• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUMBERDAYA ALAM BERBASIS ADAT DI SELAT DAMPIER

BAMUSKAM KEPALA

KAMPUNG TOKOH ADAT KEPALA DUSUN TOKOH AGAMA KEPALA DUSUN PEMILIK ADAT KEPALA DUSUN KEPALA DUSUN MASYARAKAT KAMPUNG/ ADAT

41 pelaksanaan sasi dan pengaturan ukuran panen serta penjualan has il panen. Semua kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan secara kolektif seluruh anggota masyarakat kampung. Hal ini berbeda dengan kelembagaan sasi di Maluku yang memiliki struktur pengelola sasi yang disebut dengan kewang atau “polisi hutan”. Menurut Wahyono et al. (2000), memiliki tugas pengawasan dan pengelolaan wilayah yang disasi dan seluruh wilayah petuanan desa baik darat maupun laut.

Sasi laut bagi masyarakat dalam KKPD Selat Dampier adalah satu perjanjian atau komitmen bersama untuk melindungi hab itat dan biota tertentu. Penetapan sasi umumnya ditentukan pada 4 komponen utama masyarakat di suatu kampung, yakni: kepala kampung, anggota badan musyawarah kampung (Bamuskam), tokoh agama dan tokoh adat. Aktor yang paling menentukan berlakunya sasi laut adalah kepala kampung. Di Kampung-kampung yang kepemimpinan adat masih kuat seperti di Pulau Yefman, peranan tokoh adat menjadi sangat penting untuk menentukan berlakunya kawasan sasi dibanding tokoh lainnya. Bamuskam berperan sebagai perwakilan masyarak at kampung untuk memberikan saran dan kritiknya terhadap kinerja kepala kampung. Tokoh agama terutama gereja sangat penting dalam upacara penetapan sasi dan juga pemanfaatan penjualan hasil sasi. Hasil kajian Ruddle dan Satria (2010) tentang pengelolaan pantai dan perairan umum di Asia-Pasifik mengungkap 4 tokoh penting dalam pengelolaan sumberdaya perairan yaitu pemimpin sekuler, pemimpin agama, spesialis dan pemilik hak. Hasil identifikasi Ruddle dan Satria ini sama dengan yang dijumpai di Raja Ampat, kecuali tokoh spesialis (misalnya ahli penangkapan ikan), yang memiliki kemampuan khusus yang dibutuhkan untuk pengelolaan sumberdaya peraira n. Di Raja Ampat, fungsi tokoh spesialis tidak merujuk pada satu orang tertentu melainkan kelompok orang yang kemampuan dalam mengenali gejala-gejala alam.

Meskipun bukti sebelumnya menunjukkan bahwa penutupan periodik dapat memberikan manfaat perikanan untuk taksa beberapa atau dalam kondisi tertentu, ada sedikit bukti bahwa mereka sama-sama efektif untuk pengelolaan berkelanjutan dari berbagai jenis perikanan skala kecil penting di Indo-Pasifik. Studi kasus penutupan periodik ditinjau untuk menyoroti variasi dalam spesies target, panen periodisitas dan tekanan nelayan yang akan mempengaruhi efektivitas pengelolaan perikanan dengan alat ini. Manfaat pengelolaan perikanan diamati untuk taksa yang berumur pendek, cepat tumbuh atau untuk berbagai taksa yang tekanan penangkapannya rendah. Penurunan stok dijumpai pada kelompok ikan yang berumur panjang atau untuk berbaga i taksa yang tekanan penangkapannya tinggi. Dikatakan bahwa kebijakan berbasis masyarakat dan ko- manajemen dan bila melakukan kegiatan pengelolaan dengan sistem penutupan berkala maka harus memperhitungkan faktor- faktor ini untuk mengelola perikanan atau konservasi dengan jangka waktu menengah hingga jangka panjang (Cohen & Foale 2013).

Lembaga pengelolaan adat tidak tahan terhadap faktor-faktor seperti pertumbuhan penduduk dan modernisasi ekonomi. Jika pengelolaan adat ini harus digunakan sebagai dasar untuk prakarsa konservasi modern, maka pengaturan lembaga lintas sektoral seperti jaringan dan organisasi penghubung mungkin dibutuhkan untuk membantu menyaring dampak transformasi sosial ekonomi (Cinner et al. 2007). Meskipun meningkatkan kesadaran domestik dan internasional dan pujian dari apa yang dianggap oleh banyak analis menjadi

42

contoh tradisi konservasi sumberdaya alam di Maluku, praktek sasi ini menurun di banyak bagian dari provinsi Seribu pulau ini, dan di banyak desa telah lenyap sama sekali (Thorburn 2000).

Legalitas formal untuk sasi di Raja Ampat selama ini belum ditetapkan, namun secara informal diakui hidup dan berlaku di dalam kehidupan masyarakat. Penetapan secara formal perlu dipertimbangkan dengan sedalam mungkin, karena dimasa mendatang keberadaan sistem pengelolaan sumberdaya tradis ional ini akan semakin tergerus berbagai konflik kepentingan seiring dengan perkembangan penduduk, dan semakin meningkatnya investasi ekono mi yang masuk dalam kawasan ini. Adhuri (2002) mencatat bahwa sistem sasi di Pulau Kei besar Provinsi Maluku tidak dapat berjalan dengan baik karena adanya konflik kepemilikan atas wilayah laut di antara dan dalam masyarakat adat. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa praktik sasi adalah salah satu ekspresi dari sistem kepemilikan adat, maka pemda Raja Ampat perlu segera menyelesaikan tumpang tindih klaim masyarakat adat atas kawasan daratan, pantai dan pulau- pulau kecil. Bila tidak diselesaikan saat ini, maka permasalahan akan semakin meningkat dikemudian hari.

Sejauh ini konflik atas penetapan sasi di Selat Dampier dan kawasan lain di Raja Ampat belum pernah terdengar, kecuali terhadap adanya orang yang berasal dari luar dan dalam kepemilikan ulayat ini melanggar kesepakatan. Faktor ketaatan atau ketakutan atas malapetaka yang bakal menimpah karena melanggar perjanjian masih sangat kuat mempengaruhi sikap masyarakat sehari- hari. Faktor kepatuhan ini juga karena masyarakat sudah memahami akan potensi sumberdaya mereka masing- masing yang dapat mendatangkan nilai tambah dengan pariwisata dibanding dengan memanfaatkannya sebagai hasil perikanan semata- mata. Dengan demikian akan semakin tinggi kepedulian masyarakat dalam mendukung upaya konservasi yang dilakukan oleh Pemerintah daerah Raja Ampat yang didukung oleh LSM.

Manfaat Sasi untuk Konservasi Sumberdaya Laut

Pengamatan terhadap produksi perikanan target dari sasi seperti: teripang, lola dan lobster yang dihasilkan dari KKPD Selat Dampier sampai saat ini belum dapat diketahui karena belum ada kawasan sasi dalam KKPD ini yang dibuka. Namun demikian, berdasarkan wawancara dan pengamatan langsung ditemukan indikasi peningkatan terhadap jumlah dan ukuran biota yang dilind ungi. Demikian juga dengan beberapa jenis ikan dan biota yang dilindungi seperti hiu dan penyu yang sudah sangat jarang dijumpai sebelum penetapan sasi, sekarang sumberdaya perikanan tersebut sudah lebih sering dijumpai oleh nelayan dan penduduk lokal.

Data tentang terjadinya peningkatan produksi hasil perikanan diperlihatkan dari hasil kegiatan buka sasi, di kawasan konservasi perairan daerah Kawe seperti pada Gambar 13. Pada gambar tersebut terlihat bahwa periode pertama penetapan sasi, yakni tahun 2007- 2009 (2 tahun tutup sasi), jumlah hasil panen teripang yang diperoleh oleh nelayan lokal adalah sebanyak 12 species dan jumlah individu sebanyak 919. Berat total, dan berat rata-rata teripang perindividu setelah diolah masing- masing adalah 88.5 kg dan 0.10 kg. Selanjutnya, pada periode kedua

43 penetapan berlangsung tahun 2009 - 2012 (3 tahun tutup sasi) dihasilkan produksi teripang sebanyak 16 jenis, dan jumlah individu 5 067. Adapun berat total dan berat individu teripang hasil olahan masing- masing sebesar 460.5 kg dan 0.09 kg. Penerapan aturan sasi pada suatu kawasan perairan di Raja Ampat yang sebelumnya mengalami overfishing telah memperlihatkan peningkatan produksi dan memperbaiki stok teripang, lola dan lobster serta biota laut yang dilindungi. Hasil ini sesuai pendapat Aswani & Sabetian (2010), kawasan yang ditutup memiliki dampak peningkatan biomassa ikan 3 kali lebih tinggi di Vanuatu dan 2 kali lebih tinggi di Solomon Islands dibandingkan pada kawasan yang tidak ditutup. Hasil yang sama juga diperlihatkan Samoilys et al. (2007) bahwa terjadi perbedaan signifikan terhadap komunitas ikan, dimana perairan yang terlindung lebih baik daripada perairan tak terlindung. Hasil ini relatif sama dengan kelimpahan lola yang dipanen di suatu kawasan yang ditutup lebih dari 9 bulan dibanding kawasan tidak ditutup di Kepulauan Solomon (Foale & Day 1997). Hal ini menunjukkan bahwa model pengelolaan sasi dapat menjadi alat yang efektif dalam mencegah pemanenan sumberdaya ikan berlebih yang tidak mempertimbangkan kaidah keberlanjutan sumberdaya.

Sumber : Hidayat (2012)

Gambar 13. Jumlah teripang buka sasi di KKPD Kawe Tahun 2009 dan 2012 Penerapan sasi juga telah memberikan dampak positif terhadap kondisi pemulihan stok lola di perairan Raja Ampat. Hasil pengamatan terhadap stok lola di lokasi sasi KKPD Kawe, periode buka sasi tahun 2009 dan 2012 terlihat pada Tabel 15. Hasil panen lola pada tahun 2009 di kawasan yang ditutup sela ma 2 tahun adalah jumlah total sebanyak 626, berat total 243 kg, dan rata-rata berat

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 Ju m la h in di vi du ( ek or )

Jenis-jenis teripang yang dipanen

2009 (919 ind.) 2012 (5067 ind.)

44

0.39 kg. Jumlah lola pada tahun 2012 ternyata semakin bertambah, bila lokasi dari sasi ditutup satu tahun lebih lama dari periode sebelumnya, yakni jumlah total 1 285 ekor dengan berat total 589 kg dan berat rata-rata 0.46 kg.

Dari data tentang produksi sasi di KKPD Kawe, baik teripang (Gambar 13) maupun lola (Tabel 14), terlihat indikasi bahwa semakin lama suatu kawasan ditutup maka semakin tinggi jumlah teripang dan lola yang dapat dipanen. Fakta ini dapat menjelaskan bahwa suatu lokasi perikanan akan menghasilkan sumberdaya yang berkelanjutan, jika dibiarkan tanpa eksploitasi sama sekali. Namun demikian, dengan cari ini tidak memberikan dampak ekonomi langsung bagi para nelayan setempat yang hidupnya sangat tergantung dengan menangkap ikan kecuali ada mata pencaharian alternatif. Hasil penelitian Cohen & Foale (2012) menunjukkan bahwa di kawasan Indo-Pasifik penutupan secara periodik kawasan perairan akan memberikan manfaat untuk spesies berumur pendek dan cepat tumbuh dengan tingkat penangkapan ikan yang rendah, namun sebaliknya terjadi untuk spesies yang berumur panjang dengan tingkat penangkapan ikan yang tinggi. O leh karena itu, diperlukan adanya studi hubungan antara lama waktu penutupan dari kawasan sasi dengan nilai ekonomi yang didapat oleh nelayan Raja Ampat.

Tingginya dukungan masyarakat untuk pemberlakuan sasi di Raja Ampat didasarkan pada pengalaman empirik mereka bahwa sebelum reaktualisasi sistem sasi, hasil tangkap nelayan sudah semakin menurun dan lokasi penangkapan semakin lama semakin jauh dari kampung. Hal ini disebabkan karena tingginya tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan yang disebabkan oleh pertumbuhan populasi penduduk Raja Ampat yang terus bertambah, selain itu akses pasar yang semakin terbuka, serta semakin banyaknya nelayan luar yang menangkap dan membeli ikan dari nelayan lokal. Hasil penelitian perikanan di Teluk Kabui, Raja Ampat oleh Bailey et al. (2008) menemukan fakta bahwa pada tahun 1999 jumlah nelayan luar sebanyak 20 orang dan meningkat menjadi 250 orang tahun 2006. Evans et al. (1999) menambahkan bahwa terjadinya penurunan sumberdaya biota di beberapa lokasi sasi di Maluku disebabkan oleh pertumbuhan populasi penduduk dan perubahan dalam cara menangkap ikan.

Bila dilihat dari tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan maka pemberlakuan kembali sistem sasi di Raja Ampat mampu mengurangi tingkat eksploitasi sumberdaya perikanan di kawasan ini. Dampak positif yang paling nyata adalah berkurangnya aktivitas penangkapan ikan oleh nelayan luar Raja Ampat yang umumnya mengunakan alat tangkap yang cenderung merusak habitat dan menyebabkan overfishing. Kondisi ini akan membantu perbaikan ekosistem pesisir di daerah ini. Campbell et al. (2012) memperlihatkan bahwa pembatasan dalam penggunaan alat tangkap jaring pada pengelolaan berbasis adat panglima laot di Aceh berhasil mengurangi kerusakan habitat dan mempertahankan biomassa ikan.

Hasil dari penjualan produksi lola, berdasarkan data selama dua periode buka sasi menunjukkan adanya peningkatan nilai penjualan komoditi itu (Tabel

14). Nilai pendapatan yang diterima dari penjualan lola pada periode tahun 2007-2009 sebanyak Rp. 4 854 000 meningkat sebesar Rp 11 782 144 pada

periode tahun 2009-2012. Pendapatan yang diterima dari hasil penjualan komoditas biasanya untuk pembangunan sarana umum kampung seperti gereja, jalan kampung dan dermaga perahu. Manfaat lain dengan pemberlakuan sasi

45 adalah berkurangnya dana untuk pengelolaan kawasan konservasi karena adanya partisipasi penduduk lokal memantau dan menjaga sumberdaya mereka. Selain itu, keberhasilan suatu pengelolaan kawasan akan memberikan bonus berupa meningkatnya status gizi dan kesehatan penduduk lokal dengan tersedianya sumberdaya ikan (Aswani & Furusawa 2007). Para praktisi konservasi laut telah sepakat bahwa kawasan konservasi laut berbasis masyarakat seperti sasi dapat meningkatkan keamanan pangan di komunitas pesisir (Weiant & Aswani 2006).

Tabel 14. Lama tutup sasi, berat, jumlah, berat perekor dan harga jual lola buka sasi di KKPD Kawe Raja Ampat

Lama Tutup (tahun)

Berat

(kg) Jumlah (ekor) Berat (kg) /Ekor Harga (Rp)

2 243 626 0.39 4 854 000

3 589 1285 0.46 11 782 144

Sumber : Hidayat (2012)

Ancaman Keberlangsungan Sasi

Dari hasil penelitian terungkap bahwa tidak semua kawasan perairan di Raja Ampat yang diberlakukan sasi berhasil mencapai tujuan pengelolaan. Dengan alasan inilah banyak dari antara kawasan perairan tersebut meninggalkan praktik pengelolaan sumberdaya alam tradisional ini. Beberapa alasan yang menjadi

faktor penyebab masyarakat adat meninggalkan sasi masing- masing adalah: (1) adanya perubahan persepsi tentang nilai- nilai spriritualitas sasi, (2) lemahnya

kepemimpinan adat di kampung, (3) tidak dijalankannya aturan sasi dengan baik,

(4) terjadinya pertambahan jumlah penduduk lokal dan pendatang, dan (5) kegagalan dalam memahami daya dukung sumberdaya alam. Sejalan dengan

hasil penelitian Anakotta et al. (2009) tentang praktik tradisional ini di Kupang, ada tiga faktor yang menyebabkan sasi tidak efektif : 1) tidak ditakutinya larangan adat karena pengaruh nilai- nilai baru (Agama Kristen), (2) buka-tutup sasi yang dilakukan 2 sampai 3 kali setahun dan, (3) adanya pencurian dari orang luar kampung. Sedangkan menurut Harkes (1999), menurunnya praktik pengelolaan sasi di Maluku disebabkan 3 faktor yakni adanya urbanisasi, pertumbuhan populasi dan proses moderinisasi.

Masuknya nilai- nilai baru dari agama dan ilmu pengetahuan Barat kedalam kehidupan masyarakat yang sebelumnya memeluk agama leluhur yakni Mon telah mengubah pemahaman terhadap pelaksanaan sasi. Sasi sebelumnya dilakukan melalui upacara adat yang intinya pemberian penghormatan dan permohonan kepada arwah-arwah (roh-roh) penjaga alam (laut) dengan pemberian sesaji. Pendekatan ini bagi pemimpin agama dianggap bertentangan dengan praktik agama baik Kristen maupun Islam, yang menyebabkan terjadinya perselisihan pendapat dan kebingungan tentang pengelolaan tradisional perikanan ini.

46

Kepemimpinan dalam masyarakat adat yang lemah adalah satu penyebab mengapa pelaksanaan sasi cenderung tidak efektif. Lemahnya kepemimpinan ini sangat dipengaruhi oleh adanya perubahan persepsi atas kekuasaan yang dimiliki oleh raja-raja lokal ini. Sebelum zaman penjajahan di Indonesia, kepemimpinan lokal di Raja Ampat adalah berbentuk sistem kerajaan. Kedatangan para penjajah dari Belanda telah menghilangkan sistem ini. Sebagai akib atnya sebagian besar penduduk tidak lagi menganggap para pemimpin tradisionalnya sebagai orang yang harus diikuti perintahnya.

Terjadinya konflik dalam pengelolaan sasi di Raja Ampat adalah karena tidak ditaatinya nilai- nilai yang mendasari pelaksanaan pengelolaan tradisional ini, baik yang dilakukan masyarakat maupun para pemimpin lokal. N ilai- nilai tradisional yang dimaksud menurut Caillaud et al. (2004) meliputi: (1) mata pencaharian, (2) keadilan, (3) tanggung jawab, dan (4) kerjasama. Sebelum dilakukannya reaktualisasi sistem sasi di Raja Ampat, pada banyak kasus penduduk lokal tidak merasakan keadilan dalam pembagian hasil dari pengelolaan sasi. O leh karena itu, banyak kampung yang tidak lagi mempraktikan sistem ini. Kasus ini mirip dengan kasus sasi di Maluku dimana terjadi: (1) konflik pengelolaan kawasan, (2) konflik pembagian atas hasil, (3) konflik batas wilayah dan (4) konflik atas pengalihan hak pemanfaatan kawasan (Wahyono et al. 2000)

Pertambahan jumlah penduduk baik karena kelahiran maupun imigrasi adalah salah satu ancaman keberlangsungan sasi. Hal ini didasarkan karena masyarakat tradisional umumnya menopang kehidupan mereka dengan mengandalkan sumberdaya alam yang ada di sekitar mereka. Pertambahan penduduk berarti bertambah pula kebutuhan bahan pangan yang harus dipenuhi dari laut. O leh karena itu, bila produksi pangan dari luar kawasan sasi tidak mencukupi kebutuhan penduduk lokal, maka sumber pangan alternatif yang dapat diambil adalah dari kawasan sasi. Hasil penelitian Mc Leod et al. (2009) memperlihatkan fakta bahwa kampung-kampung yang sudah meninggalkan praktik sasi adalah kampung yang tingkat pertumbuhan internal dan imigrasi tinggi serta komposisi penduduknya heterogen. Sedangkan menurut Cinner et al. (2007), institusi pengelolaan adat tidak resilien terhadap pertumbuhan populasi dan modernisasi ekonomi.

Salah satu informasi yang telah dikaji para peneliti pengelolaan sasi adalah dijumpainya fakta bahwa terjadi penurunan stok biota-biota yang menjadi target penutupan kawasan sasi. Salah satu penyebabnya adalah selang waktu antara tutup sasi dengan buka sasi adalah singkat yakni 2 sampai 3 bulan saja. Waktu yang sangat singkat ini tak memungkin memperbaiki struktur populasi biota yang disasi. Hasil implementasi sasi di Kawe Raja Ampat memperlihatkan bahwa menutup kawasan selama 3 tahun dapat meningkatkan berat dan jumlah individu 2 kali lebih tinggi dibanding yang menutup kawasan 2 tahun. Selain itu, ukuran kawasan perairan sasi yang sempit tidak memungkinkan biota yang daerah jelajahnya luas bertahan dalam kawasan sasi melainkan hanya biota yang daerah jelajanya sempit seperti misalnya teripang. O leh karena itu, agar dapat mempertahankan keberlanjutan pengelolaan sasi maka dibutuhkan kawasan yang lebih luas.

47 Penyerahan Perairan Adat untuk Pengelolaan KKPD

Peranan pemuka masyarakat adat di Raja Ampat dalam mendukung keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi perairan sangat penting. Hal ini karena di Raja Ampat berlaku sistem kepemilikan adat atas tanah dan perairan. Untuk itu pemerintah daerah dan LSM melibatkan mereka dalam proses penetapan kawasan konservasi perairan di Raja Ampat. Bentuk partisipasi tersebut dinyatakan dalam deklarasi penyerahan wilayah perairan adat untuk dikelola sebagai kawasan konservasi perairan dari dewan Adat Raja Ampat kepada pemerintah daerah Kabupaten Raja Ampat, yang berlangsung di Waiwo, Waisai pada 15 Desember 2007. Alasan utama diserahkannya kawasan perairan ini menurut Sekretaris Dewan Adat Raja Ampat, Johannis Goram- Gaman (komunikasi pribadi) adalah: (1) Tingginya ancaman destruktif fishing (bom dan sianida) yang terjadi di perairan Raja Ampat; (2) Secara internal komunitas adat Raja Ampat tidak memiliki kapasitas mengontrol kawasan perairan yang sangat luas; (3) Komunitas adat berharap bahwa kekayaan sumberdaya perairan Raja Ampat dapat juga dinikmati oleh generasi akan dating; dan (4) Adanya LSM yang bersedia mendampingi Pemda Raja Ampat mengimplementasi KKPD.

Pada tingkat kampung atau komunitas adat sub suku telah disepakati penyerahan perairan adat untuk dikelola kawasan larang ambil (no take zone) dalam sistem zonasi KKPD Raja Ampat. Penyerahan ini dikenal sebagai deklarasi adat tentang “zona ketahanan pangan dan pariwisata”. Zona ini dapat dikatakan sejajar dengan zona sasi dalam sistem pengelolaan sumberdaya perairan adat di Raja Ampat. Namun zona ketahanan pangan dan pariwisata oleh masyarakat adat telah dideklarasi sebagai kawasan yang ditutup atau disasi secara permanen, dimana tidak ada waktu buka dan tutup sasi. Pemilihan zona ini didasarkan atas pertimbangan: keanekaragaman jenis karang tinggi, dan tempat bertelur biota laut (spawning ground) dan tempat mengasuh (nursery ground) ikan. Di KKPD Selat Dampier dijumpai sebanyak 4 lokasi dengan luas kawasan mencapai 20.77% dari 336 000 ha luas total kawasan.

Gambar 14. Penyerahan kawasan kawasan perairan adat sebagai Zona Ketahanan Pangan dan Pariwisata di (a) Teluk Gam dan (b) Kampung (Desa) Sawinggrai

48

Deklarasi zona ketahanan pangan dan pariwisata adalah suatu aktivitas yang dilakukan di suatu kampung atau tempat tertentu untuk menyampaikan kepada seluruh penduduk kampung dan sekitarnya bahwa kawasan perairan milik satu atau beberapa kampung dinyatakan ditutup dari segala aktivitas penangkapan atau kegiatan ekstraktif, kecuali untuk penelitian dan parawisata saja. Deklarasi adalah akhir dari proses panjang yang dilakukan oleh LSM dan Pemerintah Daerah Raja Ampat untuk mengajak masyarakat kampung melindungi mangrove, lamun, terumbu karang, lokasi pemijahan ikan dan lokasi- lokasi unik lainnya. Proses diskusi yang intensif dilakukan oleh seluruh penduduk yang difasilitasi LSM untuk menentukan batas-batas zona. Bila seluruh anggota masyarakat telah sepakat dengan zona ini, maka proses deklarasi untuk menutup sebagian kawasan tempat menangkap (fishing ground) sehari-hari mereka dapat dilaksanakan.

Acara deklarasi terdiri atas: (1) penjelasan tentang batas-batas kawasan dan aktivitas yang dibolehkan, (2) pernyataan dukungan Pemda Raja Ampat diwakili oleh Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan dan Pemerintah Kampung, (3) berita acara penyerahan resmi zona dari masyarakat kampung, (4) ibadah syukur atas penyerahan kawasan dipimpin oleh pendeta atau penatua dan (5) pemasangan papan pengumuman zona dan acara simbolisasi lainnya seperti penanaman pohon mangrove oleh wakil pemerintah dan LSM. Pada kawasan KKLD lain seperti di Kawe, acara deklarasi sasi dimulai dengan acara adat setelah itu dilanjutkan dengan ibadah syukur di gereja.

Konteks acara ini bagi penduduk kampung masih ada perbedaan pendapat. Bagi sebagian penduduk yang tinggal di Sawinggrai, Kapisawar dan Yenwaopnor penyerahan Zona Ketahanan Pangan dan Pariwisata Teluk Gam dimaknai sebagai sasi sehingga sewaktu-waktu dapat dibuka kembali. Hal ini berbeda dengan Zona Ketahanan Pangan dan Pariwisata Tapor Tamyam milik Ka mpung Yenbuba, seluruh penduduk sepakat untuk menyerahkannya untuk ditutup dari kegiatan ekstraktif selama- lamanya (permanen). Memang istilah sasi untuk hal ini kurang tepat karena sasi konotasinya adalah memiliki makna yakni menutup sementara dan setelah waktu yang disepakati bersama membuka kembali. Sementara itu, deklarasi zona ketahanan pangan hanya bermakna menutup dari semua aktivitas pengambilan atau menutup sasi tanpa ada kegiatan membuka sasi lagi. Jalan tengah untuk mengatasi hal ini adalah bagi masyarakat yang belum dapat menyerahkan zona ketahanan pangan dan pariwisata sebagai kawasan larangan tangkap permanen maka dapat diberikan kesempatan memanfaatkan untuk biota- biota tertentu seperti teripang, lola dan lobster dengan alat tertentu di lokas i- lokasi khusus pula.

Sasi Dalam Konteks Konservasi Perairan di Raja Ampat

Upaya untuk mengadopsi pengelolaan sasi kedalam sistem pengelolaan konservasi modern dengan tujuan menyelamatkan sumberdaya laut di Raja Ampat, dimulai tahun 2003 melalui deklarasi adat Tomolol. Pada tahun 2006 masyarakat adat menyerahkan wilayah adatnya kepada pemerintah daerah untuk dikelola dalam sistem konservasi laut. Kemudian pada tahun 2008 pemerintah daerah dan DPRD Raja Ampat menerbitkan Perda Kabupaten Raja Ampat No. 27 tentang