• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.4 Analisis Output

5.2.8 Analisis Pengolahan Bahan Makanan

Kegiatan pengolahan bahan makanan dibedakan menjadi persiapan bahan makanan dan pemasakan bahan makanan. Tahap yang pertama yakni persiapan bahan makanan. Kegiatan dalam persipan bahan makanan adalah membersihkan, mengupas, memotong, mengiris, menggiling, memberi bentuk, dan lainnya sebelum bahan makanan dimasak (Moehyi, 1992).

Kegiatan persiapan bahan makanan juga dilakukan di Instalasi Gizi RSUD Kabanjahe. Persiapan bahan makanan untuk makan pagi dilakukan pukul 08.30 WIB, tidak lama setelah bahan makanan diterima dan untuk persiapan makan malam oleh petugas yang shift sore dilakukan pukul 15.00 WIB. Sebelum melakukan kegiatan persiapan bahan makanan, instalasi gizi sudah memenuhi beberapa prasyarat persiapan bahan makanan (Tabel 4.18), diantaranya

tersedianya bahan makanan yang akan dipersiapkan, tersedianya tempat dan peralatan persiapan, standar porsi, jadwal persiapan dan jadwal pemasakan. Sementara untuk prosedur tetap persiapan, standar resep dan standar bumbu, pihak instalasi gizi belum mempunyainya dan hal ini tidak sejalan dengan Kemenkes (2013), dimana kegiatan persiapan perlu dilakukan sebelum makanan dimasak agar sesuai dengan menu, standar resep, standar porsi, standar bumbu dan jumlah pasien yang dilayani.

Berdasarkan hasil observasi langsung di Instalasi Gizi RSUD Kabanjahe, juru masak yang mempersiapkan bahan makanan sudah mempersiapkan bahan makanan sesuai dengan standar porsi. Misalnya, ketika melakukan pemotongan ikan atau daging sapi, juru masak sudah melakukannya sesuai dengan standar porsi rumah sakit. Akan tetapi, pemotongan sesuai standar porsi tidak dapat selalu dilakukan oleh juru masak karena ada kondisi dimana bahan makanan khususnya daging ayam sudah dipotong-potong ketika diterima dari pihak leveransi. Hal ini menyebabkan pemorsian belum dapat diterapkan secara optimal.

Selain pemotongan dan pemorsian bahan makanan, pihak instalasi gizi juga melakukan peracikan bumbu, dimana bumbu ditakar dan diperkirakan sendiri oleh juru masak sebab pihak instalasi gizi belum mempunyai standar bumbu yang harus diikuti sesuai dengan jenis masakan yang dimasak. Hal ini beresiko menyebabkan makanan yang diolah bisa saja terlalu pedas, terlalu asin atau terlalu berbumbu dan lainnya sehingga dapat merangsang saluran pencernaan. Menurut Almatsier (2006), makanan yang tidak dianjurkan untuk diet Makanan Biasa (MB) adalah makanan yang merangsang, seperti makanan yang berlemak tinggi,

terlalu manis, terlalu berbumbu, dan minuman yang mengandung alkohol. Oleh karena itu, pihak instalasi gizi perlu memperhatikan hal tersebut terutama jika ada pasien yang dilayani memiliki masalah dengan saluran pencernaannya. Tidak adanya standar bumbu dan standar resep yang menjadi pedoman dalam persiapan bahan makanan menyebabkan ketepatan dalam cita rasa tidak dapat dijamin sama untuk setiap pengolahan.

Berdasarkan hasil observasi langsung, ketika persiapan bahan makanan khususnya sayuran, juru masak melakukan pemotongan pada sayuran terlebih daluhu lalu dicuci dan sayuran tetap direndam dalam air. Hal ini mengakibatkan sebagian besar zat gizi dalam makanan akan hilang, terutama jika sayuran mengandung vitamin yang mudah larut dalam air. Seharusnya, juru masak perlu mengetahui dan memperhatikan cara persiapan yang baik sehingga dapat tetap menjaga kualitas, keamanan, dan kandungan gizi dalam bahan makanan tersebut.

Setelah melakukan kegiatan persiapan, bahan makanan akan dimasak sesuai dengan menu yang telah ada. Pemasakan bahan makanan merupakan suatu kegiatan mengubah bahan makanan mentah menjadi makanan yang siap dimakan, berkualitas, dan aman untuk dikonsumsi (Kemenkes, 2013). Sejalan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Makanan (2004), cara pengolahan makanan yang baik dan benar dapat menjaga mutu dan keamanan hasil olahan makanan. Sedangkan cara pengolahan yang salah dapat menyebabkan kandungan gizi dalam makanan hilang secara berlebihan dan berdampak pada proses penyembuhan pasien dan lama hari rawat pasien yang bertambah.

Kegiatan pengolahan di Instalasi Gizi RSUD Kabanjahe dilakukan oleh juru masak dengan pendidikan terakhir SD, SMP, SMA dan satu orang juru masak dengan pendidikan terakhir D3 Gizi. Pengolahan makanan pasien dilakukan dengan berpedoman pada menu standar yang telah disusun dan Formulir Orderan Makanan Pasien Ruangan yang diterima pihak instalasi gizi dari perawat ruangan. Dari formulir tersebut, pihak instalasi gizi mengetahui pasien yang memerlukan diet khusus dan pasien yang tidak memerlukan diet khusus.

Pengolahan makanan pasien yang memerlukan diet khusus maupun pasien yang tidak memerlukan diet khusus dilakukan oleh tenaga yang sama. Untuk pengolahan makanan pasien rawat inap yang memerlukan diet khusus akan diolah terlebih dahulu oleh juru masak, lalu dilakukan pengolahan makanan biasa sesuai dengan menu yang ditetapkan. Jika pasien hanya membutuhkan diet Makanan Lunak (ML) sesuai dengan jenis penyakitnya, pihak instalasi gizi tetap menggunakan menu yang sama dengan pasien rawat inap yang tidak mempunyai diet khusus (menerima Makanan Biasa), yang menjadi perbedaan hanyalah pengolahan pada nasi yang diganti menjadi bubur. Hal ini tidak sejalan dengan penuntut diet rumah sakit dalam Almatsier (2006), dimana diet Makanan Lunak (ML) adalah makanan yang memiliki tekstur yang mudah ditelan, dikunyah, dicerna dibandingkan dengan Makanan Biasa. Seharusnya pihak instalasi gizi tidak hanya mengolah nasi dalam bentuk yang lebih mudah dicerna, tapi lauk hewani dan lauk nabati juga harus diolah sedemikian rupa agar lebih mudah dicerna. Jika pada menu hari ini ada lauk ayam goreng atau rendang daging lembu, pihak instalasi gizi seharusnya mengganti menu daging menjadi ikan atau

teknik pengolahan daging diganti sehingga hasil olahan daging menjadi lebih mudah untuk dicerna.

Ketika proses pengolahan, pencampuran bahan-bahan makanan tidak memperhatikan tingkat kematangan masing-masing bahan makanan. Sering terjadi bahan makanan yang cepat matang dan bahan yang lebih lama matang dimasukkan secara bersamaan sehingga tingkat kematangan masing-masing tidak merata. Hal ini mengakibatkan sebagian bahan makanan yang tingkat kematangannya lebih cepat akan dimasak dalam waktu yang cukup lama sehingga makanan tersebut akan kehilangan sebagian besar zat gizinya dan akan mengurangi cita rasa makanan yang diolah.

Dalam kegiatan pengolahan bahan makanan, seharusnya dilakukan pengawasan oleh tenaga gizi, akan tetapi pada prakteknya di Instalasi Gizi RSUD Kabanjahe kegiatan persiapan dan pengolahan belum diawasi secara teratur. Pengawasan dilakukan tergantung pada kondisi tenaga gizi pada saat itu. Jika tenaga gizi memiliki pekerjaan lain atau sedang tidak berada di instalasi maupun berhalangan datang, maka pengawasan tidak akan berjalan.

Pengolahan beberapa makanan selingan tidak selalu dilakukan oleh pihak instalasi gizi sendiri. Jika makanan selingan berupa kue basah (bolu kukus, naga sari, agar-agar, kue lapis), pihak instalasi gizi akan langsung memesan dalam bentuk jadi dari pihak leveransi. Hal ini perlu menjadi perhatian karena makanan selingan tersebut tidak dapat dipastikan apakah pengolahannya memang sudah sesuai dengan syarat kebutuhan gizi, keamanan dan sanitasi makanan

Menurut Kepmenkes RI Nomor 1024 Tahun 2004 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit, kebersihan diri dan kesehatan penjamah makanan merupakan kunci dalam pengolahan makanan yang aman dan sehat. Oleh karena itu, pengolahan bahan makanan harus dilakukan oleh penjamah dengan sikap dan perilaku yang higiene. Dalam mengolah bahan makanan penjamah makanan di Instalasi Gizi RSUD Kabanjahe sudah rutin melakukan pemeriksaan kesehatan dua kali dalam setahun dan dinyatakan bebas dari penyakit menular.

Selain itu, penjamah makanan juga sudah menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) berupa celemek (apron), walaupun penggunaan APD masih belum lengkap dan rutin. Seharusnya dalam Prinsip-Prinsip Higiene Sanitasi Makanan Ditjen PPM dan PLP Depkes RI (2000) dinyatakan bahwa agar terhindar dan pencemaran, semua kegiatan pengolahan makanan harus dilakukan dengan cara terlindung dari kontak langsung dari tubuh, salah satunya dengan penggunaan APD seperti celemek (apron), penutup rambut (hair cover), sarung tangan plastik yang sekali pakai (dispossable), penutup hidung dan mulut (mounth and nose masker). Belum lengkapnya penggunaan APD disebabkan ketersediaan sebagian besar APD di instalasi gizi sudah tidak lengkap lagi, hanya tersedia celemek

(apron) dan masker. Sementara untuk penggunaan APD masker yang masih jarang karena tenaga penjamah merasa risih dan mengganggu aktivitas pengolahan makanan yang dilakukan.

Secara keseluruhan, pihak instalasi gizi belum memenuhi seluruh prasyarat pengolahan bahan makanan (persiapan dan pemasakan) yang ditentukan

dalam pedoman PGRS (Tabel 4.18 dan Tabel 4.19). Selain itu, sikap dan perilaku penjamah makanan juga masih ada yang belum memenuhi prinsip-prinsip higiene dan sanitasi makanan.

Dokumen terkait