• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR GAMBAR

PENGELOLAAN KONSUMSI & POLA

3. Aktivitas Waktu Luang

3.1.5. Ketidaksetaraan Gender, Pendidikan dan Pertumbuhan Ekonom

Sumberdaya manusia yang terdiri atas perempuan dan laki-laki merupakan sumberdaya yang sangat penting dalam proses produksi maupun kegiatan reproduktif. Menurut Jhingan (2004) proses pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh dua macam faktor, yaitu faktor ekonomi dan non ekonomi. Faktor ekonomi antara lain : sumber alam, akumulasi modal, organisasi, dan kemajuan teknologi. Sedangkan faktor non ekonomi antara lain : faktor sosial, manusia, serta politik dan administrasi. Sumberdaya manusia merupakan faktor terpenting dalam proses pertumbuhan ekonomi yang tidak semata-mata jumlahnya tetapi lebih ditekankan pada efisiensi sumberdaya manusia tersebut. Peningkatan GNP per kapita erat kaitannya dengan pengembangan faktor manusia, yang meliputi peningkatan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan seluruh penduduk negara tersebut. Proses peningkatan itu mencakup kesehatan, pendidikan, dan pelayanan sosial pada umumnya.

Pada saat ini statistik pasar tenaga kerja di banyak negara menunjukkan penurunan gap gender dalam partisipasi angkatan kerja. Gap berkurang karena meningkatnya partisipasi perempuan dan menurunkannya partisipasi laki-laki. Pengurangan gap ini diintrepretasikan dengan adanya lebih sedikit pekerjaan pada ekonomi yang produktif yang dibayar untuk laki-laki dan lebih banyak pekerjaan dalam ekonomi produktif yang dibayar untuk perempuan (Elson, 1999).

Meskipun terjadi kemajuan survei statistik, namun sebagian besar aktivitas ekonomi perempuan masih tersembunyi. Statistik status angkatan kerja cenderung

mempunyai proporsi yang lebih tinggi untuk perempuan daripada laki-laki dengan status ’tenaga kerja keluarga yang tidak dibayar’. Pada tahun 1991 Sensus di Uganda mengindikasikan bahwa sekitar 69 persen angkatan kerja laki-laki di sektor pertanian bekerja untuk diri sendiri, 1 persen sebagai tenaga kerja orang lain, dan hampir 30 persen sebagai pekerja keluarga yang tidak dibayar. Tenaga kerja perempuan di pertanian hampir 27 persen bekerja sendiri, persentase yang dapat diabaikan untuk yang bekerja dan di atas 73 persen sebagai pekerja yang dibayar. Sama halnya di Pakistan, diperkirakan bahwa 65 persen pekerja perempuan desa adalah tenaga kerja keluarga yang tidak dibayar, dibandingkan 20 persen dengan laki-laki. Ini sejalan dengan Todaro (1998) bahwa PAK perempuan meningkat tetapi pada pekerjaan yang tidak banyak menghasilkan pendapatan.

Perluasan dalam pertumbuhan ekonomi akan mengurangi ketimpangan gender. Ini terlihat pada negara-negara di Selatan-Timur dan Asia timur, bahwa pertumbuhan pada tahun 1970an dan 1980an yang meningkat dengan cepat mendorong pertumbuhan partisipasi laki-laki dan perempuan di pasar tenaga kerja (Horton, 1996 dalam Elson, 1999). Fenomena ini akan sangat berarti bagi perem- puan jika persamaan gender lebih besar dalam pasar tenaga kerja. Todaro (1998) mengemukakan perempuan memegang peran penting dalam sektor produksi pertanian disamping fungsi lainnya dalam kehidupan sehari-hari, tetapi sering terabaikan. Keragaman tugas perempuan menyulitkan dalam perhitungan porsi sumbangan mereka dalam produksi pertanian, apalagi untuk menaksir nilai ekonominya. Terlebih karena mereka tidak menerima upah atas pekerjaan yang dilakukan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan di Asia dan Afrika menyediakan sekitar 60-80 persen waktunya untuk produksi pertanian.

Peran penting perempuan lainnya adalah dalam penyediaan makanan untuk keluarga. Meskipun terkesan sederhana, banyak waktu dan tenaga yang harus dicurahkan untuk mencari (membeli), memasak serta menghidangkan makanan. Oleh karena itu pemenuhan gizi keluarga sangat ditentukan oleh peran perempuan dan juga ditopang oleh penghasilan yang diperolehnya. Para ibu rela menghabiskan lebih banyak pendapatannya untuk kesejahteraan keluarganya daripada yang disediakan oleh suami mereka. Ketika terjadi kemerosotan status ekonomi perempuan maka tingkat kesejahteraan keluarga juga bisa menurun. Dalam hal ini pemerintah harus lebih jeli dalam merumuskan program- programnya, khususnya dalam melibatkan peranan perempuan.

Kesenjangan gender dalam bidang pendidikan merupakan fakta yang menyolok di negara-negara miskin. Padahal pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan produktivitas pekerja, terutama perempuan. Todaro (1998) mengemukakan alasan mengapa pendidikan bagi perempuan sangat penting. Terjadinya diskriminasi tersebut turut menjadi sebab terhambatnya pembangunan ekonomi yang memperburuk ketimpangan kesejahteraan sosial. Data-data statistik menunjukkan bahwa pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi di negara-negara barat, bukan dipacu oleh pengembangan modal fisik, tetapi pengembangan sumberdaya manusia.

Menurut Chen (2003), terdapat asosiasi positif yang secara statistik signifikan mengenai hubungan antara kesetaraan gender dengan pendidikan dan pembangunan ekonomi. Beberapa penelitian yang dikutip Chen (2003) berikut ini

memperkuat argumen tersebut. Abu-Ghaida dan Klasen (2002) dalam Chen

dalam pendidikan akan dapat menurunkan pendapatan per kapita sebesar 0.1-0.3 persen. Klasen (1999) dalam Chen (2003) juga mendapatkan bahwa jika negara- negara Asia Selatan, Afrika Sub-Sahara serta Middle East dan Afrika Utara dapat meningkatkan kesetaraan gender dalam kesempatan sekolah selama tahun 1960- 1992 secepat yang dilakukan negara-negara di Asia Timur, maka pendapatan per kapita negara-negara tersebut akan tumbuh dengan tambahan sebesar 0.5-0.9 persen per tahun. Dollar dan Gatti (1999) juga menemukan bahwa pencapaian pendidikan menengah yang lebih besar bagi perempuan akan membawa pada laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, ketika pencapaian pendidikan laki-laki

cenderung menurunkan laju pertumbuhan ekonomi. Hill dan King (1993) dalam

Chen (2003) menemukan bahwa ketidaksetaraan gender dalam pendidikan memiliki efek terhadap output agregat, yaitu rendahnya rasio pendidikan dasar dan menengah perempuan-lelaki berhubungan dengan GNP yang lebih rendah.

United Nations (2002) dalam Chen (2003) menyebutkan bahwa rendahnya pemberdayaan perempuan merupakan satu faktor yang secara serius menghambat pembangunan sumberdaya manusia di beberapa wilayah pada beberapa waktu terakhir.

Pentingnya pendidikan juga terkait dengan pencapaian ketahanan pangan rumahtangga. Ariani et al. (2003) menemukan bahwa salah satu karakteristik yang sangat menyolok pada rumahtangga rawan pangan adalah tingkat pendidikan perempuan dan laki-laki yang rendah. Ini menjadi petunjuk pentingnya pendidikan dalam mempengaruhi berbagai aspek penting dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam pencapaian ketahanan pangan.