• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.4. Prospek dan Permasalahan Perkebunan Kakao

2.4.2. Ancaman Hama PBK dan Upaya Pengendaliannya

Sebagaimana telah diuraikan bahwa serangan hama PBK menghantui perkebunan kakao di Indonesia sejak awal pengembangannya. Menurut Roesmanto (1991), hama PBK teridentifikasi menyerang dan menghancurkan perkebunan kakao rakyat di daerah Minahasa pada tahun 1845 dan perkebunan kakao di sepanjang pantai Utara Jawa Tengah hingga Malang, Kediri dan Jember pada tahun 1886. Lebih lanjut menurut Wiryadiputra (1993), kasus serupa kembali terulang di kebun Pasir Muncang, Jawa Barat pada tahun 1966 dan di kebun Marijke, Sumatera Utara pada tahun 1978.

Meskipun hama PBK terus mengancam, tetapi tidak membuat jera petani. Perbaikan harga kakao dunia tahun 1977 hingga tahun 1985, telah mendorong petani untuk menanam kakao secara besar-besaran, khususnya petani di Sulawesi. Namun, hama PBK kembali muncul sejak awal tahun 1990-an dan menyebar dengan cepat, sehingga pada saat ini hampir seluruh perkebunan kakao Indonesia terserang hama tersebut.

Menurut Sulistyowati dan Prawoto (1993), sebenarnya penyebaran hama PBK lebih banyak terjadi secara pasif melalui benih kakao dalam bentuk buah, bahan tanam, kendaraan dan manusia yang berpindah dari daerah serangan hama PBK ke daerah yang belum terserang. Hama PBK yang menyerang perkebunan kakao di Sulawesi Tangah diduga berasal dari Tawao (Malaysia) yang masuk terbawa kapal yang intensif membawa hasil bumi antar pelabuhan kecil di Sulawesi Tengah dan Tawao. Hama PBK dilaporkan mulai menyerang perkebunan kakao di Kabupaten Buol Tolitoli tahun 1991 dan menyebar dengan cepat ke arah selatan. Hal ini terjadi karena pertanaman kakao di Sulawesi sudah hampir sambung menyambung membentu semacam cocoa belt.

Menurut Wiryadiputra (1993), hama PBK ini termasuk ngengat yang memiliki ukuran paling kecil diantara anggota ordo Lepidoptera. Serangga dewasa betina meletakkan telur pada permukaan buah kakao berukuran panjang lebih dari 5 cm. Setelah berumur 2-7 hari, telur menetas dan larvanya yang berwarna kuning

kemerahan transparan langsung menggerek kulit telur yang berbatasan dengan kulit buah kakao, selanjutnya menggerek kedalam buah. Larva menggerek dan makan permukaan dalam kulit buah, daging buah dan plasenta, bahkan sampai kotiledon, sehingga menimbulkan kerusakan pada biji kakao. Stadium larva berkisar antara 14- 18 hari.

Menjelang menjadi kepompong, larva membuat lubang pada kulit buah untuk jalan keluar dan setelah berada diluar larva akan merayap atau menjatuhkan diri dengan pertolongan benang sutera dan mencari tempat berlindung. Selanjutnya larva memintal benang sutera membentuk kokon guna melindungi diri saat menjadi pupa. Stadium pupa berlangsung 6-8 hari. Kemudian pupa menjadi imago (ngengat) dengan masa hidup kurang lebih 7 hari. Imago aktif dimalam hari dan seekor ngengat betina dapat bertelur 100-200 butir (Wiryadiputra, 1993 dan Wood, 1987).

Berdasarkan uraian tersebut tampak bahwa hama PBK selama masa hidupnya berada pada tempat-tempat yang terlindung. Hama PBK berada pada tempat terbuka hanya pada stadium telur, pada saat mau menjadi pupa dan pada saat menjadi ngengat. Menurut Day et al. (1994), hama PBK pada stadium telur berada dipermukaan buah kakao muda selama 2-4 hari. Kemudian setelah menjadi larva, hama PBK akan masuk dalam buah kakao selama 12-24 hari. Selanjutnya menjelang menjadi pupa, larva hama PBK keluar dari buah kakao untuk mencari tempat yang aman selama menjalani stadium pupa. Larva hama PBK berada diluar buah kakao untuk mencari tempat yang aman tersebut kurang dari satu hari. Setelah memperoleh tempat yang aman, larva hama PBK segera membentuk kokon sebagai tempat perlindungannya selama menjalani stadium pupa salama 6-9 hari. Selanjutnya, memasuki stadium dewasa (menjadi ngengat), hama PBK keluar dari kokon dan beraktivitas di malam hari. Masa hidupnya pada stadium dewasa ini kira-kira 7 hari.

Dengan siklus dan pola hidup yang unik tersebut, hama PBK sangat sulit dikendalikan karena sulit terjangkau oleh pestisida maupun musuh alami. Menurut Depparaba (2002), berdasarkan rangkuman dari berbagai pendapat para ahli menyimpulkan bahwa hama PBK mempunyai kemampuan berkembang biak dengan pesat dan menyebar dengan cepat baik secara aktif maupun secara pasif terbawa oleh

51

aliran barang atau kendaraan, sehingga dalam waktu singkat hama PBK dapat menjadi wabah di suatu daerah. Sebagai gambaran satu ekor ngengat betina yang telah dibuahi dalam waktu empat bulan (empat generasi) dapat menurunkan sebanyak 20.000 ekor PBK pada generasi keempat. Lebih lanjut menurut Toana (1997), hama PBK (C. cramerella) dapat berkembang biak sebanyak 12 sampai 13 generasi dalam setahun.

Kecepatan berkembang biak hama PBK sangat ditunjang oleh kondisi tanaman kakao yang berbuah sepanjang tahun, sehingga tersedia makanan yang berlimpah bagi hama PBK sepanjang tahun. Akibatnya siklus hidup hama PBK sangat sulit untuk diputuskan dan selalu merugian petani sepanjang tahun. Kondisi tersebut menyebabkan sebagian petani kakao mulai enggan mengelola kebun kakaonya. Beberapa kasus, serangan hama PBK yang cukup berat menyebabkan perkebunan kakao tidak terawat dan mengalami kerusakan. Pada areal perkebunan kakao yang rusak akan terjadi peningkatan erosi tanah yang dapat menyebabkan makin meluasnya lahan kritis di Sulawesi Selatan.

Kehancuran perkebunan kakao akibat mengganasnya serangan hama PBK sudah dialami oleh Malaysia. Malaysia sebelum tahun 1992 merupakan produsen kakao terbesar keempat setelah Pantai Gading, Brazil, dan Ghana dengan total produksi tertinggi sebesar 243 ribu ton pada tahun 1989/90. Namun setelah mendapat serangan hama PBK sejak tahun 1980 dan makin mengganas sejak tahun 1995 menyebabkan produksi kakao Malaysia terus menurun hingga tinggal 25 ribu ton pada tahun 2001/02 (International Cocoa Organization, 2003). Perkebunan kakao Malaysia banyak yang rusak dan diganti dengan tanaman lain. Penggantian tanaman terpaksa dilakukan karena petani tidak mampu lagi mengendalikan serangan hama PBK dan biaya pengendaliannya semakin mahal.

Belajar dari pengalaman di berbagai daerah di Indonesia pada masa lalu dan pengalaman Malaysia beberapa tahun terakhir, maka diperlukan kerja keras untuk menyelamatkan perkebunan kakao Sulawesi Selatan dari kehancuran. Sebenarnya teknologi untuk pengendalian hama PBK hasil penelitian telah tersedia yaitu dengan perbaikan sistem budidaya melalui penerapan teknologi Panen sering, Pemangkasan,

Sanitasi dan Pemupukan berimbang yang dikenal dengan istilah PsPSP. Panen sering dimaksudkan agar hama PBK yang ada di dalam buah ikut terpanen sehingga dapat dimusnakan. Sementara itu, pemangkasan tanaman bertujuan untuk menciptakan lingkungan perkebunan kakao menjadi tidak disenangi oleh hama PBK. Sedangkan sanitasi bertujuan untuk membersihkan tempat berlindung hama PBK saat menjadi kepompong dan kegiatan pemupukan bertujuan untuk meningkatkan jumlah buah yang dihasilkan dengan harapan masih banyak buah yang selamat dari serangan hama PBK, sehingga produktivitas kebun cukup tinggi.

Menurut Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan (2000), pengendalian hama PBK dengan penerapan pengendalian hama terpadu (PHT) yang kegiatannya meliputi: panen sering, pemangkasan, sanitasi, pemupukan dan konservasi musuh alami, berhasil menekan serangan hama PBK dari 59,67% menjadi 31,5% dan menekan kehilangan produksi dari 17,7% menjadi 2,8%. Sedangkan di petak non- PHT, serangan hama PBK meningkat menjadi 79,5% dengan kehilangan hasil 24,98%. Penelitian Iswanto dan Purwantara (2005), menunjukkan bahwa penerapan teknologi budidaya PsPSP di perkebunan kakao Swasta di Jawa Barat mampu menurunkan kerusakan biji kakao akibat serangan hama PBK dan busuk buah dari 40,64% menjadi 6,53%.

Pangalaman dan hasil penelitian tersebut memberikan gambaran bahwa teknologi PsPSP cukup efektif untuk mengendalikan serangan hama PBK. Namun yang menjadi permasalahan adalah proses adopsi teknologi pengendalian hama PBK sangat lambat. Berbagai upaya untuk mempercepat adopsi teknologi PsPSP telah dilakukan, baik oleh pemerintah maupun oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM), termasuk LSM dari Amerika Serikat yaitu ACDI-VOCA. LSM ACDI-VOCA bekerjasama dengan Pemerintah Daerah melakukan berbagai kegiatan sekolah lapang pengendalian hama terpadu (SL-PHT) dengan nama Success Project sejak tahun 2001. Kegiatan tersebut mulai intensif dilakukan sejak tahun 2000 dan sampai dengan tahun 2003 telah dilatih sebanyak 39.750 orang petani kakao di Sulawesi dan Papua (Jaax 2003 dalam Mustafa 2005).

53

Ke depan, upaya untuk mempercepat adopsi teknologi pengendalian hama PBK menjadi semakin berat, karena LSM ACDI-VOCA yang beberapa tahun lalu aktif membantu mempercepat sosialisasi teknologi pengendalian hama PBK melalui Success Project mulai menghentikan kegiatannya pada tahun 2006. Sementara itu, dukungan kebijakan pemerintah untuk mengatasi serangan hama PBK masih sangat kurang.