• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRAKTEK TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI PASAR MODAL

C. Kasus L/C Fiktif BNI’

2. Analisis Hukum L/C Fiktif Bank BNI’

Dalam Kasus seperti yang dijelaskan pada sub bab sebelumnya, ada beberapa indikasi yang dilakukan oleh pihak kreditur bersama dengan para penegak hukum, yaitu81 :

1. Melaporkan tindak pidana kepada Aparat Kepolisian. Contoh kasus tersebut, kreditur melakukan penyuapan kepada pihak kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan agar kasus tersebut dapat dipidanakan, sehingga menyeret beberapa aparat kepolisian masuk penjara karena terlibat penyuapan. Pihak kejaksaan dan pengadilan belum ditemukan adanya kasus penyuapan karena terjadi kesepakatan-kesepakatan untuk saling menyelamatkan institusi;

2. Walaupun telah dilaporkan kepada pihak kepolisian, bahwa telah terjadi tindak pidana, tetapi beberapa Asset yang telah diserahkan karena Debitur melaksanakan Akte Pengakuan Hutang, dijual sendiri oleh kreditur dengan

81

alasan melakukan recovery bank atau melakukan negosiasi sendiri apabila yang dijaminkan oleh debitur adalah Tagihan Piutang pada Pihak ke-III; 3. Polisi seharusnya menyita Asset dari Debitur, karena telah dibuktikan

melakukan tindak pidana, tidak segera menyita, sebaliknya bersama kreditur ikut melakukan penjualan Asset tersebut tanpa melibatkan Debitur, sehingga Debitur tidak tahu dengan sebenar-benarnya berapa yang telah dijual dan yang telah disetorkan kepada pihak Kreditur, contoh kasus L/C BNI tersebut, aparat polisi bersama-sama dengan kreditur menjual Assets milik Debitur, dengan hasil penjualan adalah Rp. 5,3 miliar, disetorkan kepada Kreditur hanya Rp. 1 miliar, sisanya hilang begitu saja;

4. Terjadi tarik menarik dan saling menyalahkan, antara pihak kepolisian yang seharusnya berhak menyita, karena telah dilaporkan adanya tindak pidana, tetapi Kreditur tidak menyerahkan kepada aparat polisi karena mengharapkan melakukan recovery sendiri;

5. Kreditur sangat melindungi institusinya dengan mengorbankan pejabat rendahan. Bahwa pejabat tersebut yang telah bersama-sama dengan debitur melakukan tindak pidana padahal sistem pada BNI 46 tersebut sangatlah tidak mungkin apabila pejabat sampai tingkat pusat tidak mengetahui, karena semua transaksi sangat berpengaruh pada perdagangan Valuta Asing (Valas) yang bersifat harian dan menggunakan sistem online;

6. Kreditur selalu memberikan biaya operasi kepada setiap tindakan para aparat hukum, membelikan laptop, handphone, meubelair, uang saku, dan uang operasional perjalanan untuk melakukan sita administrasi dan biaya-biaya

lainnya agar tindak pidana tersebut tidak melebar dan mengarah kepada tindak pidana yang dilakukan oleh Kreditur, cukup para Debitur dan pegawai rendahan Kreditur yang dikorbankan;

7. Kreditur rela mengeluarkan uang untuk mengatur media massa, cetak dan elektronik dalam bentuk pemasangan iklan, sehingga semua pemberitaan menjadi tidak seimbang, semua pemberitaan menyudutkan debitor hanya untuk membentuk opini masyarakat;

8. Secara aktif melakukan pendekatan kepada institusi penegak hukum, melewati pengacaranya dan memberikan informasi kepada penegak hukum baik tertulis ataupun lisan yang menguntungkan Debitur;

9. Ada kecenderungan penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) yang menangani kasus tersebut tidak begitu paham/pandai melihat kasus yang sebenarnya, penegak hukum dan Kreditur telah melakukan kolaborasi untuk memidanakan Debitur dengan alasan telah terjadi Tindak Pidana Korupsi, karena kalau dikenakan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, penegak hukum yakin Debitur akan bebas karena alasan pembuktiannya akan lemah sekali dan mudah dibantahkan oleh Debitur;

10.Ada kecenderungan Kreditur mempengaruhi proses persidangan, bahkan daftar penyitaan asset yang dilakukan oleh hakim, bukan dari alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan yang terlebih dahulu telah disita oleh polisi tetapi daftar asset yang diajukan oleh Kreditur pada saat menjadi saksi dalam persidangan, dimana daftar asset-asset tersebut harus diteliti lebih dahulu

kepemilikannya bahkan kepemilikan pihak ketiga yang tidak terkait kasus tersebut ikut disita;

11.Ada perlakuan pidana yang tidak sama terhadap para Debitur, walaupun peran dan pasal yang divoniskan sama, Debitur A divonis ringan, tanpa penyitaan, Debitur B divonis berat, tanpa penyitaan, Debitur C divonis berat dan tetap dilakukan penyitaan, dan penghitungan uang pengganti untuk menutu pkerugian negara, tanpa menggunakan tolok ukur yang benar;

12.Penyitaan asset yang dilakukan, hanya Sita Administrasi karena ada unsur kesengajaan yang dilakukan Penegak Hukum dan Kreditur untuk tidak segera melakukan Sita Eksekusi terhadap asset debitur, sehingga asset potensial yang seharusnya dapat menutup kerugian negara, menjadi terlantar dan terjadi penurunan nilai ekonomis yang cukup signifikan;

13.Kreditur melakukan window dressing selama lebih dari satu tahun terhadap neraca keuangannya, karena ada maksud tersembunyi dari pemidanaan para Debitur yaitu menutupi kejadian Debitur lainnya yang lebih besar, agar Kreditur tidak ketahuan dan Debitur yang dilindungi dapat mempunyai waktu untuk melakukan penyelesaian kreditnya.

Dari seluruh poin-poin di atas yang terkait dengan pencucian uang dalam kasus L/C Fiktif BNI 46 dibuktikan dengan hasil pencucian uang kasus BNI masuk

ke pasar modal.82 Menurut keterangan Ketua BAPEPAM, Herwidayatmo, sebagai berikut :

”Terdapat aliran dana ke pasar modal yang diduga merupakan hasil tindak pidana pencucian uang (money laundering). Jumlahnya sekitar Rp. 11,4 miliar. Berdasarkan laporan dari PPATK aliran dana diduga merupakan bagian dari hasil tindak pidana manipulasi kredit ekspor BNI. Sebagian dimasukkan ke reksadana, sebagian lagi ke pasar saham, dan sisanya dibelikan obligasi korporasi.

BAPEPAM-LK sudah mengirim tim ke PPATK untuk mengkaji bahan-bahan dan temuan yang ada untuk ditindaklanjuti. Saat ini sudah ada empat perusahaan yang terindikasi menerima dana tersebut. Perusahaan tersebut harus diperksa apabila diketahui ada transaksi yang mencurigakan, maka berdasarkan peraturan yang ada perusahaan-perusahaan tersebut harus dilaporkan ke PPATK dan BAPEPAM-LK.

Berdasarkan Peraturan BAPEPAM No. 5/D/10, perusahaan diwajibkan untuk menerapkan prinsip mengenal nasabah atau Know Your Customer (KYC). Kebanyakan perusahaan-perusahaan tersebut tidak mengetahui bahwa duit yang digunakan untuk membeli surat-surat berharta tersebut adalah uang haram. Sewaktu mengambil uangnya di bank tidak ada masalah karena kasusnya baru terbongkar beberapa waktu kemudian”.

Sebelumnya berkas laporan telah terjadi pencucian uang di pasar modal sudah diserahkan kepada BAPEPAM-LK oleh PPATK. Hal ini diungkapkan oleh Ketua PPATK, Yunus Husein, sebagai berikut83 :

”Yunus Husein mengakui adanya empat perusahaan sekuritas yang menjadi sarana pencucian uang (money laundering) dana hasil pembobolan BNI. Tetapi kemungkinan besar perusahaan tersebut tidak mengetahuinya.

Sebagian dana hasil pembobolan BNI ternyata disalurkan ke pasar modal. Dana sebesar Rp. 11,4 miliar tersebut digunakan untuk membeli satu obligasi, dua saham, dan satu reksadana. Hal ini terungkap berkat laporan dari bank yang digunakan untuk menyalurkan dana tersebut. Jadi, bank tidak salah.

82

Ahmad Ihsan, “Hasil Pencucian Uang Kasus BNI Masuk Pasar Modal”, Kamis, 19 Februari 2004, http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2004/02/19/brk,20040219-28,id.html., diakses pada 19 Maret 2011.

83

Ahmad Ihsan, “PPATK : Empat Perusahaan Sekuritas Terlibat Pencucian Uang”, http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2004/02/19/brk,20040219-39,id.html., diakses pada 21 Maret 2011.

Bank justru yang membantu karena melaporkan adanya transaksi yang mencurigakan tersebut.

PPATK kemudian menemukan adanya empat perusahaan sekuritas yang membantu menyalurkan dana tersebut. Selanjutnya, PPATK melayangkan surat pemberitahuan kepada perusahaan-perusahaan bahwa mereka telah menjadi sarana tindak pidana pencucian uang. Perusahaan tersebut hanyalah sebagai sarana, pelaku sebenarnya adalah yang menyuruh untuk membeli dan sekarang memiliki surat-surat berharga tersebut.

Yunus mengakui keempat perusahaan tersebut bersalah karena tidak melaporkan dari awal adanya transaksi keuangan yang mencurigakan tersebut. Barulah setelah dikirimi pemberitahuan oleh PPATK keempatnya melaporkan konfirmasi adanya empat perusahan sekuritas tersebut. Yunus menduga kemungkinan besar mereka memang tidak mengetahui bahwa dana yang disetorkan oleh investornya adalah dana hasil pembobolan BNI. Informasi yang dikumpulkan PPATK menyatakan bahwa aktivitas pembelian surat berharga oleh uang haram tersebut dilakukan pada bulan September, Oktober, dan November 2003.

Menurut Yunus Husein, wajar apabila empat perusahaan sekuritas tersebut tidak mencurigai dana dan si investor karena pada saat itu kasus BNI belum terbuka, BI baru menerima laporan dari BNI pada bulan Oktober 2003. Beberapa bank juga tidak mengetahui adanya uang haram hasil pembobolan BNI yang disimpannya.

Bagaimana bank bisa curiga karena mereka menggunakan nama badan hukum lain, nama orang lain yang tidak dikenal untuk menyimpan maupun mencairkan uang tersebut. Oleh karena itu wajar saja kalau empat perusahaan sekuritas tersebut tidak menyadari bahwa dana yang diterima adalah uang haram.

Bank saja awalnya tidak tahu. Baru setelah dikirimi surat pemberitahuan kemudian menjadi waspada dan berhasil menemukan beberapa rekening yang mencurigakan. Walaupun demikian pemeriksaan tetap dilakukan mengapa keempatnya tidak melaporkan adanya transaksi keuangan yang mencurigakan tersebut. Seluruh berkas laporan sudah diserahkan kepada Bapepam, kini semuanya tergantung dengan mereka. PPATK juga melaporkan temuan ini kepada Kepolisian karena dana tersebut merupakan barang bukti kasus BNI”. Dalam hal pengejaran atau pencarian aliran dana yang masuk ke pasar modal dapat dilakukan dengan mengikuti arus aliran dana atau arus aliran saham, seperti

yang sudah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya. Hal inilah yang dilakukan PPATK untuk mengejar para pelaku kejahatan pencucian uang. Pengejaran dimaksud harus didasarkan dengan laporan dari BAPEPAM-LK terlebih dahulu barulah PPATK dapat bekerja. Ini yang disebut passive responsive dari institusi PPATK. Dalam pemberian sanksi kepada perusahaan sekuritas tempat terjadinya pencucian uang kasus BNI ini diserahkan kembali oleh PPATK kepada BAPEPAM-LK karena pemberian sanksi bukanlah kewenangan PPATK. Ranah hukumnya adalah BAPEPAM-LK.

Mengenai budaya hukum yang diutarakan dalam teori Sistem Hukum, Lawrence M. Friedman terkait dengan kasus L/C Fiktif BNI adalah bahwa belum adanya budaya anti korupsi di dalam masyarakat dan perbedaan pemahaman masyarakat (nasabah bank) mengenai praktik pencucian uang. Karena masih banyak masyarakat yang berpendapat bahwa pencucian uang tidak langsung akan merugikan masyarakat. Substansi dari sistem hukum adalah norma-norma yang tedapat dalam undang-undang dan putusan pengadilan. Aparatur atau organ dapat diumpamakan sebagai mesin yang menghasilkan produk hukum tersebut. Selanjutnya, yang menentukan berjalannya suatu sistem hukum adalah budaya hukum (legal culture) masyarakat. Budaya hukum masyarakat ditentukan oleh sub-culture. Sub-Culture

tersebut dipengaruhi, antara lain oleh : agama; pendidikan, posisi atau kedudukan; kepentingan; dan nilai-nilai yang dianut.

Secara umum hambatan yang ada dalam tindak pidana pencucian uang dalam Kasus L/C Fiktif BNI tersebut, yaitu84 :

1. Kelemahan substansi sistem hukum yang antara lain disebabkan oleh : a. Materi dan sanksi hukum tidak lengkap;

b. Sanksi hukum tidak menimbulkan efek jera;

c. Hukum hanya mementingkan kepastian hukum dan mengabaikan keadilan;

d. Tidak mengikuti perkembangan zaman. 2. Kelemahan aparatur negara;

a. Ketidakpastian bank-bank dan penyedia jasa keuangan untuk melaksanakan kewajiban pelaporan;

b. Ketidakmampuan para petugas penyedia jasa keuangan dalam mendeteksi transaksi dan rekening yang ada, atau yang menimbulkan kecurigaan; c. Kinerja atau profesionalitas penegak hukum yang tidak memadai dalam

mengungkapkan kejahatan money laundering;

3. Budaya hukum masyarakat belum mendukung anti pencucian uang.

Agar tindak pidana money laundering dapat diberantas maka harus dilakukan secara sistematis dengan cara melakukan perubahan pada struktur dan pelaku yang dualitas hubungan keduanya menentukan wajah sistem tersebut. Upaya memerangi tindak pidana ini harus digerakkan serta didukung sepenuhnya oleh Presiden dan pejabat yang menduduki posisi-posisi kunci seperti Menteri, Kepala Kepolisian, Kepala Kejaksaan, Ketua Mahkamah Agung, dan Ketua-ketua Pengadilan dan tentunya anggota Komisi Pemberantasan Korupsi. Para penegak hukum tersebut harus mengedepankan supremasi hukum di atas kekuatan dan kepentingan lainnya.85

84

“Indikasi Kejahatan yang dilakukan oleh Kreditur/Bank kepada Debitur/Nasabah”, Op.cit.

85

Selain itu diperlukan peran serta masyarakat untuk melaporkan setiap transaksi (perbankan) yang mencurigakan serta lembaga-lembaga suatu ”kelompok pengawas” yang secara konsisten melakukan pengawasan terhadap penguasa dan jajaran pemerintahannya misalnya lembaga seperti Indonesian Corruption Watch

(ICW) di setiap Kabupaten/Kota untuk mengawasi perilaku penguasa dan pemerintah daerah tersebut.86