• Tidak ada hasil yang ditemukan

Matafi

Bala

Bala

Bala

Macu

Macu

Macu

Macu

Macu

Macu

32

Sebelum mengenal dan menganut agama-agama seperti saat ini, penduduk yang tinggal dalam KKPD Selat Dampier mengenal dan mempraktikkan sistem religi atau kepercayaan tradisonal yang disebut Mon. Mon adalah sistem kepercayaan terhadap roh-roh halus yang menghuni alam seperti laut, hutan dan tempat-tempat tertentu. Tempat-tempat keramat seperti goa-goa, pohon-pohon besar, perairan tertentu adalah representasi kehadiran roh-roh halus yang dihormati tersebut. Roh-roh tersebut dipercaya dapat mempengaruhi kehidupan manusia, baik yang sifatnya baik maupun yang buruk. Bila kehidupan dijalankan dengan baik akan memperoleh ganjaran baik, tetapi sebaliknya terjadi bila kehidupan tidak sesuai dengan tata kehidupan mereka.

Sistem kepercayaan Mon yang berakar kuat dalam budaya masyarakat Raja Ampat, masih tetap hidup walaupun telah menganut agama Kristen dan Islam. Hal ini terlihat dalam penetapan suatu kawasan perairan sasi, upacara inisiasinya dilakukan dalam dua model yaitu upacara gereja dan upacara adat. Upacara adat yang dilakukan dengan oleh pemimpin adat dengan kepercayaan Mon. Mansoben (1995), mencatat bahwa untuk membuka lahan pertanian baru dan kegiatan mencari mutiara di laut, lebih dahulu dilakukan ritus kepercayaan Mon dengan tujuan memohon kepada penguasa alam memberikan kelimpahan pada hasil panen.

Hak Ulayat

Sebagaimana halnya masyarakat dengan kultur Melanesia, masyarakat asli Raja Ampat menghargai dan mengimplementasikan hak adat atas tanah, hutan, laut serta segala yang ada diwilayah Raja Ampat. Walaupun demikian proses perkembangannya terdapat pembagian dengan masyarakat migran awal (Biak dan Maluku) karena hubungan sejarah, perkawinan dan perjanjian yang dibuat diantara masyarakat asli dan masyarakat migran. Hak ulayat yang dimaksud adalah kepemilikannya secara kolektif oleh keret/marga, sehingga tidak bisa mengatasnamakan pribadi.

Dalam Undang- undang Otsus Papua disebutkan bahwa hak ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Secara umum hak ulayat memiliki unsur-unsur : (1) mengandung hak kepunyaan bersama atas tanah bersama anggota atau warganya dan (2) mengandung unsur kewajiban mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan penggunaannya (Rosalina 2010).

Hak ulayat atau petuanan dalam masyarakat Raja Ampat terjadi di seluruh daratan dengan batasan yang cukup jelas dengan menggunakan petunjuk pembatas tanda-tanda alam berupa: gunung, tanjung, batu, pohon dan sungai sebagai arahan. Pengakuan atas ulayat laut juga dipahami oleh masyarakat adat Raja Ampat, dengan batas-batas alam sepanjang pesisir laut, batas surut terendah dan daerah tubir laut. Kepemilikan atas laut umumnya tidak dipahami dikuasai oleh marga tertentu melainkan milik semua orang yang tinggal dalam satu komunitas misalnya kampung. Dalam praktiknya batas yang dipahami antara sat u pemilik ulayat dengan pemilik ulayat lainnya saling tumpang tindih, sehingga sering menimbulkan konflik dalam masyarakat.

33

Sumber : Imbir dan Djuang (2007)

Gambar 10. Peta klaim kepemilikan hak ulayat masyarakat adat Kabupaten Raja Ampat

Kepemilikan ulayat di Raja Ampat yang menggambarkan batas-batas

penguasaan atas sumberdaya alam di seluruh Raja Ampat. Secara umum ada 14 kelompok yang terdiri atas sub-suku, marga besar dan komunitas masing-

masing adalah: Ansan, Ambel, Arborek, Batanta/Maya, Kawe, Kofiau/Matbat, Maya, O mkai/Daam/Paam, Salawati/Maya/Moi, Usba, Wardo dan Wauyai/Gaman. Pemilik ulayat yang ada di KKPD Selat Dampier adalah dari Wauyai/Gaman, Omkai/Daam, Batanta/Maya dan Salawati/Maya/Moi.

Permasalahan yang saat ini dialami menyangkut hak ulayat di Raja Ampat adalah klaim (pengakuan) yang tumpang tindih atas suatu kawasan adat oleh suku maupun marga. Konflik pemilikan ulayat suku terjadi antara suku penghuni mula- mula wilayah Raja Ampat dengan suku-suku migran. K laim suku asli bahwa mereka yang memiliki semua kawasan ulayat Raja Ampat, sedangkan suku migran hanya memiliki hak menempati saja. Sebaliknya, menurut pandangan suku migran bahwa nenek moyang mereka telah diberikan hak sepenuhnya untuk menempati dan memiliki kawasan adat mereka saat ini. Tidak adanya bukti tertulis yang dapat membenarkan klaim masing- masing pihak menjadi permasalahan sulit dalam menemukan jalan keluar penyelesaian konflik ini. Konflik juga bisa terjadi pada masing- masing pemilik ulayat karena tidak adanya

34

batas yang nyata atas antara satu wilayah petuanan dengan wilayah petuanan marga lainnya. Sampai sejauh ini pemerintah juga belum mengajak masyarakat adat untuk duduk bersama menyusun peta kepemilikan ulayat dari masing- masing marga yang ada.

Konflik atas hak ulayat di Raja Ampat juga terjadi akibat semakin berkembang dan terkoneksinya kawasan Raja Ampat dengan dunia luar. Dengan terbukanya Raja Ampat maka para pemodal yang berasal dari luar menginvestasikan modalnya untuk memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut yang ada di daerah ini. Naiknya nilai tanah dan benda-benda di atasnya (seperti kayu) mengakibatkan friksi diantara warga masyarakat adat. Mengejar ganti rugi akan memecah belah anggota masyarakat adat, sebab ketentuan hak dan batas wilayah begitu cairnya, sehingga kepentingan masyarakat adat dinomorduakan, dan sebaliknya kepentingan individu, keluarga dan kelompok lebih dikedepankan. Sering para investor ini tidak mengetahui kondisi sosial-budaya yang berlaku di masyarakat lokal. Mereka memanfaatkan sumberdaya dan menyewa lahan dari pemilik ulayat marga tertentu melalui orang lokal yang mencari keuntungan pribadi. Sehingga sewaktu menjalankan bisnis mereka digugat oleh masyarakat adat pemilik ulayat yang lainnya. Menurut Haba (2010), kepentingan ekonomi sesaat oknum-oknum yang mengatasnamakan masyarakat adat adalah penyebab utama mengapa posisi tawar adat lemah berhadapan dengan pemerintah dan pemilik modal.

35

4

SASI SEBAGAI SISTEM PENGELOLAAN

SUMBERDAYA ALAM BERBASIS ADAT

Dokumen terkait