• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAN LATAR BELAKANG SOSIODEMOGRAFI RESPONDEN

5.4. Karakteristik Sosiodemografi dan Usahatani Responden

5.4.1. Karakteristik Sosiodemografi Responden

Hasil analisis statistik deskriptif (rata-rata, standar deviasi dan t-test) beberapa karakteristik responden (umur perempuan dan laki-laki saat penelitian, lama masa sekolah perempuan dan laki-laki, serta umur perempuan dan laki-laki ketika pertama menikah), nampak bahwa keseluruhan variabel tersebut berbeda nyata pada tingkat kesalahan (α) sebesar 5 persen. Artinya, nilai-nilai variabel umur dan tingkat pendidikan antara perempuan dan laki-laki memang berbeda secara signifikan. Hasil analisis tersebut diringkaskan dalam tabel berikut :

Tabel 7. Nilai Rata-Rata, Standar Deviasi dan P-Value Beberapa Karakteristik Responden di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009

Uraian Rata-rata Standar

Deviasi P-value

Umur suami (tahun) Umur istri (tahun)

42.49 36.70

11.55 10.01

<0.0001*

Pendidikan suami (tahun) Pendidikan istri (tahun)

7.68 6.77

3.43 3.93

<0.017*

Umur suami saat menikah (tahun) Umur isteri saat menikah (tahun)

23.73 19.53 3.96 3.89 <0.0001* Keterangan :

Dari keseluruhan responden, nampak bahwa umur rata-rata responden laki-laki lebih tinggi (42.49 tahun) daripada umur perempuan (36.70 tahun). Demikian juga dengan rata-rata tingkat pendidikan laki-laki yang mencapai 7.68 tahun, lebih tinggi daripada rata-rata tingkat pendidikan perempuan (6.77 tahun). Rata-rata umur saat menikah suami juga lebih tinggi daripada perempuan, yaitu laki-laki saat berumur 23.73 tahun dan perempuan saat berumur 19.53 tahun. Hasil-hasil ini menunjukkan bahwa responden di lokasi penelitian memiliki beberapa karakteristik seperti yang umumnya terjadi dalam budaya masyarakat di Indonesia, yaitu bahwa dalam hubungan suami-isteri, umur laki-laki sering lebih tinggi daripada perempuan.

Fenomena lain adalah adanya indikasi ketimpangan gender dalam hal tingkat pendidikan responden, yaitu tingkat pendidikan laki-laki umumnya lebih tinggi daripada tingkat pendidikan perempuan. Hasil penelitian Koesoemowidjojo (2000) menunjukkan bahwa rata-rata lama pendidikan istri adalah 5.9 tahun, lebih rendah daripada suami (7.3 tahun). Ini semakin menguatkan pendapat dalam masyarakat bahwa laki-laki lebih diutamakan dalam menempuh pendidikan formal daripada perempuan.

Fenomena di atas umumnya terjadi di negara-negara miskin, padahal

pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan produktivitas pekerja, terutama bagi perempuan. Menurut Todaro (1998), pendidikan bagi perempuan sangat penting. Terjadinya diskriminasi tersebut merupakan salah satu penyebab terhambatnya pembangunan ekonomi yang memperburuk ketimpangan kesejahteraan sosial. Data-data statistik menunjukkan bahwa pencapaian

pertumbuhan ekonomi yang tinggi di negara-negara barat, terutama bukan dipacu oleh pengembangan modal fisik, tetapi oleh pengembangan sumberdaya manusia. Hasil analisis atas beberapa karakteristik rumahtangga responden yang dipilah menurut desa rawan pangan dan tahan pangan, disarikan dalam Tabel 8. Dalam tabel tersebut nampak umur rata-rata responden laki-laki dan perempuan di desa tahan pangan lebih tinggi daripada responden di desa rawan pangan. Dilihat dari aspek gender, rata-rata umur laki-laki (suami) selalu lebih tinggi daripada usia perempuan (isteri), baik di desa rawan pangan maupun di desa tahan pangan. Umur laki-laki yang lebih tinggi daripada perempuan pada pasangan suami-isteri merupakan hal yang lumrah di Indonesia. Ini merupakan salah satu produk budaya di Indonesia, dimana secara umum yang dianggap lebih wajar adalah usia suami lebih tinggi daripada usia isteri.

Tabel 8. Nilai Rata-Rata Beberapa Karakteristik Responden di Desa Rawan Pangan dan Tahan Pangan di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009

Uraian Responden di Desa Rawan Pangan n=144 Responden di Desa Tahan Pangan n=50

Umur suami (tahun) 41.88 44.22

Umur istri (tahun) 35.76 39.40

Pendidikan suami (tahun) 7.16 9.16

Pendidikan istri (tahun) 6.22 8.38

Umur suami saat menikah

(tahun) 23.95 23.10

Umur isteri saat menikah (tahun) 19.71 19.02

Ukuran rumahtangga (orang) 4.69 4.90

Jumlah anak usia di bawah 10

Dilihat dari umur saat menikah, diketahui bahwa rata-rata usia responden di desa rawan pangan lebih tinggi daripada usia responden di desa tahan pangan, baik untuk perempuan maupun laki-laki. Artinya, responden di desa-desa rawan pangan menikah dalam usia rata-rata yang lebih tua daripada responden di desa tahan pangan. Dari rata-rata usia responden pada saat menikah tersebut menunjukkan bahwa secara umum responden di kedua wilayah penelitian menikah pada usia yang wajar seperti umumnya terjadi di Indonesia, yaitu ketika berusia sekitar 20-an tahun. Usia saat menikah, dimana umur perempuan biasanya lebih muda daripada usia laki-laki merupakan hal yang dianggap normal dalam budaya masyarakat di Indonesia, termasuk di lokasi penelitian.

Dari aspek pendidikan, secara umum dapat dikatakan bahwa responden di desa tahan pangan, baik perempuan maupun laki-laki, telah mencapai pendidikan dasar (9 tahun). Sedangkan di desa rawan pangan, secara umum responden perempuan maupun laki-laki berpendidikan lebih rendah, yaitu belum menyelesaikan pendidikan dasar 9 tahun. Rata-rata masa sekolah laki-laki mencapai 9.16 tahun di desa tahan pangan dan 7.16 tahun di desa rawan pangan. Sedangkan masa sekolah perempuan di desa tahan pangan dan rawan pangan masing-masing adalah 8.38 tahun dan 6.22 tahun.

Menurut KPP RI (2007b), lama masa sekolah dapat dijadikan salah satu indikator terjadinya ketimpangan gender dalam masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa di lokasi penelitian terjadi ketimpangan gender, dimana masa sekolah perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Hal ini dapat disebabkan karena dalam masyarakat lebih mengutamakan pendidikan untuk anak laki-laki

dibandingkan anak perempuan. Fenomena ini sering terjadi dalam masyarakat, termasuk di Sulawesi Tenggara (BPS dan BPM Sulawesi Tenggara, 2006).

Secara umum, rata-rata ukuran rumahtangga (jumlah anggota rumah- tangga) responden di kedua wilayah penelitian tidak berbeda jauh, yaitu 4.69 di desa rawan pangan dan 4.90 di desa tahan pangan. Artinya, dalam setiap rumahtangga contoh, disamping suami dan isteri, juga terdapat anggota keluarga lain sekitar tiga orang, yang umumnya adalah anak dari pasangan suami-isteri responden.

Rata-rata jumlah anak yang berusia di bawah 10 tahun yang ada dalam rumahtangga responden di desa rawan pangan lebih tinggi, yaitu sebesar 1.23 orang dan di desa tahan pangan sebesar 0.94. Bila dibandingkan dengan hasil studi sebelumnya, dimana adanya anak kecil di rumah berpengaruh negatif terhadap partisipasi perempuan untuk bekerja di luar rumah (Widarti, 1998), maka dapat dikatakan bahwa kemungkinan partisipasi perempuan untuk bekerja di luar usahatani keluarga di desa rawan pangan akan lebih rendah dibandingkan perempuan di desa tahan pangan. Hal ini disebabkan adanya nilai-nilai dalam masyarakat bahwa tanggung jawab utama dalam pengasuhan anak-anak terutama merupakan tanggung jawab perempuan sebabagi ibu. Dengan demikian akan menyebabkan aktivitas mereka di luar rumahtangga akan berkurang. Menurut Alvarez dan Miles (Undated), jumlah anak yang besar dalam rumahtangga, akan menyebabkan tingginya aktivitas perempuan dalam rumahtangga.

Terkait aspek gender, secara ekonomi Becker (1981) menjelaskan bahwa selama selang umur perempuan dalam hidupnya, ada saat-saat tertentu dimana mereka memberi nilai yang tinggi pada pekerjaan rumahtangga, misalnya ketika

anak-anak masih kecil sampai pada usia tertentu. Setelah anak-anak beranjak besar, dimana nilai waktu untuk aktivitas di luar rumahtangga menjadi lebih tinggi dibandingkan pekerjaan dalam rumah, maka perempuan akan memilih untuk beraktivitas di luar rumahtangga. Hasil penelitian Suprihatin (1986) memperkuat Teori Becker ini, yaitu semakin bertambah umur anak dalam rumahtangga, maka semakin banyak waktu untuk mencari nafkah.

Meskipun sangat jarang dilakukan perhitungan terhadap nilai ekonomi pekerjaan rumahtangga, namun dari Teori Becker tersebut di atas menunjukkan bahwa pekerjaan mengasuh anak, yang menurut Ellis (1988) termasuk dalam aktivitas reproduksi sosial merupakan pekerjaan yang sebenarnya bernilai ekonomi tinggi, karena menyangkut penentuan kualitas anak dalam rumahtangga, yang pada akhirnya di suatu waktu akan menjadi generasi penerus bangsa. Bila ibu dapat berperan dengan baik dan benar dalam proses pertumbuhan anak tersebut, maka akan dihasilkan anak dengan kualitas yang tinggi. Karena dalam proses pengasuhan tersebut, bukan hanya ditanamkan nilai-nilai sosial yang akan senantiasa mewarnai perilaku anak tersebut di masa depan, namun juga dalam penyiapan pangan yang dikonsumsi anak dalam proses pertumbuhannya. Bila pangan yang dikonsumsi adalah pangan yang memenuhi syarat-syarat sebagai makanan yang baik dan sehat, maka dapat dipastikan bahwa anak tersebut akan tumbuh dengan baik. Yuliana et al. (2002), Madanijah et al. (2006) dan Krisnatuti

et al. (2006) menunjukkan dalam penelitiannya bahwa makanan sangat berpengaruh terhadap kualitas anak.