• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS LINGKUNGAN STRATEGIS PT. ASELI DAGADU

4.2.2. Analisis Pesaing

Dalam catatan pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, pasar pendukung usaha pariwisata terus bertumbuh. Pertumbuhan sektor pendukung ini mencakup usaha oleh-oleh, kafe dan restauran, agen perjalanan, dan lain sebagainya. Hal ini bisa dilihat dari jumlah data pendukung wisata yang telah dilakukan penghitungan oleh Dinas Pariwisata.

84 Tabel 4.12. Jumlah Usaha Wisata dan Sarana Pendukung Pariwisata di Kota

Yogyakarta Tahun 2016

(Sumber : Dinas Pariwisata DIY, 2016)

Pesaing adalah mereka yang mengejar sasaran pasar yang sama. Perusahaan harus terus membandingkan produk, harga, distribusi, promosi dengan pesaingnya. Sebagai kota yang banyak dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun mancanegara, Yogyakarta memiliki banyak varian souvenir. Souvenir dan oleh-oleh yang diminati oleh-oleh wisatawan adalah berupa Kaos, Baju, Batik, Blangkon, Jarik, Daster, Tas, Jam, Dompet, Sepatu, Sandal, Alat Pijat, Ikat Pinggang, Perhiasan, Gelang, Kalung, Gantungan Kunci, Wayang, Lukisan, Pernak-pernik dan Seprai. Selain itu, permintaan lain wisatawan nusantara di objek wisata Kota Yogyakarta antara lain adalah permintaan khas yang dapat berupa aksesoris kerajinan perak, gudeg, bakpia dan cokelat monggo (Dinas Pariwisata, 2017).

85 Ada empat tingkat persaingan perusahaan dengan melihat hal-hal sebagai berikut. Persaingan brand adalah persaingan dengan perusahaan lain yang menawarkan produk atau jasa sejenis kepada pelanggan dan harga relatif sama. Persaingan industri adalah semua perusahaan yang membuat jenis produk yang sama. Persaingan bentuk adalah semua produk manufaktur perusahaan yang memberikan jasa yang sama. Persaingan umum adalah semua perusahaan yang bersaing untuk mendapat konsumen yang sama. Tanggapan narasumber tentang peta persaingan oleh-oleh di Yogyakarta :

Kesadaran kami dari awal bahwa apa yang kami lakukan ini adalah bukan yang secara teknologi sulit ditiru, secara modal sulit dijangkau. Ya memang faktanya banyak juga orang yang masuk ke pasar ini dengan berbagai cara ya, baik dia yang menemukan cara yang sama sekali baru, atau barangkali cara yang sudah pernah kita lakukan tapi sudah lama tidak kita lakukan. Agak sulit untuk mengatakan bahwa yang ada sekarang adalah cara yang sama sekali baru, ya waktu membuat-ya ini bukan untuk membanggakan diri- tapi waktu membuat Dagadu melakukan seribu satu cara untuk mengeksplorasi tentang tema-tema tentang Jogja. Ibaratnya dagadu sudah melakukan seribu satu cara, seribu satu pendekatan, jadi kalau ada orang baru yang masuk dengan 2-3 cara, ya itu sudah pernah kita lakukan. Itu yang mungkin saja, ketika kita tidak lagi melakukannya kemudian orang akan mengatakan bahwa: oh itu ada sesuatu baru yang dilakukan competitor itu, padahal itu sudah pernah Dagadu lakukan dan sekarang tidak dilakukan (Narasumber 1)

Dari pernyataan di atas, peneliti memaknai bahwa ada kesadaran narasumber bahwa barrier to entry untuk masuk dalam industri ini sangat mudah karena modal yang diperlukan kecil dan teknologi yang digunakan mudah diakses siapapun. Namun, urgency bahwa fakta persaingan semakin ketat tidak mendapatkan penekanan, dan bahwa kepercayaan diri tentang keunggulan pengalaman Dagadu Djokdja selama 23 tahun masih dijunjung. Narasumber yang lain menanggapi persaingan dengan :

86 Saya memang mengamati kompetitor. Saya merasa Dagadu belum punya kompetitor , karena sejak awal saya masuk di sini Top Management bilang nggak ada, itulah yang ditanamkan. Bicara tentang kompetitor Dagadu yang ditanamkan pasti bilangnya tidak ada, paling bakpia, batik, padahal di luar sana sejatinya banyak kayak Mbelinger (Narasumber 3).

Tanggapan narasumber 3 pada bagian awal adalah tanggapan yang umum yang biasanya ada di lingkungan internal PT. Aseli Dagadu Djokdja, bahwa brand tidak mempunyai pesaing dalam kelas yang sama seperti brand Dagadu. Penekanan dalam lingkungan kerja bahwa kompetitor Dagadu adalah bentuk souvenir lain seperti bakpia, batik, gudeg.

Tentang adanya kompetitor yang sudah mempunyai standard produk seperti brand Dagadu Djokdja, narasumber menanggapi dengan pendapat dari sisi desain maupun kualitas produk dan teknologi :

Kalau secara chance saya lihat ada pesaing yang bisa mengolah kedalaman desain seperti Dagadu, apalagi Jogja ini tempatnya orang kreatif, belajar musik, belajar seni, banyak orang bisa belajar macam-macam dan gratis. Apalagi dengan teknologi, ide-ide itu tidak terbendung, beda dengan tahun 90-an. Mungkin yang membedakan dagadu dengan kompetitor dan calon kompetitor adalah ide kreatif mereka belum sepanjang Dagadu yang sudah 24 tahun(Narasumber 7).

Kalau secara kualitas mungkin saya lihat ada perusahaan konveksi lain yang kualitasnya juga sama, tetapi secara brand masih Dagadu juaranya lah. Intshirt, OVJ, secara spec sama. Kalau teknologi kelihatannya sudah sama. Bahkan beberapa kompetitor kita permainannya lebih bervariasi gitu. Kalau kita permainannya kan maksimal paling cabut, kita plastisol saja sudah jarang. Kita permainannya rubber , cabut, rubber, cabut, itu sudah menguasai 80% permainan kita. Kalau competitor plastisol main, rubber main, floacking main (Narasumber 5).

87 Dapat dimaknai bahwa saat ini para pesaing pun terus membangun kualitas produk mereka baik dari segi bahan, maupun variasi teknik sablon. Ada indikasi bahkan para pesaing lebih maju dalam tehnik dan mengutamakan inovasi dibandingkan PT. Aseli Dagadu Djokdja.

Tentang market share pasar oleh-oleh di Yogyakarta, narasumber 2 memberikan pendapat :

Tapi kalau untuk turis sendiri sementara kita bisa berandai-andai gitu ya-kalau kita nggak punya data- kita berandai-andai kalau orang yang datang berapa sih, kira-kira spec targetnya dari oleh-oleh segini, coba kita cari tahu dari passenger exit spending masing-masing turis selama di Jogja berapa sih, berapa rupiah selama di Jogja, yang untuk kaos berapa banyak, kita bisa berandai-andai. Dan dari angka andai-andai itu sebetulnya posisi Dagadu itu sudah cukup lumayan. Artinya posisi kita kalau data yang 2014, itu kita sudah 20% dari total market oleh-oleh . Jadi dari jumlah orangyang sudah datang, dari yang datang itu berapa kalikan berapa kalikan berapa. Ya di kisaran itu kok kita sudah 20% (Narasumber 2).

Pendapat dari narasumber 2 ini dapat dimaknai bahwa brand Dagadu Djokdja telah menguasai 20% dari total belanja wisatawan nusantara ke Yogyakarta.

4.2.2.1 Persaingan Brand Kaos Khas Yogyakarta

Berkaitan dengan persaingan brand, yaitu pesaing yang menawarkan jenis produk yang sama yakni kaos oblong oleh-oleh khas Yogyakarta, maka ada beberapa brand yang memiliki karakteristik yang sama seperti Dagadu Djokdja. Brand-brand tersebut antara lain: Jogja Tshirt, Malioave, Garenk, Mbelinger

88 Jogja, Oblong Van Jogja, Capung, Sentra Kaos Rotowijayan, bahkan Hiruk Pikuk yang notabene second line dari Dagadu Djokdja.

Brand – Brand Kaos Khas Yogyakarta ini juga terbagi dalam segmentasi yang berbeda. Brand dengan segmentasi premium untuk kelas menengah atas adalah : Dagadu Djokdja, DGD, Hiruk Pikuk, Oblong Van Jogja, Malioave, Mbelinger Jogja. Brand –brand ini dapat diidentifikasi dengan penggunaan bahan yang sama dengan Dagadu Djokdja katun combed 30 s, bahkan sudah digunakan katun bambu. Kisaran harga di segmen premium mulai dari Rp 65.000,00 – Rp 150.000,00 per kaos. Sedangkan brand-brand yang menyasar segmen untuk kelas menengah ke bawah antara lain : Jogja Tshirt, Jogja Bolic, Gareng, Capung, Sentra Kaos Rotowijayan, Kaos di kawasan Malioboro, dan Kaos di Pasar Beringharjo. Untuk brand menengah ke bawah ini harga produk ada pada kisaran Rp 17.000,00 – Rp 60.000,00.

Berikut ini adalah beberapa pesaing brand Dagadu Djokdja yang datanya didapatkan peneliti dari dari observasi lapangan dan observasi dokumen.

4.2.2.2 Malioave

Brand Malioave didirikan oleh PT. Malioboro Avenue Indonesia, dengan membawa konsep redefining kaos oleh-oleh Jogja. Pembukaan toko Malioave dilakukan pada Mei 2017 dengan lokasi toko di Jalan Malioboro. Toko Malioave didesain dengan tampilan yang clean hal ini sesuai dengan target mereka yaitu pengunjung dari kelas menengah atas.

89 Target pasar brand Malioave adalah wisatawan nusantara sekaligus wisatawan mancanegara yang datang ke Yogyakarta. Varian produk yang ditawarkan brand ini antara lain kaos dan tas. Bahan baku kaos yang digunakan adalah katun combed 30s. Harga kaos mulai Rp 100.000,00 dengan desain produk yang simple modern dengan tetap memasukkan unsur dengan budaya Jawa.

Gambar. 4.6. Konsumen Malioave Wisatawan Nusantara dan Mancanegara (Sumber : Akun Instagram @malioave)

90 Gambar. 4.7. Suasana Toko Malioave yang Modern dan Clean

(Sumber : Akun Instagram @malioave)

Gambar. 4.8. Produk Malioave Kombinasikan Desain modern dan Bahasa Jawa (Sumber: Akun Instagram @malioave)

91

4.2.2.3 Mbelinger Jogja

Brand yang semula direncanakan dengan konsep distro Jawa ini, didirikan 25 September 2013. Selama empat tahun Mbelinger telah memiliki tiga brand : Mbejo (Mbelinger Jogja), Bijak Jawa, dan Jawa Mbeling. Lokasi penjualan brand ini di toko yang dimilikinya sendiri di Jalan Kebun Raya No. 43, Selatan Gembiraloka, Yogyakarta.

Materi desain brand Mbejo adalah plesetan kata-kata, brand Bijak Jawa bertuliskan ungkapan-ungkapan dalam bahasa Jawa, sedangkan untuk brand Jawa Mbeling pada ungkapan keseharian yang sering diucapkan masyarakat Jawa. Jika dilihat dari sisi harga, Mbelinger Jogja dijual dengan kisaran 80 ribu -110 ribu, Bijak Jawa dan Jawa Mbeling pada kisaran 140 ribu-170 ribu. Untuk bahan baku kaos Mbelinger variatif dari katun combed hingga katun bambu.

Gambar.4.9. Display Toko Mbelinger (Sumber : www.mbelinger.com)

92 Jika dilihat dari cara menata produk dan paduan warna interior, Mbelinger memiliki nuansa yang sama dengan cara display dan interior gerai Pos Layanan Dagadu sebelum rebranding.

Untuk desain-desain produk Mbelinger Jogja, narasumber memberikan pendapat :

Mbelinger yang sekarang kerjain lagi kaya Dagadu dulu yaitu plesetan, dan itu narik pasar. Ada juga nama Capung, main juga kayak gitu plesetan, koplak-koplakan. Coba kalau kita di intern main yang seperti itu lagi, pasti banyak yang tidak setuju. Saya sendiri sebetulnya kangen yang seperti itu. Tiap kali ditanya : memangnya pasarmu seperti itu? Saya jawab iya, tapi intern kita kayak nggak mau ngakuin gitu lo. Saya berpikir begini orang kita itu sekarang berbicara bahwa gaya becanda kita itu ke tingkat yang lebih tinggi, tapi menurut saya nggak tinggi-tinggi amat (Narasumber 3).

Dari pendapat ini dapat dimaknai bahwa ide – ide tentang humor plesetan masih dicari konsumen. Beberapa konsumen brand Dagadu Djokdja mengatakan bahwa kelucuan content Dagadu Djokdja tidak seperti dahulu, artinya humor yang diterjemahkan sekarang memiliki kadar humor yang berbeda dibanding dahulu. Tentang sense of humor ditanggapi dengan :

Bahwa content humor Dagadu Djokdja mulai bergeser, iya, karena tidak kita pungkiri bahwa SDM yaitu designer yang ada dalam tim sekarang sudah generasi baru semua. Hanya ada satu desainer yang menguasai hal ini karena dia sudah senior, namun tampaknya masih kesulitan dalam mentransferkan patron ini (Narasumber 7). Pendapat narasumber 7 menunjukkan bahwa ada kesulitan untuk menggali gaya humor 90-an dan mengajarkannya pada desainer-desainer baru. Bisa dipahami berbagai alasan bisa terjadi : karena konteks para desainer baru ini adalah generasi yang lahir setelah masa keemasan Dagadu, yang memaknai humor secara berbeda.

93 Padahal, banyak konsumen mengenal bahwa humor plesetan adalah ciri khas produk Dagadu Djokdja yang membuatnya dicari.

Sementara pendapat yang berlainan dikemukan narasumber 2 :

Karena kita repositioning, kemudian target marketnya agak shifting sedikit, walaupun masih dalam rentang usia yang sama gitu ya, tapi yang perlu kita ingat adalah gaya bahasa anak-anak sekarang itu berubah. Mereka mungkin tidak bisa dikasih plesetan-plesetan yang zaman dulu. Dan sebetulnya adalah suatu kebetulan bahwa Dagadu dianggap sebagai plesetan. Memang dulu itu ya mengeluarkan beberapa plesetan, maka okey Dagadu itu plesetan, apalagi di Jogja senangnya plesetan. Dagadu kemudian dianggap plesetan, padahal gaya bercandanya Dagadu itu beragam. Jadi sekarang kalau bermainnya lebih smart, lebih witty itu ya karena itu tuntutan. Dipersenjatai dengan desainer-desainer muda yang lebih paham (Narasumber 2).

Gambar 4.10. Produk Mbejo (Sumber : www.mbejo.com)

94

Gambar 4.11. Produk Bijak Jawa (Sumber : www.mbejo.com)

Gambar. 4.12. Produk Jawa Mbeling (Sumber : www.mbejo.com)

Untuk strategi marketing Mbelinger Jogja hingga saat ini memberikan fee hingga 30% untuk para perantara seperti Tour Leader, Crew Rombongan. Strategi

95 promosi dilakukan dengan memiliki titik balihonya sendiri yang strategis di dekat perempatan Jalan Wonosari –Ketandan, Yogyakarta.

4.2.2.4. Oblong Van Jogja (OVJ)

Oblong Van Jogja adalah salah satu produsen kaos oblong yang memiliki gerai di Jalan Malioboro No. 149, Yogyakarta. Letaknya yang strategis tepat di Jalan Malioboro, membuat brand ini juga mendapat kunjungan wisatawan yang berlalu-lalang di kawasan Malioboro.

Gambar 4.13. Gerai OVJ di Jalan Malioboro (Sumber : Akun Instagram @oblongvanjogja)

Tema-tema desain kaos mengolah pernak – pernik konsep Yogyakarta, sedangkan harga pada kisaran Rp 60.000.

96

4.2.2.5. Jogja Tshirt

Meskipun lokasi gerainya bukan di jalur utama wisata, namun Jogja Tshirt mampu menarik wisatawan berkunjung ke gerainya yang terletak di Jalan Jambon Dsn. Baturan RT. 01 RW. 19 Trihanggo, Sleman Yogyakarta. Salah satu strategi marketing brand ini adalah pada strategi relasi dengan para mitra tour leader dan bus. Harga yang ditawarkan sangat terjangkau untuk kalangan menengah bawah dengan diberikannya paket kaos dengan harga Rp 100.000,00 sudah mendapatkan 5 kaos oblong.

Gambar 4.14. Produk Jogja Tshirt (Sumber : Akun Instagram Jogja Tshirt)

Keunggulan lain dari Jogja Tshirt adalah proses produksi yang terbuka, sehingga konsumen bisa mengetahui bagaimana produksi oblong dilakukan, hal ini terutama memberikan pengalaman bagi konsumen tentang pengalaman melihat produksi kaos.

97

Dokumen terkait