• Tidak ada hasil yang ditemukan

a. Kajian Keamanan Lingkungan terhadap Pengaruh Padi Bt PRG terhadap Serangga non-target di LUT

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan oleh Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI di LUT yang bekerja sama dengan Balitpa Padi Sukamandi, telah diperoleh hasil penelitian, terhadap pengaruh tanaman Padi Bt PRG pada

39 populasi serangga non target dan musuh alami potensial di LUT di tiga lokasi berbeda yaitu Kabupaten Subang, Karawang dan Indramayu seperti disajikan pada Gambar 4.

Sumber :Laporan teknik penelitian Puslit Bioteknologi 2004

Gambar 4.Populasi serangga wereng punggung putih (Sogatella furcifera) pada galur Padi Bt PRG (11.21.39;6.11) dan Padi non-PRG di tiga lokasi Kabupaten Subang, Karawang dan Indramayu.

Hama padi non target seperti wereng punggung putih (Sogatella furcifera) ditemukan di tiga lokasi pengujian dengan tingkat populasi yang tidak berbeda pada pertanaman Padi Bt PRG dan pertanaman Padi non–PRG. Populasi tertinggi untuk tiga lokasi tersebut terdapat pada 4 MST. Di awal pengamatan belum ditemukan populasi wereng punggung putih, kecuali di daerah Karawang, sedangkan di daerah Indramayu, sudah tidak ditemukan populasi wereng punggung putih sejak pengamatan ke 8 sampai dengan pengamatan ke 10 MST (Laporan akhir Puslit Bioteknologi-LIPI 2006). Hama-hama lain yang tergolong hama non target adalah hama putih palsu (Cnaphalocrosis medinalis) (Gambar 5) dan hama wereng coklat (Nilaparvata lugens Stahl.) (Gambar 6).

40

Sumber :Laporan teknik penelitian Puslit Bioteknologi 2006

Gambar 5. Populasi serangga hama putih palsu (Cnaphalocrosis medinalis) pada galur Padi Bt PRG (6.11;11.21.39) dan Padi non-PRG di dua lokasi yang berbeda Kabupaten Subang dan Indramayu.

Sumber :Laporan teknik penelitian Puslit Bioteknologi 2007

Gambar 6. Populasi serangga hama wereng coklat (Nilaparvata lugens Stahl.) pada galur Padi Bt PRG(6.11;11.21.39) dan Padi non-PRG di dua lokasi yang berbeda Kabupaten Subang dan Indramayu.

41 Diketahui bahwa tiga jenis serangga non target ini merupakan jenis-jenis serangga potensial dan dominan di lokasi pertanaman. Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan di LUT, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan populasi serangga hama lain atau serangga non target di lokasi Padi Bt maupun di lokasi Padi non Bt. Hal ini disebabkan karena Padi Bt PRG tidak mempengaruhi atau meracuni serangga non target di lokasi pertanaman, sehingga populasinya tidak berbeda, baik pada Padi Bt PRG maupun Padi non PRG. Menurut Chen et al. (2006) tidak ditemukan perbedaan terhadap komposisi spesies dan kerapatan populasi serangga non target seperti wereng coklat dan ulat penggulung daun (leafhopper) pada pertanaman Padi Bt yang mengandung gen Cry IAbCry IAc dan pertanaman Padi non Bt di Propinsi Zhejiang, China pada tahun 2003 dan 2004.

Gen Cry dikelompokkan berdasarkan tingkat virulensi yang spesifik terhadap kelompok serangga sasaran. Senyawa toksin yang berasal dari kristal protein Cry hanya akan bekerja dan aktif jika bertemu dengan receptor yang tepat di dalam sistem pencernaan serangga dari golongan yang sesuai dengan kelas virulensinya, seperti Cry I yang hanya akan bersifat racun pada serangga dari kelompok Lepidoptera (Sanahuja et al. 2011). Pada padi aromatik yang mengandung gen Cry1A(b) menunjukkan ketahanan terhadap penggerek batang padi merah jambu (Chilo suppressalis) dan penggerek batang padi kuning (Ghareyazie et al. 1997), dan padi japonica terhadap hama penggerek batang padi kuning (Wu et al. 1997).

Tidak ditemukan populasi serangga hama putih palsu dan wereng coklat di daerah pengamatan Karawang, hanya wereng punggung putih yang paling dominan ditemukan pada saat pengamatan. Selain hama wereng punggung putih di LUT daerah Tempuran, Karawang, juga ditemukan walang sangit (Leptocorisa oratorius) sebagai hama non target generalis , berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada padi Rojolele non PRG (isogenik) dan Padi Bt PRG di Karawang, terbukti tidak terdapat perbedaan populasi yang nyata terhadap kedua jenis hama non target tersebut di LUT (Mulyaningsih et al. 2009).

Pengamatan untuk serangga hama putih palsu (Cnaphalocrosis medinalis) juga memperlihatkan kondisi yang sama dengan hama non target WPP, dimana

42

tidak ditemukan perbedaan populasi antara tanaman Bt dan tanaman non Bt. Perbedaan populasi hanya terdapat pada waktu pengamatan, dimana di daerah Subang, populasi hama putih palsu (HPP) paling tinggi terdapat pada pengamatan 6 MST, sebaliknya di daerah Indramayu populasi tertinggi dari serangga HPP terdapat pada awal pertanaman atau pada waktu tanaman masih muda yaitu 2 MST. Populasi hama wereng coklat tertinggi terdapat pada 8 MST baik di lokasi Kabupaten Subang maupun Indramayu.

Pengaruh tanaman Padi Bt PRG terhadap musuh alami yang ditemukan di lapangan seperti laba-laba (Arachnida), dan Paederus (Paederus sp), disajikan pada Gambar 7 dan Gambar 8.

Sumber :Laporan teknik penelitian Puslit Bioteknologi 2006

Gambar 7. Populasi laba-laba pada galur padi Bt PRG (6.11 dan 11.21.39) dan padi non-PRG (Rojolele dan Ciherang) di dua lokasi yang berbeda Kabupaten Subang dan Indramayu

43

Sumber :Laporan teknik penelitian Puslit Bioteknologi 2006

Gambar 8. Populasi Paederus sp pada galur Padi Bt PRG (6.11 dan 11.21.39) dan Padi non-PRG (Rojolele dan Ciherang) di dua lokasi yang berbeda Kabupaten Subang dan Indramayu.

Populasi laba-laba sebagai musuh alami di daerah Subang dan Indramayu dapat ditemukan di pertanaman Padi Bt dan Padi non Bt, dengan jumlah populasi yang tidak berbeda nyata. Di daerah Subang, sampai pengamatan 10 MST masih ditemukan populasi laba-laba tetapi pada pengamatan 2 MST belum ditemukan. Untuk daerah Indramayu tidak ditemukan lagi laba-laba pada pengamatan ke 8 dan 10 MST.

Terdapat juga populasi Paederus sp sebagai musuh alami di daerah Subang dan Indramayu pada pengamatan 4 MST sampai 8 MST dengan jumlah populasi yang tidak berbeda nyata baik pada Padi Bt maupun Padi non Bt. Selain laba-laba dan Paederus sp, musuh alami yang ada selama percobaan di LUT daerah Indramayu berlangsung adalah Coccinella sp dan Cyrtorhinus sp. Keempat predator tersebut merupakan predator dari wereng coklat. Sedangkan laba-laba selain predator wereng juga predator banyak serangga hama (generalis) (Deswina et al. 2009). Dari keempat musuh alami tersebut, populasi laba-laba cukup tinggi dan tidak banyak berbeda antar galur Padi Bt dan Padi non Bt yang diuji. Menurut laporan akhir BB Penelitian Tanaman Padi dan Puslit Bioteknologi LIPI, tingkat parasitasi Trichogramma yang merupakan parasitoid dari telur penggerek batang

44

padi, yang tertinggi terdapat pada galur Padi Bt PRG (galur 6.11) dan tidak berbeda nyata dengan padi lain yang non PRG.

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, di tiga lokasi pada musim yang berbeda, menghasilkan kesimpulan bahwa tidak terdapat perbedaan jumlah populasi serangga non target dan musuh alami dari serangga yang berada di atas permukaan tanah. Pengamatan pada organisme atau serangga di permukaan tanah belum dilakukan, akan tetapi penelitian serupa telah banyak dilakukan terhadap organisme yang berada di bawah permukaan tanah seperti mikroba dengan hasil yang bervariasi, mulai dari pengaruh minor sampai nyata yang diakibatkan oleh tanaman Bt terhadap komunitas mikroba di dalam tanah. Tetapi perbedaan yang muncul lebih disebabkan karena berbedanya geografi, temperatur, varietas tanaman dan tipe tanah, dan perubahan struktur komunitas mikroba bersifat sementara, dan tidak berhubungan dengan keberadaan protein Cry di dalam jaringan tanaman (Rahman et al. 2007, Icoz & Stotzky 2008). Menurut hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Puslit Bioteknologi LIPI pada tahun 2006 terhadap pengaruh Padi Bt PRG terhadap populasi mikroba tanah di pertanaman Padi Bt dan Padi non Bt dari lokasi pertanaman Padi Bt di LUT, tidak terdapat perbedaan nyata populasi mikroba pada dua lokasi pertanaman Padi Bt dan non-Bt (Slamet-Loedin, komunikasi pribadi).

Pengujian keamanan lingkungan untuk tanaman PRG yang membawa sifat ketahanan terhadap serangga lebih diutamakan jika dibandingkan dengan sifat toleran herbisida, karena kemungkinan pengaruh negatif tanaman toleran herbisida terhadap serangga non target hanya bersifat tidak langsung (Lottmann & Berg 2001). Lebih jauh disebutkan bahwa faktor abiotik lingkungan lebih besar memberikan pengaruh terhadap mikroba tanah bila dibandingkan dengan faktor genotip tanaman (Mimura et al. 2008).

Organisme yang terdapat di dalam tanah sangat bervariasi dan kompleks baik dari jumlah, jenis dan fungsinya di dalam tanah. Untuk mengetahui pengaruh negative tanaman Bt PRG terhadap keseluruhan organisme tanah akan membutuhkan waktu, tenaga dan biaya yang sangat besar. Oleh karena itu pengujian dilakukan hanya terhadap organisme tanah yang langsung terpengaruh (terpapar) oleh residu yang dihasilkan langsung bagian tanaman PRG seperti

45 toksin Cry (IAb) yang terdapat di dalam tanah. Jika tidak memungkinkan semua organisme tanah dapat diketahui pengaruhnya terhadap residu tanaman PRG, maka yang paling penting diketahui adalah kemungkinan dampak negatifnya terhadap organisme tanah dan yang paling besar perannya dalam kehidupan tanaman itu sendiri. Pengaruh tanaman Bt tahan hama terhadap ekosistem tanah meliputi organisme invertebrate (seperti cacing tanah, colembola, serangga tanah dan nematode) dan mikroorganisme (mikrobiota) tanah (meliputi bakteri, actinomycetes dan fungi) (Icoz & Stotzky 2008).

Berdasarkan pengujian keamanan lingkungan pengaruh protein Cry I Ab yang diintroduksi pada tanaman, tidak terbukti dampak negatifnya terhadap organisme invertebrata yang hidup di permukaan tanah. Tetapi terdapat pengaruh terhadap mikrobiota tanah seperti jamur (fungi) pada tanah yang ditanami dengan tanaman PRG ternyata mengandung protein Cry I Ab, sedangkan tanah yang ditanami dengan tanaman non-PRG diketahui tidak mengandung protein Cry I Ab setelah diuji secara molekuler, tetapi belum diketahui dampaknya terhadap jamur itu sendiri (Icoz & Stotzky 2008). Kemungkinan terjadinya dampak atau risiko tanaman PRG terhadap lingkungan, tidak hanya bergantung pada kualitas hasil penelitian, tetapi juga dari interaksi antara penilai, pembuat peraturan dan pengembang teknologi (McCammon 2010).

b. Pengujian terhadap Benih Padi non-PRG Hasil Penelitian Gene Flow di Lapangan Uji Terbatas.

Semua benih Padi non-PRG hasil penelitian gene flow dihitung dan dipisahkan berdasarkan jenis dan ulangan, hasilnya disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan hasil identifikasi, tidak diperoleh benih padi Rojolele untuk ulangan III, diperkirakan benih tersebut tidak berhasil dipanen pada waktu penelitian berlangsung karena penelitian yang telah lama berlangsung sejak tahun 2006- 2007.

46

Tabel 1. Jumlah benih padi non PRG hasil percobaan perpindahan gen (gene flow) di LUT

No Kultivar Ulangan Jarak tanaman Padi non PRG dari tanaman Padi Bt PRG

1 mtr 2 mtr 3 mtr 5 mtr 7 mtr 9 mtr 11 mtr 13 mtr 15 mtr 1 Rojolele I 281 77 154 268 126 156 50 50 283 II 0 0 0 215 306 141 80 196 78 III 0 0 0 0 0 0 0 0 0 IV 46 0 0 0 0 60 122 0 109 Total 327 46 154 483 432 357 252 246 470 Rata-rata 81,75 19,25 38,5 120,75 108 89,25 63 123 117,5 2 Rojolele KA I 537 990 780 1006 1705 825 1717 1551 980 II 170 440 598 526 739 476 0 844 836 III 300 447 0 248 213 561 1035 235 495 IV 4031 0 1406 0 1656 663 975 0 523 Total 5790 1877 2784 1780 4313 2525 3727 2630 2834 Rata-rata 1447.5 625.67 928.00 593.33 1078.25 631.25 1242.33 876.67 708.50 3 Pandan Wangi I 126 0 0 0 0 84 119 118 70 II 63 170 100 143 75 100 0 165 0 III 552 1070 1376 592 708 307 456 417 126 IV 349 418 0 56 0 50 50 92 61 Total 1090 1658 1476 791 783 541 625 792 257 Rata-rata 272.5 552.67 738.00 263.67 391.50 135.25 208.33 198.00 85.67 4 Ciherang I 0 0 330 320 349 714 526 564 0 II 123 163 123 56 0 122 148 66 86 III 376 667 585 0 0 307 750 343 260 IV 1260 2490 1960 2459 1780 789 1078 1608 960 Total 1759 3320 2998 2835 2129 1932 2502 2581 1306 Rata-rata 879.50 1660.00 1199.20 1417.50 1419.33 772.80 1000.80 1032.40 653.00

47 Setelah semua benih padi hasil pengujian gene flow di LUT di hitung dan dicatat, kemudian setiap kultivar berdasarkan jarak isolasi ditumbuhkan dengan menggunakan media semai tanah sawah yang dilumpurkan dalam bak plastik. Jumlah benih yang berhasil ditumbuhkan atau tidak dapat lagi tumbuh diamati dan dicatat sesuai dengan jenis masing-masing kultivar seperti yang disajikan pada Gambar 9 dan Gambar 10.

Gambar 9. Kemampuan tumbuh benih padi generasi kesatu (T0) kultivar Rojolele dan Pandan Wangi hasil penelitian gene flow di wilayah Karawang untuk seleksi higromisin dan analisis PCR.

Jumlah benih yang paling banyak dari hasil identifikasi adalah Rojolele KA (5790 butir), tetapi kemampuan benih untuk tumbuh hanya sekitar 1.89% (110 butir). Tetapi sebaliknya untuk benih Ciherang dengan jumlah benih 3320 butir memiliki kemampuan tumbuh paling tinggi yaitu sekitar 35.3% (1174 butir). Benih Pandan Wangi memiliki kemampuan tumbuh paling kecil yaitu sekitar 0.4% (8 butir) dari 1658 butir benih yang disemai.

48

Gambar 10. Kemampuan tumbuh benih padi generasi kesatu (T0) kultivar Rojolele KA dan Ciherang hasil penelitian gene flow di wilayah Karawang untuk seleksi higromisin dan analisis PCR.

Seleksi Higromisin

Seleksi awal untuk benih-benih hasil penelitian gene flow menggunakan higromisin dengan cara menetesi daun tanaman dengan larutan Higromisin 100mg/l. Setelah 2x24 jam, daun tanaman yang ditetesi larutan higromisin tersebut terbakar atau berwarna coklat (Gambar 11), maka tidak perlu dilanjutkan lagi dengan analisis PCR, sebaliknya apabila daun tanaman tidak terbakar, maka dilanjutkan dengan analisis PCR untuk memastikan apakah benih yang tidak terbakar dengan uji higromisin tersebut mengandung gen Cry IA(b).

Larutan higromisin termasuk pada salah satu sistem penanda (marker) ketahanan antibiotik yang umum digunakan pada tanaman monokotil seperti padi (kelompok gramineae). Keberadaan gen hpt (hygromycin phosphotransferase), sebagai salah satu gen penanda pada padi Rojolele PRG dapat diuji menggunakan antibiotik higromisin. Cara kerja antibiotik ini adalah menghambat sintesis protein melalui gangguan translokasi, sehingga terjadi kesalahan pada ribosom 80S (Rodriguez & Nottenburg 2002).

49 Gambar 11. Hasil seleksi higromisin pada daun tanaman padi

A lingkaran yang diberi larutan higromisin B lingkaran yang tidak diberi larutan higromisin Analisis PCR

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada semua benih padi hasil pengujian gene flow, tidak ditemukan tanaman Padi non Bt generasi kesatu, yang positif mengandung Cry I A(b). Hal ini dapat dibuktikan dari hasil evaluasi menggunakan higromisisn dan analisis PCR yang dilakukan pada benih padi dengan berdasarkan perlakuan jarak isolasi yang berbeda-beda. Beberapa hasil pengujian dengan analisis PCR terhadap tanaman Padi non-PRG yang ditanam di sekitar tanaman Padi Bt PRG di LUT disajikan pada Gambar 11.

Gambar 12. Hasil analisis PCR menggunakan primer Cry IA(b) pada tanaman generasi kesatu (T0) Padi non-PRG cv. Rojolele (A) dan Ciherang (B) hasil penelitian gene flow di LUT.

λ hind III;P plasmid;+ DNA cry IA(b); A sampel air;1(sampel tanaman Rojolele non PRG); 2-39 sampel DNA tan padi non-PRG cv. Rojolele hasil penelitian gene flow. B λ P + - A 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11121314 15 16 17181920 2122232425 26272829303132333435363738 λ P + - A 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 111213 141516 17181920 212223 242526 272829303132333435363738 B A A 1012 bp Cry IAb 1012 bp Cry IAb

50

Pada analisis PCR digunakan sampel DNA yang mengandung gen Cry IA(b) sebagai kontrol positif untuk pembanding dengan sampel-sampel DNA tanaman yang diuji, sedangkan kontrol negatif digunakan tanaman padi kultivar Rojolele non PRG.

Pengujian untuk mengetahui apakah terjadi persilangan antara tanaman Padi Bt dengan tanaman Padi non-Bt, telah dilakukan sesuai dengan perlakuan jarak isolasi yang berbeda-beda. Berdasarkan hasil seleksi higromisin dan analisis PCR terhadap semua sampel dari benih tanaman Padi non Bt generasi kesatu (T0) kultivar Rojolele, Rojolele KA, Ciherang dan Pandan Wangi yang dianalisis, ternyata tidak terdapat satupun sampel yang positif mengandung gen Cry IAb (Gambar 12). Kemungkinan terjadinya hal ini karena sifat tanaman padi yang menyerbuk sendiri (kleistogami), sehingga proses penyerbukan sudah terjadi di dalam bunga sebelum bunga sempat membuka (Harst et al. 2009). Selain faktor fisiologis dari tanaman itu sendiri, terdapat kemungkinan faktor lain yang mempengaruhi terjadinya persilangan seperti model desain percobaan di lapangan dan proses seleksi dan analisis yang dilakukan (Harst et al. 2009). Pada percobaan penelitian gene flow untuk tanaman padi yang dilakukan oleh Puslit Bioteknologi LIPI, menggunakan model desain lingkaran, menyerupai baling-baling, dimana setiap jari-jarinya ditanami dengan Padi non-PRG sedangkan tanaman Padi Bt PRG ditanam ditengah-tengah lingkaran. Sebagai perlakuan, digunakan jarak tanam 1,2,3,5,7,9,11 dan 13 meter dari tanaman Padi Bt PRG (Lampiran 1). Di luar lingkaran tadi ditanam padi Rojolele isogenik sebagai barier sesuai dengan rekomendasi penanaman Padi PRG di LUT dengan luas 3 meter untuk tanaman padi. Berdasarkan hasil pengujian terhadap benih-benih hasil penelitian gene flow tersebut, diduga jarak tanam antara Padi Bt dengan Padi non Bt mempengaruhi untuk terjadinya persilangan, selain itu perbedaan umur tanaman Padi non-Bt dengan umur tanaman Padi Bt termasuk salah satu faktor yang menghalangi persilangan. Walaupun waktu penanaman dibedakan, supaya masa pembungaan bersamaan antara Padi Bt PRG dengan Padi non-PRG, tetapi faktor fisiologis dan sifat kleistogami pada tanaman padi menjadi faktor penghalang untuk persilangan. Perbedaan jarak tanam dan ketinggian tanaman sangat mempengaruhi terjadinya persilangan pada tanaman padi (Chen et al. 2004).

51 Dari hasil penelitian terhadap frekwensi terjadinya gene flow yang pernah dilakukan oleh Chen et al. (2004) pada padi kultivar Minghui-63 dengan jenis padi liar Oryza rufipogon, terdeteksi sekitar 1,1-2,2 % dalam lahan percobaan seluas 5 x 5 m2 dan jarak antar tanaman di dalam plot 30 x 50 cm. Sedangkan frekuensi terjadinya gene flow dari jenis padi Nam29/TR 48 kepada jenis-jenis gulma padi (weedy rice) sangat rendah, yang berkisar antara 0,011-0,046 %. Berdasarkan hasil analisis terhadap pola terjadinya transfer material genetik antara tanaman PRG dengan tanaman non-PRG dipengaruhi oleh banyak faktor, oleh karena itu diperlukan sikap kehati-hatian dan berdasarkan kasus per kasus tergantung dari jenis dan sifat tanaman yang dikaji. Menurut Snow et al. (2003) identifikasi prioritas pada penelitian gene flow, meliputi risk assessment, risk management, mitigasi dan membuat urutan penelitian baik di fasilitas uji terbatas atau lapangan uji terbatas.

KESIMPULAN

1. Tidak terjadi dampak Padi Bt PRG terhadap non target organisme berdasarkan perbedaan populasi serangga hama non target seperti wereng punggung putih (Sogatella furcifera), hama putih palsu (Cnaphalocrosis medinalis) dan wereng coklat (Nilaparvata lugens) pada pertanaman Padi Bt PRG dan pertanaman Padi non-PRG di lokasi pengamatan LUT.

2. Populasi musuh alami yang berfungsi sebagai predator seperti laba-laba (Arachnida) dan Paederus sp tidak berbeda nyata, baik pada pertanaman Padi Bt dan pertanaman Padi non-Bt di LUT lokasi Kabupaten Subang dan Indramayu.

3. Berdasarkan seleksi higromisin dan analisis PCR pada empat kultivar tanaman Padi non-PRG generasi kesatu (T0) hasil penelitian gene flow, tidak ditemukan tanaman yang positif membawa gen Cry IA(b) pada perlakuan jarak 1,2, 3, 5, 7, 9, 11, dan 13 meter dari pertanaman Padi Bt.

52

Saran

1. Berdasarkan hasil kajian terhadap keamanan lingkungan Padi Bt PRG, disarankan untuk melengkapi variabel pengujian dengan membuat kategori atau daftar spesies non-target potensial berdasarkan fungsi ekologis sebelum dilakukan pengujian keamanan lingkungan. Selanjutnya disusun prioritas serangga non-target potensial, terutama yang berpotensi terkena dampak negatif tanaman Padi Bt PRG.

2. Hasil pengujian laboratorium terhadap benih-benih hasil penelitian gene flow, tidak memperlihatkan terjadinya persilangan antara Padi Bt PRG dengan Padi non-PRG pada perlakuan jarak tanam 1, 2, 3, 5, 7, 9, 11, 13 dan 15 meter. Oleh karena itu dapat disarankan bahwa jarak tanam Padi Bt dengan Padi non PRG minimal 1 meter, belum terjadi persilangan, meskipun untuk mengatasi terjadinya gene flow, di dalam peraturan Pedoman Pengkajian Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik Seri Tanaman Tahun 2005 jarak minimal adalah 3 meter untuk tanaman padi.

53

ANALISIS EX-ANTE KELAYAKAN EKONOMI PADI Bt