• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gender, Pembagian Tenaga Kerja, Penggunaan Waktu dan Partisipasi di Pasar Tenaga Kerja

DAFTAR GAMBAR

PENGELOLAAN KONSUMSI & POLA

2.3. Tinjauan Studi Terdahulu 1 Studi di Mancanegara

2.3.1.3. Gender, Pembagian Tenaga Kerja, Penggunaan Waktu dan Partisipasi di Pasar Tenaga Kerja

Survei mengenai penggunaan waktu anggota rumahtangga merupakan input penting ditujukan untuk keluarga dan sikapnya terkait gender, juga tentang informasi bagi analisis kebijakan, karena memberikan informasi tentang alokasi waktu rumahtangga untuk kegiatan produksi rumahtangga sebagai substitusi

output pasar, juga informasi atas alokasi kegiatan santai (leisure). Sudah jelas bahwa analisis ekonomi dari kebijakan yang didasarkan pada model perilaku individu dan rumahtangga menunjukkan bahwa kesejahteraan tergantung pada konsumsi dan leisure (Apps, 2004).

Lewin-Epstein dan Stier (2006) menggunakan bagian dari data Program Survey Sosial Internasional tahun 2002, di mana respondennya berusia di atas 18 tahun. Dalam kuesioner yang diajukan kepada responden terutama mengenai pembagian tenaga kerja rumahtangga dan curahan waktu atas pekerjaan di rumah.

Variabel dependen yang digunakan, yaitu pembagian tenaga kerja keluarga, yang dalam hal ini menunjukkan adanya pemisahan dalam tenaga kerja rumahtangga, atau sebaliknya adanya sharing pasangan dalam tugas rumahtangga, diukur sebagai respon rata-rata untuk 4 (empat) item yang merepresentasikan tugas utama harian rumahtangga, yaitu mencuci, membersihkan, menyiapkan makan, dan belanja. Skala untuk setiap item adalah 1 bila hanya isteri yang bertanggung jawab untuk aktivitas tersebut dan 5 (lima) bila hanya suami yang bertanggung jawab. Rendahnya skor total menunjukkan bahwa perempuan merupakan pengatur utama pekerjaan di rumah. Sebaliknya, nilai skor yang tinggi menggambarkan bahwa laki-laki lebih bertanggung jawab atas pekerjaan sehari- hari yang dilakukan oleh rumahtangga tradisional. Bila nilainya intermediate, berarti bahwa pembagian tenaga kerja dalam rumahtangga lebih egalitarian.

Hasil penelitian adalah perempuan dan laki-laki Israel mencurahkan waktu yang lebih sedikit dalam pekerjaan rumahtangga dan pekerjaan rumahtangga di Jerman lebih terpisah. Hal ini disebabkan karena kedua negara berbeda dalam

rumahtangga, yaitu umur, pendidikan istri, pendidikan suami, isteri dalam angkatan kerja, suami dalam angkatan kerja, jam kerja mingguan isteri di pasar, jam kerja mingguan suami di pasar, anak < 6 tahun, anak 6-17 tahun, ketergantungan pendapatan, ideologi gender, dan outsourcing housework.

Keputusan untuk berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja secara umum dimodelkan sebagai maksimisasi individu atas lifetime utility (happiness) dengan kendala anggaran dan waktu yang tersedia. Bila utilitas dari upah marjinal harapan lebih tinggi daripada jam marjinal pada pekerjaan non pasar, maka individu akan memasuki angkatan kerja (Cunningham, 2001). Tetapi dalam kenyataannya, terdapat variabel non ekonomi yang berpengaruh. Misalnya variabel yang terkait dengan agama atau kepercayaan.

Glass dan Nath (2006) menguji pengaruh dari konservatisme agama terhadap perilaku angkatan kerja perempuan yang menikah atau menambah anak terhadap rumahtangganya. Data yang digunakan adalah Survei Nasional Keluarga dan Rumahtangga. Paper ini fokus pada pengaruh ideologi agama konservatif dan afiliasi agama terhadap pekerjaan dan penghasilan perempuan seperti transisi me- reka dalam peran keluarga (isteri, ibu) dimana partisipasi tenaga kerja sangat dila- rang. Dalam hal ini diukur peran agama dan kepercayaan dalam keputusan perem- puan untuk mengurangi keterlibatan mereka di pasar setelah menikah dan mela- hirkan. Ukuran yang digunakan dengan 3 (tiga) indikator adalah perubahan dalam jam kerja, komposisi gender dari pekerjaan yang dilakukan dan upah per jam.

Pada saat ini, perkembangan peran perempuan di pasar tenaga kerja terus berkembang, meskipun tetap saja terjadi ketimpangan gender pada beberapa aspek. Maume (2006) menyebutkan bahwa dalam keluarga yang egalitarian,

diharapkan perempuan dan laki-laki memiliki kesamaan pekerjaan prioritas dan kewajiban keluarga. Penelitian Maume (2006) menganalisis faktor-faktor penentu dari kendala tempat atas usaha kerja (misalnya mengurangi jam kerja, menolak untuk perjalanan) untuk kepentingan kehidupan keluarga. Fokus penelitian ini adalah untuk mengukur apakah laki-laki akan lebih fokus atas kehidupan keluarga ketika perempuan mengejar karirnya.

Data yang digunakan adalah dua sampel dari pekerja penuh-waktu yang telah menikah (studi nasional perubahan angkatan kerja). Hasil menunjukkan bahwa perempuan lebih memilih menukar pekerjaan dalam merespon usaha kerja suami, dimana kendala pekerjaan laki-laki tidak responsif terhadap karakteristik keluarga. Disimpulkan bahwa pekerjaan prioritas dan kewajiban keluarga adalah lebih dipengaruhi oleh tradisionalisme gender daripada egalitarianisme.

Binswanger dan Rosenzweig (1981) menemukan bahwa peran perempuan di pasar tenaga kerja perdesaan juga memperoleh sedikit perhatian. Aspek menarik adalah terkait pertanyaan ‘mengapa pola pekerjaan dan tingkat upah perempuan, dalam tugas atau jabatan tertentu, berbeda dengan laki-laki?’ Bardhan (1979) dan

Rosenzweig (1979) dalam Binswanger dan Rosenzweig (1981) menguji perbe-

daan perilaku penawaran tenaga kerja perempuan dan laki-laki. Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa penelitian yang dikutip Binswanger dan Rosenzweig (1981) adalah bahwa di negara-negara berkembang seperti juga di negara-negara maju, pasar tenaga kerja perdesaan menunjukkan perbedaan pola antara pekerjaan dan penghasilan laki-laki dan perempuan. Upah perempuan secara umum lebih rendah dan tingkat pengangguran lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Perempuan juga sering tidak mendapat tempat pada segmen tertentu di pasar tenaga kerja. Di

Banglades, perempuan tidak berpartisipasi dalam lapangan pekerjaan secara keseluruhan, karena hambatan sosial dari sisi agama (tetapi di Indonesia, perempuan muslim berpartisipasi pada berbagai lapangan pekerjaan, sehingga agama secara sendiri tidak cukup untuk menjelaskan tak adanya partisipasi perempuan Banglades).

Pada banyak lokasi di India, adanya fakta bahwa perempuan kelas atas tidak berpartisipasi di pasar tenaga kerja adalah berhubungan dengan larangan terkait kasta. Pola-pola yang ada di berbagai negara dengan corak sosial budaya yang berbeda, tidak mudah dijelaskan, baik dengan pembagian tenaga kerja (division of labor) terkait kemampuan melahirkan anak dan produksi rumahtangga, ataupun dengan perbedaan produktivitas pasar. Fakta bahwa terdapat keterbatasan pekerjaan dan mobilitas dari usahatani ke usahatani oleh perempuan dibandingkan dengan laki-laki berimplikasi pada efisiensi produksi dan menciptakan kesulitan dalam mengevaluasi kesejahteraan dari mekanisme pasar tenaga kerja perdesaan.