• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Sektor

KABUPATEN ACEH SINGKIL

3.2 Implementasi Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Sektor

Perkebunan Sawit Terhadap Peningkatan Kesejahterahan Sosial

Masyarakat Di Kabupaten Aceh Singkil

Aceh singkil merupakan salah satu kabupaten penghasil komoditas sawit terbesar di Provinsi Aceh, hal ini dikarenakan luas areal lahan perkebunan sawit di Aceh Singkil sangat besar. Menurut data yang diperoleh dari dinas kabupaten Aceh Singkil pada tahun 2015 terdapat 77.902,02 ha (lihat tabel pada lampiran) yang terdiri dari 30.100,10 ha yang dikuasai 11.710 petani dan 47.801,92 ha yang dikuasai oleh 12 perusahaan atau pihak swasta dengan produktivitas mencapai 357.593 ton pada tahun 201596. Hal inilah yang menjadi potensi yang sangat besar untuk mengelola lahan perkebunan sawit secara maksimal. Dalam Qanun Provinsi Aceh pasal 2 dikatakan bahwa pengelolaan sumber daya alam berdasarkan atas kemanfaatan, keadilan, keefisienan, kelestarian, kerakyatan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan. Pengelolaan Sumber Daya Alam bertujuan untuk menjamin kelestarian fungsi Sumber Daya Alam dan keseimbangan lingkungan sehingga dapat mendukung upaya pembangunan yang berkelanjutan guna peningkatan kesejahteraan Masyarakat. Kemudian dalam Pasal 4 Sasaran pengelolaan Sumber Daya Alam diarahkan pada : tercapainya keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara manusia dan alam; terjaminnya fungsi sumber daya alam bagi kepentingan generasi sekarang dan generasi mendatang; terkendalinya pemanfaatan sumber daya alam dan terarahnya kebijakan dalam

96

pengelolaan sumber daya alam. Dari Qanun diatas dapat dikaji bahwa pengelolaan sumber daya alam dalam hal ini adalah perkebunan sawit di Aceh Singkil harus didasarkan pada prinsip keadilan, keterbukaan,kerakyatan, dan keterpaduan guna peningkatan kesejahterahan masyarakat.

Dari uraian yang dipaparkan diatas dapat dilihat keberpihakan pemerintah lebih dominan terhadap pihak swasta dibandingkan masyarakat, sehingga hal ini mengindikasikan adanya ketimpangan akses atas lahan perkebunan sawit kabupaten Aceh Singkil. Sementara dalam melakukan kerjasama pengelolaan lahan97 dengan pihak swasta wewenang pemerintah Aceh Singkil hanya berada pada luas areal 200 ha, sementara untuk luas areal 200 ha keatas merupakan wewenang pemerintah Provinsi Aceh. Sehingga terjadi tumpang tindih secara langsung tentang wewenang pengelolaan perkebunan sawit yang nantinya akan berdampak pada administrasi, pengawasan dan pendapatan daerah kabupaten Aceh Singkil terhadap pemerintah provinsi Aceh. Hal ini dibenarkan oleh sekretaris daerah Aceh Singkil Drs.Azmi yang menyatakan :

“Pengelolaan sumber daya alam perkebunan di Aceh Singkil merupakan

kewenangan pemerintah kabupaten Aceh Singkil dan Pemerintah Provinsi Aceh, dalam hal ini ketika melakukan kemitraan dengan pihak perusahaan dengan luas areal 200 ha kebawah adalah kewenangan pemerintah kabupaten Aceh Singkil, sementara luas areal diatas 200 ha adalah kewenangan pemerintahan Provinsi Aceh. Sehingga perlu dilakukan peninjauan kelapangan untuk memastikan tidak terjadinya tumpang tindih dengan masyarakat, memastikan kawasan dengan melihat peta wilayah kabupaten Aceh Singkil supaya nantinya tidak terjadinya masalah penguasaan lahan. Maka perlu memastikan perijinan dari dalam kabupaten sebelum mengirim perijinan diluar kabupaten. Perijinan yang tidak

97

mengalami masalah akan langsung diproses kemitraannya dengan pemerintah98.”

Dalam melakukan kerjasama dengan perusahaan terjadi permasalahan dalam melaksanakan amanah dari Qanun no.21 tahun 2002 tentang pengelolaan sumber daya alam. Hal ini dikarenakan Qanun tersebut tidak mencakup secara terperinci dan khusus tentang pengelolaan sumber daya alam khususnya perkebunan sawit, sehingga yang terjadi yaitu penguasaan lahan perkebunan sawit lebih didominasi oleh perusahaan swasta, sementara perkebunan milik pemerintah daerah tidak ada. Dampaknya pemerintah kesulitan untuk mengalokasikan keuntungan dari perkebunan sawit untuk masyarakat. Kemudian dalam lanjutan wawancara dengan sekretaris daerah kabupaten Aceh Singkil menyatakan.

“Seharusnya pemerintah provinsi Aceh harus memperhatikan tentang

pengelolaan perkebunan sawit dengan agenda yang berkelanjutan, dan mengeluarkan aturan yang lebih terperinci tentang pelaksanaan Qanun provinsi Aceh nomor 21 tahun 2000, supaya kedepannya pemerintah daerah mampu memiliki saham perkebunan sawit didaerah Aceh Singkil. Seyogyanya pemerintah harus mengambil tindakan ketika terjadi perpanjangan HGU perusahaan yang telah habis, dengan catatan pemerintah mendapat jatah pengelolaan sedikitnya 25-30 %. Sehingga ketika terjadi pengurusan ijin HGU dengan tahapan sebanyak 4 kali pemerintah daerah dapat memiliki saham sampai 100% atas perkebunan sawit. Dengan begitu pemerintah daerah akan lebih mudah mengalokasikan pendapatan dari perkebunan sawit untuk masyarakat99. Di sisi lain salah satu perusahaan di Aceh Singkil menganggap Qanun kabupaten Aceh Singkil nomor 19 tahun 2002 sudah baik dan upaya pemerintah kabupaten Aceh Singkil dalam melaksakannya sudah baik khususnya dalam hal kerjasama dengan perusahaan. Sementara bentuk kerja sama yang dilakukan oleh

98

Drs.Azmi, Op.Cit

99

pemerintah kabupaten Aceh dengan perusahaan untuk pengembangan dan pelestarian perkebunan meliputi perijinan, perpanjangan HGU, laporan kegiatan perusahaan, dan pembayaran pajak baik pajak perpanjangan HGU, Pajak Bumi Bangunan(PBB), redistribusi daerah maupun pajak kendaraan. Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Admintrasi (ADM) PT. Socfindo Cabang Aceh Singkil mengakatakan:

“Qanun kabupaten Aceh Singkil nomor 19 tahun 2002 sudah berjalan dengan baik dengan adanya dukungan yang dilakukan oleh pemerintah Aceh Singkil dalam pengembangan dan pelestarian kelapa sawit melalui pelayanan perijinan akses lahan, perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU), pembayarang pajak bumi bangunan, pajak kendaraan, redistribusi daerah. serta dukungan moril dalam pengembangan usaha perkebunan sawit di Aceh Singkil”100.

Jika dianalisis dari hasil wawancara diatas yang menjadi pendapatan utama bagi pemerintahan daerah dari perkebunan sawit berasal dari biaya admintrasi dan biaya pajak dari perusahan, Karena menurut Sekretaris daerah Aceh Singkil ,pemerintah daerah tidak terlibat langsung dengan pengelolaan sawit di Aceh Singkil karena lebih didominasi perusahaan dan sebagian lagi masyarakat. Sangat disayangkan dengan potensi perkebunan sawit yang begitu besar pemerintahah daerah hanya mendapatkan dana ditahun 2015 sebesar Rp 900.000.000,00 dari sektor perkebunan, padahal jika dibandingkan dengan pengelolaan sawit secara langsung (diluar dari biaya admintrasi dan pajak) oleh pemerintah maka nilainya pasti akan lebih besar lagi. Hal itu seharusnya menjadi

100

prioritas pemerintah dalam mengelola sumber daya alam karena pemerintah sebagai stake holder utama dalam penyelenggaraan kebijakan tersebut, sesuai dengan Qanun provinsi Aceh Pasal 6 ayat 1-4 dikatakan pemerintah mempunyai wewenang terhadap pengembangan, pengendalian, pendanaan, dan pelestarian sumber daya alam. Maka dalam hal ini pengelolaan perkebunan swasta oleh perusahaan dapat dibatasi atau pungutan daerah terhadap perusahaan dapat ditingkatkan guna meningkatkan pendapatan daerah juga.

Merujuk dari amanat dari Qanun kabupaten Aceh Singkil no.19 tahun 2002 tentang tugas dan fungsi dinas perkebunan dalam mengelola perkebunan didalamnya tercantum bahwa : Dinas perkebunan kabupaten mempunyai tugas pokok menyelenggarakan urusan rumah tangga daerah dalam bidang perkebunan yang menjadi tanggung jawabnya dan tugas pembantuan yang diberikan pemerintah atau pemerintah provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sementara fungsi dinas perkebunan Aceh Singkil pada pasal 4 ayat 1-7 dijelaskan:

a. Melakukan pembinaan berdasarkan kebijaksanaan yang di tetapkan bupati;

b. Melakukan bimbingan tehnis dibidang perkebunan;

c. Melaksanakan pengawasan dan pemberian dan pembinaan usaha perkebunan sesuai dengan pokok; menyelenggarakan pelaksanaan penyuluhan; melaksanakan pengkajian penerapan tekhnologi di tingkat usaha tani;

d. Melaksanakan urusan umum, perlengkapan kepegawaian, keuangan serta ketatausahaan dinas perkebunan;

e. Melakukan pengawasan dan bimbingan unit pelaksanaan teknis dinas dan cabang dinas di bidang perkebunan kabupaten.

Menurut pemerintah kabupaten Aceh Singkil melalui dinas perkebunan, bahwa pelaksaan tugas dan fungsi dinas perkebunan sudah berjalan dengan baik dan sudah merealisasikan amanat dari Qanun kabupaten Aceh Singkil nomor 19 tahun 2002. Pelaksanaan teknisnya juga sudah semakin membaik dengan menempatkan 1 pegawai dinas perkebunan per kecamatan. Hal ini dilakukan guna memberikan sosialisasi dan penyuluhan terkait pengelolaan perkebunan sawit terhadap masyarakat. Pengelolaan perkebunan sawit yang semakin membaik berdampak pada pengelolaan lahan yang semakin unggul dan berkualitas. Akan tetapi meskipun seperti itu ketersediaan sarana dan prasarana terhadap masyarakat masih belum maksimal dibandingkan perusahaan yang lebih jauh kualitasnya. Seperti dikutip dari hasil wawancara dengan kepala dinas perkebunan kabupaten Aceh Singkil menyatakan:

“Pengolahan perkebunan sawit sudah semakin membaik, artinya

masyarakat sudah lebih baik dalam hal penanaman, kualitasnya juga sudah unggul. Dulunya masyarakat masih belum efektif dalam mengelola perkebunan sawit, ketika ada lahan asal tanam sehingga hasilnyapun tidak memuaskan dikemudian harinya. Ini berimbas pada pendapatan masyarakat yang tidak meningkat secara signifikan”101.

Dari hasil wawancara diatas dapat kita kaji bahwasanya peran dari dinas perkebunan sendiri dibutuhkan untuk memberikan sosialisasi dan penyuluhan

101

begitu juga penyediaan saran dan prasarana untuk meningkatkan produksi dari perkebunan yang diolah masyarakat. Karena dengan prinsip keadilan, kesejahateraan, keterbukaan, kemanfaatan dan kerakyatan yang terdapat pada Qanun provinsi Aceh nomor 21 tahun 2002, pemerintah harus terlibat andil dalam membantu masyarakat dalam mengolah perkebunan sawit dengan baik, sehingga kesenjangan antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat tidak timpang.

Untuk melihat tingkat keberhasilan pemerintah kabupaten Aceh Singkil dalam melaksanan Qanun Provinsi Aceh Nomor 21 tahun 2002 tentang pengolahan sumber daya alam dan Qanun Nomor 19 tahun 2002 tentang tugas dan fungsi dinas perkebunan maka perlu dikaji tanggapan masyarakat yang merupakan sasaran dari kebijakan tersebut. Dalam hal ini masyarakat bisa membuktikan secara objektif tentang penyelenggaraan kedua Qanun diatas. Jika diasumsikan kondisi lahan perkebunan sawit baik dalam penguasaan lahan, pengolahan, dan juga produktivitas masih terjadi persoalan seperti ketimpangan antara masyarakat dan perusahaan perkebunan sawit. Kemudian dalam pelaksanaannya dilapangan masih belum merata masih ada kecamatan dan desa yang juga belum tersentuh dalam hal sosialisasi tentang pengolahan lahan yang baik dari dinas perkebunan. Seperti dikutip dari wawancara dengan kepala desa Blok 7 Sutardi menyatakan :

“pengelolaaan perkebunan sawit masih tergolong biasa saja, karena dalam mengolah perkebunan sawit tergantung pada modal yang dimiliki, kalo enggak ada modal apa yang mau dimasukan contohnya memupuk. Yang bagi mereka yang punya modal la yang bisa maju. Kalo peran pemerintah dalam memberikan bantuan dan sosialisasi tidak ada. Paling kami satu desa lah melakukan rapat tentang apa aspirasi masyasrakat desa. Kalau dari pemerintahan daerah tidak ada turun kesini, bantuan pun tidak ada.

Kalau meminta bantuan ke dinas perkebunan seperti bibit, egrek,dll harus membuat proposal secara individu. Pengelolaan perkebunan sawit yang dilakukan oleh pemerintah yang untuk kepentingan sendiri jarang untuk kepentingan masyarakat desa ini”.102

Kemudian persoalan lain yang muncul dalam pengelolaan perkebunan sawit masyarakat selain ketimpangan adalah tidak ada agenda yang berkelanjutan dari pemerintah dalam memberikan penyuluhan terhadap masyarakat. Ketika bantuan sudah diberikan dalam bentuk bibit sawit, akan tetapi tidak ada kelanjutannya seperti bagaimana penanaman, perawatan, sehingga masyarakat tidak bisa sepenuhnya mengaplikasikannya. Hal tersebut senada dengan pendapat dari kepala desa kampung baru kecamatan Singkil Utara menyatakan:

“Terkait peran pemerintah dalam pengembangan perkebunan sawit masyarakat dengan dengan bantuan-bantuan berupa bibit dan paket pestisida. Dan itupun jarang didapatkan. Paling peran saya sebagai kepala desa adalah menyampaikan aspirasi untuk disampaikan kepada pemerintah daerah salah satunya membuat proposal meminta bantuan. Proposal yang diajukan kadang tembus kadang tidak, tetapi banyakan yang tidak

tembusnya”103 .

Kemudian dalam melaksanakan kegiatan kegiatan untuk pengembangan dan pelestarian perkebunan sawit, pemerintah daerah Kabupaten Aceh Singkil mencatat ada sekitar 609 ha lahan yang menjadi sasaran alokasi kegiatan dinas perkebunan pada tahun 2015104 dimana sumber dana dari kegiatan tersebut berasal dari Anggaran pendapatan dan belanja provinsi Aceh sebanyak 8 kecamatan yaitu Singkil, Singkil Utara, Pulau Banyak Barat, Gunung Meriah, Simoang Kanan,

102

Hasil wawancara dengan kepala desa blok 7 Kecamatan Simpang Kanan kabupaten Aceh Singkil Sutardi Pada tanggal 5-01-2017 di Kantor kepala desa pada pukul 19.30 Wib

103

Hasil wawancara dengan kepala desa kampung baru kecamatan singkil utara Arwis Pada tanggal 6-01- 2017 di Kantor kepala desa pada pukul 20.00 Wib

104

Suro, Singkohor, Kuta Baharu pihak perusahaan, antara lain Dana bagi Hasil (DBH) Migas sebanyak 6 kecamatan, anggaran pendapatan belanja negara (APBN) sebanyak 4 kecamatan dan Anggaran pendapatan dan Belanja Kabupaten sebanyak 1 kecamatan. Dari data diatas dapat kita kaji bahwasanya dana dalam pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh dinas kehutanan dominan bersumber dari Provinsi Aceh dan DBH migas. Sementara pendanaan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten sangat minim yaitu hanya di satu kecamatan Danau Paris. Fenomena tersebut dapat dikaitkan dengan pendapatan daerah yang sangat rendah dari perkebunan sawit.

Selain itu dalam pengelolaan perkebunan sawit pemerintah kabupaten Aceh Singkil juga terdapat koperasi yang menjadi usaha bersama masyarakat di perkebunan sawit. Hal ini didasarkan oleh Qanun kabupaten Aceh Singkil nomor 19 tahun 2002 pasal 4 ayat (3) tentang pembinaan dan pengembangan usaha perkebunan. Terdapat 20 Koperasi yang ada di kabupaten Aceh Singkil yang berdiri dari tahun 1998-2010 yang tersebar di 8 kecamatan dan 8 desa. Sementara terdapat 11 kecamatan dan 120 desa di kabupaten Aceh Singkil. Persebaran koperasi yang menjadi sarana dan prasarana yang mampu mendorong usaha komoditas masyarakat juga masih belum terjangkau secara menyeluruh bahkan dapat dikatakan sangat minim.

Tabel 3.1

Data Koperasi Perkebunan/Kopbun Kabupaten Aceh Singkil, Posisi

Juni 2016 No NAMA KOPERASI JENIS USAHA/ KOMODITI

BADAN HUKUM ALAMAT