• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRAKTEK TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI PASAR MODAL

C. Kasus L/C Fiktif BNI’

1. Pelanggaran dan Penyimpangan yang Terjad

Adapun beberapa pelanggaran atau penyimpangan yang terjadi pada kasus yang sudah dipaparkan di atas, antara lain77 :

1. Pelanggaran terhadap Peraturan Bank Indonesia dan peraturan perundang- undangan lainnya;

Dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan bank (prudential banking practice) Bank Indonesia telah membuat ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) yaitu 20 % dari modal disetor bank. Modal disetor BNI per 31 Desember 2003 adalah sebesar Rp 7.042 milyar, sehingga dengan demikian BMPK untuk kelompok Gramarindo dan Petindo adalah Rp 1,4 trilyun (20% modal disetor). Nilai L/C yang diberikan kepada Gramarindo transaksi sebesar Rp. 1,7 triliun jelas merupakan pelanggaran karena pada dasarnya dapat digolongkan dalam fasilitas pemberian kredit, terutama ketika fasilitas negosiasi tersebut efektif menjadi kredit karena tidak bisa dibayar oleh Issuing Bank. Diduga telah terjadi tindak pidana pemalsuan terhadap L/C dan dokumen ekspor (B/L), karena dari informasi yang ada, ternyata tidak pernah terjadi realisasi ekspor dan pengapalan barang ke Kenya dan Kongo.

76

Ibid.

77

Di samping itu, berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah diputuskan terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 Pasal 6 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (pada saat kasus diperiksa di pengadilan masih menggunakan Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang).

2. Pelanggaran terhadap aturan internal Bank;

Semua bank, tidak terkecuali Bank BNI pasti sudah mempunyai aturan baku dalam menangani transaksi L/C, sehingga apabila semua aturan yang ada dilaksanakan niscaya kasus seperti Bank BNI tidak akan terjadi. Untuk lebih memberikan gambaran yang rinci, akan dianalisa kemungkinan pelanggaran pada setiap tahapan pemrosesan L/C sebagai berikut :

a. Pada saat meneruskan L/C;

Dari nama-nama Issuing Bank sebagaimana disebutkan, tidak terdapat dalam daftar nama-nama bank yang ada di Bankers Almanac atau setidak-tidaknya tidak cukup terkenal, untuk tidak mengatakan bahwa nama-nama bank itu hanya fiktif. Dalam praktek perbankan pada umumnya, kalau Issuing Bank tersebut bukan korespnden, tentunya pada saat L/C diterima mestinya tidak bisa diproses, karena tidak bisa dilakukan otentikasi atas kebenaran dan keabsahan L/C dimaksud, terlebih lagi kalau ternyata L/C itu diterbitkan oleh bank fiktif, jelas bank tidak boleh melakukan proses selanjutnya.

Dalam UCP 50078 Pasal 7 disebutkan bahwa dalam hal advising bank79 memutuskan untuk meneruskan L/C maka harus mengambil langkah-langkah yang benar dalam memeriksa keabsahan L/C yang diteruskannya dan apabila bank tersebut memutuskan tidak meneruskan, maka ia harus memberitahukan kepada Issuing

Bank. Pasal 7 lebih lanjut mengatur bahwa apabila tidak bisa memastikan keabsahan L/C, Advising Bank pada kesempatan pertama harus memberitahukan kepada Issuing

Bank dan apabila Advising Bank memilih untuk meneruskan L/C tersebut, maka ia harus memberitahukan kepada Beneficiary bahwa ia tidak dapat memastikan keabsahan L/C tersebut. Ada beberapa kemungkinan atas lolosnya L/C dari bank- bank tersebut, yaitu :

1) L/C tersebut memang benar-benar asli dan otentik, dalam arti nama bank memang ada dan Bank BNI dapat melakukan otentikasi atas keabsahan L/C dimaksud.

2) L/C tersebut asli tapi palsu, dalam artian bukan diterbitkan oleh bank-bank tersebut,tapi dibuat seolah-olah diterbitkan oleh bank-bank tersebut dan dengan bantuan oknum-oknum yang ada di Bank BNI dapat diotentikasi dengan menggunakan sandi otentikasi dari bank-bank tersebut dengan cara-cara illegal. 3) L/C memang tidak diotentikasi sama sekali oleh Bank BNI

4) Satu hal yang juga sudah menjadi praktek standart yang dilakukan oleh bank-

78

UCP 500 adalah peraturan internasional mengenai perdagangan antar negara dengan menggunakan L/C. Kepanjangannya adalah Uniform Customs and Practice for Documentary Credits. Dikeluarkan oleh ICC (International Chamber of Commerce) di Paris, Perancis. 500 adalah nomor seri keluarannya. Dalam Black’s Law Dictionary, Op.cit.

79

Advising Bank atau Bank Penerus adalah bank koresponden dari Issuing Bank yang diminta untuk meneruskan L/C kepada eksportir. Dalam Ibid.

bank diseluruh dunia dan itu mungkin tidak dilakukan dalam kasus Bank BNI, adalah bahwa untuk nilai transaksi yang cukup besar biasanya dimintakan klarifikasi ulang kepada Issuing Bank untuk memastikan keabsahan dari L/C. b. Pada saat proses negosiasi (Diskonto Usance L/C);

Sebelum melakukan negosiasi, bank biasanya melakukan rating terhadap resiko bank korespondennya dan kemudian dibuatkan commercial line. Ada atau tidaknya commercial line, dijadikan dasar pertimbangan untuk menegosiasi atau tidak. Artinya bahwa jika tidak ada commercial line, maka Bank dapat memutuskan untuk menolak negosiasi. Pada saat dokumen ekspor diajukan kepada bank, maka bank akan memeriksa untuk meyakini bahwa semua syarat dan kondisi L/C telah terpenuhi. Dalam memeriksa dokumen bank tidak bertanggung jawab terhadap kebenaran isi dokumen, sebagaimana diatur dalam UCP Pasal 4 : “dalam pelaksanaan L/C, bank hanya berurusan dengan dokumen-dokumen dan bukan dengan barang- barang, jasa-jasa dan atau pelaksanaan lainnya yang berkaitan dengan dokumen yang bersangkutan”.

Meskipun UCP Pasal 4 mengatur demikian, bukan berarti bank tidak berhak mengecek apakah memang barang telah benar-benar dimuat di atas kapal, sehingga bisa diterbitkannya Bill of Lading.80 Dalam kasus BNI, seharusnya karena nilai dokumennya sangat besar, maka bank harus meyakini bahwa barang memang benar- benar telah dimuat diatas kapal dengan mengklarifikasi kepada perusahaan pelayaran

80

Bill of Lading adalah surat yang dikeluarkan maskapai pelayaran yang menerangkan bahwa ia telah menerima barang dari pengirim untuk diangkut sampai ke pelabuhan tujuan dan diserahkan kepada penerima; surat muatan mempunyai tiga fungsi yaitu sebagai perjanjian pengangkutan, tanda bukti penerimaan barang, dan tanda bukti pemilikan barang. Dalam Ibid.

atau dengan memeriksa secara langsung di pelabuhan muat. Setelah dokumen diperiksa lengkap dan sesuai dengan L/C, maka dalam kasus Bank BNI dimana L/C mensyaratkan pembayaran berjangka, maka tahap selanjutnya adalah memintakan akseptasi kepada Issuing Bank dan apabila sudah ada akseptasi maka baru bisa dilaksanakan negosiasi.

c. Penanganan Pasca Negosiasi (Diskonto Usance L/C);

Permasalahan di Bank BNI adalah bahwa setelah jatuh tempo, ternyata pihak

Issuing Bank wanprestasi atau tidak bisa membayar tagihan wesel ekspor Usance. Sudah menjadi praktek umum di dunia perbankan, apabila terdapat tagihan wesel yang tidak dibayar oleh Issuing Bank, maka Negotiating Bank harus mengusahakan agar outstanding tagihan tersebut segera dibayar dan agar tidak terjadi akumulasi tagihan wesel yang tidak terbayar, maka bank seharusnya untuk sementara berhenti memberikan fasilitas negosiasi sampai semua tagihan weselnya dilunasi oleh

Issuing Bank. Disamping itu pada saat memberikan fasilitas negosiasi, bank biasanya mensyaratkan kepada beneficiary untuk menyerahkan semacam surat jaminan yang dimana jika ternyata wesel ekspornya tidak dibayar oleh bank di luar negeri,

negotiating bank dapat menarik kembali dari beneficiary atau sering disebut dengan hak regres.

Hak regres adalah hak yang dimiliki oleh Negotiating Bank atas L/C yang tidak dikonfirmasi, untuk L/C yang dikonfirmasi Negotiating Bank tidak mempunyai hak regres (Pasal 9.IV UCP 500). Jadi dalam praktek, sebelum melakukan negosiasi bank akan meminta terlebih dahulu surat jaminan yang nantinya akan digunakan oleh

bahwa pada saat hak regres itu akan dieksekusi, maka rekening nasabah masih tersedia cukup dana.

Dari penjelasan-penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan telah terjadi pelanggaran prosedur dalam menangani transaksi L/C tersebut di atas sejak dari tahap awal penerusan L/C sampai dengan L/C itu kemudian direalisir dan terjadi negosiasi. Pelanggaran tersebut kemudian berlanjut hingga saat fasilitas negosiasi menjadi bermasalah karena tidak dibayar oleh Issuing Bank, dimana kemungkinan Bank BNI kurang cepat dalam melakukan tindakan-tindakan pengamanan atas fasilitas yang telah diberikan kepada nasabahnya.

3. Pelanggaran terhadap UCP 500;

Dalam kasus Bank BNI, pihak yang wanprestasi adalah Issuing Bank. Dengan asumsi bahwa nama-nama bank yang disebutkan sebelumnya adalah benar, maka

Issuing Bank dimaksud telah melanggar Pasal 9.A.III, UCP 500 yang antara lain berbunyi :

“Suatu irrevocable L/C merupakan jaminan yang pasti dari Issuing Bank asalkan dokumen-dokumen yang diminta diserahkan kepada Bank yang ditunjuk Negotiating Bank dan sesuai dengan syarat dan kondisi L/C, untuk :

a. Apabila L/C mensyaratkan pembayaran atas unjuk (sight) – untuk membayar atas unjuk;

b. Apabila L/C mensyaratkan pembayaran kemudian (defferred payment) – untuk membayar pada tanggal jatuh tempo yang ditentukan sesuai dengan yang disyaratkan L/C tersebut;

c. Apabila L/C mensyaratkan akseptasi :

1) Oleh Issuing Bank – untuk mengaksep wesel yang ditarik oleh

beneficiary pada Issuing Bank dan membayarnya pada saat jatuh tempo

2) Oleh bank tertarik lainnya untuk menerima dan membayar pada saat jatuh tempo wesel yang ditarik oleh beneficiary pada Issuing

Bank dalam hal bank tertarik yang ditunjuk dalam L/C tidak mengaksep wesel yang ditarik atas bank tersebut, atau membayar wesel yang telah diaksep tetapi tidak dibayar oleh bank tertarik

tersebut pada saat jatuh tempo”.

4. Penyimpangan terhadap kebiasaan dan Best Practice di Dunia Perbankan;

Berdasarkan penjelasan pada bagian sebelumnya, maka dapat disimpulkan telah terjadi penyimpangan terhadap Kebiasaan dan Best Practice di dunia perbankan sebagai berikut :

a. Tidak dilakukan assessment resiko terhadap Issuing Bank (Commercial Line); b. Tidak dimintakan konfirmasi dari First Class International Bank, padahal

untuk yang L/C berasal dari high risk country dan nilainya sangat besar lazimnya dikonfirmasi;

c. Tidak dilakukan assessment terhadap nasabah penerima fasilitas (Gramarindo & Petindo), dengan analisa 5C (Character, Capability, Capital, Collateral &

Condition) dan Trade Line;

d. Tidak ada pemisahan fungsi manajemen risiko dan fungsi marketing karena semua keputusan dilakukan oleh satu pejabat yakni Kepala Cabang atau pejabat lain yang ditunjuk Kepala Cabang, tanpa adanya review dari sisi Risk Manajemen.

5. Pelanggaran terhadap Etika;

Pegawai Bank BNI Kebayoran Baru lainnya tidak melaporkan adanya indikasi pelanggaran prosedur diskonto L/C kepada unit yang berwenang, sehingga potensi kerugian Bank BNI menjadi semakin besar.

6. Vonis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan;

Sehubungan dengan persidangan kasus L/C fiktif Bank BNI, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah menjatuhkan vonis sebagai berikut :

Vonis terhadap pelaku internal BNI :

No. Nama Jabatan Vonis PN

1. Edi Santoso Kabid Pelayanan LN BNI

Cab. Kebayoran Baru

Penjara Seumur Hidup

2. Kusadiyuwoon Kepala Cab. BNI Kebayoran

Baru

16 Tahun Penjara

Vonis terhadap pelaku nasabah BNI :

No. Nama Jabatan Vonis PN

1. Olah Abdullah Agam Direktur PT. Gramarindo

Legal Indonesia

15 Tahun penjara dikurangi masa tahanan; Denda Rp. 300 Juta.

2. Aprilla Widharta Direktur Pan Kifros 15 Tahun Penjara

dikurangi masa tahanan; Denda Rp. 200 juta

3. Adrian P. Lumowa Direktur Magnetique Esa

Indonesia

15 Tahun Penjara dikurangi masa tahanan; Denda Rp. 400 juta.

4. Titik Pristiwanti Direktur Binekatama Pasific 8 Tahun Penjara;

Denda Rp. 300 juta.

5. Richard Kuontul Direktur Netrantara 10 Tahun Penjara;

Denda Rp. 150 juta. PASAL YANG DILANGGAR :

PRIMAIR :

- Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.

SUBSIDAIR :

- Pasal 3 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 25 tahun 2003 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang jo. Pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP.

LEBIH SUBSIDAIR :

- Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 25 tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Penjatuhan sanksi pidana kepada para pelaku baik internal maupun eksternal pada kasus L/C Fiktif Bank BNI’46 ini adalah terlalu ringan karena dana yang diambil lebih besar dari yang dijatuhi hukuman. Hal tersebut jelas tidak membuat jera para pelaku kejahatan. Seharusnya para pelaku kejahatan tersebut dimiskinkan atau disita seluruh harta bendanya baik atas namanya maupun atas nama anak, saudara dan 3 (tiga) garis keturunan ke bawah. Jika sudah dimiskinkan maka pelaku tidak dapat berbuat apa-apa lagi untuk naik banding ataupun ingin mengajukan upaya hukum lainnya. Sehingga kasus tersebut selesai sampai disitu.