengan penggunaan harga bayangan untuk tenaga kerja dalam keluarga dan lahan. Dalam kondisi ini, perilaku ekonomi rumahtangga petani lebih responsif terhadap perubahan harga produk dibandingkan perubahan harga input.

Rindayati (2009) melakukan studi tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan dan ketahanan pangan di Jawa Barat. Untuk mengukur pencapaian ketahanan pangan, digunakan enam indikator ketahanan pangan rumahtangga, yaitu : (1) jumlah konsumsi beras, (2) konsumsi energi, (3) kon- sumsi protein, (4) prevalensi anak gizi kurang, (5) Angka Kematian Bayi, dan (6) Usia Harapan Hidup. Salah satu hasil dari analisis yang dilakukan penulis adalah bahwa pendapatan/kapita merupakan variabel yang berpengaruh signifikan dan positif terhadap jumlah konsumsi beras, konsumsi energi, konsumsi protein, dan prevalensi anak gizi kurang.