• Tidak ada hasil yang ditemukan

NOMOR TANGGAL DESA KECAMATAN

1 SAWITA MERIAH

3.3 Dampak Pengelolaan Perkebunan Sawit Terhadap Peningkatan

3.3.2 Aspek Sosial Budaya

Dari aspek sosial, juga dipengaruhi oleh aspek ekonomi seperti yang telah dipaparkan diatas. Dalam aspek sosial akan dikaji tentang tingkat kesejahteraan melalui indikator kemiskinan, tenaga kerja, kesehatan, pendidikan. Dengan adanya pengelolaan perkebunan sawit yang merupakan pendapatan terbesar dari pertumbuhan ekonomi kabupaten Aceh Singkil, dapat dinilai kontribusinya terhadap kesejahteraan sosial masyarakat dibidang sosial budaya.

Dilihat dari tingkat angkatan kerja di Aceh Singkil melalui data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistika (BPS) mencatat ada 19.107 tenaga kerja 15 tahun keatas yang bekerja di sektor pertanian dan perkebunan, dari 42.573

108

Hasil Wawancara dengan Hadi Sukoco selaku Humas/CDO PT.Lembah Bhakti pada tanggal 4-01-2017 pukul 10.00 Wib

angkatan kerja di kabupaten Aceh Singkil. Sementara tingkat pengangguran mencapai 3.184 orang. Ditahun 2015 tingkat pengangguran terbuka meningkat dibandingkan tahun sebelumnya menjadi 7,03% dari 6,08 % ditahun 2014. Ini membuktikan bahwa penyerapan tenaga kerja yang besar di sektor pertanian dan perkebunan.

Tabel 3.3

Ketenagakerjaan menurut Lapangan Usaha Kabupaten Aceh Singkil

Akan tetapi dengan jumlah penyerapan tenaga kerja yang besar di sektor pekebunan dan pertanian harusnya memberikan dampak terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat baik dari segi pendapatan dan pemenuhan kebutuhan sosial lainnya. Namun fenomenanya berbanding terbalik dengan tingkat kemiskinan masyarakat di kabupaten Aceh Singkil yang terus mengalami fluktuasi atau kenaikan dari tahun 2011-2015 yang mencapai 21,72 % atau sekitar

24.840 jiwa dari 114.518 jiwa penduduk Aceh Singki, dengan indikator kemiskinan sebesar Rp 351.409 .

`Perkembangan lahan perkebunan yang semakin besar dan jumlah produksi sawit yang besar ternyata belum belum sepenuhnya mampu mendorong masyarakat untuk keluar dari garis kemiskinan. Ditambah lagi dengan posisi strategis dari perkebunan sawit seharusnya mampu dijadikan penopang bagi pemenuhan sosial masyarakat, karrena hal inilah yang menjadi tujuan dari Qanun Aceh nomor 21 tahun 2002, dan peran inilah yang harusnya dijalankan oleh pemerintah daerah berdasarkan Qanun nomor 19 tahun 2002.

Tabel 3.4

Persentase Penduduk Miskin Berdasarkan Garis Kemiskinan Kabupaten Aceh Singkil

Melihat data kemiskinan diatas , dalam uraian ini juga dijabarkan tentang tingkat kesejahteraan sosial berdasarkan klasifikasi keluarga per kecamatan di Aceh Singkil, hal ini dilakukan guna melihat tingkat kesejahteraan masyarakat berdasarkan penadapatan, taraf dan pola konsumsi, kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan.

Tabel 3.5

Klasifikasi Tingkat Kesejahteraan per-keluarga Tiap Kecamatan di Kabupaten Aceh Singkil

Dari data diatas dilihat dari 24.498 keluarga terdapat keluarga pra sejaterah dan keluarga sejaterah I masih memiliki angka yang sangat tinggi mencapai 12.712 keluarga disusul keluarga sejahterah II sebanyak 8.424 dan keluarga sejahterah 3 sebanyak 2911, sementara keluarga sejahterah III+ yang paling sedikit yaitu 450 orang. Jadi jika dianalisis bahwa tingkat kesejahteraan sosial masyarakat masih mengalami kesenjangan antara keluarga pra sejahterah dengan keluarga sejahterah III dan III+. Ini membuktikan dampak dalam aspek kesejahteraan sosial dari pengelolaan perkebunan sawit masih belum sepenuhnya merata, dan masih memiliki tingkat kesenjangan yang tinggi. Senada dengan pendapat dari tokoh masyarakat di bidang pendidikan Bahtiar Hasugian, S.ag , MM menyatakan:

“ Pengelolaan perkebunan sawit di Aceh Singkil saat ini belum mampu

memberikan pemerataan kesejahteraan sosial bagi masyarakat, karena pemerintah belum sepenuhnya mampu mengalokasikan dana hasil perkebunan sawit yang masuk dalam APBK kepada masyarakat. Ditambah lagi dalam pengelolaan perkebunan masyarakat masih jauh tertinggal dibandingka perusahaan, sehinga pendapatan masyarakat juga masih belum bisa meningkat secara signifikan. Parahnya bagi yang tidak memiliki lahan perkebunan sawit, tidak diarahkan oleh pemerintah untuk diberdayakan, contohnya dana CSR perusahaan selama ini tidak pernah jelas kemana alokasinya dan apa kegiatan yang dilakukan. Begitu juga dengan upaya peningkatan kesejahteraan dalam bentuk bantuan kepada masyarakat miskin. Kita lihat saja banyak sekali rumah tidak layak huni, tingkat kesehatan masyarakat masih rendah, begitu juga dengan tingkat pendidikannya. Makanya tenaga kerja dengan pendidikan yang sangat rendah masih sangat banyak di Aceh Singkil. Sehingga ketika kualitasnya rendah maka upahnya juga akan rendah, seharusnya ini bisa menjadi agenda yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah”109.

109

Kemudian tentang akses terhadap sarana dan prasaranan publik yang berkenaan langsung dengan kesejahteraan seperti pendidikan, kesehatan, perumahan , taraf pola konsumsi. Di aspek pendidikan, menurut data badan survey ekonomi nasional bahwa usia 15 tahun keatas yang belum atau tidak tamat Sekolah Dasar (SD) mencapai 20,97 %, tamat SD mencapai 25,36%, tamat SMP 23,72%, tamat SMA 21,19 %, tamat perguran tinggi hanya 8,67 %. Kemudian jumlah sekolah di Aceh Singkil yaitu PAUD negri/swasta 115, SD negri/swasta sebanyak 105, SMP negri/swasta 36, SMA negri/Swasta 12, SMK sebanyaak negri/swasta 6. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk hanya ada 274 sekolah mulai dari PAUD-Setingkat SMA untuk 114.518 jiwa di Aceh Singkil. Melihat kondisi sarana dan prasarana pendidikan yang minim membuktikan implementasi pengelolaan perkebunan sawit untuk kesejahteraan dibidang pendidikan sangat minim.

Begitu juga dibidang kesehatan yang sangat minim pada tahun 2015 terdapat sebanyak 11 unit puskesmas yang tersebar diseluruh kecamatan, dalam artian 1 puskesmas untuk 1 kecamatan, terdapat 1 rumah sakit yang berlokasi di Kecamatan Gunung Meriah. Untuk tenaga kesehatan hanya sekitar 55 orang dokter yang terdiri dari 51 dokter umum dan 4 dokter gigi, sementara tidak ada dokter spesialis. Selain pendidikan dan kesehatan, kualitas rumah masyarakat juga sebagian besar masih dibawah standar rumah sehat. Menurut standard World Health Organisation (WHO) standard rumah sehat adalah yang memilki luas lantai minimal 10 meter persegi perkapita. Jika satu rumah tangga memiliki 4-5

anggota keluarga maka luas rumah minimal 40-50 meter persegi. Hasil sensus yang dilakukan oleh badan sensus nasional menunjukan bahwa di kabupaten Aceh Singkil 50 meter persegi adalah sebanyak 48,59 meter persegi. 20-49 meter persegi adalah sebanyak 50,98 meter persegi, dan kurang dari 20 meter persegi sebanyak 0,43 %. Kemudian rumah tangga yang menempati milik sendiri 80,68 % berarti masih ada sekitar 19,32 % yang tidak milik sendiri atau menyewa.

Dari data diatas dilihat bahwa implementasi dari kebijakan pengelolaan perkebunan sawit terhadap peningkatan kesejahteraan sangat minim, senada dengan hasil wawancara dengan salah satu kepala desa di Kabupaten Aceh Singkil, mengatakan:

“Implementasi Qanun Aceh tentang pengeloaan sumber daya alam

terhadap kesejahteraan sangat minim dilihat dari segi pembangunan sarana dan prasarana dan fasiltas umum. Dengan minimnya hak tersebut maka masyarakat terbatas untuk mengaksesnya, sehingga kesejahteraan masyarakat rendah. Sementara untuk implementasi Qanun kabupaten Aceh Singkil tidak berjalan didesa Singkohor, pemerintah tidak ada memberikan bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat untuk merawat dan meningkatkan kualitas produksi sawit. Malah sebaliknya yang sering melakukan penyuluhan kelapangan adalah pihak perusahaan, karena perusahaan juga ingin sawit yang juga di jual kepada mereka memilki kualitas yang baik yaitu mengandung minyak yang tinggi".110.

Selain pandangan dari pemerintah desa yang menyatakan bahwa dampak pengelolaan sawit dari aspek ekonomi sangat minim, hal itu juga dipaparkan oleh tokoh masyarakat Dulmusrid, menyatakan :

“Dampak pengelolaan perkebunan sawit terhadap masyarakat dalam bentuk infrastruktur masih sangat kurang diperhatikan pemerintah, seperti

110

Hasil Wawancara dengan kepala desa Singkohor kecamatan Singkohor Tata Angkat pada tanggal 4-01- 2017 pada pukul 20.00 Wib

di Desa saya blok 7 masih sangat minim, bahkan tidak tersentuh oleh pembangunan. Sedangkan untuk fungsi dan tugas pemerintah melalui dinas perkebun pernah dilakukan melalui pemberian bibit, egrek, pestisida palawija sementara sosialisasi dan penyuluhan jarang dilakukan, dan jika pun ada agenda nya tidak merata”.111

Dari pemaparan diatas dapat kita rangkum bahwasanya implementasi pengelolaan perkebunan sawit terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat masih rendah, hal ini dilihat dari pendapatan masyarakat yang tidak sesuai dengan pendapatan daerah yang besar dari perkebunan sawit, kemudia dalam aspek kesejahteraan sosial , fasilitas kesehatan, pendidikan masih sangat minim, ditambah lagi dampak dari produski perkebunan sawit belum sepenuhnya dapat dinikmati masyarakat secara merata, tingkat kesenjangan kesejahteraan sosial masyarakat tergantung dari yang memiliki lahan perkebunan sawit. Sementara tugas dan fungsi pemerintah daerah melalui dinas kehutanan dan perkebunan juga belum maksimal dalam menanggulangi persoalan-persoalan terhadap implementasi kebijakan tersebut. Hal tersebut terjadi akibat minimnya pemerintah dalam menjalankan tugas dan fungsinya baik dalam hal pemberian ijin lahan/HGU, sosialisasi, penyuluhan, dan pengawasan.