96
pengelola wisata dan perikanan di Raja Ampat. Selain itu, perlu menyebar luaskan penyadaran akan peraturan dalam kawasan melalui papan peringatan, poster-poster dan selebaran di lokasi- lokasi yang sering dikunjungi masyarakat lokal maupun wisatawan.
Hubungan Setiap Dimensi dalam Diagram Layang-layang
Hubungan antara dimensi bioekologi, dimensi sosial ekonomi dan budaya dan dimensi tata kelola yang menentukan keberlanjutan pengelolaan kawasan konservasi perairan di Selat Dampier diperlihatkan pada Gambar 40. Dari gambar tersebut terlihat bahwa dimensi yang paling lemah diperlihatkan oleh dimensi bioekologi, kemudian dimensi tata kelola. Untuk itu, badan pengelola kawasan konservasi perairan Raja Ampat harus meningkatkan kinerjanya dengan memperbaiki atribut-atribut yang masih sensivitasnya tinggi. Pada dimensi bioekologi atribut-atribut tersebut adalah (1) kelimpahan ikan karang, (2) jumlah jenis ikan karang, dan (3) hasil tangkapan ikan target. Untuk dimensi tata kelola terdiri atas: (1) ingkat interaksi antara pengelola KKLD dengan stakeholders, (2) penegakan hukum, (3) keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan KKPD Selat Dampier, dan (4) Pemahaman di tingkat lokal terhadap hukum dan peraturan KKLD.
Dari diagram layang- layang dimensi sosial ekonomi dan budaya memperlihatkan nilai keberlanjutan yang tertinggi dari 2 dimensi lainnya. Namun nilai ini berdasarkan kategori keberlanjutan masih tergolong dalam “berkelanjutan sedang”. Artinya pengelolaan kawasan konservasi perairan daerah Selat Dampier masih perlu ditingkat untuk mencapai kategori tersebut mencapai kategori “berkelanjutan tinggi”. Hasil analisis leverage menunjukkan dua atribut untuk segera diperbaiki yakni (1) tingkat pelanggaran terhadap kawasan konservasi dan (2) pemanfaatan sumberdaya lokal.
97 Secara umum kategori keberlanjutan dari semua dimensi yang mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan KKPD Selat Dampier tergolong berkelanjutan sedang. Untuk itu, Badan Pengelola Kawasan Konservasi Perairan Raja Ampat melakukan intervensi dalam meningkatkan kinerja atribut untuk menaikkan status keberlanjutan semua dimensi yang mendukung pengelolaan kawasan konservasi perairan di Selat Dampier. Masih dijumpai banyak kekurangan dalam ketiga dimensi keberlanjutan pengelolaan KKPD Selat Dampier. Untuk itu, perlu perbaikan terutama menyangkut koordinasi antar stakeholders. Atribut ini harus menjadi perhatian utama karena tanpa koordinasi yang baik, terutama antar instansi pemerintah maka akan berjalan sendiri-sendiri dengan hasil yang tidak optimal. Koordinasi juga harus senantiasa dilakukan dengan masyarakat lokal melalui tokoh-tokohnya. Adanya budaya penguasaan adat atas sumberdaya alam yang sangat kuat berlaku di Papua menjadi alasan mengapa hal ini harus dilakukan.
Pengembangan kapasitas pengelola sangat urgen dilakukan mengingat sumberdaya manusia yang ada masih sangat terbatas kualitas dan kuantitasnya. Selain itu, institusi ini juga mengemban tanggung jawab yang berat karena harus mengakomodir kehadiran masyarakat lokal/adat dalam badan pengelola. Untuk itu Pemda Kabupaten Raja Ampat dan LSM yang sudah melembagakan pengelolaan konservasi perairan di Raja Ampat tetap memberikan perhatian dan dukungannya yang besar untuk mencapai keberlanjutan tinggi dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan di Raja Ampat.
98
8
STRATEGI PENGEMBANGAN PENGELOLAAN HIBRID
Peranan Pemerintah
Peranan pemerintah daerah dan pemerintah menjadi faktor yang paling penting dalam mencapai tujuan pengelolaan kawasan konservasi perairan. Demikian halnya yang terkait dengan pengelolaan kawasan konservasi perairan daerah Selat Dampier, selama ini pemerintah daerah berperan memberikan legitimasi kawasan melalui penerbitan peraturan daerah (perda) tentang kawasan konservasi daerah dan perda-perda lain yang mendukung pengelolaan kawasan. Sedangkan, pemerintah pusat melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menetapkan secara resmi kawasan konservasi perairan Kepulauan Raja Ampat di Papua Barat. Pemerintah daerah Raja Ampat telah pula membentuk kelembagaannya dan menetapkan mekanisme pengelolaan keuangan dengan pola badan layanan umum daerah (BLUD). Namun demikian beberapa hal yang perlu dilakukan Pemda Raja Ampat dan Kementerian Kelautan dan Perikanan terkait dengan pengembangan Badan Pengelola Kawasan Konservasi Perairan Raja Ampat adalah: (1) kelembagaan, (2) pendanaan dan (3) kebijakan umum pemerintah daerah.
Tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Badan Pengelola Kawasan Konservasi Perairan Raja Ampat sangat strategis karena mengemban visi Bupati Kabupaten Raja Ampat yakni: “terwujudnya Kabupaten Raja Ampat sebagai kabupaten bahari yang didukung sumberdaya kelautan dan perikanan serta pariwisata menuju masyarakat Raja Ampat yang madani”. Dengan tupoksi ini maka sudah seharusnya tingkatan (eselon) lembaganya minimal setara dengan satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) Dinas lain yang langsung di bawah koordinasi Bupati. Peraturan Bupati Raja Ampat No.7 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Struktur dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) KKPD Pada Dinas KKP Raja Ampat menunjukkan bahwa struktur badan pengelola ini hanya menjadi salah satu UPTD berada di bawah satu Bidang dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Raja Ampat. Dengan posisi ini kelembagaan ini sulit berkoordinasi dengan stakeholders lain yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi.
Dana yang diberikan kepada Badan Pengelola kawasan konservasi perairan Raja Ampat pertahun tergolong sangat kecil besarnya hanya Rp. 150 juta. Jumlah ini tentu sangat tidak mencukupi untuk jejaring kawasan konservasi di Raja Ampat yang luasnya mencapai 1.026.540 ha. Komitmen Pemda untuk mengembangkan pariwisata dan perikanan berkelanjutan masih belum maksimal. Demikian juga dengan peran Kementerian Kelautan dan Perikanan terhadap penetapan kawasan konservasi perairan di Raja Ampat. Surat Keputusan Menteri KKP No. 36 tahun 2014 hanya berisi penetapan kawasan, tidak termasuk rencana pengelolaan yang sudah diusulan oleh Pemda Raja Ampat. Hal ini tersirat bahwa pemerintah pusat tidak memiliki kewajiban mendanai kawasan konservasi perairan daerah yang ditetapkannya. Untuk itu, baik pemerintah daerah maupun
99 pemerintah perlu bertanggung jawab menjamin berlangsungnya pengelolaan kawasan, dengan dana pengelolaan yang layak. Selain itu, badan pengelola kiranya lebih kreatif meningkatkan kinerjanya untuk menggali potensi keuangan di dalam kawasan.
Pemda Raja Ampat harusnya tetap fokus mendorong semua instansi pemerintah untuk mengimplementasi visi sebagai Kabupaten Bahari. Visi kabupaten bahari berbeda dengan visi pembangunan yang berbasis daratan, dimana setiap orang yang ada di dalam kawasan ini memiliki konsep hidup selaras dengan laut. Untuk itu, setiap komponen penyelenggara daerah dalam melaksanakan pelayanan harus memandang laut sebagai habitat yang perlu dipertahankan keberlanjutannya. Masih banyak SKPD yang belum memahami baik bagaimana mewujudkan visi Pemda Raja Ampat dalam program-program kerja dari masing- masing SKPD. Dalam membangun suatu sarana di kawasan ini sangat perlu merencanakan dengan baik, dengan memperhatikan dengan baik aspek-aspek dampak yang ditimbulkan terhadap ekosistem laut dan pengaruhnya terhadap masyarakat lokal yang hidup disekitarnya. O leh karena itu, sangat dianjurkan melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait terhadap program pembangunan sarana fisik maupun non-fisik yang akan dikerjakan di daerah ini.
Peranan Masyarakat AdatTT
Peranan masyarakat adat terhadap kehadiran kawasan konservasi hibrid di Raja Ampat sangat menentukan. Tanpa partisipasi mereka melalui penyerahan kawasan perairan adat mereka untuk dikelola sebagai kawasan konservasi, maka kelembagaan ini tidak akan terbentuk. Namun demikian dalam pengelolaan yang ada saat ini, peran mereka belum didefinisikan dengan baik. Beberapa isu yang yang terkait dengan peranan masyarakat adat adalah: (1) hak-hak atas kawasan konservasi, (2) aturan-aturan yang ada, dan (3) sanksi bagi para pelanggar.
Penetapan kawasan konservasi perairan daerah di Raja Ampat tidak bertujuan mempertahankan keberlangsungan sumberdaya perairan semata- mata melainkan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, hak-hak masyarakat adat terhadap kawasan perairan adat mereka tidak hilang karena adanya badan pengelola kawasan konservasi. Hak-hak tersebut perlu dipertahankan dan dilegalkan untuk memperkuat kedudukan mereka dalam kawasan konservasi hibrid. Sehubungan dengan hal tersebut, harus segera menyiapkan peraturan daerah atau peraturan bupati yang mengatur mekanisme pelaksanaan sasi yang lebih berkelanjutan dan berkeadilan. Badan pengelola kawasan konservasi perairan juga perlu mendampingi masyarakat lokal karena mereka menjadi bagian dalam pengelolaan KKPD.
Sosialisasi kawasan konservasi menjadi menjadi tugas yang tak pernah selesai bagi Badan pengelola kawasan konservasi perairan daerah Raja Ampat. Selama ini sosialisasi lebih banyak dilakukan bagi penduduk kampung atau lokal Raja Ampat. Upaya menjangkau pihak lain seperti wisatawan dan para pendatang lainnya belum banyak dilakukan. Perhatian terhadap kelompok ini sangat penting mengingat jumlah wisatawan yang mengunjungi obyek wisata Raja Ampat, naik setiap tahun. Demikian juga, para pendatang lain yang memanfaatkan keterbukaan kabupaten ini semakin meningkat dari waktu ke waktu. Langkah-
100
langkah yang perlu dilakukan adalah melaksanakan gerakan penyadaran kawasan konservasi secara sistematis baik kepada penduduk Raja Ampat maupun kepada para pendatang. Langkah penyadaran juga dapat dilakukan melalui penyuluhan- penyuluhan terhadap orang dewasa dan pendidikan lingkungan laut bagi murid sekolah. Untuk para wisatawan, program penyadaran kawasan konservasi dilakukan melalui resort-resort wisata, biro-biro perjalanan wisata dan termasuk juga di homestay yang dikelola masyarakat lokal. Pemerintah daerah dan para pengusaha wisatawan serta perikanan perlu pula mencetak lebih banyak buku, leaflet, brosur dan poster untuk dapat menjadi bahan yang praktis untuk memperkenalkan kawasan konservasi kepada lebih banyak orang.
Penegakan hukum bagi pelanggar suatu kawasan konservasi sangat penting dilakukan. Namun saat ini, mekanismenya belum menjadi suatu sistem yang berjalan dengan baik. Pelanggaran terhadap kawasan konservasi di kampung dilakukan oleh kepala kampung. Para pelanggar selama ini masih sangat terkait dengan pelanggaran oleh nelayan yang melakukan aktivitas penangkapan ikan yang destruktif. Dengan semakin meningkatnya kunjungan wisatawan dalam dan luar negeri ke Raja Ampat, maka peluang pelanggaran kawasan konsevasi dilakukan oleh wisatawan semakin besar. Pelanggaran yang mungkin dilakukan adalah merusak habitat karang, menangkap ikan- ikan endemik yang dilindungi, memasuki kawasan adat yang dilarang (pamali). O leh karena itu, pemerintah daerah harus dapat memprediksi dan menyiapkan langka h-langkah yang nyata menghindari terjadinya permasalahan penegakan hukum di kawasan konservasi. Masyarakat adat harus dilibatkan dalam proses penyelesaian ini dari awal.
Peranan Pengelola Kawasan
Pembentukan struktur badan pengelola kawasan konservasi daerah di Raja Ampat sejak tahun 2011 menjadi sangat strategis dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan di daerah ini. Persoalan yang masih dialami oleh badan pengelola ini adalah terdiri dari pegawai yang relatif baru dan belum banyak pengalaman dalam bidang pengelolaan kawasan konservasi. Oleh karena itu, pelatihan dan pengembangan pegawai harus menjadi prioritas utama dalam pengembangan kelembagaan. Selain hal ini, faktor penting yang menjadi perhatian dari Pemda Kabupaten Raja Ampat dalam mengembangkan kelembagaan adalah status sebagai badan layanan umum daerah (BLUD). Model pengelolaan keuangan sistem BLUD yang diterapkan saat ini adalah yang pertama berlakukan di Raja Ampat. Dengan sistem ini badan pengelola kawasan harus dapat mengelola pegawai baik yang berstatus pegawai negeri maupun non- pegawai negeri.
Sistem pengawasan kawasan konservasi perairan yang perlu dilakukan saat ini adalah perlu dilakukan juga terhadap aktivitas wisata bahari. Selama ini pengawasan yang dilakukan oleh kelompok pengawas masyarakat (Pokwasmas) hanya ditujukan kepada nelayan saja. Pengamatan di lapangan terlihat bahwa aturan-aturan yang terkait dengan wisata selam belum dilaksanakan dengan baik, misalnya dapat menyelam tanpa memiliki sertifikat selam. Wisatawan dengan ketrampilan selama tak layak sangat berpotensi merusak terumbu karang dan ekosistem rentan lainnya di lokasi spot penyelaman penting. Bila ini dilakukan
101 secara terus menerus maka akan mengancam keberlangsungan ekosistem di lokasi selam tersebut. Badan pengelola kawasan juga terus meningkatkan ketaatan pada zona- zona konservasi yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Bila terjadi pelanggaran pada zona tersebut maka pengelola harus menindak dengan tegas. Saat ini belum maksimal dilakukan penindaka n terhadap pada sistem zona yang diberlakukan. Masih dijumpainya tumpang tindih pemanfaatan ruang zona yang ada. Di perairan kampung Friwen terdapat lokasi menangkap cumi- cumi masyarakat lokal, lokasi tersebut juga dijadikan tempat berlabuh kapal wisata liveaboard di malam hari.
Hasil analisis keberlanjutan memperlihatkan bahwa dari ketiga dimensi yang menjadi parameter keberlanjutan, dimensi bioekologi memiliki nilai keberlanjutan yang paling rendah yakni 55.48. Se hubungan dengan hal tersebut Badan Pengelola KKPD Kabupaten Raja Ampat perlu memprioritas perbaikan pengelolaan KKPD Selat Dampier dengan meningkatkan kinerja atribut yang sensitif yakni: (1) kelimpahan ikan karang, (2) jumlah jenis ikan karang, dan (3) hasil tangkapan ikan target. Intervensi yang perlu dilakukan pengelola adalah melakukan monitoring rutin kawasan-kawasan yang tingkat pemanfaatannya tinggi disetiap zona KKPD Selat Dampier. Selain itu, pengelola kawsan juga perlu mengidentifikasi faktor- faktor lain yang sebelumnya tidak dipertimbangkan dalam pengelolaan. Aktivitas seperti wisata selam misalnya belum digali lebih jauh dampaknya terhadap kondisi terumbu karang dan ikan karang. Demikian juga dengan penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan lokal perlu diketahui tingkat pemanfaatannya dengan baik. Pengelola dapat mendorong partisipasi lokal dengan mendorong nelayan lokal menghitung sendiri tingkat pemanfaatan sumberdaya perairan mereka. Kegiatan ini bisa difasilitasi oleh pokwasmas yang ada di kampung.
Nilai keberlanjutan yang terendah berikutnya adalah dimensi tata kelola yakni 67.80. Hasil analisis leverage factor dimensi ini menunjukkan bahwa sebanyak 4 atribut yang sensitif mempengaruhi nilai keberlanjutannya, yakni : (1) tingkat interaksi antara pengelola KKLD dengan stakeholders, (2) penegakan hukum, (3) keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan KKPD Selat Dampier, dan (4) Pemahaman di tingkat lokal terhadap hukum dan peraturan KKLD. Untuk memperbaiki kinerja dalam dimensi ini pengelola KKPD Selat Dampier perlu lebih aktif melakukan koordinasi dengan stakeholder lain seperti dinas-dinas terkait, pihak swasta, masyarakat adat dan LSM. Penegakan hukum juga perlu dievaluasi dan dilakukan perbaikan atas kelemahannya. Selain itu, terkait dengan keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan sebaiknya perlu disiapkan mekanisme kerjasama lembaga pengelola dengan masyarakat adat. Selanjutnya terkait dengan tingkat pemahaman hukum dan peraturan di KKPD Selat Dampier, badan pengelola perlu menyiapkan satu sistem penyuluhan yang baik untuk dapat menjangkau pihak pemanfaat kawasan konservasi seperti pihak wisatawan.
Pengelola KKPD Selat Dampier masih perlu pula meningkatkan nilai keberlanjutan dimensi sosial, ekonomi dan budaya, mengingat capaian nilai keberlanjutannya masih dalam status keberlanjutan sedang. Masih ada dua atribut yang sensitif pada dimensi ini yakni: (1) tingkat pelanggaran terhadap KKPD dan (2) pemanfaatan sumberdaya manusia lokal. Pengelola KKPD Selat Dampier perlu melakukan intervensi dengan secara kontinu melakukan sosialisasi peraturan KKPD sampai pada tingkat level terbawah yakni masyarakat lokal dan wisatawan.
102
Selain itu, perlu meningkatkan frekwensi pengawasan terhadap kawasan konservasi khususnya zona yang dimanfaatkan untuk wisata bahari yang semakin tinggi tingkat pemanfaatannya. Terkait dengan atribut sensitif lain yakni pemanfaatan sumberdaya manusia lokal, perlu memproritaskan sumberdaya manusia lokal terlibat dalam pemanfaatan kawasan konservasi. Terbukanya peluang kerja akibat pengelolaan kawasan konservasi yang baik perlu dinikmati pula masyarakat lokal dengan bekerja disetiap sektor yang membutuhkan jasa mereka. Tidak boleh terjadi mereka hanya sebagai penonton dari aktivitas pemanfaatan sumberdaya mereka dari para investor.
103
9
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Sistem pengelolaan sasi akan mampu bertahan (resilien) menghadapi perubahan-perubahan sosial, ekonomi dan budaya bilamana mengadopsi unsur-unsur konservasi modern yakni perubahan sasi temporal menjadi sasi permanen.
2. Pengelolaan kawasan konservasi sistem hibrid dapat berfungsi baik bila sistem budaya masyarakat pendukungnya masih menghargai dan mengimplementasikan hak adat atas sumberdaya alam. Selain itu, melibatkan masyarakat adat dalam sistem pengawasan dan monitoring kawasan konservasi, terutama di sekitar wilayah perairan adat mereka. 3. Dilibatkannya kelompok pengawas masyarakat (POKWASMAS) dalam
pengelolaan KKPD Selat Dampier dapat mengurangi tingkat pelanggaran dalam kawasan konservasi.
4. Lembaga yang berperan sangat signifikan dalam pengelolaan konservasi perairan di Raja Ampat adalah LSM, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Raja Ampat dan Badan Pengelola Taman Pulau-pulau Kecil Daerah Raja Ampat.
5. Tingkat keberhasilan kondisi ekologi perairan terlihat bahwa kualitas air air masih bersifat alami yang memungkinkan biota karang berkembang dengan baik. Persentase tutupan karang hidup bervariasi dari tingkat sedang (25.0 - 49.9%) sampai ke tingkat sangat baik (> 75%). Keragaman jenis ikan karang (35 - 44 spesies) dan jumlah ikan karang (291 - 333 individu) yang diamati per transek cenderung stabil dan masing- masing kategori sedang. Perbandingan ikan target, mayor dan indikator menunjukkan penurunan pada jumlah ikan target, sementara ikan mayor dan indikator relatif tetap. Ikan target yang berkurang biomassanya terjadi di kawasan yang tingkat penangkapannya tinggi, sementara yang relatif jauh dari akses nelayan populasinya meningkat.
6. Tingkat pendapatan perbulan masyarakat yang tinggal di Selat Dampier
masih relatif rendah, dimana masih didominasi tingkat pendapatan Rp. 500 000- Rp. 1 000 000 sebesar 39.2% dan pendapatan yang diperoleh
saat ini cenderung tetap.
7. Keberhasilan pengelolaan KKPD Selat Dampier berdasarkan persepsi masyarakat: (1) mata pencarian alternatif baru meningkat terutama pada jasa wisata bahari; (2) konflik pemanfaatan sumberdaya perairan turun dan sistem penyelesaian konfliknya berjalan dengan baik; (3) pengetahuan terhadap manfaat kawasan, pentingnya zonasi, perlunya melindungi spesies unik, dan aturan terhadap waktu menangkap semakin baik; (4) kepatuhan pada aturan hukum lebih baik, ketaatan pada aturan konservasi meningkat, sedangkan aturan yang diimplementasikan sudah semakin jelas bagi masyarakat.
8. Nilai indeks keberlanjutan pada dimensi ekobiologi, dimensi sosial ekonomi dan budaya, dan dimensi tata kelola masing- masing adalah 54.09,
104
71.88 dan 67.80. Semua dimensi menunjukkan berstatus berkelanjutan sedang.
9. Atribut yang paling mempengaruhi keberlanjutan mas ing- masing dimensi adalah: (1) dimensi bioekologi adalah kualitas air kawasan konservasi; (2) dimensi sosekbud yakni (a) atribut tingkat pelanggaran terhadap kawasan konservasi dan (b) pemanfaatan sumberdaya lokal; (3) dimensi tata kelola yakni (a) tingkat interaksi antara pengelola KKLD dengan stakeholders, (b) penegakan hukum, (c) keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan KKPD Selat Dampier, dan (d) pemahaman ditingkat lokal terhadap hukum dan peraturan KKLD.
10.Beberapa hal yang masih menjadi perhatian pengelola kawasan konservasi perairan di Raja Ampat adalah: (1) kelembagaan, (2) pendanaan dan (3) kebijakan umum pemerintah daerah. Sedangkan isu- isu yang perlu ditindaklanjuti terkait dengan peran masyarakat adat atau masyarakat lokal adalah: (1) hak-hak atas kawasan konservasi, (2) aturan-aturan yang ada, dan (3) sanksi bagi para pelanggar.
Saran 1. Perlunya sistem pengelolaan konservasi perairan hibrid ini diimplementasi
pula di kawasan lain, dimana sistem sasi dan sistem kearifan lokal pengelolaan sumberdaya perairan lainnya masih dipraktekan.
2. Dari penelitian ini disarankan melakukan penelitian tentang perbandingan kondisi ekobiologi perairan, aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat didalam KKPD Raja Ampat dengan di luar kawasan KKPD tersebut.
105