• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN TANAMAN PADI PRODUK REKAYASA GENETIK DI INDONESIA

Sustainable Analysis of Genetically Engineered Rice Management in Indonesia

Deswina P1, Syarief R2, Rachman LM 3, Herman M4

1) Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor dan Staf Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, 2)

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, 3)Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, 4) Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian

Kementerian Pertanian

Abstrak

Pengelolaan produk rekayasa genetik (PRG) di Indonesia melibatkan beberapa lembaga pemerintah sesuai dengan fungsi dan perannya masing-masing. Koordinasi diantara lembaga pemerintah tersebut sangat menentukan dalam keberlanjutan pengelolaan PRG. Selain persyaratan keamanan hayati, pertimbangan sosial ekonomi yang berdampak langsung terhadap masyarakat perlu mendapat perhatian, sesuai dengan amanat Protokol Cartagena pasal 26. Pengembangan tanaman PRG hasil penelitian dan pengembangan dalam negeri umumnya masih berada di tahap penelitian, baik laboratorium, Fasilitas Uji Terbatas atau di Lapangan Uji Terbatas. Sedangkan tanaman PRG yang berasal dari luar Indonesia telah banyak yang masuk dan memperoleh izin pelepasan dan komersialisasi di Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut, maka diperlukan kajian kebijakan pengelolaan PRG yang berorientasi keterpaduan dan keberlanjutan. Hasil kajian ini dapat menjadi rekomendasi dan bahan pertimbangan dalam membuat formulasi kebijakan pengelolaan PRG berkelanjutan, khususnya tanaman Padi Bt. Penelitian ini juga bertujuan untukmengetahui status keberlanjutan pengelolaan PRG ditinjau dari dimensi ekologi, sosial, ekonomi, teknologi dan kelembagaan. Analisis data yang digunakan adalah metode Multidimensional Scaling (MDS) dimana hasilnya dinyatakan dalam bentuk indeks berkelanjutan. Berdasarkan hasil kajian diperoleh nilai dimensi lingkungan 73,02%, dimensi ekonomi 69,30%, dimensi sosial 51,22%, dan dimensi hukum kelembagaan 54,74%, semua tergolong pada kriteria cukup berkelanjutan. Kecuali untuk dimensi teknologi 46,71% termasuk kurang berkelanjutan. Dari hasil analisis atribut-atribut utama yang tergolong faktor pengungkit (leverage factor) disetiap dimensi, maka perlu dilakukan perbaikan dan perubahan, agar diperoleh peningkatan dari nilai indeks keberlanjutan.

80

Abstract

Management of Genetically Engineered Product (GEP) in Indonesia involved some government institutions that were accordance with the functions and roles in both GEP’s variety and aim that would be released and commercialized. The coordinations among the government agencies were so important for the sustainability of GEP management. Cartagena protocol mandated the need of risk assessment to each GEP before being released. As the result of new technology, GEP had to meet the biosafety requirements inculded the safety of food, environmental and / or feed. Beside of the biological safety, socio-economic considerations and impacts to the societies had to be noticed too. Because of that, it was required the policy strategy as the part of risk analysis in the usage management of GEP plant. The studies held on the dimensions of environment, economic, social, technology and institutional law. Data analysis used was the method of Multidimensional Scaling (MDS) and the results were expressed in index form of sustainable management of GEP. Results of studies, with score 58,99% showed that multidimensional assessment considered as sustainable criteria. There was also sustainable value for environmental dimensions in 73.02% while the technology dimensions was on less sustainable value (46.71%). Although for social, economic and institutional law dimensions were quite sustainable, but tended to be less sustainable, so it was necessary to repair the main attributes of each dimensions. Retrieved fifteen leverage factors that might affect the increasing the sustainability index of all the five dimensions. Keywords: Genetically Engineered Product (GEP), biosafety, sustainability,

MDS, leverage factor, Rap GEP

PENDAHULUAN

Kegiatan pembangunan di bidang pertanian mengacu kepada pembangunan pertanian berkelanjutan, dengan memperhatikan aspek sarana dan prasarana melalui pendanaan dan inovasi teknologi. Kondisi ini sangat diperlukan agar kebijakan pembangunan pertanian lebih mengedepankan kepentingan sosial dan lingkungan. Pembangunan pertanian berkelanjutan berkaitan dengan pembangunan ekonomi, sosial, lingkungan serta melibatkan teknologi dan hukum kelembagaan (Kementan 2013). Perubahan iklim yang terjadi akhir-akhir ini menyebabkan terjadinya pemanasan global yang menimbulkan dampak penurunan produksi pertanian.

81 Sebagai komoditas pertanian utama di Indonesia, tanaman padi perlu peningkatan kualitas dan kuantitas, melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pangan berkualitas. Teknologi pemuliaan tanaman konvensional yang selama ini digunakan tidak lagi efisien dalam mengatasi permasalahan tanaman, karena sifat-sifat atau sumber gen yang tersedia sangat terbatas, perlu waktu lebih lama untuk memperoleh jenis baru (Khan & Liu 2009). Metode konvensional, tidak dapat lagi dipertahankan kerena beberapa keterbatasan tadi, terutama dalam mengatasi tekanan lingkungan yang semakin komplek (Manshardt 2004).

Sifat ketahanan terhadap hama dan penyakit, merupakan salah satu sifat yang tidak dimiliki setiap tanaman, sehingga diperlukan inovasi teknologi yang mampu memanfaatkan sumber gen yang berasal dari individu lain baik yang sejenis atau berbeda jenis. Salah satu teknik yang digunakan adalah teknologi rekayasa genetik yang dapat memanfaatkan spesies yang berbeda sama sekali. Teknologi ini telah dipakai untuk perbaikan sifat/karakter tanaman, yang meliputi ketahanan terhadap cekaman biotik seperti sifat ketahanan terhadap hama dan penyakit. Demikian juga dengan sifat toleransi terhadap kondisi lingkungan tertentu (Shah et al. 2011). Di Indonesia, kegiatan pengembangan bioteknologi modern dimulai sejak tahun 1990 di beberapa pusat penelitian milik pemerintah dan swasta, dengan perbaikan sifat-sifat tanaman sesuai dengan kebutuhan di lapangan, seperti sifat toleran kekeringan, kadar garam tinggi atau sifat ketahanan terhadap hama dan penyakit. Sifat ketahanan terhadap hama merupakan sifat utama yang banyak digunakan pada tanaman pertanian (Prasetya & Deswina 2009).

Kendala utama tanaman pertanian di negara beriklim tropis dan lembab seperti Indonesia adalah serangan organisme pengganggu seperti hama dan penyakit. Khusus tanaman padi, serangan hama masih menjadi masalah serius di lapangan, misalnya hama wereng coklat dan penggerek batang. Kerugian yang diakibatkan oleh kedua serangga hama ini menyebabkan penurunan produksi padi 5 – 10% dari total produksi padi di Asia. Serangan hama penggerek batang sendiri bisa menyebabkan kerugian sampai 20% (Ho et al. 2001). Usaha pengendalian yang selama ini dilakukan dengan penyemprotan insektisida kurang efektif

82

terutama terhadap hama penggerek batang, karena serangga ini hidup dan berkembang di dalam batang tanaman padi, sehingga waktu kontak dengan insektisida sangat terbatas (Amuwitagama 2002).

Melalui teknologi rekayasa genetik, dapat diperoleh tanaman tahan serangan hama dengan melakukan introduksi gen Cry dari bakteri Bacillus thuringiensis (Bt) (Gatehouse 2008; Lemaux 2009). Padi Bt adalah tanaman yang telah diintroduksi dengan gen Cry yang berupa protein Bt, efektif mengendalikan serangga hama dari jenis Lepidoptera, Diptera dan Coleoptera (Bravo et al. 2011). Sifat toksin dari protein Bt, sangat spesifik (highly selective spectrum), yang hanya bekerja pada jenis serangga tertentu dengan range yang sangat sempit (narrow range) (Bravo et al. 2011). Oleh karena itu tanaman Padi Bt dikembangkan dengan tujuan mengurangi aplikasi insektisida. Penelitian Padi Bt telah dilakukan oleh banyak negara, di Asia seperti China dan Iran telah diperoleh izin keamanan lingkungan untuk padi produksi rekayasa genetik, bahkan Iran telah mengkomersialisasikan Padi Bt sejak tahun 2004 (Herman 2009).

Penerapan teknologi rekayasa genetik pada tanaman, harus memperhatikan aspek keamanan lingkungan dan kesehatan manusia (Sharma et al. 2002). Untuk pengujian keamanan lingkungan tanaman PRG mengandung Bt, difokuskan pada pengaruh toksisitas Bt terhadap organisme non-target, dampak ekologis yang disebabkan oleh transfer gen dan kerabat liarnya, serta interaksi dan pengaruh tanaman PRG terhadap keanekaragaman hayati dan fungsi ekosistem (Pauwels et al. 2010).

Dengan dihasilkannya beberapa tanaman PRG telah menimbulkan beberapa tanggapan dari masyarakat baik positif maupun negatif terutama isu keamanan lingkungan. Pro dan kontra terus berlangsung meskipun telah dilakukan pengujian-pengujian berdasarkan metode ilmiah yang benar (Lu & Sweet 2010). Pengujian keamanan hayati yang menjadi persyaratan dalam Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati PRG, juga terdapat faktor ekonomi sosial yang harus diperhatikan, karena terkait langsung dengan kehidupan masyarakat (Garcia- Alonso et al. 2006). Meskipun masih diperdebatkan, tetapi dari laporan statistik terhadap luas areal tanaman PRG di dunia, telah mencapai 170 juta ha pada tahun

83 2012, berarti meningkat hampir seratus kali lipat dibandingkan dengan tahun 1996 yang hanya 1.7 juta ha (James 2013).

Peran teknologi dalam pembangunan pertanian berkelanjutan merupakan faktor penunjang yang cukup penting, oleh karena itu program berkelanjutan dalam pengelolaan PRG, harus melalui kebijakan, perencanaan dan proses pembelajaran dari kondisi sosial yang terjadi (Soemarwoto 2006). Ketahanan pangan nasional yang sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (ekologi, sosial dan ekonomi) menjadi tantangan generasi masa sekarang dalam meningkatkan kesejahteraannya, tanpa mengurangi kesempatan generasi masa depan untuk menaikkan tingkat kesejahteraan mereka (Rogers et al. 2007). Tujuan penelitian adalah memformulasikan kebijakan pengelolaan terpadu produk hasil rekayasa genetik terutama tanaman PRG yang berkelanjutan berdasarkan dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan, serta mengetahui faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap keberlanjutan kebijakan pengelolaan PRG.