• Tidak ada hasil yang ditemukan

NOMOR TANGGAL DESA KECAMATAN

1 SAWITA MERIAH

3.4 Analisis Teoritis

Kebijakan pengelolaan perkebunan sawit di kabupaten Aceh Singkil merujuk pada Qanun provinsi Aceh nomor 21 tahun 2002 tentang pengelolaan sumber daya alam dan Qanun nomor 19 tahun 2002 tentang tugas dan fungsi dinas perkebunan. Jika dikaitkan dengan tujuan kebijakan tersebut, artinya

111

kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah mampu memberikan solusi yang konkret atas aspirasi dan kebutuhan masyarakat secara adil dan merata. Hal itu sesuai dengan tujuan yang tercantum dalam pasal 3 Qanun provinsi Aceh nomor 21 tahun 2002 menyatakan pengelolaan sumber daya alam bertujuan menjaga kelestarian sumber daya alam dan keseimbangan lingkungan sehingga dapat mendukung upaya pembangunan yang berkelanjutan guna peningkatan kesejahteraan masyarakat. Artinya disini bahwa kebijakan pengelolaan sumber daya alam dikabupaten Aceh Singkil harus diorientasikan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat kabupaten Aceh Singkil.

Chandler dan Plano, mengatakan Kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas112. Akan tetapi jika dilihat kondisi pengelolaan perkebunan sawit di kabupaten Aceh Singkil masih jauh dari tujuan Qanun tersebut, hal itu dapat dilihat dari distribusi pengelolaan perkebunan sawit terhadap kesejahteraan sosial masyarakat masih sangat rendah. Kesejahteraan sosial dalam hal ini dapat dikatakan sebagai pemenuhan hak-hak masyarakat Aceh Singkil baik secara ekonomi, sosial, dan budaya.

112

Berbicara tentang kesejahteraan sosial, Friedlander mengatakan kesejahteraan sosial adalah sistem yang terorganisasi dari pelayanan-pelayanan sosial dan institusi-institusi yang dirancang untuk membantu individu-individu dan kelompok-kelompok guna mencapai standar hidup dan kesehatan yang memadai dan relasi-relasi personal dan sosial sehingga memungkinkan mereka dapat mengembangkan kemampuan dan kesejahteraan sepenuhnya selaras dengan kebutuhan-kebutuhan keluarga dan masyarakatnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan sosial dapat diartikan sebagai suatu kondisi di mana orang dapat memenuhi kebutuhannya dan dapat berelasi dengan lingkunganya secara baik. Akan tetapi faktanya penyelenggaraan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dalam kedua Qanun tersebut di Aceh Singkil masih jauh dari ekspektasi masyarakat. Hal itu dilihat dari tingkat pendapatan yang masih rendah, perumahan yang kurang memadai, minimnya fasilitas publik seperti kesehatan (hanya ada 1 rumah sakit untuk 114.518), pendidikan, dan juga tingkat kemiskinan yang masih tinggi, mencapai 21,72 % atau sekitar 24.840 orang dari 114.518 dengan indiktator garis kemiskinan Rp 351.409. kemudian tingkat pengangguran yang mencapai 7,03 % dari 64,07 % atau sekitar 3.148 dari 42.573 angkatan kerja ditahun 2015, naik dari tahun sebelumnya yang hanya 6,08 %. kondisi ini tidak sesuai dengan tujuan dari Qanun tersebut bahwa Pengelolaan sumber daya alam berasaskan kerakyatan, dimaksudkan agar setiap pengelolaan sumber daya alam harus memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada

semua rakyat sesuai dengan kemampuannya, sehingga dapat meningkatkan kemakmuran seluruh masyarakat.

Kemudian di dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam di Kabupaten Aceh Singkil juga diatur tentang bagaimana ke terkaitan pengelolaan sumber daya alam dengan pelestarian lingkungan, artinya lingkungan merupakan elemen yang harus dijaga dan diperhatikan dibalik eksplorasi untuk kepentingan manusia. Hubungan antara kebijakan dengan lingkungan sebagai objek dari eksplorasi kebijakan itu mempunyai peranan penting dalam hal penditribusiannya di masyarakat, artinya ketika terjadi eksplorasi terhadap sumber daya alam maka elemen masyarakat yang menjadi bagian didalamnya juga harus berpartisipasi dan mendapatkan hasil dari pengelolaan itu. Disamping juga setiap elemen menjaga kelestarian lingkungan tersebut.

Paterson mengatakan bahwa politik lingkungan adalah suatu pendekatan yang menggabungkan masalah lingkungan dengan politik ekonomi untuk mewakili suatu pergantian tensi yang dinamik antara lingkungan dan manusia, dan antara kelompok yang bermacam-macam di dalam masyarakat dalam skala dari individu lokal kepada transnasional secara keseluruhan.113 Dalam hal ini dapat kita lihat bahwa kebijakan pengelolaan perkebunan sawit di kabupaten Aceh Singkil juga merupakan kebijakan yang tidak terlepas dari proses-proses politik, yang didalamnya terdapat beberapa kepentingan politik, apakah itu untuk

113

Herman Hidayat. 2008. Politik Lingkungan: Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan Reformasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hlm.9.

segelintir orang atau untuk semua msayarakat. Disini dapat kita tarik benang merah dengan kondisi pengelolaan perkebunan sawit di kabupaten Aceh Singkil dimana pemanfaatan perkebunan sawit yang belum merata dan memiliki kesenjangan sosial dimasyarakat membuktikan bahwa kebijakan tersebut belum sepenuhnya dinikmati oleh sebagian masyarakat khususnya kalangan yang tidak memiliki lahan perkebunan sawit. Hal ini mengindikasikan bahwa implementasi kebijakan pengelolaan perkebunan sawit adalah untuk kepentingan segelintir orang.

Sesuai dengan data yang diperoleh dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh menyoroti kasus-kasus perambahan hutan untuk diubah menjadi perkebunan sawit yang terjadi, menyeruaknya kasus-kasus konflik agraria dan dampak yang tidak signifikan untuk pengentasan kemiskinan dari usaha perkebunan. Walhi mengambil contoh kawasan Kabupaten Aceh Singkil, kabupaten miskin yang terletak di sebelah selatan provinsi Aceh. “Belasan perusahaan perkebunan sawit telah beroperasi di Aceh Singkil, mereka mengelola puluhan ribu hektar lahan untuk ditanami sawit. Dari luas Aceh Singkil 1.857,88 km2, 36,65 persen luasnya telah menjadi lahan sawit. Di Aceh Singkil 51,14 persen (14.752 KK) dikategorikan miskin dalam kelompok keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera satu. Kondisi tersebut menjadikan Aceh Singkil salah satu kabupaten termiskin dan tertinggal di Indonesia114.

114

http://www.mongabay.co.id/2016/05/05/moratorium-dan-reviu-perizinan-perkebunan-sawit-di-aceh- seberapa-pentingnya/ diakses pada tanggal 22 Januari 2017 pada pukul 19.44 Wib

Marx dan Engels juga mengatakan “jika pencerahan kepentingan diri merupakan prinsip dari semua moralitas, maka kepentingan pribadi manusia harus diselaraskan dengan kepentingan umat manusia.Jika manusia dibentuk oleh lingkungannya, maka lingkungannya harus dibentuk lebih manusiawi”. Keberadaan perkebunan sawit di Aceh Singkil bukan hanya tidak berpengaruh terhadap peningkatan ekonomi tapi juga mengancam keberadaan hutan rawa gambut, termasuk Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Luas konsesi perkebunan sawit di Aceh Singkil berada di urutan keempat terluas di Aceh dan urutan kedua dari total produksi. Sedangkan perkebunan rakyat, terluas kedua dari luas area dan urutan pertama dari jumlah total produksi. Ini membuktikan meskipun perkebunan kelapa sawit cukup luas di Kabupaten Aceh Singkil, namun perekonomian masyarakat dan daerah tidak berpengaruh positif dari adanya perkebunan115.

Kemudian peran pemerintah dalam menjalankan fungsinya sangat diperlukan baik dalam memberikan sosialiasi, dan penyuluhan terhadap masyarakat dalam mengelola perkebunan sawit secara khusus. Hal ini bukan tanpa alasan, melihat kondisi kesejahteraan Aceh singkil yang masih rendah ditengah produksi dan keuntungan dari perkebunan sawit yang begitu besar. Kerap sekali terjadi ketimpangan dan ketidakadilan dalam pelaksanaan sebuah kebijakan karena pemerintah abai dalam melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap setiap persoalan-persoalan pengelolaan sumber daya alam khususnya perkebunan sawit, ditambah lagi pemerintah secara langsung lebih berpihak pada perusahaan

115 Ibid,

dibandingkan kepada masyarakat. Akibatnya ada kelompok besar dalam masyarakat kabupaten Aceh Singkil menjadi termarginalisasi ditengah eksploitasi besar-besaran dalam pengelolaan sumber daya alam. Sesuai dengan pendapat Vandana Silva mengatakan, akar krisis ekologi terletak pada kelalaian pihak penguasa dalam menyingkirkan hak-hak komunitas lokal untuk berpartisipasi secara aktif dalam kebijakan lingkungan

Menurut UUD 1945 pasal 33 ayat (1) bahwa kekayaan alam, tanah, air, udara, dan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan ditujukan untuk kemakmuran rakyat. Melihat kondisi penguasaan lahan yang sebagian besar didominasi oleh pihak swasta/perusahaan, terdapat lahan sebesar 47.801 Ha yang dikuasai oleh 12 Perusahaaan. Dibandingkan masyarakat yang hanya mengelola 30.100 Ha oleh 11.710 petani sawit atau rata-rata 2,57 Ha/petani. Dari kesenjangan lahan tersebut berdampak langsung pada pihak mana yang paling menikmati keuntungan dalam pengelolaan perkebunan sawit. Dari fenomena tersebut pemerintah harusnya menjadi stake holder yang paling utama dalam mengatur tentang akses penguasaan lahan perkebunan sawit agar dapat merata, berkeadilan, dan demokratis. Seperti kebijakan menurut Woll bahwa kebijakan publik adalah sejumlah aktifitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.116

116

Dengan begitu dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa implementasi pengelolan perkebunan sawit di kabupaten Aceh Singkil berdasarakan kebijakan dalam Qanun provinsi Aceh nomor 21 tahun 2002 dan Qanun kabupaten Aceh Singkil nomor 19 tahun 2002 masih belum mampu meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat secara merata, berkeadilan, dan demokratis.

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dari hasil uraian data beserta analisis tentang Implementasi kebijakan

pengelolaan perkebunan sawit di Kabupaten Aceh Singkil, maka dapat disimpulkan antara lain sebagai berikut :

1. Bahwa Pengelolaan sumber daya alam di kabupaten Aceh Singkil merujuk pada Qanun provinsi Aceh Nomor 21 Tahun 2002 tentang pengelolaan perkebunan yang didalamnya menjelaskan bahwa pengelolaan Sumber daya alam berdasarkan prinsip berdasarkan atas kemanfaatan, keadilan, keefisienan, kelestarian, kerakyatan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan. Pengelolaan Sumber Daya Alam bertujuan untuk menjamin kelestarian fungsi Sumber Daya Alam dan keseimbangan lingkungan sehingga dapat mendukung upaya pembangunan yang berkelanjutan guna peningkatan kesejahteraan Masyarakat. Akan tetapi isi dalam Qanun ini masih bersifat umum sehingga perlu dikaji lagi untuk melakukan penjabaran secara teroerinci. Kemudian dalam pelaksanaan Pengelolaan Sumber daya alam khususnya perkebunan sawit oleh pemerintah diatur berdasarkan Qanun kabupaten Aceh Singkil nomor 19 tahun 2002 tentang tugas dan fungsi Dinas Perkebunan yang didalamnya membahas secara

terperinci bagaimana kedudukan, tugas, fungsi, struktur organisasi, tata kerja,dan pembiayaan.

2. Bahwa Implementasi Kebijakan pengelolaan sumber daya alam perkebunan sawit berdasarkan Qanun Provinsi Aceh Nomor 21 Tahun 2002 tentang pengelolaan perkebunan dan Qanun Kabupaten Aceh Singkil Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Tugas dan Fungsi Dinas Pekebunan belum berjalan secara maksimal dan belum sesuai dengan tujuan kebijakan tersebut, hal itu dilihat dari kondisi pengelolaan perkebunan sawit dari akses penguasaan lahan yang masih timpang antara masyarakat dengan petani, minimnya pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap pengelolaan perkebunan sawit, kurangnya sosialisasi dan penyuluhan yang dilakukan oleh pemerintah guna meningkatkan produktivitas petani sawit, dan kurangnya saran dan prasarana yang menunjang peningkatan produksi perkebunan sawit oleh masyarakat. Sehingga dalam implementasinya kebijakan tersebut tidak didistribusikan secara merata, adil, dan berkelanjutan untuk semua elemen dalam masyarakat.

3. Bahwa Dampak pengelolaan perkebunan sawit terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat masih sangat rendah. Dengan produktivitas sawit yang terus meningkat akan tetapi tidak diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat sekitar. Hal tersebut dilihat dari tingkat kesejahteraan sosial masyakat yang masih rendah baik dari segi pendapatan, kemiskinan yang tinggi. Begitu juga dari aspek sosial

budaya dimana sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan yang masih rendah. Kemudian angka pengangguran yang tinggi, ditambah lagi kualitas perumahan masyarakat yang rendah.

4.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut diatas, maka harapan penulis baik yang bersifat akademis maupun substansi dari penelitian ini akan dituangkan dalam bentuk saran di bawah ini. Adapun beberapa saran tersebut antara lain :

1. Bahwa pelanggaran atau ketidaksesuaian dalam penyelenggaraan sebuah kebijakan tentu sangat ditentukan oleh perbedaan kepentingan yang melekat dalam sebuah kebijakan tersebut. Sehingga untuk mendapatkan kesimpulan yang bersifat komperhensif dalam membedah problema penyelenggaraan kebijakan pengelolaan sumber daya alam. Maka penting kiranya dilakukan penelitian lebih lanjut tentang analisis kebijakan itu sendiri baik secara latar belakang maupun tujuan kebijakan.

2. Persoalan yang muncul dalam implementasi pengelolaa sumber daya alam di kabupaten Aceh Singkil ,tentu harapan kedepannya harus menjadi bahan evaluasi atas pelaksanaan kebijakan tersebut terutama di pihak pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pelaksanaan dan pengawasan kebijakan. Sehingga penyelenggaraan kebijakan tersebut dapat ditertibkan kembali sesuai dengan apa yang

telah diatur guna mengembalikan tujuan dari kebijakan publik itu sendiri yaitu melayani kepentingan publik ke arah yang lebih baik.

BAB II

PROFIL KABUPATEN ACEH SINGKIL dan GAMBARAN KEBIJAKAN