PENGELOLAAN SUMBERDAYA KARANG
BERBASIS INTEGRASI SASI DENGAN
KONSERVASI PERAIRAN MODERN DI RAJA AMPAT
PAULUS BOLI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengelolaan Sumberdaya Karang Berbasis Integrasi Sasi dengan Konservasi Perairan Modern Di Raja Ampat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan ma upun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
RINGKASAN
PAULUS BO LI. Pengelolaan Sumberdaya Karang Berbasis Integrasi Sasi dengan Konservasi Perairan Modern Di Raja Ampat. Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA, DEDI SOEDHARMA, ARIO DAMAR dan RILUS A. KINSENG.
Salah satu pendekatan yang dilakukan dalam mencegah terjadinya penurunan ekosistem perairan pesisir dan pulau-pulau kecil di Raja Ampat adalah memanfaatkan kearifan lokal dalam pengelolaan konservasi perairan modern. Tujuan umum dari penelitian ini adalah menyusun konsep pengelolaan konservasi hibrid untuk pemanfaatan perikanan dan ekowisata bahari berkelanjutan di Raja Ampat, melalui sintesis pengelolaan sumberdaya perairan berbasis kearifan lokal sasi dari masyarakat adat dengan pengelolaan konservasi yang mengadopsi sains modern.
Lokasi penelitian di Kawasan Konservasi Perairan Daerah Selat Dampier, Kabupaten Raja Ampat. Data yang diambil dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Pengumpulan dengan purposive sampling melalui wawancara dan pengisian kuesioner responden, dan pengamatan lapangan (observasi), juga dari berbagai instansi di Kabupaten Raja Ampat dan di Sorong. Aspek yang diamati meliputi aspek-aspek: biofisik; sosial, ekonomi, dan budaya; dan tata kelola. Penelitian dilaksanakan dalam 3 tahap pengambilan data yakni: Agustus-September 2012 dan April-Juli 2013 serta Juli 2014.
Hasil menunjukkan bahwa pengelolaan sumberdaya alam dengan s istem sasi masih dijumpai di hampir semua kampung lokasi penelitian, dikenal dengan istilah lokal kabus. Sasi berhasil meningkatkan produksi ikan target, menurunkan tingkat eksploitasi, memperbaiki stok ikan dan meningkatkan pendapatan. Sasi di Raja Ampat mengalami adaptasi akibat pemberlakuan kawasan konservasi perairan daerah dalam aspek-aspek yakni: (1) kawasan yang dikelola, (2) lembaga pengelola dan (3) sistem pengelolaannya. Sistem pengelolaan sasi akan resilien menghadapi perubahan-perubahan dari sosial, ekonomi dan budaya, bilamana sistem sasi mengadopsi unsur-unsur konservasi modern seperti penutupan sementara suatu kawasan menjadi penutupan permanen.
Pengelolaan konservasi yang ada di Raja Ampat: (1) suaka alam perairan; (2) pengelolaan kawasan konservasi tradisonal atau sasi; (3) kawasan konservasi laut daerah (Regional MPA). Adapun jenis-jenis zona yang diberlakukan dalam Regional MPA terdiri atas 6 jenis yakni: (1) zona inti, (2) zona keamanan pangan dan wisata bahari, (3) zona perikanan berkelanjutan dan budidaya perikanan, (4) zona jalur pelayaran kapal, (5) zona sasi dan pemanfaatan tradisonal, (6) zona pemanfaatan lainnya. Pengelolaan konservasi di Raja Ampat menerapkan pendekatan kombinasi antara pemanfaatan terbatas dan larang ambil terhadap sumber daya laut. Lembaga pengelola bersifat pengelolaan kolaboratif antara pemerintah daerah dengan masyarakat adat dan didukung oleh LSM.
SUMMARY
PAULUS BOLI. Management of Coral Resources Based on the Integration of “Sasi” with Modern Marine Conservancy in Raja Ampat. Supervised by FREDINAN YULIANDA, DEDI SOEDHARMA, ARIO DAMAR, and RILUS KINSENG.
Prevention of the degradation of coastal and small islands ecosystems in Raja Ampat is conducted by utilizing local wisdom in the modern management of marine conservation. The objective of this research is to develop a hybrid concept of conservation management for the utilization of sustainable marine fisheries and ecotourism in Raja Ampat, through the synthesis of marine resource management based on local wisdom of indigenous peoples (sasi) with conservation management adopting modern science.
Location of the study is the Regional Marine Protected Area of Dampier Strait, Raja Ampat. The data taken in this study is primary data and secondary data. Data were collected through interviews of sampling respondents by using a purposive sampling and questionnaires respondents, and field observations, and secondary data from various agencies in Raja Ampat and Sorong. Observed aspects included: biophysical; social, economic, and cultural; and governance. Data collections were conducted in 3 phases, namely : data August-September 2012, April-July 2013, and July 2014.
The results show that the management of natural resources with the sasi system is still found in almost every village study site, known as local kabus. The success of the application of Sasi improves the production of target fish, lowers the level of fish exploitation, improves fish stocks and increases revenue. Sasi in Raja Ampat was having adaptation as the marine protected areas were implemented in that region. The adaptation included aspects: (1) managed areas, (2) the management institution, and (3) system management. Sasi management system will be resilient to face the changes of social, economic and cultural, when the sasi system adopts modern conservation elements such as changing the temporary closure of an area into a permanent closure.
The types of conservation management in Raja Ampat are: (1) marine reserves; (2) the management of customary conservation or sasi; and (3) regional marine protected area (regional MPA). There are six types of zonation in MPA, namely: (1) core zone, (2) food safety and marine tourism zones, (3) sustainable fishing and fish farming zones, (4) ship cruise lines zones, (5) sasi and traditional utilization zones, (6) other utilization zones. The implementation of Raja Ampat conservation management combines limited use approach and no-take marine resources. The management institutions are characterized by a collaborative management between local government and indigenous communities supported by NGOs.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
PENGELOLAAN SUMBERDAYA KARANG
BERBASIS INTEGRASI SASI DENGAN
KONSERVASI PERAIRAN MODERN DI RAJA AMPAT
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2014
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc
Judul Disertasi : Pengelolaan Sumberdaya Karang Berbasis Integrasi Sasi dengan Konservasi Perairan Modern di Raja Ampat Nama : Paulus Boli
NIM : C262090081
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc Ketua
Prof Dr Ir Dedi Soedharma, DEA Anggota
Dr Ir Ario Damar, MSi Anggota
Dr Ir Rilus A. Kinseng, MA Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Dr Ir Luky Adrianto, MSc
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: (27 Agustus 2014 )
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah di Surga karena atas segala karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih oleh peneliti adalah Pengelolaan Sumberdaya Karang Berbasis Integrasi Sas i dengan Konservasi Perairan Modern di Raja Ampat. Disertasi ini disusun sebagai syarat untuk menyelesaikan studi Program Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Penulis dalam kesempatan ini mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc, Prof Dr Ir Dedi Soedharma, DEA, Dr Ir Ario Damar, MSi, dan Dr Ir Rilus A K inseng, MA, selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran dalam penyelesaian disertasi ini. Kesempatan ini juga penulis sampaikan terima kasih kepada Bapak Dr Ir Budy Wiryawan, MSc yang telah menjadi penguji luar komisi pada ujian disertasi tertutup dan ujian disertasi terbuka, dan Ibu Dr Ir Siti Amanah, MSc, selaku penguji luar komisi ujian tertutup serta Bapak Dr Ir Saharuddin, MS yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi pada ujian disertasi terbuka dan memberikan banyak masukan untuk kesempurnaan tulisan ini.
Pada kesempatan ini pula penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak-bapak dan Ibu: Albert Nebore, Meity Mongdong, and N ur Hidayat (CII Sorong), Lukas Rumetna, Purwanto, and Dheny Setiawan (TNC Sorong), Abraham Goram (Yayasan Kalabia), Manuel Urbinas and Syafri (DKP Kabupaten Raja Ampat), atas akses data dan informasi yang diberikan. Penulis juga berterima atas bantuan yang diberikan oleh teman-teman Program Studi SPL: Ibu Mintje Wawo, Pak Azhar, Pak Femmy Hukom dan Pak Mulyawan. Selain itu, ucapan terima kasih disampaikan kepada teman-teman Forum Pascasarjana Papua di IPB: Pak Kelly, Pak Ridwan Sala, Ibu Zita, Ibu Meilan, Ibu Selvi Tebay, Ibu Vanie Muzendi dan Ibu Agnes Manuputty atas dukungan semangat dan perbaikan tugas akhir ini. Terima kasih pula atas dukungan doa dan moral dari saudara-saudara dan dari Istriku Debby serta anak-anakku Julian dan Fiola.
Semoga disertasi ini dapat memberikan maanfaat kepada berbagai pihak dalam menggali informasi sebanyak mungkin tentang pengelolaan konservasi di Indonesia, dan lebih khusus di kawasan yang masih memberlakukan nilai- nilai kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya perairan.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI v
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR LAMPIRAN x
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 4
Manfaat Penelitian 4
Hipotesis 4
Kebaharuan (Novelty) 4
Kerangka Pemikiran Penelitian 5
2 METODE PEN ELITIAN 8
Lokasi dan Waktu Penelitian 8
Jenis dan Sumber Data 8
Metode Pengambilan Data 10
Analisis Data 12
3 KONDISI UMUM KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH
SELAT DAMPIER 19
Kondisi Lokasi KKPD Selat Dampier 19
Kondisi Perairan 21
Kondisi Sosial Ekonomi 23
Kondisi Sosial Budaya 29
4 SASI SEBAGAI SISTEM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM
BERBASIS ADAT DI SELAT DAMPIER 35
Kearifan Lokal Pengelolaan Sumberdaya Laut 35
Sistem Sasi 36
Aturan Sasi 38
Kelembagaan Sasi 40
Manfaat Sasi untuk Konservasi Sumberdaya Laut 42
Ancaman Keberlangsungan Sasi 45
Penyerahan Perairan Adat untuk Pengelolaan KKPD 47 Sasi Dalam Konteks Konservasi Perairan di Raja Ampat 48 5 INTEGRASI PENGELOLAAN SASI DALAM PENGELOLAAN
KONSERVASI PERAIRAN DAERAH DI SELAT DAMPIER 53
Sejarah KKPD Selat Dampier 53
Zonasi KKPD Selat Dampier 62
Kelembagaan Pengelola KKPD Selat Dampier 64
Stakeholders Dalam KKPD Selat Dampier 67
Pengawasan dan Monitoring 68
Pendanaan 70
6 TINGKAT KEBERHASILAN PENGELOLAAN KAWASAN
KONSERVASI PERAIRAN DAERAH SELAT DAMPIER 73
Kondisi Ekologi Perairan 73
Kondisi Sosial Ekonomi 79
7 ANALISIS KEBERLANJUTAN SISTEM PENGELOLAAN KAWASAN
KONSERVASI SELAT DAMPIER 89
Keberlanjutan Dimensi Bioekologi 89
Keberlanjutan Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya 92
Keberlanjutan Dimensi Tata Kelola 94
Hubungan Setiap Dimensi dalam Diagram Layang- layang 96
8 STRATEGI PENGEMBAN GAN PENGELOLAAN HIBRID 98
Peranan Pemerintah 98
Peranan Masyarakat Adat 99
Peranan Pengelola Kawasan 100
9 KESIMPULAN DAN SARAN 103
Kesimpulan 103
Saran 104
DAFTAR PUSTAKA 105
LAMPIRAN 114
DAFTAR TABEL
1. Jenis, Sumber dan Metode Analisis Data 9
2. Kriteria penilaian kondisi terumbu karang berdasarkan
persentase tutupan karang 12
3. Kriteria penilaian kondisi ikan karang berdasarkan kelimpahan
individu dan spesies 13
4. Analisis hukum dan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi
di Raja Ampat 14
5. Perbandingan model pengelolaan KKPD konvensional dan pengelolaan sasi serta model hibrid di Selat Dampier 15 6. Matriks indikator penilaian keberlanjutan pengelolaan KKPD Selat
Dampier 16
7. Selang indeks dan status keberlanjutan pengelolaan KKPD Selat
Dampier 18
8. Kondisi peduduk di distrik-distrik dalam KKPD Selat Dampier
Tahun 2012 24
9. Persentase penduduk 10 tahun ke atas menurut ijasah terakhir 25 10. Data produksi perikanan Kabupaten Raja Ampat selama 3 tahun 26 11. Jumlah alat tangkap yang beroperasi di perairan KKPD Selat Dampier
Tahun 2012 27
12. Sebaran penganut agama di KKLD Selat Dampier, Kabupaten
Raja Ampat 31
13. Jenis-jenis sasi yang dijumpai di Raja Ampat 37 14. Lama tutup sasi, berat, jumlah, berat perekor dan harga jual lola buka
sasi di KKPD Kawe Raja Ampat 45
15. Perubahan sasi dalam konteks penetapan KKPD di Selat Dampier 50
16. Kronologis pengelolaan TPPKD Raja Ampat 55
17. Perbadingan model pengelolaan KKPD konvensional dan pengelolaan
sasi serta model hibrid di Selat Dampier 60
18. Jenis-jenis dan luas zona di KKPD Selat Dampier Raja Ampat 64 19. Biaya Pengelolaan KKPD di Raja Ampat tahun 2012 71 20. Perbedaan antara pengelolaan Non BLUD dan BLUD 72 21. Kisaran nilai rata-rata parameter kualitas air laut KKPD Selat Dampier
bulan Juli 2014 73
22. Persen tutupan karang hidup perairan berdasarkan zona di KKPD
Selat Dampier Tahun 2014 75
23. Keragaman jenis ikan karang berdasarkan lokasi dan waktu pengamatan di 5 lokasi dalam KKPD Selat Dampier 76 24. Jumlah ikan ikan karang berdasarkan lokasi dan waktu pengamatan
di KKPD Selat Dampier 77
DAFTAR GAMBAR
1. Kerangka penelitian kawasan konservasi perairan daerah Selat
Dampier, Kabupaten Raja Ampat 7
2. Lokasi pengambilan sampel biofisik (segitiga merah dan bulat biru) dan sampel sosekbud (bulat kuning) di KKPD Selat Dampier, Raja
Ampat 8
3. Matriks stakeholder, tingkat pengaruh dan kepentingan 14
4. Klasifikasi terumbu karang di Raja Ampat 20
5. Hasil citra satelit kondisi arus permukaan di perairan Raja Ampat selama: (a) musim barat (1 Desember 2008 - 1 Februari 2009) dan (b) musim timur (1 Juni 2009 - 1 Agustus 2009) 22 6. Hasil Citra Satelit kondisi klorofil-A di perairan Raja Ampat selama:
(a) musim barat (1 Desember 2011 – 1 Februari 2012) dan (b) musim
timur (1 Juni 2012 - 1 Agustus 2012) 23
7. Pertumbuhan kunjungan wisata di Kabupaten Raja Ampat selama
7 tahun 28
8. Persentase asal wisatawan yang berkunjung ke Raja Ampat 28 9. Bagan Struktur Sistem kepemimpinan masyarakat adat Suku Maya di
Raja Ampat. 31
10. Peta klaim kepemilikan hak ulayat masyarakat adat Kabupaten
Raja Ampat 33
11. (a) Pelepasan bibit teripang, lola dan lobster sebagai simbol kawasan sasi ditutup; dan (b) Papan nama sasi di Kofiau 39 12. Struktur pemerintahan kampung di Raja Ampat 40 13. Jumlah teripang buka sasi di KKPD Kawe Tahun 2009 dan 2012 43 14. Penyerahan kawasan kawasan perairan adat sebagai Zona Ketahanan
Pangan dan Pariwisata di (a) Teluk Gam dan (b) Kampung Sawinggrai 47 15. Zonasi pada KKPD Selat Dampier, Kabupaten Raja Ampat 62 16. Struktur badan pengelola UPTD Taman Pula u-Pulau Kecil Daerah
Raja Ampat 65
17. Struktur organisasi KKPD di Selat Dampier 66
18. Tingkat pengaruh dan kepentingan Stakeholders KKPD Selat Dampier 67 19. Aktivitas pengawasan dari Patroli Masyarakat Adat di Raja Ampat 69 20. Sebaran suhu di perairan Arborek pada kedalaman 3 m dari tahun
2008 - 2011 dalam KKPD Selat Dampier 74
21. Persen tutupan karang hidup berdasarkan lokasi pengamatan di KKPD
Selat Dampier 74
22. Perbandingan jenis ikan target, mayor dan indikator di 5 lokasi
penelitian di KKPD Selat Dampier Tahun 2008, 2009,
2010 dan 2014. 77
23. Sebaran biomassa ikan karang di KKPD Selat Dampier 78 24. Rata-rata biomassa ikan target di 11 lokasi di Selat Dampier, yang
dicatat antara tahun 2007-2013 79
25. Rata-rata penghasilan sebulan yang diterima responden dalam KKPD
26. Persepsi responden terhadap pendapatan yang diterima perbulan saat ini dibanding sebelum penerapan KKPD Selat Dampier. 81 27. Peningkatan mata pencaharian alternatif saat ini dibanding sebelum
penerapan KKPD Selat Dampier, Raja Ampat 82
28. Peningkatan jumlah konflik pemanfaatan sumberdaya perairan saat ini dibanding sebelum penerapan KKPD Selat Dampier,
Raja Ampat 83
29. Persepsi masyarakat pada sistem penyelesaian konflik pemanfaatan sumberdaya perairan saat ini dibanding sebelum penerapan KKPD
Selat Dampier, Raja Ampat 84
30. Persepsi masyarakat terhadap pentingnya zonasi, spesies yang dilindungi dan waktu tangkap saat ini dibanding sebelum penerapan
KKPD Selat Dampier, Raja Ampat 85
31. Persepsi masyarakat terhadap pemberlakuan hukum perlindungan sumberdaya perairan saat ini dibanding sebelum penerapan KKPD
Selat Dampier, Raja Ampat 86
32. Persepsi masyarakat terhadap ketaatan pada aturan konservasi saat ini dibanding sebelum penerapan KKPD Selat Dampier, Raja Ampat 87 33. Persepsi masyarakat terhadap kejelasan peraturan dalam KKPD saat
ini dibanding sebelum penerapan KKPD Selat Dampier, Raja Ampat 87
34. Analisis keberlanjutan Dimensi Ekobiologi KKPD
di Selat Dampier. 90
35. Hasil analisis leverage factor dimensi ekobiologi yang
berpengaruh di KKPD Selat Dampier 91
36. Analisis keberlanjutan dimensi sosekbud di KKPD Selat Dampier. 92 37. Hasil analisis leverage factor dimensi sosekbud yang berpengaruh di
KKPD Selat Dampier 93
38. Analisis keberlanjutan dimensi tata kelola di KKPD
Selat Dampier. 94
39. Hasil analisis leverage factor dimensi tata kelola yang berpengaruh
di KKPD Selat Dampier 95
DAFTAR LAMPIRAN
1. Berita acara kesepakatan bersama perluasan Kawasan Konservasi Daerah (KKLD) Selat Dampier di Distrik Meos Mansar 114 2. Nilai kepentingan dan pengaruh stakeholders dalam KKPD
Selat Dampier 115
3. Hasil penilaian (scoring) atribut dimensi bioekologi keberlanjutan sistem pengelolaan kawasan konservasi perairan daerah Selat Dampier 116 4. Hasil penilaian (scoring) atribut dimensi sosekbud keberlanjutan
sistem pengelolaan kawasan konservasi perairan daerah Selat Dampier 117 5. Hasil penilaian (scoring) atribut dimensi tata kelola keberlanjutan
sistem pengelolaan kawasan konservasi perairan daerah Selat Dampier 118 6. Struktur organisasi BLUD UPTD Kawasan Konservasi Perairan Dinas
kelautan dan Perikanan Kabupaten Raja Ampat 119
7. Persen tutupan karang pengamatan tahun 2014 menurut zona KKPD
Selat Dampier 120
8. Rata-rata biomassa ikan karang dalam kg per hektar di KKPD Selat
Dampier 121
9. Jenis-jenis ikan yang diamati di 5 lokasi pengambilan sampling 122 10. Hasil uji Wilcoxon terhadap perbandingan persepsi masyarakat
1
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Wilayah Raja Ampat merupakan bagian dari ”segitiga karang dunia” (coral triangel), yaitu kawasan pusat distribusi karang terdiri dari negara- negara Indonesia, Filipina, Papua New Guinea, Malaysia, Timor Leste, dan Australia. Keanekaragaman hayati laut tropis yang dimiliki Kabupaten Raja Ampat diperkirakan yang terkaya di dunia pada saat ini. Hasil survei terumbu karang Raja Ampat yang dilakukan sejak tahun 2001 berhasil mengidentifikasi sebanyak 553 spesies karang dan sekitar 1 320 jenis ikan karang (Veron et al. 2011; Allen & Erdmann 2009). Jumlah ini menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis karang di daerah ini tergolong sangat tinggi, karena diperkirakan jumlah total karang di dunia hanya sekitar 800 spesies.
Jumlah penduduk Kabupaten Raja Ampat pada tahun 2010 sebanyak 42 508 jiwa dengan tingkat kepadatan 5.29 jiwa per kilometer persegi dan wilayah tertinggi penghuninya adalah Kota Waisai sebanyak 6 976 jiwa dengan kepadatan 127.21 jiwa perkilometer persegi (BPS 2013). Sebagian besar penduduk di wilayah ini menggantungkan hidupnya pada sumberdaya hayati laut, utamanya sektor perikanan. Aktivitas pemanfaatan sumberdaya ikan di Kabupaten Raja Ampat hampir dipastikan akan bersentuhan langsung dengan keberadaan sumberdaya terumbu karang, karena umumnya kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikannya berada di wilayah perairan pantai yang merupakan habitat terumbu karang. Bertambahnya jumlah populasi penduduk mengancam keberlangsungan sumberdaya terumbu karang di Raja Ampat, apalagi penangkapan ikan dilakukan dengan cara tak ramah lingkungan (McKenna et al. 2002).
Seperti halnya di beberapa kawasan terumbu karang di Indonesia, Perairan Raja Ampat juga memperoleh ancaman yang datang baik dari dalam maupun luar. Beberapa isu yang mengancam keberadaan terumbu karang di daerah ini antara lain: (1) penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, potasium, dan penangkapan berlebih (Larsen, et al. 2011).; (2) kerusakan hutan akibat pembalakan kayu masih terjadi ; (3) usaha pertambangan yang akan dilakukan dapat merusak ekosistem yang ada bila dilakukan tanpa memperhatikan kondisi lingkungan sekitar; (4) penambangan pasir yang dilakukan di wilayah kawasan konservasi; (5) pembangunan jalan yang melewati kawasan konservasi (Pemda Raja Ampat 2006). Selain itu, pertumbuhan yang sangat cepat dalam sektor pariwisata bahari di daerah ini tanpa perencanaan yang baik dapat merusak sumberdaya alam dan tatanan sosial kemasyarakatan.
2
setempat secara turun-temurun. Akibatnya masyarakat lokal dan pemerintah daerah kurang mendukung implementasi pengelolaan kawasan konservasi dan banyak kawasan konservasi gagal mencapai tujuan pengelolaan (Kosmaryandi 2012). Oleh karena itu, sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat mendelegasikan wewenangnya ke pemerintah daerah (desentralistik), terbuka peluang lebih berperannya masyarakat lokal dan pemerintah daerah dalam penetapan dan pengelolaan kawasan konservasi laut (Ferse et al. 2010).
Seperti halnya beberapa daerah di Maluku dan Papua lainnya, Raja Ampat juga mengenal suatu bentuk kearifan lokal berupa sasi untuk pengelolaan sumberdaya alam. Model pengelolaan yang mempertimbangkan aspek kelestarian sumberdaya alam ini telah dikenal dan dipraktekkan dari generasi ke generasi (Handayani 2008; McLeod et al. 2009). Di kampung-kampung yang masih mempertahankan tradisi sasi, dalam kawasan perairannya masih mudah menemukan komoditas perikanan bernilai ekonomi tinggi seperti lola dan teripang; sebaliknya kampung yang sudah lama meninggalkan praktik kearifan lokal ini sangat sulit mendapatkan biota-biota tersebut (McLeod et al. 2009). Berdasarkan fakta tersebut di atas, LSM yang bekerja di kawasan Raja Ampat berupaya menghidupkan kembali budaya sasi ini untuk diimplementasikan sebagai salah satu model dalam pengelolaan kawasan konservasi laut di perairan Raja Ampat.
Dalam implementasinya, pengelolaan sumberdaya alam berbasis adat tidak luput pula dari berbagai kelemahan. Beberapa kelemahan yang dijumpai pada pelaksanaan pengelolaan sasi di Raja Ampat adalah waktu implementasi sasi yang relatif singkat sekitar 3-12 bulan, tidak cukup untuk pemulihan stok biota sasi. Selain itu, luas kawasan sasi kurang dari 100 ha tidak cukup efektif melindungi sumberdaya ikan yang daerah jelajahnya luas. Untuk itu, upaya mengintegrasi pengelolaan sumberdaya perairan berbasis sasi dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan yang berbasis sains konvensional, menjadi pilihan yang sangat bijaksana dalam meningkatkan keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi perairan di Raja Ampat.
Perumusan Masalah
Berbagai upaya pengelolaan kawasan konservasi telah dilakukan untuk mengatasi penurunan sumberdaya pesisir dan laut di Indonesia. Pemerintah Indonesia sendiri menargetkan luas kawasan konservasi perairan Indonesia mencapai 20 juta hektar pada tahun 2020 (Susanto 2011). Pendekatan pengelolaan ini dapat melalui pengelolaan konservasi sesuai dengan Kongres Durban (Borrini-Feyerabend et al. 2004): (1) kawasan konservasi yang dikelola pemerintah, (2) kawasan lindung pengelolaan kolaboratif (co-management), (3) kawasan lindung swasta dan (4) kawasan konservasi masyarakat.
3 dikelola efektif penuh, 24 cukup efektif, 59 tidak efektif dan 89 tidak ada informasi.
Menurut Ban et al. (2011) pengelolaan sentralistik cenderung mengadopsi teori pengelolaan konservasi modern yang merupakan rangkuman hasil penelitian di negara- negara barat. Teori konservasi tersebut belum te ntu relevan bila diterapkan di Indonesia, yang memiliki karakter sumberdaya alam dan sumberdaya manusia berbeda dengan Eropa atau Amerika. Selain hal ini, masih terbatasnya riset tentang konservasi perairan yang dilakukan di kawasan di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia adalah penyebab mengapa praktik pengelolaan kawasan konservasi modern di Indonesia sering tidak berhasil mencapai tujuannya. Hal ini sudah diingatkan oleh Ferse et al. (2010) bahwa tidak ada solusi tunggal yang berlaku universal bisa eksis dalam pengelolaan kawasan konservasi karena pendekatan yang tepat selalu tergantung pada konteks lokal.
Pengelolaan kawasan konservasi perairan yang mencoba melibatkan masyarakat lokal dalam pengelolaan kawasan konservasi telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia melalui Program Coral Rehabilitation and Management Project (COREMAP) di beberapa kawasan di Indonesia termasuk di Raja Ampat. Konsep pengelolaan “berbasis masyarakat” ini masih berupa inisiatif eksternal yang tidak mendalami konteks lokal. Program yang dikembangkan lebih bersifat umum yang belum banyak membantu meningkatkan aksi bersama untuk mendukung berlangsungnya pengelolaan konservasi perairan di Raja Ampat. Terkait dengan hal tersebut sudah selayaknya pengelolaan konserva si laut di Indonesia harus lebih arif dengan menggali semua potensi pengelolaan konservasi asli Indonesia yang dapat diangkat sebagai satu model pengelolaan kawasan konservasi. Selama ini, penduduk lokal yang tinggal di pedalaman dan desa-desa pesisir masih mempraktikan pengelolaan sumberdaya alam sistem sasi dalam kehidupan sehari-hari seperti di Maluku dan Papua.
Untuk itu upaya yang telah dilakukan di Raja Ampat termasuk di Selat Dampier adalah mencoba mengintegrasi pengelolaan sumberdaya laut berbasis masyarakat adat yakni sasi dengan pengelolaan konservasi modern. Sistem baru yang bersifat hibrid ini dapat menjadi salah satu alternatif pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia. Integrasi tersebut berupa penyatuan model pengelolaan kawasan konservasi perairan daerah (KKPD) di bawah pengelolaan Pemerintah Daerah Kabupaten Raja Ampat dengan pengelolaan sumberdaya alam sasi yang menjadi domain masyarakat adat Raja Ampat. Tantangan utama terletak pada pengembangan kerangka kerja yang tepat yang memungkinkan tingkat partisipasi yang tinggi dari masyarakat setempat dalam pengelolaannya. Keberhasilan dalam melibatkan masyarakat lokal akan memberikan legitimasi yang kuat untuk efektifnya jejaring kawasan konservasi perairan yang lebih besar.
4
berbasis ilmu pengetahuan modern bila diterapkan di Raja Ampat? (3) Dapatkah dua sistem yakni pengelolaan sasi dan pengelolaan kawasan konservasi modern berintegrasi menjadi model pengelolaan baru, yang dapat mengendalikan ancaman terhadap sumberdaya terumbu karang ?
Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengevaluasi kebijakan pengelolaan konservasi hibrid, melalui pengelolaan integrasi sumberdaya perairan berbasis kearifan lokal sasi dan pengelolaan konservasi perairan yang berbasis ilmu pengetahuan, untuk pemanfaatan perikanan dan ekowisata bahari berkelanjutan di Raja Ampat.
Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah :
1. Mengkaji sistem sasi dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan di Selat Dampier .
2. Mengkaji sistem hibrid dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan di Selat Dampier.
3. Mengkaji tingkat keberhasilan sistem pengelolaan KKPD Selat Dampier.
Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Dihasilkannya kajian ilmiah dalam pengelolaan KKPD hibrid kawasan perairan yang berbasis kearifan lokal sasi.
2. Mengimplementasikan salah satu kesepakatan internasional untuk melindungi hak masyarakat adat dan mencapai tujuan pengembangan konservasi perairan di Indonesia.
3. Menjadi bahan referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
Hipotesis
Hipotesis yang dibangun dalam penelitian ini adalah:
1. Penerapan pengelolaan sumberdaya laut dengan sistem sasi dapat mempertahankan keberlanjutan sumberdaya perikanan di Raja Ampat.
2. Pengelolaan kawasan konservasi yang tidak relevan dengan kondisi sosial budaya Raja Ampat tidak berjalan efektif.
3. Integrasi sistem sasi ke dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan daerah, menghasilkan pengelolaan konservasi hibrid yang lebih adaptif terhadap kondisi masyarakat setempat.
Kebaharuan (Novelty)
5 modern di Selat Dampier. Pengelolaan sasi di daerah ini telah dilaksanakan secara turun-temurun dan memberikan dampak keberlanjutan sumberdaya perikanan di kawasan yang tetap mempraktikannya. O leh karena itu, sasi memiliki potensi keberhasilan bila diterapkan dalam pengelolaan kawasan konservasi di Selat Dampier, dimana sistem kepemilikan komunal terhadap sumberdaya masih sangat kuat dianut sebagian besar penduduk. Pada sisi yang lain, pengelolaan kawasan konservasi perairan modern yang dilakukan pemerintah sering dilakukan secara terpusat (sentralisasi) yang cenderung menghomogenkan program pengelolaan tanpa mempertimbangkan nilai-nilai lokal yang berlaku di masing-masing kawasan, sehingga sering gagal menjadi solusi permasalahan over-exploitation sumberdaya perairan.
Integrasi dua model pengelolaan yang sangat berbeda tersebut akan saling melengkapi satu sama lain, dimana hal-hal yang sesuai dengan kondisi masyarakat dan sesuai dengan pertimbangan sains tetap dipertahankan, sedangkan yang tidak relevan dalam konteks pengelolaan ditinggalkan. Dengan demikian akan dihasilkan suatu pendekatan pengelolaan yang bersifat hibrid dan diharapkan dapat menjawab tujuan konservasi perairan.
Kerangka Pemikiran Penelitian
Para pakar konservasi seluruh dunia menempatkan kawasan perairan Raja Ampat dan perairan di Bird’s Head Seascape (Bentang Laut Kepala Burung) Provinsi Papua Barat sebagai prioritas pertama untuk konservasi laut di Indonesia (Huffard et al. 2012). Penetapan prioritas ini bertujuan meningkatkan perhatian para pakar konservasi perairan dan pengambil kebijakan agar lebih peduli dan bekerja keras mempertahankan keanekaragaman hayati perairan yang tinggi dan keberadaan spesies-spesies endemik yang unik, akibat pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya terumbu karang dan ekosistem perairan lainnya yang merusak lingkungan.
6
Pengelolaan kawasan konservasi di Papua memiliki perbedaan karena di daerah ini masih mempertahankan penguasaan sumberdaya alam oleh komunitas yang disebut dengan hak ulayat masyarakat adat. Selain itu, masyarakat di Papua memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya laut yang disebut sasi. Sasi menerapkan pembatasan sementara atau musiman dalam penangkapan atau pengambilan sumberdaya alam tertentu. Setelah beberapa waktu yang telah ditentukan daerah tersebut dibuka untuk penangkapan atau pengambilan.
Keberadaan KKPD yang ada di Selat Dampier dan Raja Ampat pada umumnya, pembentukan dan pengelolaannya difasilitasi oleh LSM CII dan TNC. Sejak tahun 2001 lembaga swadaya ini telah melakukan identifikasi potensi sumberdaya terumbu karang dan ekosistem lainnya. Hasil identifikasi ini menunjukkan bahwa sumberdaya perairan Raja Ampat sangat ka ya dan unik. Berdasarkan fakta ini dilakukan sosialisasi pentingnya menjaga sumberdaya tersebut kepada masyarakat adat. Sosialisasi tersebut telah meningkatkan kesadaran masyarakat dan para pemimpin lokal untuk menjaga perairan Raja Ampat dari kerusakan. Kesadaran ini ditindaklanjuti dengan mendukung pembentukan kawasan konservasi perairan daerah (KKPD). Pembentukan KKPD yang disetujui atau dipilih adalah mengadopsi pengelolaan sasi dan pengelolaan konservasi modern. Perpaduan dua model pengelolaan ini akan menghasilkan suatu model pengelolaan hibrid yang khas Raja Ampat.
7
Gambar 1. Kerangka penelitian kawasan konservasi perairan daerah Selat Dampier, Kabupaten Raja Ampat
Pengelolaan Hibrid Sumber Daya
Terumbu Karang
Pengelolaan Adat/Sasi Pengelolaan
Modern
Tata Kelola Sosial Ekonomi
dan Budaya Ekologi
- Peraturan Perundang-undangan
- Kelembagaan
- Pengelolaan
- Kondisi Sosial ekonomi
- Kondisi Sosial Budaya
- Kualitas Air
- Sumber Daya Terumbu Karang
- Sumber Daya Ikan Karang
Perbaikan
8
2
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di kawasan KKPD Selat Dampier, Kabupaten Raja Ampat Provinsi Papua Barat (Gambar 2). Lokasi KKPD Selat Dampier yang meliputi 3 pulau besar yang terdapat Raja Ampat yakni Pulau Waigeo, Pulau Batanta dan Pulau Salawati serta pulau-pulau kecil lainnya yang berada dalam lokasi Selat Dampier dan Selat Sagawin. Lokasi tersebut merupakan kawasan kepemilikan adat dari suku-suku Biak Beteu (Beser), Suku Bantanta, Suku Biak, Suku Tepin, Suku Fiat, Suku Domu, Waili dan Suku Moi-Maya.
Waktu penelitian dilaksanakan pada 3 tahap yakni: (1) Agustus-September 2012, pengumpulan data sekunder di instansi atau lembaga yang terkait dengan pengelolaan KKPD Selat Dampier di Kota Sorong dan Kota Waisai; (2) April- Juli 2013, pengambilan data terkait dengan sasi dan pengelolaan kawasan konservasi serta ikut, serta mengikuti Deklarasi Masyarakat Adat untuk penetapan kawasan di Pulau Gam dan Di Kampung Sawinggrai ; (3) Juli 2014, pengambilan data kondisi terumbu karang dan ikan karang dan persepsi masyarakat terhadap KKPD dilaksanakan pada bulan Juli 2014.
Gambar 2 Lokasi pengambilan sampel biofisik (segitiga merah dan bulat biru) dan sampel sosekbud (bulat kuning) di KKPD Selat Dampier, Raja Ampat
Jenis dan Sumber Data
9 Pengambilan data kondisi terumbu karang dilakukan pada 25 lokasi dimana 5 lokasi merupakan data pengukuran penelitian (2014) da n 20 lokasi lainnya menggunakan data dari lokasi monitoring CII Sorong. Data persepsi masyarakat terhadap keberhasilan pengelolaan KKPD dilakukan pada 9 kampung yakni kampung Saporkren, Yenbeser, Friwen, Sawinggrai, Kapisawar, Solol, Wamega, Yefman Timur dan Yefman Barat.
Tabel 1. Jenis, Sumber dan Metode Analisis Data
No Komponen Pengamatan Sumber Data Kegunaan Data Aspek Biofisik
1 Kondisi Perairan:
Suhu (Temperatur)
Kecepatan arus
Konsentrasi klorofil-a.
Suhu, pH, O2,
konduktivitas, salinitas, TDS
Data logger CII-UNIPA,
Data Cit ra Sate lit Aviso. Resolusi Spasial 0,05 x 0,05 Dera jad Lintang Bujur
Data Citra Satelit Aqua-Modis Level 3. Resolusi Spasial 0,05 x 0,05 Derajad Lintang Bujur
Pengukuran in situ dengan “ water quality testing” Merk AQUA Read (multiparameter)
Mendeskripsikan kondisi sebaran suhu perairan Selat Dampier Tahun 2008 – 2011 yang mempengaruhi terumbu karang.
Menggambarkan kondisi arus permukaan yang mempengaruhi terjadinya sedimentasi dan massa air dalam perairan.
Gambaran tingkat kesuburan suatu perairan, yang berdampak pada tingkat kekeruhan perairan karang.
Menggambarkan kondisi terkini kualitas perairan pada beberapa parameter
2 Ekosistem Perairan :
Persen tutupan karang
Keragaman spesies
Kelimpahan ikan karang
Perbandingan kelompok ikan.
Biomassa ikan target
Data Coremap II Raja Ampat 2008-2011; Data CI Sorong 2010-2011, Pengukuran insitu
Menggambarkan kondisi sumberdaya karang dan ikan karang yang ada di KKPD Selat Dampier, yang keberadaannya dipengaruhi kondisi biofisik dan pengaruh manusia.
Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya 3 Kondisi Sosial-Ekonomi:
Pertumbuhan penduduk
Tingkat pendidikan
Mata pencaharian
Data BPS Raja Ampat, Data Pemda
Kabupaten Raja Ampat
Untuk mengetahui kondisi demografi dan tingkat
kesejahteraan masyarakat lokal yang dapat mempengaruhi sumberdaya karang dan pengelolaan di KKPD Selat Dampier.
4 Kondisi Sosial-Budaya
Sistem budaya
Hak ulayat
Sistem pengelolaan sasi
Persepsi masyarakat
Data Pengamatan lapangan
10
Aspek Tata Kelola 5 Peraturan dan
perundang-udangan mengenai kawasan konservasi perairan:
Undang-undang
Peraturan pemerintah
Peraturan Menteri
Keputusan Menteri
Peraturan daerah
Keputusan bupati
Naskah peraturan dan perundang-undangan
Informasi ini penting untuk menggambarkan kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah yang menjadi landasan pengelolaan KKPD Selat Dampier
6 Kelembagaan kawasan konservasi perairan:
Struktur kelembagaan
Tugas pokok dan fungsi
Pemangku kepentingan
Kapasitas pemangku kepentingan Naskah kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah, pengamatan lapangan Menggambarkan kelembagaan dan pemangku kepentingan yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan
7 Pengelolaan:
Inisiasi kawasan
Rencana pengelolaan
Implementasi pengelolaan
Evaluasi tingkat pengelolaan
Naskah kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah, pengamatan lapangan
Memberikan gambaran tentang rencana dan capaian
pengelolaan KKPD Selat Dampier, dan permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan konservasi.
Metode Pengambilan Data
Dalam penelitian ini metode pengumpulan data digunakan untuk dapat memperkuat analisis dan pembahasan sebagai berikut:
Aspek Biofisik
Aspek biofisik yang diukur dalam penelitian meliputi : 1. Kualitas Air
Pengambilan data kualitas air dilakukan dengan alat ukur (water quality testing) multiparameter. K ualitas air yang diamati dalam penelitian ini adalah: suhu, salinitas, kandungan oksigen, pH, dan TDS (Total Dissolve Solid). Pengukuran parameter kualitas air dilakukan di lokasi sampling kondisi karang dan ikan karang. Pencatatan data kualitas air dilakukan dengan membaca angka-angka yang ditunjukan oleh alat. Pengukuran diulang sebanyak 5 kali pada titik kedalaman perairan yang sama. N ilai kualitas air pada lokasi penelitian merupakan nilai rata-rata dari 5 kali ulangan.
2. Kondisi Karang
11 setiap titik kelipatan 0.5 meter sepanjang 25 meter. Jadi setiap transek ada sebanyak 50 data untuk tutupan karang. Kategori tutupan karang ini terbagi dalam 10 kelompok : karang keras (HC), karang lunak (SC), sponge (SP), biota lain (OT), pecahan karang (R), karang mati (DC), batu (RCK), algae koralin (CA), algae makro (MA) dan pasir dan debu (S/Si).
3. Ikan Karang
Untuk mengetahui gambaran umum jenis ikan karang dengan cara melihat ikan-ikan (visual sensus) yang dijumpai pada jarak 2.5 meter sebelah kiri dan sebelah kanan garis transek. Adapun yang dicatat adalah jumlah jenis dan jumlah individu ikan. Lokasi transek ikan karang sama dengan lokasi pengamatan persen tutupan karang, yakni 5 lokasi perairan masing- masing adalah: Gurabesy, Yenmangkwan, Kordiris, Fiaduru dan Kormansiwin.
Spesies ikan tersebut dikelompokkan dalam 3 kelompok utama, yaitu : Ikan Target, yaitu ikan ekonomis penting yang biasa ditangkap untuk dikonsumsi. Kelompok ikan ini diwakili family Serranidae, Lutjanidae, Lethrinidae, Nemipteridae, Caesionidae, Siganidae, Haemulidae, Scaridae, dan Acanthuridae. Ikan Mayor, yaitu ikan yang melimpah baik individu maupun jenisnya dan sepanjang hidupnya mendiami terumbu karang. Kelompok ikan ini di wakili oleh family Pomacentridae, Apogonidae, dan Labridae. Ikan Indikator, yaitu ikan karang khas yang mendiami daerah terumbu karang dan menjadi indikator kesuburan terumbu karang. Kelompok ikan ini diwakili oleh Family Chaetodontidae.
Data Sosial Ekonomi dan Budaya
Data sosial ekonomi dan budaya yang diamati dalam penelitian ini antara lain :
1. Survei persepsi masyarakat
Teknik pengumpulan datanya menggunakan metode survei dengan daftar pertanyaan yang sifatnya tertutup, dilakukan untuk mengetahui persepsi masyarakat lokal tentang keberhasilan pengelolaan KKPD Selat Dampier. Responden berusia 17 tahun ke atas dan dipilih secara purposive sampling. Jumlah responden untuk setiap lokasi survei sebanyak 15-20 orang. Lokasi pengambilan sampel dilakukan pada 9 kampung. Pertanyaan-pertanyaan dalam kuisioner meliputi: (1) tingkat pendapatan, (2) ketaatan pada peraturan, (3) kejelasan peraturan, (4) konflik pemanfaatan sumberdaya alam, (5) ketersediaan mata pencaharian alternatif, dan (6) pengetahuan tentang kawasan konservasi perairan.
2. Wawancara mendalam
12
Informan yang dipilih adalah stakeholder yang terkait dengan pengelolaan KKPD Selat Dampier, yang meliputi: tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, pemerintah desa/kampung, pemerintah kabupaten dan aktivis LSM serta ilmuan perguruan tinggi.
3. Studi literatur dan naskah kebijakan
Pengumpulan data dilakukan dengan menelusuri dokumen hasil- hasil penelitian sebelumnya dan naskah- naskah kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah dan Pemerintah Daerah Kabupaten Raja Ampat. Dokumen yang terkait dengan penelitian tersebut dalam bentuk cetak dan digital. Data tentang kondisi terumbu karang dan ikan karang merupakan hasil kajian dari Coremap II Raja Ampat dan hasil monitoring Conservation Internasional (CI) Sorong. Data tentang kondisi suhu di daerah penelitian adalah dari pangkalan data program kerjasama Universitas Negeri Papua (UNIPA) dan CI. Data tentang kondisi arus laut permukaan dan konsentrasi klorofil- A diperoleh dari dari hasil penafsiran citra. Pengumpulan data dilakuan pula terhadap kebijakan lokal dan nasional, aturan dan kesepakatan adat, hasil kesepakatan masyarakat adat dan pemerintah daerah tentang zonasi dan rencana pengelolaan kawasan konservasi perairan yang sedang dibangun.
Analisis Data Analisis Persen Tutupan Karang
Kondisi terumbu karang di KKPD Selat Dampier diduga dengan pendekatan persentase penutupan karang hidup disesuaikan dengan pendapat Gomez and Yap (1988). Adapun kriteria penilaian kondisi terumbu karang didasarkan pada persentase karang hidup yakni akumulasi persen tutupan karang keras dan persen tutupan karang lunak, seperti yang disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Kriteria penilaian kondisi terumbu karang berdasarkan persentase tutupan karang
Kriteria Penilaian Penutupan (%)
Buruk 0 - 24.9
Sedang 25- 49.9
Baik 50 – 74.9
Sangat baik 75 - 100
Sumber : Gomes and Yap (1988)
Analisis Kondisi Ikan Karang
13 kawasan yang dijadikan standar adalah sebesar 100 m x 5 m (500 m2, merupakan luas transek pengamatan ikan). Kriteria penilaian kondisi ikan karang diperlihatkan seperti Tabel 3.
Tabel 3. Kriteria penilaian kondisi ikan karang berdasarkan kelimpahan individu dan spesies
Parameter Penilaian Rendah Kategori Kondisi Ikan Sedang Tinggi Total kelimpahan ikan (ekor)
Total jumlah jenis (spesies)
1 - 250 1 - 15
251 -1000 16 - 60
>1000 >60 Sumber : Critic- Coremap (2005)
Analisis Persepsi Masyarakat
Data yang diperoleh ditampilkan dalam bentuk deskripsi dan grafik persentase. Deskripsi data kuantitatif didukung dan dikombinasikan dengan pengolahan catatan lapangan dari hasil wawancara dan observasi lapangan serta bahan dari data sekunder. Hasil pengamatan persepsi masyarakat terhadap keberhasilan KKPD Selat Dampier dianalisis dengan menggunakan statistik uji Wilcoxon. Analisis ini untuk melihat apakah ada perbedaan nilai pengetahuan sebelum dan sesudah pelaksanaan program KKPD pada: (1) kejelasan peraturan, (2) mata pencarian alternatif, dan (3) tingkat pengetahuan konservasi.
Analisis Stakeholders
Untuk mengetahui peranan dan kontribusi dari stakeholders (para pihak) yang dijumpai di kawasan konservasi di Selat Dampier maka dilakukan analisis stakeholders (Chetwynd & Chetwynd 2001). Hal- hal yang diamati dalam analisis stakeholders di KKPD Selat Dampier masing adalah: (1) peran masing-masing stakeholder sebagai: pelaksana, pengorganisir, pembuat kebijakan, pemanfaat, pengontrol dan pendukung atau penentang; (2) tingkat kepentingan stakeholder terhadap pengelolaan KKPD Selat Dampier yang dikategorikan dalam Skala Likerst: sangat tinggi (skor 5), tinggi (skor 4), cukup (skor 3), kurang tinggi (skor 2) dan rendah (skor 1); dan (3) tingkat pengaruh stakeholder terhadap pengelolaan KKPD dimana kondisi sangat tinggi (skor 5), tinggi (skor 4), cukup (skor 3), kurang tinggi (skor 2) dan rendah (skor 1).
14
Subject Key Player
Crowd Context Setter
Gambar 3. Matriks stakeholder, tingkat pengaruh dan kepentingan
Analisis Hukum dan Kebijakan
Analisis hukum dan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi dilakukan untuk mengetahui peranan dan kontribusi dari masing- masing lembaga yang menentukan pelaksanaan pengelolaan KKPD di Kabupaten Raja Ampat. Untuk itu, analisis dilakukan terhadap produk hukum dan kebijakan yang telah dihasilkan oleh lembaga masyarakat adat, pemerintah daerah dan pemerintah.
Tabel 4. Analisis hukum dan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi di Raja Ampat
Lembaga Bentuk Kebijakan Isi Kebijakan Manfaat 1. Masyarakat adat Deklarasi adat
Penyerahan adat 2. Pemerintah
daerah
Perda
Peraturan bupati 3. Pemerintah Undang-undang
Peraturan pemerintah Peraturan menteri Keputusan menteri
Analisis Perbandingan Pengelolaan
Teknik analisis ini digunakan untuk mengetahui perbedaan pengelolaan sumberdaya alam secara adat (sasi), pengelolaan kawasan konservasi modern (konvensional), dan pengelolaan kawasan konservasi hibrid yang terjadi di KKPD
P e n g a r u h
K
e
p e
n
t
i
n
g
[image:30.596.119.428.74.324.2]15 Selat Dampier, Raja Ampat. Aspek yang dinilai terdiri dari aspek-aspek: ekologi, sosial, ekonomi, budaya dan tata kelola pengelolaan kawasan.
Tabel 5. Perbandingan model pengelolaan KKPD konvensional dan pengelolaan sasi serta model hibrid di Selat Dampier
No Aspek Pengelolaan
(SK Dirjen KP3K No. 44 tahun 2012)
KKPD Konvensional
Sasi di Selat Dampier
KKPD Hibrid
1 Target perlindungan sumberdaya alam 2 Manfaat kawasan konservasi
3 Luasan kawasan konservasi 4 Usulan insiatif
5 Zonasi
6 Stakeholders Utama
7 Model kelembagaan
8 Pengawasan dan pengendalian 9 Monitoring dan evaluasi 10 Sistem pendanaan
Analisis Indeks dan Status Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Konservasi Analisis keberlanjutan pengelolaan KKPD Selat Dampier dilakukan dengan metode analisis statistik Multidimentional Scaling (MDS). Teknik analisis ini merupakan pendekatan statistik multivariat yang berbasis pada obyek (KKPD) yang memungkinkan trasformasi multidimensi menjadi dimensi lebih sederhana (Fauzi and Anna 2005). Untuk mengetahui keberlanjutan pengelolaan KKPD di Raja Ampat maka digunakan 3 dimensi yakni: (1) bioekologi, (2) sosial ekonomi dan budaya, dan (3) tata kelola. Setiap dimensi terdiri dari beberapa atribut yang diberi skor sesuai dengan kondisi yang diperoleh dari hasil penelitian (Tabel 6).
Dengan metode MDS, obyek atau titik yang diamati dipetakan di dalam ruang dua atau tiga dimensi, sehingga obyek atau titik yang diamati diupayakan sedekat mungkin dengan titik asal. Titik yang tidak sama digambarkan dengan titik-titik yang berjauhan. Penentuan jarak ordinasi di dalam MDS didasarkan pada Euclidian distance yang dalam ruang berdimensi n digambarkan sebagai berikut (Fauzi and Anna 2005):
√ | | | | | |
Konfigurasi atau ordinasi dari satu titik atau obyek dalam MDS selanjutnya diaproksimasi dengan cara meregresikan jarak euclidian ) dari titik i ke titik j dengan titik asal ) sebagaimana dengan persamaan :
= a + b ) + e
Teknik regresi yang digunakan adalah algoritma ALSCAL yang mengoptimasi jarak kuadrat (square distance = d ijk ) terhadap data kuadrat (titik
asal = Oijk ). Bentuk tiga dimensinya ditulis dalam formula S-stress sebagai
16
S =
√
∑
[
∑ ∑∑ ∑
]
Dimana jarak kuadrat merupakan jarak euclidian yang dibobot dan digambar dengan:
=
∑
Sangat penting mengetahui seberapa fit (goodness of fit) jarak titik pendugaan dengan titik asal pada setiap pengukuran (metric). Dalam MDS goodness of fit adalah mengukur seberapa tepat konfigurasi suatu titik, dapat mencerminkan data aslinya. Nilai ini biasa diwakili oleh nilai S-stress yang dihitung dari dari nilai S tersebut. Bila nilai S rendah maka menunjukkan good fit, sedangkan nilai nilai S tinggi menunjukkan bad fit. N ilai S yang baik adalah lebih kecil dari 0.25. Penentuan status keberlanjutan pengelolaan KKPD Selat Dampier di Kabupaten Raja Ampat, ditentukan dengan selang nilai 0 (bad) sampai dengan 100 (good). Distribusi selang indeks dengan ragam status keberlanjutan dibedakan atas tiga kategori seperti di bawah ini (Susilo 2003).
Untuk mengetahui pengaruh parameter-parameter di setiap atribut yang digunakan pada indeks keberlanjutan, maka dilakukan analisis sensitivitas dengan analisis statistik leverage. Dengan menggunakan metode analisis ini akan diketahui parameter-parameter kunci yang paling berpengaruh (baik mendukung maupun menghambat) dalam penentuan indeks keberlanjutan pengelolaan KKPD di Selat Dampier Kabupaten Raja Ampat. Adapun penentuan nilai setiap selang skor didasarkan pada hasil pengamatan langsung atau data primer dan data yang dikumpulkan dari hasil- hasil penelitian sebelumnya atau data sekunder. Untuk penetapan skor dimana tidak cukup tersedia data, maka dilakukan dengan pertimbangan professional dari peneliti .
Tabel 6. Matriks indikator penilaian keberlanjutan pengelolaan KKPD Selat Dampier
Atribut Nilai Atribut
Buruk Baik Skor
Aspek Bioekologi
1. Persen tutupan terumbu karang
0 3 0= 0 – 24.9 %, 1=25-49.5 %, 2=50 - 74.9 %, 3= 75 – 100 %
2. Biomassa ikan karang 0 3 0 = 0 ind/m2,1 = jumlah individu < 2 ind/m2, 2 = jumlah individu 2-5 ind/m2, 3 = jumlah individu > 5 ind/m2
3. Kualitas air 0 2 0 = buruk, 1 = sedang, 2=baik
4. Jumlah jenis ikan karang 0 2 0= jumlah jenis 1-15 jenis ,1= 16 - 60 jenis, 2= > 60 jenis
17
6. Kelimpahan ikan karang 0 2 0 = 1 - 250 ekor, 1= 251 - 1.000 ekor , dan 2 = > 1.000 ekor
7. Hasil tangkapan ikan target
0 2 0= ikan target < 15 % dari total tangkapan ,1= ikan target 16-30 % dari total tangkapan,2= > ikan target >30 % dari total ikan tangkapan
Aspek Sosek dan Sosbud
1. Pendapatan Masyarakat 0 3 0= < Rp. 500 000, 1= Rp.501 000 - Rp.1 000 000, 2= Rp.1 000 001- Rp. 1 500 000, 3= > Rp.1 500 001
2. Mata pencaharian alternatif 0 2 0 = tidak ada ,1 = 1-3 pekerjaan alternatif ,2 = > 3 pekerjaan alternatif
3. Tingkat pelanggaran pada aturan sasi
2 0 2 = tinggi ,1= sedang dan 0 = rendah
4. Pemanfaatan sumberdaya manusia lokal
0 2 0 = tidak ada pemanfaatan, 1= ada tetapi tidak maksimal, 2= ada dan maksimal pemanfaatannya
5. Tingkat dukungan masyarakat terhadap pengelolaan KKPD
0 2 0= rendah dukungan, 1 = dukungan sedang, 2= dukungan tinggi
6. Tingkat partisipasi masyarakat
0 2 0 = rendah, 1 = sedang, 2= tinggi
7. Tingkat pelanggaran terhadap kawasan konservasi
2 0 0= rendah, 1= sedang , 2 = tinggi
8. Penghargaan terhadap adat, budaya dan/atau kearifan lokal
0 2 0 = rendah,1= cukup menghargai budaya, 2= menghargai budaya
9. Tingkat pengetahuan kawasan konservasi
0 3 0 = < 3.0, 1 = 3.1 - 5.0, 2= 5.1 – 7.0 dan 3 = >7.1
10.Konflik pemanfaatan sumberdaya
2 0 0= rendah, 1= sedang ,2= tinggi
Aspek Tata Kelola 1. Rencana pengelolaan dan
zonasi KKLD
0 2 0 = tidak ada,1= ada tetapi tidak dilaksanakan,2 = ada dan dilaksanakan 2. Kapasistas pemangku
kepentingan
0 2 0 = tidak ada peningkatan kapasitas,1= terjadi peningkatan tapi tidak
difungsikan,2= terjadi peningkatan dan difungsikan
3. Tingkat sinergitas kebijakan/kelembagaan
0 2 0 =tidak ada koordinasi antar lembaga,1= komunikasi antar lembaga belum maksimal ,2= terjadi sinergi antar lembaga
4. Konflik kepentingan stakeholders
2 0 0 = tidak terjadi konflik antar stakeholders,1 = < dari 2 konflik antar stakeholder,2= > 2 konflik antar stakeholders
5. Keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan
0 2 0= < 25 % penduduk terlibat,1= 26-50 % penduduk terlibat,2= >50 % penduduk terlibat
18
pengelola KKLD dengan Stakeholders.
kali interaksi pertahun, 2= > 4 kali interaksi
8. Pemahaman di tingkat lokal terhadap hukum dan peraturan KKLD
0 2 0=< 25 % penduduk paham ,1= 26 - 50 % penduduk paham,2= >51 % penduduk paham
9. Ketersediaan SDM untuk pengelolaan KKLD
0 2 0=tidak tersedia sumber manusia handal,1= SDM dari pemerintah,2= SDM dari lsm dan pemerintah
10.Ketersediaan dana pengelolaan
0 2 0 = tidak ada sumber dana,1= sumber dana pemerintah,2= sumber dana pemerintah dan swasta
11.Eksistensi penelitian dan input di lokasi KKLD
0 2 0= tidak pernah dilakukan pertahun,1= satu kali pertahun,2= lebih dari satu kali
pertahun
Tahapan kegiatan dan analisis keberlanjutan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi: pertama, penetapan atribut dalam penelitian ini, didasarkan pada prosedur dan kriteria pemilihan atribut menurut Kavanagh (2001). Ditetapkan sebanyak 28 atribut yang masing- masing diwakili oleh 3 aspek atau
dimensi yaitu: ekobiologi (7 atribut), sosekbud (10 atribut) dan tata kelola (11 atribut). Kedua, penilaian setiap atribut dalam skala ordinal (scoring)
berdasarkan kriteria keberlanjutan setiap aspek. Ketiga, menilai indeks dan status keberlanjutan pengelolaan kawasan konservasi perairan daerah Se lat Dampier secara multidimensi dan setiap dimensi. Keempat, analisis kepekaan (leverage analysis) mempengaruhi keberlanjutan. Kelima, analisis Monte Carlo untuk memperhitungkan aspek ketidakpastian.
Tabel 7. Selang indeks dan status keberlanjutan pengelolaan KKPD Selat Dampier No KeberlanjutanSkala Indeks KeberlanjutanStatus Keterangan
1 0.00 – 50.00 Rendah KKPD memiliki peluang berkembang dengan sangat kecil
2 50.01- 75.00 Sedang
KKPD dapat berkelanjutan, namun tidak memberikan hasil optimal dimana beberapa tujuan belum tercapai
[image:34.596.44.485.37.822.2]19
3
KONDISI UMUM KAWASAN KONSERVASI
PERAIRAN DAERAH SELAT DAMPIER
Kondisi Lokasi KKPD Selat Dampier
Kawasan konservasi perairan daerah Selat Dampier memiliki luas 336 200 ha. Kawasan dihubungkan dengan titik batas pada koordinat 130o 27‟53” BT dan 00o 31‟05” LS menuju ke Timur dengan koordinat 130o39‟53” BT dan 00o25‟13” LS di Teluk Kabui. Selanjutnya ke Timur koordinat 130o 42‟13” BT dan 00o 22‟ 47” LS ke arah Tenggara sampai koordinat 130o 47‟32” BT dan 00o26‟36” LS.
Batas ini selanjutnya ke arah Selatan pada koordinat 130o47‟ 47” BT dan 00o29‟ 38” LS menuju Tenggara pada koordinat 131o04‟ 33” BT dan 00o 46‟ 01” LS dan
ke arah Tenggara pada koordinat 131o13‟26” BT dan 01o 00‟ 59” LS terus ke arah Selatan pada koordinat 131o13‟28” BT dan 01o 02‟ 23” LS. Batas selanjutnya ke arah Selatan Barat Daya pada koordinat 131o11‟ 03” BT dan 01o 06‟ 48” LS serta ke arah Barat pada koordinat 131o 03‟ 30” BT dan 01o 07‟00” LS. Selanjutnya ke arah Pulau Salawati Utara ke arah Selat Sagawin pada koordinat 130o 38‟ 01” BT dan 00o57‟ 41” LS. Batas ini terus dilanjutkan ke arah Utara Selat Sagawin pada koordinat 130o 36‟ 37” BT dan 00o54‟46” LS serta menuju ke arah Barat. Batas terus ke arah Pulau Batanta Selatan sampai koordinat 130o 21‟ 03” BT dan 00o55‟ 19” LS. Berikutnya ke Barat pada koordinat 130o 21‟47” BT dan 00o 55‟20” LS ke Utara kembali ke titik awal batas.
Di dalam KKPD Selat Dampier terdapat 8 distrik atau kecamatan yaitu: Waigeo Barat Kepulauan, Waigeo Selatan, Meosmansar, Batanta Utara, Batanta Selatan, Salawati Barat, Salawati Utara and Salawati Tengah, dengan kampung sebanyak 29 kampung atau desa. Kawasan KKPD ini sejak dahulu menjadi pusat dari beberapa jenis kegiatan perikanan dibanding kawasan lainnya di Raja Ampat. Aktivitas perikanan ilegal termasuk bom ikan dan pengambilan sirip ikan hiu sudah puluhan tahun berlangsung, sebelum Pemda Raja Ampat menerapkan pengelolaan kawasan konservasi di seluruh perairan Raja Ampa t tahun 2008. Penduduk lokal juga memiliki lahan kebun atau pertanian yang sempit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Daerah konservasi Selat Dampier sudah berubah menjadi pusat wisata bahari dan wisata alam lainnya seperti misalnya pengamatan burung (bird watching).
Lokasi KKPD Selat Dampier terletak di sentral kawasan perairan Raja Ampat. Nama KKPD ini menandakan bentuk fisik berupa perairan selat yang kaya akan nutrien, yang sangat dibutuhkan dalam mendukung keberadaan sistem ekologi yang kaya dengan keanekaragaman hayati dan kelimpahan biota laut. Perairan selat ini memiliki arus yang kuat yang menyebabkan fenomena upwelling air dingin. Adanya fenomena upwelling yang berupa pengadukan massa air yang berbeda suhu dan membawa nutrien dibutuhkan bagi bio ta laut seperti karang untuk membentuk terumbu. Di lokasi tersebut ikan memperoleh makanan (feeding ground), mengasuh anak-anak (nursery ground), dan untuk pemijahan (spawning ground).
20
Kabupaten Raja Ampat yaitu: terumbu karang tepi (fringing reef), karang penghalang (barrier reef), gosong karang/taka (patch reef), dan karang cincin (atol reef). Menurut DeVantier et al. (2009), kawasan perairan Raja Ampat memiliki keragaman bentang terumbu (reefscape) sebanyak 14 kawasan dan habitat terumbu sebanyak 75 lokasi.
Sumber : DeVantier et al (2009)
Gambar 4. Klasifikasi terumbu karang di Raja Ampat Keterangan:
[image:36.596.86.476.154.652.2]21
Hutan mangrove di kawasan konservasi Selat Dampier tumbuh subur di Waigeo Selatan, Gam Selatan, Batanta Utara dan bagian timur hingga tenggara
Salawati, dan juga di sekitar pulau-pulau kecil di sekitarnya. Hasil kajian Firman dan Azhar (2006), mendapatkan bahwa di Raja Ampat lebih jarang dibandingkan dengan daratan Papua dengan jumlah jenis 25 spesies. Padang lamun yang subur tumbuh antara bagian selatan pulau Waigeo dan Gam, utara pulau Batanta dan timur pulau Salawati. Padang lamun ini adalah habitat dari duyung (Dugong dugon) serta menjadi lokasi dalam pembesaran (nursery) bagi larva- larva ikan jenis lainnya.
Kawasan konservasi perairan daerah Selat Dampier terdapat 2 selat, yakni Selat Dampier dan Selat Segawin. Kedua selat ini menjadi lokasi migrasi dari beberapa jenis mamalia laut (cetacean) dari Lautan Pasifik ke lautan Hindia dan sebaliknya. Menurut jenisnya meliputi paus sperma (sperm whale) (Physeter Macrocephalus), paus pembunuh (killer whale) (Orcinus orca), masyarakat Selat Dampier menyebutnya rowetroyer, paus bryde (Balaenoptera brydei), paus bryde kerdil (Balaenoptera edeni), lumba-lumba hidung botol umum (Tursiops truncatus), lumba- lumba hidung botol Indopasifik (Tursiops aduncus), paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens), lumba- lumba spinner (Stenella longirostris), paus pemandu sirip pendek (Globicephala macrorhynchus), duyung (Dugong dugon) (Wilson et al 2010 dan UPTD 2011).
Kondisi Perairan
Arus laut yang terjadi di kawasan perairan Raja Ampat dipengaruhi oleh arus khatulistiwa utara dan arus khatulistiwa selatan. Arus khatulistiwa utara, merupakan arus panas yang mengalir menuju ke arah barat sejajar dengan garis khatulistiwa dan ditimbulkan serta didorong oleh angin pasat timur laut, sedangkan arus khatulistiwa selatan, merupakan arus panas yang mengalir menuju ke barat sejajar dengan garis khatulistiwa. Arus ini ditimbulkan atau didorong oleh angin pasat tenggara (Pemda Raja Ampat 2006). Pengamatan dengan data citra satelit Aviso memperlihatkan kondisi arus permukaan di KKPD Selat Dampier diperlihatkan pada Gambar 5a, arus permukaan laut selama musim barat (1 Desember 2008 – 1 Pebruari 2009) dan Gambar 5b, kondisi arus permukaan laut selama musim timur (1 Juni 2009 - 1 Agustus 2009).
22
Gambar 5. Hasil citra satelit Aviso tentang kondisi arus permukaan di
perairan Raja Ampat selama: (a) musim barat (1 Desember 2008 - 1 Februari 2009) dan (b) musim timur (1 Juni 2009 - 1 Agustus 2009)
[image:38.596.108.432.72.503.2]23 klorofil-a lebih kecil dari 1 mg m-3 digolongkan sebagi perairan oligotrofik, nilai klorofil-a 1 – 3 mg m-3 termasuk dalam perairan mesotrofik, nilai klorofil-a 3 - 5 mg m-3 termasuk perairan eutrofik dan nilai klorofil-a lebih besar di 5 mg m-3. termasuk hypertrofik. Dengan demikian, perairan KKPD Selat Dampier tergolong dalam perairan oligotrofik.
Gambar 6. Hasil Citra Satelit Aqua-Modis Level 3 tentang kondisi klorofil-A di perairan Raja Ampat selama: (a) musim barat (1 Desember 2011 – 1 Februari 2012) dan (b) musim timur (1 Juni 2012 - 1 Agustus 2012)
Kondisi Sosial Ekonomi Pertumbuhan Penduduk
Kawasan konservasi Perairan Daerah Selat Dampier adalah kawasan konservasi yang dijumpai jumlah kampung dan distrik terbanyak di Kabupaten Raja Ampat. Jumlah distrik ada 24 dan sebanyak 7 distrik (29%) dijumpai di KKPD Selat Dampir masing- masing adalah: Waigeo Selatan, Meosmansar, Batanta Selatan, Salawati Barat, dan Batanta Utara, Salawati Utara dan Salawati Tengah. Jumlah kampung dan kelurahan yang dijumpai di Raja Ampat adalah 121 kampung dan sebanyak 36 kampung (30%) berada di KKPD Selat Dampier.
[image:39.596.111.505.164.372.2]24
Tabel 8. Kondisi peduduk di distrik-distrik dalam KKPD Selat Dampier Tahun 2012
Distrik
Luas Daerah
(km2)
Jumlah Penduduk
(Jiwa)
Kepadatan Penduduk (Jiwa km-2)
Jumlah Rumah Tangga
Rata-Rata Anggota
Rumah Tangga
Waigeo Selatan 310.763 1750 5.63 375 5
Meosmansar 224.081 1641 7.32 309 5
Batanta Utara 250.861 907 3.62 168 5
Batanta Selatan 205.250 1310 6.38 270 5
Salawati Barat 133.859 897 6.70 195 5
Salawati Tengah 160.631 1913 11.91 523 4
Salawati Utara 240.946 2139 8.88 509 4
1526.391 10557 7.20 2 349 5
Sumber : BPS Raja Ampat, diolah (2013)
Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Raja Ampat pada tahun 2012 sebesar 2.1% per tahun dan rata-rata laju pertumbuhan penduduk untuk 4 tahun ke belakang (2009-2012) sebesar 1.6%. Rasio pertumbuhan penduduk yang tertinggi terjadi pada tahun 2008 sebesar 20.9%, yang disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah Raja Ampat pasca pemekaran daera h. Dengan tingkat kepadatan rata-rata penduduk di KKPD Selat Dampier yang masih sangat jarang yakni hanya 7.20 jiwa km-2, akan memberikan kondisi yang sangat positif untuk upaya konservasi karena tekanan antropogenik terhadap sumberdaya pesisir masih kecil, hal ini karena kebutuhan akan sumberdaya protein hewani dari ikan dan biota laut lainnya masih sedikit. Demikian juga dengan kebutuhan lahan untuk pemukiman dan fasilitas fisik lainnya di daratan masih terbatas, sehingga tidak banyak mengorbankan keberadaan hutan yang ada di pulau-pulau kecil. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan penduduk di Kabupaten Raja Ampat secara umum masih rendah. Data pada Tabel 9 menunjukkan bahwa dari tahun 2008 - 2012 persentase penduduk yang tidak berijasah dan ijasah SD masih lebih 60% dari seluruh penduduk Raja Ampat. Sampai dengan tahun 2012, persentase penduduk yang tidak lulus SD sebanyak 23.98 % dan lulusan SD 41.57 %. Demikian juga penduduk Raja Ampat yang hanya menyelesaikan pendidikan SMP dan SLTA masing- masing baru mencapai 16.80 % dan 13.90 %. Sementara itu, persentase penduduk Raja yang telah mencapai pendidikan di perguruan tinggi pada tahun 2012 adalah sebanyak 3.76 %. Angka tersebut mencerminkan masih sangat rendahnya tingkat pendidikan penduduk yang ada di Raja Ampat. Dengan kondisi ini, sulit bagi warga Raja Ampat untuk bisa berpartisipasi untuk membangun daerah tanpa kehadiran pendatang yang memiliki ketrampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan. Untuk itu, pemerintah wajib memberikan peningkatan ketrampilan kepada masyarakat lokal misalnya pelatihan-pelatihan ketrampilan praktis yang sangat dibutuhkan memenuhi kebutuhan tenaga kerja di Raja Ampat.
25 ekonomi, dan rendahnya perhatian orang tua akan nasib pendidikan anak-anak mereka. Penyebab lainnya adalah faktor kedisiplinan, integritas dan komitmen para pendidik dalam menjalankan tugasnya sebagai guru di kawasan pulau-pulau terpencil. Dengan kondisi ini mempengaruhi motivasi para peserta didik untuk mengikuti proses pendidikan dengan baik. Untuk itu, pemerintah daerah Raja Ampat segera membenahi sektor ini melalui peningkatan APBD setiap tahun, pengadaan guru yang bermutu, peningkatan fasilitas belajar dan mengajar, dan menyiapkan kurikulum yang relevan dengan kondisi daerah untuk menghasilkan murid yang kreatif.
Tabel 9. Persentase penduduk 10 tahun ke atas menurut ijasah terakhir Kabupaten Raja Ampat
Tahun TidakMempunyai
Ijasah SD SMP SMA
Perguruan Tinggi
Jumlah (%)
2008 28.89 45.08 15.54 9.05 1.44 100
2009 33.74 30.17 22.23 11.20 1.64 100
2010 33.07 35.45 13.04 12.56 5.88 100
2011 31.89 36.18 18.83 9.63 2.84 100
2012 23.98 41.57 16.80 13.90 3.76 100
Sumber : BPS Raja Ampat (2013)
Mata Pencaharian
Sebagian besar masyarakat Raja Ampat menggantungkan hidupnya dari sumberdaya alam baik di darat maupun di laut yang ada di wilayah mereka. Ketergantungan pada pengaruh ala