• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR GAMBAR

KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA :

4.3. Metode Pengambilan Contoh

Sesuai dengan permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, maka responden yang diwawancarai adalah suami dan isteri dari rumahtangga petani. Umumnya petani di lokasi penelitian mengelola tanaman pangan, perkebunan dan perikanan (nelayan dan perikanan darat). Pada awalnya direncanakan akan dilakukan analisis secara terpisah berdasarkan jenis usahatani yang dikelola tersebut, karena diperkirakan akan ada perbedaan perilaku peran gender dalam usaha mencapai ketahanan pangan rumahtangga. Namun setelah pengambilan data di lapang, ternyata jarang sekali petani dan keluarganya yang mengelola satu jenis usahatani secara eksklusif. Dengan demikian, analisis tersebut tidak dilaksanakan karena nampaknya hasilnya akan bias.

Kabupaten Konawe Selatan merupakan kabupaten yang memiliki 22 kecamatan (BPS Sultra, 2007b). Penelitian ini dilaksanakan di tiga kecamatan di Kabupaten Konawe Selatan (Konsel) Provinsi Sultra, yang dipilih secara sengaja.

Pemilihan kecamatan sampel berdasarkan kriteria bahwa daerah tersebut adalah kecamatan ‘rawan pangan’ dan ‘tahan pangan’.

Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian dan Ketahanan Pangan (BP3KP) Kabupaten Konsel (2008) menyebutkan bahwa Kecamatan Kolono dan Angata adalah dua kecamatan yang termasuk rawan pangan. Sedangkan Kecamatan Laeya yang merupakan daerah paling ‘tahan pangan’ diantara kecamatan yang ada di Konsel, dipilih secara sengaja sebagai pembanding untuk daerah rawan pangan. Terdapat tiga indikator yang digunakan dalam pengelompokkan ini, yaitu (1) prevalensi gizi kurang pada Balita, (2) persentase keluarga miskin, dan (3) rasio produksi pangan beras terhadap kebutuhan pangan penduduk.

Indikator ini hanya sebagian kecil dari ukuran yang digunakan secara nasional dan juga telah diadopsi oleh Dinas Pertanian Pemerintah Provinsi Sultra. Terdapat 12 indikator yang menggambarkan kinerja dari tiga sub-sistem ketahanan pangan, yang meliputi dimensi (1) ketersediaan pangan [indikatornya adalah rasio konsumsi per kapita normatif terhadap ketersediaan bersih komoditi padi (beras), jagung, umbi-umbian dan sagu], (2) akses terhadap pangan dan penghasilan [indikatornya ada empat : persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan (KK miskin), persentase KK yang bekerja < 15 jam/minggu, persentase KK yang tidak tamat sekolah dasar dan persentase KK yang tidak memiliki akses ke fasilitas listrik], dan (3) pemanfaatan dan penyerapan pangan [indikatornya ada tujuh, yaitu persentase wanita buta huruf, persentase rumahtangga yang tidak memiliki akses ke fasilitas kesehatan, persentase jumlah penduduk per dokter, persentase rumahtangga yang tidak memiliki akses ke air bersih, persentase Angka Harapan Hidup saat lahir, persentase anak Balita dengan

berat badan di bawah standar dan persentase Angka Kematian Bayi] (Dinas Pertanian Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara, 2007). Indikator-indikator tersebut baru dapat diterapkan pada level propinsi, sedangkan di tingkat kabupaten belum dapat diterapkan akibat terbatasnya data (daftar urutan kerawanan pangan 100 kabupaten di Indonesia ditampilkan dalam Lampiran 6).

Pada saat ini, Kabupaten Konsel baru dalam tahap mengumpulkan berbagai data terkait untuk penyusunan Peta Kerawanan Pangan kabupaten indikatornya akan disesuaikan dengan acuan nasional seperti di atas. Informasi yang diberikan mengenai kecamatan dan desa-desa rawan pangan baru didasarkan pada 3 (tiga) indikator, yaitu (1) prevalensi gizi kurang pada Balita, (2) banyaknya keluarga miskin berdasarkan alasan ekonomi dan (3) rasio produksi pangan beras terhadap kebutuhan pangan penduduk (BP3KP Konsel, 2008). Dari data yang ada dan informasi dari BP3KP Kabupaten Konsel, yang termasuk kecamatan rawan pangan adalah Kecamatan Kolono, Angata dan Laonti. Dalam penelitian ini dipilih Kecamatan Kolono dan Angata, yang terletak di daratan Kendari. Pada saat penelitian sedang terjadi angin musim barat (ombak besar), sehingga sulit untuk mencapai Kecamatan Laonti yang dapat dicapai dengan naik kapal kayu.

Sebagian masyarakat di Kecamatan Kolono adalah nelayan atau petambak (karena separuh daerah ini berbatasan langsung dengan lautan), disamping sebagai petani tanaman pangan dan pekebun. Sedangkan masyarakat di Kecamatan Angata umumnya berusahatani di bidang tanaman pangan, perkebunan dan perikanan darat.

Disamping daerah-daerah rawan pangan, di Kabupaten Konawe Selatan terdapat beberapa kecamatan yang masuk kriteria tahan pangan, diantaranya

adalah Kecamatan Laeya, yang merupakan kecamatan paling tahan pangan. Pengambilan data di daerah tahan pangan dilakukan sebagai pembanding bagi kecamatan rawan pangan. Pada Kecamatan ini terdapat irigasi tehnis, yaitu Bendungan Laeya yang dibangun sejak Tahun 1970-an dan sekarang masih dapat dimanfaatkan sebagai sumber air untuk areal persawahan di daerah ini. Dengan demikian tidak mengherankan jika beberapa desa/kelurahan di kecamatan ini masuk kriteria tahan pangan. Sebagian besar petani di Kecamatan Lainea adalah petani padi sawah, sehingga tidak mengherankan jika daerah ini termasuk lumbung beras untuk Kabupaten Konsel. Disamping tanaman padi, petani juga mengusahakan berbagai tanaman pangan lainnya seperti jagung, ubi, pisang dan sayuran, serta tanaman perkebunan seperti kakao dan lada.

Untuk daerah rawan pangan dipilih 5 desa, yaitu tiga desa di Kecamatan Kolono (Desa Andinete, Matandahi dan Ngapawali), dan dua desa di Kecamatan Angata (Desa Sandarsi Jaya dan Lamooso). Untuk kecamatan tahan pangan, dipilih kelurahan Punggaluku dan Rambu-Rambu. Pada masing-masing desa/kelurahan yang dipilih tersebut, dilakukan pemilihan sampel dengan metode acak sederhana (simple random sampling), yaitu sebanyak 20 persen dari total populasi rumahtangga petani yang ada di masing-masing desa/kelurahan. Dengan

demikian terdapat 75 rumahtangga contoh di Kecamatan Kolono, dengan

perincian 20 rumahtangga di Desa Matandahi, 30 rumahtangga di Desa Andinete dan 25 rumahtangga di Desa Ngapawali. Untuk Kecamatan Angata, dipilih 71 rumahtangga contoh dengan perincian 42 rumahtangga di Desa Lamooso dan 29 rumahtangga di Desa Sandarsi Jaya. Dengan demikian, total rumahtangga contoh di desa-desa rawan pangan berjumlah 146. Kecamatan Laeya yang merupakan

daerah yang termasuk kategori tahan pangan di Kabupaten Konsel, dipilih sebanyak 54 rumahtangga contoh, yaitu 24 rumahtangga di Punggaluku dan 30 rumahtangga di Rambu-Rambu.

Unit analisis dalam penelitian ini adalah rumahtangga petani (petani pangan, pekebun dan nelayan). Karena penelitian ini analisisnya dalam perspektif gender, maka rumahtangga sampel haruslah keluarga lengkap (ada suami dan isteri). Wawancara mendalam hanya dilakukan terhadap perempuan (isteri) dan laki-laki (suami), karena suami dan isteri merupakan pengambil keputusan utama dalam rumahtangga. Dengan demikian total responden yang diwawancarai berjumlah 400 orang dari 200 rumahtangga contoh (146 rumahtangga di daerah rawan pangan dan 54 rumahtangga di daerah tahan pangan)1

Kategori Desa/kelurahan

. Ringkasan mengenai jumlah rumahtangga contoh menurut desa rawan pangan dan tahan pangan disajikan dalam tabel berikut ini.

Tabel 1. JumlahRumahtangga Contoh Menurut Desa/Kelurahan Rawan

Pangan dan Tahan Pangan di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009 Nama Kecamatan Nama Desa/ Kelurahan Contoh Jumlah Rumahtangga Sampel2 Rawan Pangan Tahan Pangan Kolono Angata Laeya Matandahi Andinete Ngapawali Lamooso Sandarsi Jaya Punggaluku Rambu-Rambu 20 30 25 42 29 24 30 Jumlah 7 Desa/Kelurahan 200 1

Dalam pengolahan data, karena ketidaklengkapan beberapa kuesioner, maka sebanyak enam kuesioner datanya tidak dimasukkan dalam analisis (hanya 194 yang digunakan)

2

Yang menjadi responden adalah suami (laki-laki) dan isteri (perempuan) dalam setiap rumahtangga contoh

Tabel di atas juga menunjukkan bahwa sebagian besar rumahtangga contoh di desa rawan pangan merupakan rumahtangga tidak tahan pangan (79), namun jumlah rumahtangga yang tahan pangan juga cukup banyak (65). Di daerah tahan pangan, rumahtangga yang terpilih dalam penelitian ini hampir seluruhnya merupakan rumahtangga tahan pangan (47), hanya ada tiga (3) rumahtangga yang tidak tahan pangan. Untuk mengetahui distribusi rumahtangga contoh yang masuk kriteria ‘tidak tahan pangan’ dan ‘tahan pangan’ pada setiap kategori desa/kelurahan rawan pangan dan tahan pangan, datanya disajikan dalam tabel berikut .

Tabel 2. Distribusi Rumahtangga Contoh menurut Kriteria Tidak Tahan Pangan dan Tahan Pangan di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009

Kategori Desa/ Kelurahan

Jumlah Rumahtangga Tidak Tahan Pangan

Jumlah Rumahtangga Tahan Pangan Rawan Pangan 79 65 Tahan Pangan 3 47 Jumlah 82 112

Disamping data dari beberapa kuesioner yang tidak dimasukkan dalam analisis, beberapa variabel juga ada yang datanya tidak dimasukkan ke dalam analisis. Yang pertama adalah variabel konservatisme agama yang terdapat dalam model persamaan keputusan gender untuk bekerja atau tidak bekerja di luar usahatani. Variabel ini dihilangkan karena semua responden memberikan jawaban yang sama, sehingga tidak adanya variasi jawaban responden, yaitu bahwa agama apapun yang dianut (Islam, Kristen, Hindu) tak ada yang bersikap konservatif dalam hal boleh tidaknya perempuan dan atau laki-laki untuk bekerja atau

berusaha di luar rumah. Variabel lain yang dihilangkan adalah pengeluaran rumahtangga dalam model ketahanan pangan rumahtangga. Ini dilakukan karena banyaknya data pengeluaran rumahtangga responden yang tidak logis, atau tidak sebanding dengan penghasilan yang diperoleh rumahtangga.

Selain hal di atas, juga terdapat variabel yang mengalami perubahan, yaitu (1) upah yang seharusnya menggambarkan harga tenaga kerja di pasar, namun dalam penelitian ini variabel upah tidak sepenuhnya menggambarkan hal tersebut. Hal ini dilakukan karena hanya beberapa responden yang bekerja di luar usahatani keluarga yang menerima pembayaran dalam bentuk upah, baik tunai maupun natura. Umumnya responden bekerja mandiri di sektor jasa, seperti menjadi tukang ojek, penambang emas, dan menjual di pasar. Variabel upah tersebut akhirnya menggambarkan rata-rata upah dan pendapatan per hari dari pekerjaan- pekerjaanyang dilakukan perempuan dan laki-laki di luar usahatani keluarga, dan (2) jumlah produksi usahatani diganti dengan variabel pendapatan usahatani. Hal ini dilakukan karena terdapat beberapa responden, terutama untuk petani pangan yang menghasilkan padi ladang, ubi, jagung dan sayuran yang dikonsumsi sendiri, tidak dapat memberikan data jumlah produksi secara fisik (satuan output) yang dihasilkan dari usahataninya, tetapi dapat memberikan kisaran nilai jualnya.