• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Pesatnya Pengembangan Perkebunan Kakao Terhadap Serangan Hama PBK, Lingkungan dan Perekonomian Regional Sulawesi Selatan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak Pesatnya Pengembangan Perkebunan Kakao Terhadap Serangan Hama PBK, Lingkungan dan Perekonomian Regional Sulawesi Selatan."

Copied!
492
0
0

Teks penuh

(1)

Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Pada tahun 2004, perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar satu juta kepala keluarga petani serta memberikan sumbangan devisa sebesar US $ 546 juta. Nilai devisa ekspor kakao tersebut sedikit lebih rendah dari nilai ekspor kakao tahun 2002 dan 2003 yang masing-masing sebesar US $ 701 juta dan US $ 621 juta (Direktorat Jenderal Perkebunan 2006).

Sulawesi Selatan sebagai sentra utama produksi kakao Indonesia telah menikmati peran kakao sejak awal krisis ekonomi melanda Indonesia. Kakao tampil sebagai penyelamat ekonomi rumah tangga petani, bahkan telah menghantarkan banyak petani kakao menjadi “orang kaya baru” karena harga kakao melambung tinggi dari Rp 3.325/kg pada tahun 1997 menjadi Rp 10.740/kg tahun 1998. Sejak saat itu, komoditas kakao memberikan kontribusi yang cukup nyata bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan.

Pada tahun 1998, kakao memberikan kontribusi output sebesar Rp 2,19 triliun atau 50,65% total nilai output perkebunan Sulawesi Selatan dan kakao tampil sebagai komoditas andalan ekspor Sulawesi Selatan dengan pangsa sebesar 38,28% dari total nilai ekspor Sulawesi Selatan (Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan 1999 dan Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan 1999ª). Di samping itu, perkebunan kakao telah memacu perkembangan wilayah dan pertumbuhan sektor ekonomi lainnya, terutama yang berkaitan langsung dengan perkebunan kakao seperti: pengadaan sarana produksi, perdagangan produksi biji kakao, dan industri pengolahan biji kakao.

(2)

Cocoa Organization 2006). Kondisi ini terus memicu perluasan areal perkebunan kakao di Sulawesi Selatan. Areal perkebunan kakao di daerah ini berkembang hampir dua kali lipat dalam waktu 6 tahun terakhir yaitu dari 157.649 ha pada tahun 1997 menjadi 296.039 ha tahun 2003 atau rata-rata tumbuh 14,63% per tahun. Perkebunan kakao di Sulawesi Selatan hampir seluruhnya (99,26%) diusahakan oleh petani dengan sentra produksi Kabupaten Mamuju, Polmas, Pinrang, Bone, dan Luwu Utara (Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan 1998, 2004, dan 2004a). Perluasan areal perkebunan kakao yang begitu pesat tersebut cenderung tidak terkendali karena pengembangannya dilakukan oleh petani dengan sasaran pengembangan di lereng-lereng bukit dan pegunungan serta sebagian memasukan kawasan hutan (non budidaya). Pengembangan areal perkebunan kakao tersebut dilakukan petani tanpa dilandasi oleh studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Hal ini telah mengundang kritikan tajam karena beberapa fakta menunjukkan bahwa pengembangan perkebunan kakao di daerah ini telah menimbulkan kerusakan lingkungan berupa peningkatan erosi, kerusakan daerah tangkapan air dan penyusutan keanekaragaman hayati dengan berbagai dampak turunannya seperti peningkatan lahan kritis, banjir dan kekeringan. Menurut Akiyama dan Nishio (1997), pengembangan perkebunan kakao yang begitu pesat di Sulawesi Selatan di satu sisi memberikan dampak positif bagi perekonomian daerah, tetapi di sisi lain menimbulkan dampak negatif berupa peningkatan erosi dan menurunkan areal tangkapan air serta penyusutan keanekaragaman hayati.

(3)

pembangunan yang direncanakan akan lebih memperparah kerusakan lingkungan dan memperbesar beban biaya ekternalitas yang harus ditanggung masyarakat.

Lebih lanjut, pengembangan perkebunan kakao yang begitu pesat telah menghasilkan hamparan perkebunan kakao yang sambung-menyambung, sehingga setiap adanya serangan hama penyakit tanaman kakao akan cepat menyebar dan sulit dikendalikan. Pada saat ini, petani kakao Sulawesi Selatan sedang menghadapi persoalan yang sangat serius yaitu adanya serangan hama penggerek buah kakao (PBK), Conopomorpha cramerella Snell. (Lepidoptera; Gracillariidae). Hama PBK teridentifikasi mulai menyerang perkebunan kakao di Sulawesi Selatan pada tahun 1995 dan menyebar dengan pesat ke berbagai penjuru. Menurut Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan (2004 dalam Mustafa 2005), hama PBK sudah menyerang hampir seluruh perkebunan kakao di Sulawesi Selatan dan diperkirakan menimbulkan kerugian mencapai Rp 810 milyar per tahun.

Kerugian yang terus menerus menyebabkan kemampuan petani untuk memelihara perkebunan kakaonya menurun, sehingga perkebunan kakao menjadi terlantar, rusak dan lahannya akan terdegradasi. Di sisi lain, sebagian petani tetap berupaya untuk memenuhi permintaan kakao dunia yang terus meningkat dengan mengembangkan perkebunan kakao baru di daerah yang terpencil dan biasanya memasuki kawasan hutan dengan harapan terhindar dari serangan hama PBK. Pengembangan perkebunan kakao yang dilakukan petani tersebut dapat selamat dari serangan hama PBK dalam beberapa musim panen, tetapi kemudian hama PBK juga menyerang perkebunan kakao tersebut dan menimbulkan kerugian sama seperti perkebunan kakao lainnya.

(4)

terancam kelaparan1. Meskipun demikian, tidak mustahil serangan hama PBK akan menimbulkan kerusakan perkebunan kakao dan dampak sosial ekonomi yang lebih parah bagi petani kakao di Sulawesi Selatan karena serangan hama PBK sudah beberapa kali menghancurkan perkebunan kakao di berbagai daerah di Indonesia.

Berdasarkan gambaran tersebut tampak bahwa serangan hama PBK tidak hanya menimbulkan kerugian ekonomi, kemiskinan dan kelaparan, tetapi juga berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan, baik lingkungan perkebunan kakao yang sudah ada maupun lingkungan hutan akibat percepatan proses alih fungsi hutan menjadi perkebunan kakao. Oleh karena itu, upaya untuk mengendalikan serangan hama PBK mempunyai arti yang sangat strategis untuk mengurangi kerugian ekonomi dan dampak sosial ekonomi lainnya serta mempertahankan keberlanjutan perkebunan kakao sekaligus mengurangi kerusakan lingkungan dan biaya eksternalitas.

Sebenarnya teknologi pengendalian hama PBK telah tersedia dan sudah disosialisasikan secara intensif melalui kegiatan sekolah lapang pengendalian hama terpadu (SL-PHT) sejak tahun 2000. Namun proses adopsi teknologi tersebut sangat lambat karena berbagai kendala yang dihadapi petani. Oleh karena itu mempelajari permasalahan adopsi teknologi pengendalian hama PBK dan biaya eksternalitas merupakan hal yang sangat krusial dalam upaya mempertahankan peran strategis perkebunan kakao bagi perekonomian regional dan menjaga keberlanjutan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan.

1.2. Kerangka Pemikiran

Pengembangan perkebunan kakao dan kelestarian fungsi lingkungan merupakan dua agenda yang diharapkan dapat berjalan harmonis dalam pembangunan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan. Pembangunan perkebunan di satu sisi akan memberikan dampak positif bagi perekonomian regional khususnya sebagai penyedia kesempatan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara, serta

1

(5)

pendorong pertumbuhan sektor ekonomi lainnya. Namun di sisi lain pengembangan perkebunan kakao memaksa terjadinya alih fungsi lahan dan proses alih fungsi lahan ini dapat menimbulkan dampak positif maupun negatif tergantung pada kondisi lahan yang dialih fungsikan dan teknologi budidaya kakao yang digunakan.

Teknologi budidaya kakao yang diterapkan petani sangat menentukan dampak dari proses alih fungsi lahan dan tingkat produksi perkebunan kakao petani. Alih fungsi lahan akan menimbulkan dampak positif apabila lahan yang dialih fungsikan merupakan lahan kritis yang diubah menjadi perkebunan kakao dengan menggunakan teknologi budidaya ramah lingkungan. Sebaliknya alih fungsi lahan akan berdampak negatif apabila lahan yang dialih fungsikan merupakan hutan lindung pendukung kehidupan menjadi perkebunan kakao yang kurang mampu menggantikan fungsi ekologis hutan lindung.

Dampak negatif alih fungsi lahan cukup nyata terjadi pada saat awal proses alih fungsi lahan dan akan berkurang pada saat perkebunan kakao berhasil dibangun serta kembali meningkat ketika perkebunan kakao mengalami kerusakan. Pada awal proses alih fungsi lahan muncul dampak negatif berupa: peningkatan erosi dan sedimentasi, penyusutan keanekaragaman hayati, kerusakan tata air dan peningkatan emisi gas rumah kaca CO2. Selanjutnya dampak negatif mulai berkurang pada saat tanaman kakao mulai menutupi lahan yang terbuka karena erosi lahan mulai berkurang. Namun erosi lahan dapat kembali meningkat jika perkebunan kakao tidak terpelihara dan mengalami kerusakan. Berbagai dampak negatif tersebut merupakan biaya lingkungan yang hingga saat ini masih diperlakukan sebagai biaya eksternalitas, akibatnya hasil perhitungan pertumbuhan ekonomi atau peran suatu sektor ekonomi dalam perekonomian regional masih bersifat ”semu”.

(6)

ekonomi lainnya. Kondisi yang sama juga terjadi pada sektor perekonomian lainnya dan apabila arus input-output tersebut disederhanakan maka akan dapat dibentuk tabel input-output. Selanjutnya melalui pendekatan matematika akan dapat diperoleh berbagai informasi yang sangat berguna dalam perencanaan pembangunan perekonomian regional.

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa perkebunan kakao Sulawesi Selatan saat ini sedang menghadapi serangan hama PBK dan petani belum mampu mengendalikannya. Di sisi lain, teknologi pengendalian hama PBK yang cukup efektif untuk mengendalikan serangan hama PBK telah tersedia, tetapi belum diadopsi secara masal oleh petani. Oleh karena itu perlu dikaji faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi pengendalian hama PBK guna menunjang keberlanjutan peran perkebunan kakao bagi perekonomian Regional Sulawesi Selatan.

(7)

Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran Pembangunan Perkebunan Kakao Berkelanjutan. Pengembangan

Perkebunan Kakao

Alih Fungsi Lahan Serangan

Hama PBK

Valuasi Ekonomi

Adopsi Teknologi: Faktor Berpengaruh Pendapatan

Petani Output, PDRB,

Lapangan Kerja

Kebun Terlantar

Strategi Pembangunan Perkebunan Kakao Berkelanjutan

Pengembangan Sektor Ekonomi Lainnya Produksi Kakao

Kerusakan Lingkungan

Perbaikan Lingkungan Teknologi

Budidaya Kakao

IO-Lingkungan: Peran Riil kakao IO-Konvensional:

Peran “Semu” kakao

Analisis Prospektif

Limbah

Keterangan:

Saling Berpengaruh Berpengaruh

(8)

Upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan peran perkebunan kakao secara berkelanjutan membutuhkan biaya yang cukup besar. Dalam situasi ketersediaan dana pemerintah yang relatif terbatas, maka keputusan alokasi dana pada suatu sektor perekonomian sangat tergantung pada perannya dalam menggerakkan perekonomian daerah. Melalui pendekatan input output, akan diperoleh gambaran yang lebih rinci bagaimana peran perkebunan kakao dalam menggerakkan perekonomian regional melalui penelaahan pengganda output, pengganda pendapatan dan pengganda tenaga kerja serta keterkaitan antar sektor perekonomian.

Melalui pendekatan input output juga dapat ditelaah dampak negatif dari serangan hama PBK. Apabila serangan hama PBK tidak terkendali, maka peran sektor perkebunan kakao akan mengalami kontraksi dan melalui pendekatan input output akan diperoleh gambaran berapa besar dampak serangan hama PBK bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan. Dengan memahami dampak serangan hama PBK tersebut akan diketahui bagaimana pentingnya upaya pengendalian hama PBK di daerah ini.

Namun karena adanya externalitas dalam proses produksi, maka berbagai informasi tersebut masih bersifat “semu”. Oleh karena itu perlu dilakukan koreksi dengan melakukan internalisasi biaya eksternalitas ke dalam tabel input-output konvensional, sehingga menjadi tabel input output berwawasan lingkungan. Koreksi terhadap tabel input output konvensional tersebut idealnya dilakukan dengan cara mengembangkan model tabel input output umum atau model ekonomi ekologi maupun model komoditi industri. Namun karena keterbatasan ketersediaan data, maka pengembangan model input output berwawasan lingkungan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengoreksi atau menginternalisasikan biaya eksternalitas ke nilai output tabel input output konvensional, sehingga menjadi tabel input output terkoreksi biaya eksternalitas.

(9)

dilakukan mengikuti asumsi dasar tabel input-output yaitu secara proposional terhadap nilai outputnya. Secara matematis, koreksi output masing-masing sektor ekonomi dengan biaya eksternalitas tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:

Xi = Xi1 + Xi2 + ... + Xij + ... + Xin + Yi ... (1)

Xi yang dikoreksi dengan biaya eksternalitas (BE) adalah Xi-BE = X*i, maka

Xi* = ai1* Xi1 + ai2*Xi2 + ... + aij*Xij + ... + ain*Xin + ai*Yi ... (2) dimana:

Xi = Total output sektor ke-i,

Xij = Jumlah output sektor ke-i yang dijual ke sektor j,

Yi = Jumlah permintaan akhir untuk sektor ke-i,

BE = Total biaya eksternalitas sektor ke-i.

Xi* = Total output sektor ke-i yang dikoreksi dengan biaya eksternalitas,

aij = (Xij/Xi) = koefisien input output,

aij*= aij - (Xij/Xi)BE dan ai* = (Yi/Xi) - (Yi/Xi)BE.

Selanjutnya sebagaimana telah dikemukakan bahwa hama PBK merupakan ancaman yang serius bagi keberlanjutan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan. Serangan hama PBK dapat menurunkan produksi lebih dari 80%, sehingga sangat merugikan petani. Kerugian yang terus menerus menyebabkan kebun ditelantarkan dan menjadi rusak, yang pada gilirannya akan menimbulkan masalah lingkungan. Oleh karena itu diperlukan upaya yang lebih intensif untuk mengendalikan serangan hama PBK secara menyeluruh guna menyelamatkan keberlanjutan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan.

(10)

Menurut Rogers (1995), adopsi teknologi merupakan suatu proses yang dimulai dari pengetahuan tentang inovasi (teknologi baru), diikuti dengan pembentukan sikap terhadap inovasi dan diakhiri dengan keputusan (tindakan) untuk mengadopsi atau menolak inovasi. Pengetahuan tentang inovasi merupakan proses pengenalan dimana seseorang menerima atau mengetahui informasi tentang teknologi baru. Pembentukan sikap merupakan suatu proses mental seseorang untuk mengevaluasi terhadap teknologi baru. Sementara itu, keputusan atau tindakan merupakan suatu tahapan dimana seorang petani mulai mengambil keputusan untuk menerapkan atau tidak menerapkan teknologi baru pada usahataninya.

(11)

Gambar 2. Proses Adopsi Teknologi

SIKAP TINDAKAN

ADOPSI PENGETAHUAN

Karakteristik Teknologi 1. Keuntungan ekonomi 2. Keuntungan sosial 3. Kompatibilitas 4. Kompleksitas 5. Observabilitas

Karakteristik Kebun 1. Luas kebun kakao 2. Umur tanaman 3. Kemiringan lahan. Kemampuan Petani 1. Tenaga kerja terampil 2. Modal

3. Bahan dan alat

MENOLAK

Diskontinu

1. Ganti yang baru 2. Kecewa

Terus mengadopsi

Pengadopsian terlambat Tetap menolak Sifat-sifat Individu Petani:

1. Karakteristik Petani

2. Kebutuhan Petani Terhadap Perubahan/Inovasi

Lingkungan Sosial: 1. Keberadaan Sumber Informasi 2. Keberadaan Pembinaan 3. Intensitas Kerjasama

4. Toleransi Terhadap Perbeda-an/Perubahan

5. Pola Pengambilan Keputusan

(12)

suatu variabel tidak bebas kualitatif dengan dua kategori yaitu 0 (nol) untuk menolak inovasi teknologi dan 1 (satu) untuk menerima atau mengadopsi teknologi. Menurut Pindyck dan Rubinfeld (1998), untuk menduga regresi peubah tidak bebas kualitatif dapat dilakukan melalui tiga pendekatan yaitu: Model Probabilistik Linier (Linear Probability Model), Model Probit (Probit Model), dan Model Logit (Logit Model). Model Probabilistik Linier mempunyai kelemahan karena ada kemungkinan peluang bersyaratnya berada diluar kisaran 0-1, sehingga sulit dilakukan pendugaan dengan menggunakan model OLS (Ordinary Least Square). Sementara itu, Model Probit dan Model Logit selalu memenuhi peluang bersyarat pada kisaran 0-1. Namun Model Probit lebih rumit perhitungannya dari pada Model Logit, maka dalam penelitian terapan lebih sering digunakan Model Logit.

Pada penelitian ini pendugaan faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi pengendalian hama PBK dilakukan dengan menggunakan Model Logit yang dirumuskan sebagai berikut (Pindyck dan Rubinfeld 1998):

Apabila ruas kiri dan kanan persamaan (1) di kalikan dengan (1+e-zi), maka akan diperoleh:

1 )P (1+ezi i =

... (4) Kemudian jika kedua ruas kiri dan kanan persamaan (2) dibagi dengan Pi dan dikurangi 1 maka diperoleh:

(13)

Jika kedua ruas kiri dan kanan di Ln-kan maka diperoleh :

i i i

i

i X e

P P Ln

Z ⎟⎟ = + +

⎠ ⎞ ⎜⎜

⎝ ⎛

= α β

1 ... (7)

dimana:

Pi = Peluang petani mengadopsi teknologi pengendalian hama PBK (Pi =1 jika petani mengadopsi dan Pi=0 jika petani tidak mengadopsi),

Xi = Variabel bebas ( i = 1, 2, 3, ... n) α = intersep,

βi = Parameter peubah Xi

ei = galat acak.

(14)

Gambar 3. Tahapan Kegiatan Penelitian.

Persiapan Penelitian

- Perumusan masalah,

- Perumusan tujuan penelitian

- Biaya Lingkungan,

- Tabel IO konvensional dan IO yang dikoreksi biaya eksternalitas, - Simulasi dampak serangan hama PBK,

- Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi pengendalian hama PBK-PsPSP.

Survei Utama Survei Pendahuluan

- Identifikasi data, lokasi, dan pendekatan, - Pengumpulan data dasar,

- Pengolahan dan analisis data dasar.

Analisis Prospektif untuk merumuskan strategi pembangunan perkebunan kakao berkelanjutan.

Pengolahan dan Analisis Data

(15)

1.3. Perumusan Masalah

Perkebunan kakao mempunyai arti yang cukup strategis bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan. Namun dalam pengembangannya terdapat beberapa permasalahan khususnya permasalahan lingkungan dan serangan hama PBK yang mengancam keberlanjutan perkebunan kakao di daerah ini. Permasalahan tersebut perlu mendapat perhatian yang lebih serius karena Sulawesi Selatan merupakan sentra utama produksi kakao nasional dan kakao merupakan salah satu andalan ekspor komoditas perkebun Indonesia.

Kesadaran akan pentingnya peran perkebunan dalam perekonomian nasional telah mendorong pemerintah pusat untuk mencanangkan program revitalisasi terhadap tiga komoditas utama perkebunan yaitu kelapa sawit, karet dan kakao mulai pertengahan tahun 2005. Pencanangan program revitalisasi tersebut disambut baik oleh dunia usaha khususnya perusahaan perkebunan besar yang mengusahakan komoditas kelapa sawit. Program revitalisasi perkebunan juga mendapat dukungan dari perbankan nasional khususnya BRI dan Bank Mandiri. Namun kenyataannya perhatian dan respon yang diterima oleh komoditas kakao sangat berbeda dengan kelapa sawit, padahal kakao sedang menghadapi berbagai permasalahan yang cukup berat dan memerlukan perhatian yang lebih serius.

(16)

a. Berapa besar peranan perkebunan kakao bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan, khususnya dalam menghasilkan output, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), ekspor, penyediaan lapangan kerja dan sumber pendapatan, serta perannya dalam menggerakkan perekonomian regional.

b. Berapa besar biaya lingkungan (eksternalitas) yang harus diperhitungkan agar penilaian peran kakao tidak bersifat ”semu” dan bagaimana pengaruh internalisasi biaya eksternalitas terhadap peran kakao bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan.

c. Bagaimana dampak serangan hama PBK terhadap pendapatan petani dan perekonomian Regional Sulawesi Selatan serta peningkatan biaya eksternalitas karena peningkatan areal perkebunan kakao petani yang rusak dan upaya perluasan areal perkebunan kakao untuk mengantisipasi permintaan kakao dunia yang terus meningkat.

d. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi adopsi teknologi pengendalian hama PBK dan bagaimana mempercepat laju adopsi teknologi pengendalian hama PBK tersebut untuk mengamankan pendapatan petani dan pangsa kakao dalam menghasilkan PDRB, serta menjaga keberlanjutan peran perkebunan kakao bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan.

1.4. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang, kerangka pemikiran, dan permasalahan yang telah diuraikan tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk merumuskan strategi pembangunan perkebunan kakao berkelanjutan di Sulawesi Selatan. Sehubungan dengan itu dilakukan beberapa kegiatan sebagai berikut:

a. Mengidentifikasi dan menganalisis biaya eksternalitas pengembangan perkebunan kakao dan biaya eksternalitas karena kerusakan perkebunan kakao akibat serangan hama PBK serta menganalisis biaya eksternalitas sektor perekonomian lainnya.

(17)

lapangan kerja dan sumber pendapatan, serta perannya dalam menggerakkan perekonomian regional.

c. Menganalisis dampak internalisasi biaya eksternalitas berbagai sektor ekonomi terhadap output, PDRB dan nilai indikator pengganda serta nilai indikator keterkaitan berbagai sektor ekonomi dalam perekonomian regional Sulawesi Selatan.

d. Mengidentifikasi dan menganalisis dampak serangan hama PBK terhadap pendapatan petani kakao dan perekonomian Regional Sulawesi Selatan serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi dalam rangka mempercepat adopsi teknologi pengendalian hama PBK.

1.5. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi sebagai berikut: a. Memberikan masukan bagi pengambil kebijakan dalam merumuskan kebijakan

pembangunan regional, khususnya pembangunan perkebunan kakao yang berkelanjutan di Sulawesi Selatan.

b. Menambah khasanah Ilmu Pengetahuan khususnya Ilmu-Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, terutama pengelolaan sumberdaya alam untuk pengembangan perkebunan kakao berkelanjutan melalui pendekatan perencanaan yang terintegrasi antara pertumbuhan ekonomi pengembangan wilayah dan kualitas lingkungan.

1.6. Kebaharuan (Novelty)

(18)

Metode/pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode-metode yang sudah baku yang dikemas dalam suatu rangkaian yang baru untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Jadi kebaharuan dari penelitian ini adalah rangkaian metode penelitian dan hasil penelitiannya terutama peran riil perkebunan kakao, faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi dan arahan kebijakan untuk mempercepat adopsi teknologi pengendalian hama PBK serta arahan strategi pembangunan perkebunan kakao yang berkelanjutan di Sulawesi Selatan.

(19)

2.1. Tinjauan Teori Pembangunan

Pembangunan pada awalnya identik dengan upaya untuk meningkatkan pendapatan per kapita dan indikator keberhasilannya adalah peningkatan pendapatan nasional (GNP) per kapita. Hal ini sangat jelas terlihat dari pemikiran-pemikiran awal mengenai pembangunan seperti teori Harrod Domar, Arthur Lewis, WW Rostow, Hirschman dan Leibenstein. Namun sekitar tahun 1960, ketika data makro yang dapat diperbandingkan secara internasional telah tersedia, para ahli ekonomi menemukan bahwa pembangunan tidak hanya berdimensi ekonomi, tetapi multidimensi (Kuncoro 2003).

Kenyataan di negara yang sedang berkembang menunjukkan bahwa pertumbuhan tidak identik dengan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada tahap awal pembangunan di negara berkembang dapat dicapai, setidaknya melebihi negara-negara maju. Namun pertumbuhan tersebut dibarengi oleh munculnya permasalahan-permasalahan pembangunan seperti pengangguran, kemiskinan di pedesaan, ketimpangan distribusi pendapatan dan ketidak seimbangan struktural (Sjahrir 1986). Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan berdimensi luas tidak hanya sekedar peningkatan pertumbuhan ekonomi, sehingga para ahli merasa perlu untuk melakukan pengkajian ulang tentang arti pembangunan. Pembangunan ekonomi tidak lagi memuja pertumbuhan GNP sebagai sasaran pembangunan, tetapi perlu lebih memusatkan perhatian pada kualitas dan proses pembangunan.

(20)

Begitu kompleksnya pembangunan menyebabkan muncul banyak teori dan tidak ada satu teori pembangunan yang tepat untuk diterapkan di semua negara di dunia. Teori-teori pembangunan yang ada pada tahap awal sangat didominasi oleh hasil pemikiran ekonom barat, sehingga tidak selalu cocok untuk diterapkan di negara-negara yang sedang berkembang. Kondisi ini memacu munculnya teori-teori baru tentang pembangunan. Karena begitu banyaknya teori pembangunan yang diformulasikan oleh para ahli ekonomi, maka agak sulit untuk mengelompokkannya dalam suatu aliran tertentu. Meskipun demikian, menurut Kuncoro (2003), paling tidak ada 5 kelompok teori pembangunan yaitu: a. Teori pertumbuhan linear; b. Teori perubahan struktural; c. Teori revolusi ketergantungan internasional; d. Teori neo-klasik; dan e. Teori-teori baru.

2.1.1. Teori Pertumbuhan Linear

Teori pertumbuhan linear mendominasi perkembangan teori pembangunan sejak pertama kali dikemukakan oleh Adam Smith, diikuti oleh Karl Marx dan mencapai puncak kejayaannya dengan lahirnya teori pertumbuhan yang dikemukakan oleh Rostow. Dasar pemikiran dari teori ini adalah evolusi proses pembangunan yang dialami oleh suatu negara selalu melalui tahapan tertentu. Masing-masing tahapan pembangunan mutlak dilalui satu per satu secara berurutan menuju tingkat yang semakin tinggi.

(21)

terhadap kaum buruh. Asumsi tersebut menunjukkan kekejaman teori Adam Smith dengan sistem ekonomi kapitalis.

Sementara Karl Marx membagi evolusi perkembangan masyarakat menjadi tiga yaitu dimulai dari feodalisme, kapitalisme dan terakhir adalah sosialisme. Evolusi perkembangan masyarakat tersebut sejalan dengan proses pembangunan yang dilaksanakan. Menurut teori ini, masyarakat feodalisme mencerminkan kondisi dimana perekonomian yang ada masih bersifat tradisional dan tuan tanah menjadi pelaku ekonomi yang mempunyai posisi tawar yang tinggi. Perkembangan teknologi menimbulkan penggeseran dari masyarakat agraris-feodal menjadi masyarakat industri yang kapitalis dan para pengusaha memiliki posisi tawar yang tinggi. Eksploitasi terhadap kaum buruh dan penggunaan input yang padat kapital pada akhirnya akan menimbulkan revolusi sosial yang dilakukan kaum buruh sehingga terbentuk tatanan masyarakat sosialis. Teori Marx ini tampaknya sangat diwarnai subjektivitas dan kebencian Marx terhadap sistem kapitalis, sehingga ia mendeskripsikan kehancuran kapitalis yang akan digantikan oleh sosialis harus melalui revolusi. Meskipun demikian, teori ini justru banyak menyumbang untuk kelanggengan kehidupan ekonomi kapitalis, karena perkiraan dampak negatif revolusi sosial tersebut menjadikan masukan untuk menyempurnakan sistem yang ada.

(22)

tahapan yang paling menentukan dalam keseluruhan proses pembangunan bagi kehidupan masyarakat. Ada tiga persyaratan yang saling berkaitan yang harus dipenuhi untuk proses tinggal landas yaitu kenaikan investasi produktif 5-10% dari pendapatan nasional, perkembangan salah satu atau beberapa sektor manufaktur penting dengan pertumbuhan yang tinggi dan terciptanya kerangka politik, sosial dan institusional yang menimbulkan hasrat ekspansi di sektor modern yang berdampak mendorong pertumbuhan ekonomi. Proses selanjutnya adalah tahap menuju kedewasaan ditandai dengan penerapan teknologi modern terhadap sumberdaya yang dimiliki dan produksi dilakukan secara swadaya. Dan yang terakhir adalah tahap konsumsi massa tinggi yang ditandai oleh adanya migrasi besar-besaran dari masyarakat pusat kota ke pinggiran perkotaan. Pada tahap ini terjadi perubahan orientasi dari pendekatan penawaran ke pendekatan permintaan dan terjadi perubahan pandangan bahwa kesejahteraan bukanlah permasalahan individu, tetapi mencakup kesejahteraan masyarakat secara bersama-sama. Teori Rostow tidak terlepas dari berbagai kritikan, bahkan dapat dikatakan bahwa kritikan terhadap teori ini lebih panjang dari pada teorinya. Meskipun demikian, teori tersebut banyak mempengaruhi pandangan dan persepsi para ahli ekonomi mengenai strategi pembangunan yang harus dilakukan, terutama di negara-negara yang sedang berkembang.

2.1.2. Teori Perubahan Struktural

Teori perubahan struktural menitik beratkan pembahasan pada mekanisme tranformasi ekonomi yang dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang. Ada dua teori yang sangat berpengaruh yaitu: Teori pembangunan Arthur Lewis dan Teori transformasi struktural Hollis Chenery.

(23)

bahwa nilai produk marjinal tenaga kerja positif, sehingga dapat menampung tenaga kerja dari pedesaan.

Teori yang kedua yang dikembangkan oleh Chenery memfokuskan pada proses perubahan struktur ekonomi secara bertahap. Hasil penelitian Chenery menunjukkan bahwa perekonomian suatu negara akan bergeser dari yang semula mengandalkan sektor pertanian menuju ke sektor industri. Kondisi tersebut ditandai oleh perubahan pangsa sektor industri dalam GNP yang meningkat dan pangsa sektor pertanian dalam GNP yang menurun. Selanjutnya Chenery membuat pengelompokan negara sesuai dengan proses perubahan struktural yang dialami berdasarkan tingkat pendapatan per kapita. Negara yang pendapatan per kapitanya kurang dari $ 600 dikelompokkan ke dalam negara yang baru melakukan pembangunan. Sementara negara yang pendapatan per kapitanya anrata $ 600 hingga $ 3.000 digolongkan ke dalam kelompok negara dalam fase transisi pembangunan.

2.1.3. Teori Revolusi Ketergantungan Internasional

Teori ini lahir dari hasil diskusi para ekonom negara-negara Amerika Latin yang dicetuskan oleh Paul Baran. Teori ketergantungan internasional berusaha menjelaskan penyebab keterbelakangan ekonomi yang dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang. Teori ini memandang bahwa negara-negara yang sedang berkembang menjadi korban berbagai macam perilaku kelembagaan, politik dan ekonomi domestik maupun internasional, sehingga terjebak dalam hubungan ketergantungan dan dominansi negara kaya. Ekonom penganut teori ini menuduh badan-badan dunia internasional seperti Bank Dunia dan IMF sebagai lembaga yang menyebabkan meningkatnya ketergantungan yang terjadi di negara-negara yang sedang berkembang.

(24)

sebab-solusi jalan keluarnya. Solusi yang ditawarkan hanyalah melakukan isolasi terhadap pengaruh luar dan hal ini sulit dilakukan karena globalisasi. Meskipun demikian, teori ini paling tidak telah memberikan peringatan kepada para penguasa negara-negara yang sedang berkembang agar tidak terjebak dalam ketergantungan dari negara maju.

2.1.4. Teori Neo-Klasik

Teori Neo-Klasik lahir pada dekade 1980-an sebagai sanggahan terhadap teori ketergantungan dimana negara maju mengeksploitasi negara yang sedang berkembang. Teori ini merekomendasikan swastanisasi BUMN dan menciptakan iklim kondusif bagi peningkatan peran swasta. Teori Neo-Klasik berpendapat bahwa keterbelakangan bukan disebabkan oleh pengaruh eksternal, tetapi lebih dipengaruhi oleh internal dalam negara berkembang itu sendiri. Alokasi sumberdaya yang salah, merebaknya korupsi, dan terlalu besar campurtangan pemerintah merupakan penyebab utama ketidak efisienan mesin perekonomian. Menurut teori Neo-Klasik, pasar bebas dan bersaing sempurna merupakan kata kunci bagi keberhasilan pembangunan.

Teori ini tampaknya hanya tepat diterapkan di negara maju karena perdagangan bebas dan pasar bersaing sempurna hanya dapat dipenuhi oleh negara maju. Perbedaan struktur masyarakat dan kelembagaan negara maju dan negara berkembang menyebabkan teori ini gagal untuk diterapkan di negara-negara yang sedang berkembang.

2.1.5. Teori Teori Baru

(25)

sistem proses produksi dan bukan berasal dari luar sistem. Motivasi dasar teori ini adalah menjelaskan perbedaan tingkat pertumbuhan antar negara dan menjelaskan faktor-faktor yang menentukan ukuran dan tingkat pertumbuhan GDP yang belum dijelaskan dan dianggap ditentukan secara eksogen oleh persamaan pertumbuhan Neo-klasik versi Solow.

Sementara teori geografi baru dan teori perdagangan baru muncul karena lebih dari seratus tahun, para pakar geografi, pakar ekonomi, perencana kota, para ahli strategi bisnis, ilmuwan regional dan ilmuwan sosial lainnya masih belum mampu memberikan penjelasan tentang mengapa dan di mana aktivitas ekonomi berlokasi. Teori geografi baru telah berhasil memberikan penjelasan mengenai perdagangan dan ketimpangan distribusi kegiatan ekonomi, tetapi mendapat kritikan karena pendekatan yang mereka gunakan bukanlah hal yang baru melainkan penemuan kembali teori lokasi tradisional dan ilmu regional. Sedangkan teori perdagangan baru menawarkan perspektif yang berbeda dengan teori geografi ekonomi baru dan neo-klasik. Para pendukung teori perdagangan baru berpendapat bahwa ukuran pasar ditentukan secara fundamental oleh besar kecilnya angkatan kerja pada suatu negara dan tenaga kerja tidak mudah untuk berpindah lintas negara. Mereka percaya bahwa penentu utama lokasi adalah derajat tingkat pendapatan yang meningkat dari suatu pabrik, tingkat substitusi antar produk yang berbeda dan ukuran pasar domestik.

2.1.6. Perlunya Pengembangan Teori Pembangunan Berkelanjutan

(26)

Anggapan bahwa sumberdaya alam yang berlimpah tersebut terus digunakan dalam pengembangan model ekonomi selanjutnya, bahkan mazhab Neo-klasik telah menghilangkan faktor sumberdaya alam dari model ekonomi yang mereka kembangkan. Model ekonomi mazhab Neo-klasik hanya berkonsentrasi pada dua variabel yaitu sumberdaya manusia dan modal atau kapital. Sementara variabel sosial dan lingkungan mereka keluarkan dari model ekonomi, sehingga memungkinkan pengembangan model ekonomi analog dengan percobaan ilmu fisik yang terkendali. Namun model ekonomi tersebut menjadi tidak realistis dan keberhasilan pembangunan bersifat ”semu”, karena kerusakan lingkungan akibat kegiatan ekonomi yang diekternalitaskan menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat khususnya disekitar sumberdaya alam yang diekploitasi.

Kondisi sistem perekonomian yang dibangun berdasarkan model ekonomi tersebut secara lebih tegas dikemukakan oleh Brown (1995) yang menyatakan bahwa sistem perekonomian dunia saat ini secara perlahan-lahan mulai menghancurkan diri sendiri karena aktivitas ekonomi umumnya menimbulkan kerusakan dan degradasi lingkungan hidup. Apabila kerusakan sistem penunjang perekonomian terus berlanjut maka pertumbuhan ekonomi akan merosot di bawah pertumbuhan penduduk. Oleh karena itu perlu segera disusun strategi pembangunan bagi masyarakat dunia secara keseluruhan sehingga pembangunan ekonomi dunia dapat berkelanjutan.

(27)

mengintegrasikan berbagai cabang ilmu pengetahuan dalam suatu kerangka ekologis yang luas.

Lebih lanjut dikemukakan bahwa garis besar dari kerangka tersebut dibentuk oleh sekelompok orang yang menolak untuk disebut sebagai ahli ekonomi atau dikaitkan dengan disiplin akademik konvensional tunggal yang didefinisikan secara sempit. Pendekatan yang digunakan tetap ilmiah, tetapi jauh melampaui gambaran ilmu ala Descartes-Newton. Dasar empirisnya tidak hanya meliputi data ekonomi, fakta sosial dan politik, serta fenomena psikologis, tetapi juga suatu referensi yang jelas terhadap nilai-nilai budaya. Dari dasar inilah, para ilmuwan tersebut akan mampu membangun model-model fenomena ekonomi yang realistik dan dapat dipercaya (Capra 2002).

2.2. Pembangunan Berkelanjutan

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan salah satu paradigma, konsep atau strategi pembangunan yang lahir sebagai upaya untuk merubah pandangan para ekonom dan perencana pembangunan yang terlalu memuja peretumbuhan GNP sebagai tujuan pembangunan. Pembangunan berkelanjutan membawa pesan utama agar pembangunan ekonomi tidak melupakan sistem biologi alam atau lingkungan yang menopang ekonomi dunia. Pada saat ini banyak bukti-bukti impiris yang menunjukkan bahwa pembangunan yang dilaksanakan selama ini telah menimbulkan berbagai kemerosotan dan kerusakan lingkungan hidup, baik pada skala lokal, regional maupun skala global. Polusi oleh limbah, kerusakan hutan dan terumbu karang, hujan asam, menipisnya lapisan ozon dan perubahan iklim global merupakan contoh-contoh kemerosotan lingkungan hidup yang mengancam masa depan bumi.

(28)

Perubahan besar tersebut menimbulkan peningkatan pembuangan limbah beracun ke lingkungan. Pada awalnya pencemaran masih bersifat lokal, tetapi kini pencemaran sudah mengglobal, sehingga menimbulkan gangguan pada keseimbangan lingkungan hidup. Masalah lingkungan berkembang sedemikian cepat, baik di tingkat nasional maupun internasional, sehingga tidak ada satupun negara yang dapat menghindarinya.

Dengan memperhatikan berbagai bukti impiris tersebut munculah kesadaran masyarakat dunia untuk merubah paradigma pembangunan yang selama ini hanya mengutamakan aspek ekonomi dan melupakan dampak buruknya terhadap sumberdaya alam dan lingkungan, kearah pembangunan yang bersahabat dengan lingkungan. Kesadaran tersebut datangnya agak terlambat dan sebagian negara maju masih enggan untuk melakukan perubahan. Hal ini dapat dilihat bagaimana alotnya proses ratifikasi Protokol Kyoto sebagai komitmen tertulis dalam upaya menghambat perubahan iklim. Untuk lebih memahami bagaimana perkembangan paradigma pembangunan berkelanjutan, berikut ini akan diuraikan secara singkat sejarah perkembangan konsepsi pembangunan berkelanjutan dan konsepsi pembangunan berkelanjutan.

2.2.1. Sejarah Konsepsi Pembangunan Berkelanjutan

(29)

Hasil Konperensi PBB di Stockholm dan Laporan Komisi Dunia tersebut selanjutnya dijadikan sebagai landasan bagi terlaksananya Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brazil pada tahun 1992. Konperensi tersebut merupakan tonggak sejarah kebangkitan dunia tentang kepedulian terhadap

lingkungan. KTT Bumi yang dihadiri oleh 179 kepala negara dan kepala

pemerintahan negara-negara di dunia tersebut telah menghasilkan lima dokumen penting yaitu: Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan Pembangunan, Pernyataan tentang Prinsip Kehutanan, Konvensi tentang Perubahan Iklim, Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati, dan Agenda 21 Global (Kantor Menteri Negara

Lingkungan Hidup 1997).

Pemimpin masyarakat dunia telah sepakat untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan dengan meletakkan aspek lingkungan sebagai parameter yang harus diperhitungkan dalam setiap gerak pembangunan, di samping aspek lainnya seperti ekonomi, politik, sosial dan budaya. Perubahan paradigma pembangunan global tersebut sekaligus merubah arah semua elemen dan perangkat pembangunan kearah yang lebih bersahabat dengan lingkungan.

Hasil KTT Bumi tersebut selanjutnya dijadikan sebagai dasar bagi seluruh bangsa-bangsa di dunia untuk melakukan kegiatan pembangunan berkelanjutan. Namun upaya untuk segera melakukan perubahan masih harus melewati jalan yang panjang. Konvensi perubahan iklim baru mempunyai kekuatan hukum setelah diratifikasi oleh 50 negara pada tanggal 21 Maret 1994 dan untuk penerapannyapun masih harus melewati perundingan yang sangat alot.

(30)

Sementara itu, dokumen lainnya yang cukup penting untuk memberikan arahan agar setiap negara melaksanakan pembangunan berkelanjutan adalah Agenda 21 Global. Dokumen setebal 700 halaman tersebut berisikan program aksi

pembangunan berkelanjutan yang dapat digunakan oleh pemerintah, organisasi internasional, kalangan industri maupun masyarakat lainnya untuk mendukung upaya pengintegrasian lingkungan ke dalam seluruh aspek kegiatan sosial ekonomi. Tujuan dari setiap kegiatan yang tercantum dalam Agenda 21, pada dasarnya adalah untuk mengentaskan kemiskinan, kelaparan, penyakit dan buta huruf di seluruh dunia, di samping untuk menghentikan kerusakan ekosistem yang penting bagi kehidupan manusia (Djajadiningrat 2001).

Pemerintah Indonesia menindaklanjuti hasil KTT Bumi dengan meratifikasi konvensi perubahan iklim dan konvensi keanekaragaman hayati pada tahun 1994 dan meratifikasi Protokol Kyoto pada tahun 2004, serta menerbitkan Agenda 21

Indonesia pada tahun 1997. Agenda 21 Indonesia terdiri dari 18 bab yang isinya merupakan suatu pedoman program pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di abad ke 21. Dokumen Agenda 21 Indonesia tersebut merupakan terjemahan, interpretasi dan penyesuaian kondisi dan perkembangan Indonesia dengan Agenda 21 Global.

2.2.2. Konsepsi Pembangunan Berkelanjutan

(31)

Jadi walaupun arah pembangunan negara-negara di dunia telah disepakati, tetapi perdebatan di kalangan politisi, akademisi maupun LSM masih terus berlangsung. Perdebatan berkembang bukanlah tentang konsepnya, tetapi bagaimana konsep itu dapat dilaksanakan karena syarat terlaksananya konsep tersebut tidak mudah dipenuhi. Sampai saat ini belum dapat dibuat pedoman umum kebijakan atau kegiatan pembangunan berkelanjutan karena sistem sosial, ekonomi dan kondisi ekologi tiap negara sangat beragam. Hal ini telah disadari oleh semua pihak, karena itu setiap negara harus menyusun sendiri model pembangunan berkelanjutan yang disesuaikan dengan konteks, kebutuhan, kondisi dan peluang yang ada.

Munasinghe (1993), mencoba mengelaborasi lebih lanjut konseptual pembangunan berkelanjutan dengan mengajukan tiga pilar keberlanjutan yaitu pilar ekonomi, sosial dan ekologi. Pilar ekonomi menekankan bahwa pembangunan atau peningkatan pendapatan dilakukan dengan penggunaan sumberdaya yang efisien. Pilar sosial menekankan agar pembangunan tidak menimbulkan konflik dan kesenjangan sosial. Pilar ekologi menekankan pentingnya perlindungan keanekaragaman hayati untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Pembangunan dapat dikatakan berkelanjutan apabila kegiatan pembangunan tersebut layak secara ekonomi, tidak terjadi kesenjangan sosial budaya dan tidak menyebabkan penurunan kualitas lingkungan.

Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh Salim (2005), yang menyatakan bahwa keberlanjutan pembangunan pada hakekatnya mencakup: keberlanjutan ekonomi yang ditopang oleh modal buatan manusia, keberlanjutan sosial yang ditopang oleh modal manusia dan modal sosial, dan keberlanjutan ekologi yang ditopang oleh modal ekosistem alami. Pembangunan akan berkelanjutan apabila: penyusutan modal buatan manusia disubstitusi oleh modal sosial dan ekologi; modal manusia mampu menambah nilai sumberdaya alam dan modal sosial menambah nilai kualitas jejaring sosial; modal ekologi melestarikan ekosistem alami penunjang kehidupan manusia.

(32)

kehidupan, melindungi dan meningkatkan keanekaragaman hayati, mempertahankan kegiatan manusia dibawah daya dukung biosfer, mengenali biaya lingkungan dari kegiatan manusia dan merehabilitasi ekosistem yang rusak. Prinsip-prinsip tersebut masih memerlukan pengembangan berbagai indikator, sehingga lebih operasional dan praktikal.

Pandangan lain disampaikan oleh Djajadiningrat (2001), bahwa pembangunan berkelanjutan adalah suatu proses perubahan dalam eksploitasi sumberdaya, pengembangan teknologi, dan pengembangan kelembagaan yang semuanya selaras untuk meningkatkan potensi masa kini dan masa depan bagi pemenuhan kebutuhan dan aspirasi manusia. Jadi dalam pembangunan berkelanjutan terkandung paling tidak empat prinsip dasar yaitu: pemerataan, keanekaragaman, integrasi, dan perspektif jangka panjang.

Pembangunan berkelanjutan menjamin pemerataan dan keadilan sosial untuk generasi masa kini dan generasi mendatang. Prinsip ini mengisyaratkan bahwa pembangunan berkelanjutan menuntut pencapaian pemerataan distribusi kesejahteraan antar negara dan antar generasi. Meskipun pemerataan bukanlah hal yang secara langsung dapat dicapai dan konsepnya relatif, tetapi etika pembangunan berkelanjutan mengarahkan upaya untuk memperkecil kesenjangan pendapatan antar negara maupun antar individu secara global. Selain itu pembangunan generasi masa kini harus selalu mengindahkan generasi mendatang.

Pembangunan berkelanjutan menghargai keanekaragaman dan hal ini merupakan prasyarat untuk memastikan bahwa sumberdaya alam selalu tersedia secara berkelanjutan untuk masa kini dan masa datang. Keanekaragaman hayati merupakan dasar bagi keseimbangan tatanan lingkungan atau ekosistem. Disamping itu keanekaragaman budaya akan mendorong perlakuan yang merata terhadap setiap orang dan membuat pengetahuan terhadap tradisi berbagai masyarakat dapat lebih dimengerti oleh masyarakat.

(33)

memanfaatkan pengertian tentang kompleksnya keterkaitan antara sistem alam dan sistem sosial pada setiap langkah pembangunan.

Pembangunan berkelanjutan menuntut perspektif jangka panjang, sehingga perlu perubahan pemikiran para pengambil keputusan ekonomi maupun masyarakat yang cenderung menilai masa kini lebih tinggi dari masa depan. Prospektif jangka panjang lebih dikedepankan dari pada kerangka jangka pendek yang hingga kini masih mendominasi keputusan ekonomi.

Dengan memperhatikan berbagai konsep dan prinsip pembangunan berkelanjutan tersebut maka paling tidak ada beberapa prinsip dasar yang perlu mendapat perhatian dalam melaksanakan pembangunan yaitu: a. Pertumbuhan ekonomi dan efesiensi penggunaan sumberdaya alam; b. Menjaga kelestarian fungsi ekologis penunjang kehidupan; c. Pemerataan antar waktu dan antar wilayah.

Untuk mengetahui atau mengukur apakah kegiatan pembangunan telah memenuhi prinsip dasar pembangunan berkelanjutan diperlukan berbagai alat analisis. Salah satu alat analisis yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi dan keterkaitannya dengan aspek lingkungan adalah Analisis Tabel Input Output.

2.3. Model Input Output

Model Analisis Tabel Input Output pertama kali dikembangkan oleh seorang ekonom berkebangsaan Perancis yaitu Francois Quesnai pada tahun 1758 dalam artikel yang berjudul: Tableau Economique. Dalam tersebut F. Quesnai menguraikan bagaimana tuan tanah menerima uang sewa lahan dan menggunakannya untuk membeli hasil pertanian dan hasil kerajinan. Lebih lanjut, petani dan pengrajin membelanjakan uangnya untuk bahan makanan dan bahan baku dan seterusnya (Miller dan Blair 1985).

(34)

bidang ekonomi dan model matematik hubungan faktor produksi (input) dengan produk yang dihasilkannya (output). Selanjutnya model Walras tersebut disederhanakan oleh Wassily Leontief. Model input-output Leontief tersebut digunakan untuk menganalisis struktur ekonomi Amerika yang dipublikasikan tahun 1941 (Miller dan Blair 1985).

Berdasarkan hasil karya tersebut dan upaya pengembangannya untuk berbagai keperluan analisis, W. Leontief mendapat hadiah Nobel di bidang Ilmu Ekonomi pada tahun 1973. Model analisis input-output atau lebih dikenal dengan Model Leontief ini diakui secara luas sangat bermanfaat untuk menganalisis kondisi perekonomian regional maupun nasional, dalam kaitannya dengan perencanaan pembangunan ekonomi suatu wilayah. Lebih lanjut dikemukakan bahwa keuntungan menggunakan analisis input-output adalah sebagai berikut (Tarigan 2004):

1. Analisis Input Output dapat memberikan gambaran keterkaitan antar sektor perekonomian, sehingga memperluas wawasan terhadap perekonomian wilayah. Perekonomian wilayah bukan lagi sebagai kumpulan sektor-sektor, melainkan merupakan suatu sistem yang saling berhubungan. Perubahan pada salah satu sektor akan mempengaruhi keseluruhan sektor walaupun perubahan itu akan terjadi secara bertahap.

2. Dengan Analisis Input Output dapat diketahui keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan keterkaitan ke depan (forward linkage) dari setiap sektor, sehingga mudah untuk menetapkan sektor mana yang dijadikan sebagai sektor strategis dalam perencanaan pembangunan perekonomian wilayah.

3. Analisis Input Output dapat meramalkan pertumbuhan ekonomi dan kenaikan tingkat kemakmuran, seandainya terjadi kenaikan permintaan akhir dari berbagai sektor. Hal ini dapat dianalisis melalui peningkatan input antara dan kenaikan input primer yang merupakan nilai tambah (kemakmuran).

(35)

5. Analisis Input Output dapat digunakan untuk menghitung kebutuhan tenaga kerja dan modal dalam perencanaan pembangunan ekonomi wilayah.

2.3.1. Model Input Output Konvensional

Kerangka dasar dari analisis input-output adalah suatu bentuk analisis hubungan ketergantungan antar sektor ekonomi dalam suatu sistem perekonomian regional pada periode tertentu (satu tahun) dan perekonomian dalam kondisi stabil. Informasi tentang transaksi barang dan jasa serta saling keterkaitan antar sektor ekonomi dalam satu wilayah tersebut disajikan dalam bentuk matriks dengan empat kuadran (Miller dan Blair 1985 dan Badan Pusat statistik 1999).

Kuadran pertama menunjukkan arus barang dan jasa yang dihasilkan dan digunakan oleh sektor-sektor dalam suatu perekonomian. Kuadran ini menunjukkan distribusi penggunaan barang dan jasa untuk proses produksi. Penggunaan atau konsumsi barang dan jasa yang dimaksud di sini adalah sebagai bahan baku atau bahan penolong, sehingga transaksi pada kuadran pertama ini disebut juga sebagai transaksi antara. Kuadran kedua menunjukkan permintaan akhir yaitu penggunaan barang dan jasa untuk konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, investasi dan ekspor. Kuadran ketiga memperlihatkan input primer sektor produsi yaitu input yang bukan merupakan bagian output dari suatu sektor produksi seperti pada kuadran pertama dan kedua. Input primer adalah semua balas jasa faktor produksi yang meliputi upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan dan pajak tidak langsung netto. Sementara kuadran keempat menggambarkan input primer yang langsung didistribusikan ke sektor-sektor permintaan akhir. Informasi pada kuadran keempat ini bukan merupakan informasi penting, sehingga sering diabaikan. Ilustrasi Tabel Input Output dapat dilihat pada Tabel 1.

(36)

dalam proses produksi sektor ekonomi tersebut dan sebaliknya besarnya dukungan suatu sektor ekonomi terhadap sektor ekonomi lainnya ditentukan oleh besarnya output sektor ekonomi tersebut yang digunakan dalam proses produksi sektor ekonomi lainnya. Oleh karena itu perencanaan pengembangan suatu sektor ekonomi harus memperhatikan prospek pengembangan sektor ekonomi lainnya.

Tabel 1. Ilustrasi tabel input-output

Alokasi Output Permintaan Antara Permintaan Total Struktur Input Sektor Produksi

1 ... j ... n

Kuadran III Kuadran IV

Input Primer V1 Vj Vn Jumlah Input X1 Xj Xn Sumber: Badan Pusat Statistik. 1999.

Dalam penyusunan model Tabel Input Output digunakan tiga asumsi dasar yaitu (Badan Pusat Statistik 1999):

a. Homogenitas: tiap sektor memproduksi suatu output tunggal dengan struktur input tunggal dan tidak ada substitusi otomatis antara berbagai sektor;

b. Proporsionalitas: dalam proses produksi, hubungan antar input dengan output merupakan fungsi linier yaitu tiap jenis input yang diserap oleh sektor tertentu naik atau turun sebanding dengan kenaikan atau penurunan output sektor tersebut;

(37)

Dengan adanya asumsi tersebut, Tabel Input Output mempunyai keterbatasan antara lain; karena rasio input output tetap konstan sepanjang periode analisis, produsen tidak dapat menyesuaikan perubahan-perubahan inputnya atau mengubah proses produksi. Walaupun demikian, model input output mempunyai keunggulan sebagai alat analisis ekonomi yang lengkap dan komprehensif, sehingga sangat relevan untuk digunakan sebagai alat analisis dalam penelitian ini khususnya untuk mengetahui keterkaitan perkebunan kakao dengan sektor perekonomian lainnya dan peran perkebunan kakao bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan, serta dampak perubahan permintaan akhir terhadap perluasan areal perkebunan kakao. Selanjutnya dengan melakukan modifikasi menjadi model Tabel Input Output berwawasan lingkungan dapat diketahui peran sesungguhnya dari perkebunan kakao maupun sektor ekonomi lainnya bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan.

2.3.2. Model Input Output Berwawasan Lingkungan

Karena kemampuannya untuk menunjukkan keterkaitan berbagai sektor dalam suatu sistem perekonomian regional, maka analisis Tabel Input Output dikembangkan untuk pemanfaatan yang lebih khusus seperti menganalisis dampak produksi dan konsumsi energi, dan menganalisis interaksi antara kegiatan ekonomi dan lingkungan.

(38)

sebagai suatu komoditi seperti komoditi lainnya dalam Tabel Input-Output konvensional.

Analisis interaksi kegiatan ekonomi dan lingkungan dengan menggunakan model Input-Output telah banyak dilakukan untuk berbagai keperluan, terutama untuk memperoleh informasi yang dapat dijadikan sebagai dasar perumusan kebijakan publik yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi dan lingkungan. Model analisis Input Output berkembang pesat untuk berbagai keperluan karena ditunjang oleh kemajuan di bidang teknologi komputasi yang mampu menghitung data cukup besar dengan kecepatan tinggi.

Najmulmunir (2001), menggunakan model Input Output untuk menganalisis dampak pembangunan ekonomi terhadap perkembangan wilayah dan kualitas lingkungan di Lampung. Pengembangan model analisis kebutuhan ruang/lahan dan model analisis dampak beban pencemaran lingkungan diturunkan dari model Input Output. Model analisis kebutuhan lahan diturunkan dari prediksi output yang ditransformasikan ke dalam produktivitas lahan yang selanjutnya akan berimplikasi pada perubahan struktur penggunaan lahan. Sedangkan model analisis dampak beban pencemaran lingkungan diturunkan dari proyeksi produksi.

Hinterberger and Giljum (2003), mengembangkan model analisis Input Output lingkungan untuk menganalisis aliran bahan dan penggunaan lahan dari suatu sektor ekonomi. Dengan berbagai skenario yang meliputi dimensi ekonomi, lingkungan dan sosial, model tersebut dapat memberikan gambaran penggunaan lahan akibat perubahan permintaan terhadap komoditas yang menggunakan lahan tersebut. Berdasarkan hasil kajian tersebut dapat dirumuskan alternatif kebijakan terbaik untuk melaksanakan strategi pembangunan berkelanjutan.

(39)

terhadap lingkungan, sehingga dapat ditentukan pilihan kebijakan untuk menurunkan tingkat emisi CO2 maupun gas lainnya.

Silva (2001), menggunakan model analisis Input Output Lingkungan untuk menganalisis emisi gas rumah kaca di Portugal. Penelitian berhasil menunjukkan bahwa tanpa adanya suatu kebijakan tertentu, emisi gas rumah kaca di Portugal pada tahun 2010 akan jauh melebihi target peningkatan emisi sebesar 27% dibandingkan tingkat emisi tahun 1990 yang disepakati dalam Kyoto Protokol. Lebih lanjut, dikemukakan bahwa model analisis Input Output Lingkungan merupakan suatu alat analisis yang ampuh untuk memperhitungkan emisi gas rumah kaca dikaitkan dengan produk akhir dari berbagai sektor perekonomian suatu wilayah atau negara. Namun kebermanfaatannya sangat tergantung pada ketersediaan dan kualitas data yang bisa digunakan untuk analisis tersebut.

Lebih lanjut, model analisis Input output yang akan dibangun dalam penelitian ini juga memiliki keterbatas sama seperti model analisis input output konvensional terutama karena keterbatasan ketersediaan data dan penggunaan asumsi yang juga menyebabkan kertebatasan. Meskipun demikian, penelitian ini berupaya untuk mengungkapkan seberapa besar pengaruh biaya eksternalitas berbagai sektor ekonomi terhadap nilai output dan PDRB serta besaran nilai pengganda output, pendapatan, tenaga kerja dan nilai indeks keterkaitan antar sektor ekonomi dalam perekonomian regional Sulawesi Selatan.

2.3.3. Pengertian dan Pengukuran Eksternalitas

(40)

juga berperan memberikan jasa hiburan atau kesenangan bagi manusia (Suparmoko dan Suparmoko, 2000).

Lebih lanjut dikemukan oleh Suparmoko dan Suparmoko (2000), bahwa semakin meningkatnya pembangunan demi meningkatkan kesejahteraan manusia, ternyata berdampak terhadap fungsi atau peranan lingkungan. Jumlah bahan mentah yang disediakan lingkungan semakin berkurang dan menjadi langka, kemampuan alam untuk mengolah limbah semakin berkurang karena melebihi kapasitas daya tampung lingkungan, dan kemampuan lingkungan untuk menyediakan kesenangan juga berkurang karena banyak sumberdaya alam dan lingkungan yang diubah fungsinya atau karena meningkatnya pencemaran.

Penurunan peran atau fungsi lingkungan yang terjadi akibat aktivitas ekonomi tersebut perlu diperhitungkan dalam perhitungan pendapatan nasional (GNP), sehingga indikator keberhasilan pembangunan ekonomi tersebut benar-benar mencerminkan ukuran yang sesungguhnya mengenai standar kehidupan masyarakat. Demikian pula halnya terkait dengan evaluasi peran sektor ekonomi tertentu terhadap perekonomian regional atau nasional, perlu dikoreksi dengan cara memperhitungkan biaya maupun manfaat eksternalitasnya, sehingga tidak menimbulkan bias dalam penilaian dan perencanaan pembangunan ekonomi selanjutnya.

Menurut Suparmoko dan Suparmoko (2000), eksternalitas terjadi apabila seseorang melakukan suatu kegiatan dan kegiatan tersebut menimbulkan dampak kepada orang lain baik berupa manfaat eksternal maupun biaya eksternal yang tidak memerlukan kewajiban untuk menerima atau melakukan pembayaran. Adanya eksternalitas yang sering tidak diperhitungkan tersebut menyebabkan keputusan dari pengambil kebijakan atau manajer tidak tepat dan kegiatan yang dilakukan berdasarkan keputusan tersebut tidak efisien.

(41)

Suparmoko (2002), ada beberapa langkah operasional dan metode penilaian terhadap dampak lingkungan yang umum digunakan di berbagai negara. Langkah penilaian diawali dengan identifikasi dampak peting dari suatu kegiatan. Kemudian mengkuantifikasi besarnya dampak tersebut dan dilanjutkan dengan melakukan penilaian berdasarkan nilai uang dan analisis ekonomi dari dampak penting yang telah diidentifikasi. Adapun metode yang dapat digunakan untuk melakukan penilaian ekonomi dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: a. Metode yang secara langsung menggunakan harga pasar; b. Metode yang menggunakan nilai pasar barang pengganti atau barang pelengkap; dan c. Metode yang didasarkan pada hasil survei.

Pada penelitian ini, pengukuran eksternalitas dilakukan mengikuti langkah-langkah operasional dan metode penilaian yang umum digunakan. Namun penilaian terhadap dampak penting yang telah teridentifikasi lebih banyak dilakukan berdasarkan hasil penelitian terdahulu dari berbagai belahan dunia, karena sangat terbatasnya hasil penelitian di lokasi penelitian ini dan masih rendahnya pemahaman serta penilaian masyarakat terhadap lingkungan hidup.

Eksternalitas dari suatu sektor ekonomi muncul karena adanya alih fungsi lahan atau karena adanya limbah yang dihasilkan oleh aktivitas ekonomi. Alih fungsi lahan yang umum terjadi adalah pengalihan lahan kehutanan ke sektor pertanian ataupun sektor perekonomian lainnya. Proses pengalihan fungsi lahan tersebut menyebabkan terganggunya atau rusaknya beberapa fungsi hutan sebagai penunjang kehidupan dan kerusakan tersebut tidak diperhitungkan sebagai biaya tetapi diperlakukan sebagai eksternalitas. Sedangkan limbah yang dihasilkan oleh aktivitas ekonomi yang tidak memenuhi baku mutu lingkungan merupakan suatu eksternalitas yang membebani pihak lain. Limbah yang dihasilkan berbagai aktivitas ekonomi cukup beragam, baik berupa padatan, cairan maupun gas dan beban eksternalitas dari limbah tersebut dapat bersifat lokal, regional maupun global.

(42)

dampak dari alih fungsi lahan dan menilai dampak tersebut kedalam bentuk nilai uang. Menurut Krieger (2001), ekosistem hutan mempunyai nilai yang cukup besar bagi suatu kawasan, baik sebagai penghasil barang maupun jasa lingkungan. Sebagai penghasil barang, hutan merupakan penghasil kayu dan non-kayu. Sementara sebagai pemberi jasa lingkungan, hutan berfungsi mempengaruhi iklim, tata air khususnya pencegah banjir dan penyedia air, pengendali erosi dan pencegah sedimentasi, pembentukan tanah, siklus hara, asimilasi limbah, sumber plasma nutfah dan tempat rekreasi serta kebudayaan. Secara umum nilai dari suatu kawasan hutan tropis dapat mencapai lebih dari US $ 2 juta/ha.

Alih fungsi lahan kehutanan menjadi lahan pertanian akan menimbulkan berbagai dampak negatif karena hilangnya berbagai fungsi hutan antara lain: rusaknya tata air khususnya fungsi pengendali banjir dan penyediaan air, peningkatan erosi tanah, terganggunya siklus hara dan asimilasi karbon, serta penyusutan keanekaragaman hayati. Menurut Pearce and Pearce (2001), dampak negatif tersebut semakin besar lagi nilainya jika diperhitungkan berbagai fungsi hutan lainnya yang ikut hilang serta dampak turunan lainnya seperti sedimentasi dari tanah yang tererosi yang dapat menyebabkan kerusakan ekosistem di bagian hilir sungai.

Berbagai hasil penelitian yang berhasil dirangkum oleh Pearce (2001), menunjukkan bahwa nilai jasa dari suatu kawasan hutan tropis sangat bervariasi tergantung pada kondisi hutan dan fungsi dari kawasan hutan tersebut serta pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap pentingnya hutan sebagai penunjang kehidupan. Alih fungsi lahan hutan menyebabkan rusaknya fungsi hutan sebagai pengendali banjir dan penyedia air dengan nilai bervariasi antara US $ 0-24/ha di Kameron (Yaron 2001 dalam Pearce 2001), sedangkan di Malaysia bervariasi antara US $ 0-15/ha (Kumari 1996 dalam Pearce 2001) dan US $ 12/ha di Guatemala (Ammour et al. 2000 dalam Pearce 2001).

(43)

keanekaragaman hayati hutan tropis berkisar antara US $ 9-61/ha. Tingginya nilai keanekaragaman hayati tersebut karena banyaknya tanaman yang dapat dijadikan sebagai bahan baku obat-obatan dan sumber plasma nutfah berbagai jenis tanaman pertanian.

Alih fungsi lahan hutan umumnya dilakukan dengan cara tebang, tebas dan bakar, sehingga menimbulkan emisi gas CO2 dan hilangnya kemampuan untuk mengabsorsi CO2 serta hilangnya kemampuan untuk memproduksi O2. Nilai eksternalitas dari emisi CO2 sangat bervariasi tergantung dari kondisi hutan dan kandungan masa karbon yang terbakar. Kandungan karbon, suatu kawasan hutan primer dapat mencapai 200 ton/ha, sementara kandungan karbon hutan yang terbuka diperkirakan 100 ton/ha (Bann 1997). Dengan harga transaksi karbon yang berlaku saat ini yaitu US $ 5/ton, maka alih fungsi lahan hutan dapat menimbulkan emisi karbon sebesar US $ 500-1.000/ha.

Alih fungsi lahan juga menyebabkan hilangnya fungsi hutan dalam menyediakan unsur hara dan pengendali erosi. Alih fungsi lahan menyebabkan terjadi peningkatan erosi tanah karena lahan menjadi terbuka pada saat dialihfungsikan. Kerugian akibat erosi dapat dihitung dengan menggunakan pendekatan biaya pengganti unsur hara yang hilang karena erosi. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa hutan dapat mencegah kerugian akibat erosi tanah di Turki mencapai US $ 46/ha (Bann 1998 dalam Pearce 2001). Sementara itu, Manurung (2001), dalam menganalisis biaya lingkungan konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, memberikan penilaian fungsi hutan untuk mengendalikan erosi tanah sebesar US $ 53/ha. Pada penelitian ini, kerugian akibat erosi dianalisis dengan menggunakan pendekatan pendugaan erosi tanah berdasarkan Universal Soil Loss Equation (USLE) dan pendekatan biaya pengganti unsur hara yang hilang karena erosi.

(44)

lingkungan kedalam bentuk nilai uang dilakukan berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dihimpun oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dan dijadikan sebagai acuan dalam penilaian/valuasi ekonomi dampak lingkungan (Intergovernmental Panel on Climate Change 2003).

2.4. Prospek dan Permasalahan Perkebunan Kakao

Tanaman kakao bukan tanaman asli Indonesia. Tanaman tersebut diperkirakan berasal dari lembah hulu sungai Amazon, Amerika Selatan yang dibawa masuk ke Indonesia melalui Sulawesi Utara oleh Bangsa Spanyol sekitar tahun 1560. Namun sejak kapan mulai dibudidayakan masih belum begitu jelas, ada yang berpendapat pembudidayaannya bersamaan dengan pembudidayaan kopi tahun 1820, tetapi pendapat lain mengatakan lebih awal lagi yaitu tahun 1780 di Minahasa. Pembudidayaan kakao di daerah Minahasa tersebut tidak berlangsung lama karena sejak tahun 1845 terjadi serangan hama penggerek buah kakao (PBK). Akibatnya kebun tidak terpelihara dan menjadi rusak (Roesmanto 1991).

Pada waktu budidaya kakao di Minahasa mengalami kehancuran, tanaman kakao mulai menarik perhatian petani di Jawa. Perkebunan kakao telah dikembangkan di Jawa Tengah dan Jawa Timur meliputi daerah Ungaran, Salatiga, Surakarta, Kediri, Malang dan Jember. Namun sebelum mencapai kejayaannya, perkebunan kakao di Jawa juga mengalami kehancuran akibat serangan hama PBK sejak tahun 1886 dan setelah tahun 1900 praktis tidak ada lagi perkebunan kakao di Jawa (Roesmanto 1991).

(45)

telah mendominasi perkebunan kakao Indonesia. Tanaman kakao ditanam hampir di seluruh pelosok tanah air dengan sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sumatera Utara dan Kalimantan Timur (Direktorat Jenderal Perkebunan 2006).

Keberhasilan perluasan areal dan peningkatan produksi tersebut telah memberikan hasil nyata bagi peningkatan pendapatan petani, peningkatan PDRB dan peningkatan pangsa pasar kakao Indonesia di kancah perkakaoan dunia. Indonesia berhasil menempatkan diri sebagai produsen kakao terbesar kedua dunia setelah Pantai Gading (Cote d’Ivoire) pada tahun 2002, walaupun kembali tergeser ke posisi ketiga oleh Ghana pada tahun 2003 (International Cocoa Organization 2003).

Perkebunan kakao masih cukup prospektif untuk terus dikembangkan karena beberapa tahun terakhir konsumsi kakao dunia lebih tinggi dari produksi, sehingga terjadi defisit produksi dan harga kakao dunia relatif stabil pada tingkat yang cukup tinggi yaitu sekitar US $ 1.500/ton. Lebih lanjut, analisis kelayakan usaha yang dilakukan oleh Asian Development Bank (1994), menunjukkan bahwa pengusahaan kakao cukup prospektif dan layak dilaksanakan. Pengusahaan perkebunan kakao dengan input rendah mampu menghasilkan nilai IRR = 21,7%.

Meskipun demikian, petani maupun para investor perkebunan kakao perlu mewaspadai adanya permasalahan lingkungan dan serangan hama serta penyakit tanaman terutama serangan hama PBK. Permasalahan lingkungan khususnya yang terkait dengan alih fungsi lahan di Sulawesi Selatan tidak semata-mata disebabkan oleh pesatnya pengembangan perkebunan kakao, tetapi pengusahaan tanaman pangan dan sayuran serta tanaman perkebunan lainnya terutama yang dilakukan di lereng-lereng bukit dan pegunungan juga menimbulkan dampak yang cukup nyata bagi peningkatan erosi lahan dan kerusakan tata air (Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan, 2003). Permasalahan lingkungan tersebut akan berdampak pada penurunan produktivitas jika kehilangan unsur hara akibat erosi tidak diimbangi dengan pemberian pupuk yang memadai.

(46)

akibat serangan hama PBK secara nasional diperkirakan lebih dari Rp 1,1 triliun (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan 2004). Sementara itu, kerugian akibat serangan hama PBK di Sulawesi Selatan diperkirakan sebesar Rp 810 milyar per tahun (Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan 2004 dalam Mustafa 2005).

2.4.1. Kerusakan Lingkungan Akibat Pangembangan Kakao

Pengembangan perkebunan kakao yang begitu pesat tersebut, di satu sisi memberikan peran yang cukup besar bagi perekonomian regional, tetapi di sisi lain berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi stabilitas ekosistem/lingkungan. Perkebunan kakao umumnya diusahakan petani di lereng-lereng bukit dan pegunungan, karena lahan di Sulawesi Selatan sebagian besar (>75%) merupakan bukit dan pegunungan. Alih fungsi lahan pada kondisi lahan yang demikian berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan berupa peningkatan erosi dan penurunan kesuburan lahan. Di samping itu apabila lahan yang dialihfungsikan adalah kawasan hutan maka beban kerusakan lingkungan bertambah dengan menurunnya keanekaragaman hayati dan menurunnya fungsi ekologis sebagai pendukung kehidupan.

Menurut Wati (2002), dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (1991-2001) konversi kawasan hutan menjadi areal perkebunan di kawasan DAS Saddang yang wilayahnya mencakup beberapa kabupaten yaitu Kabupaten Tana Toraja, Polewali-Mamasa, Enrekan, Pinrang, Mamuju dan Luwu cukup besar. Areal hutan menyusut dari 358.676 ha (55,6% dari total areal DAS Saddang) menjadi 296.101 ha (45,9%) pada tahun 2002, sedangkan areal perkebunan mengalami peningkatan dari 29.675 ha (4,6%) tahun 1991 menjadi 234.171 ha (36,3%) pada tahun 2002. Komoditas perkebunan yang banyak diusahakan di daerah ini adalah kopi, kakao, vanili, cengkeh, kelapa, kayu manis, pala, kemiri dan jambu mete.

(47)

perluasan perkebunan kakao juga dikemukakan Akiyama dan Nishio (1997), yang menyatakan bahwa pengembangan perkebunan kakao yang begitu pesat di Sulawesi Selatan di satu sisi memberikan dampak positif bagi perekonomian daerah, tetapi disisi lain menimbulkan dampak negatif berupa peningkatan erosi dan menurunkan areal tangkapan air serta penyusutan keanekaragaman hayati.

Kerusakan lingkungan akibat konversi hutan menjadi lahan perkebunan kakao juga terjadi di Ghana. Menurut Barbier (2000), perluasan areal perkebunan kakao di Ghana menyebabkan penyusutan areal hutan dan dengan adanya kenaikan pendapatan dari hasil kakao membuat laju perluasan areal kakao dan penyusutan areal hutan makin cepat. Karena teknologi budidaya yang dikembangkan tidak lestari, maka pemanfaatan hutan menjadi lahan perkebunan kakao berdampak pada peningkatan degradasi lahan. Peningkatan degradasi lahan hutan tersebut makin pesat lagi karena pengembangan perkebunan kakao banyak dilakukan oleh masyarakat tani yang tidak memiliki lahan dan modal usaha, sehingga yang menjadi sasaran pengembangan perkebunan adalah kawasan hutan.

Sebenarnya dampak kerusakan lingkungan akibat pesatnya pengembangan perkebunan kakao dapat dikurangi jika petani mengikuti arahan pemerintah yang termuat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan menerapkan teknologi budidaya konservasi. Pengembangan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan difasilitasi pemerintah daerah melalui berbagai progam yang diawali dengan program Pewilayahan Komoditas, dilanjutkan dengan program Grateks-2 dan yang sekarang sedang berlangsung adalah program Gerbang Emas (Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan 1998, 2004, dan 2006).

(48)

Selanjutnya pengembangan perkebunan kakao difasilitasi dengan program Gerakan peningkatan produksi dua kali lipat (Grateks-2). Program ini pada hakekatnya adalah pembangunan agribisnis perkebunan dengan sasaran utama peningkatan produksi. Melalui program Grateks-2 tersebut telah berhasil memacu peningkatan produksi perkebunan rata-rata di atas 15%/tahun pada periode 1998-2002. Khusus komoditas kakao terjadi peningkatan produksi rata-rata 67,41%/tahun (Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan 2003).

Pada era otonomi daerah, pembangunan di Sulawesi Selatan dilanjutkan melalui program Gerakan pembangunan ekonomi masyarakat (Gerbang Emas). Program tersebut di sub sektor perkebunan diprioritaskan pada tiga komoditas yaitu kelapa, kakao dan kopi. Sasaran yang ingin dicapai adalah terbentuknya kawasan sentra produksi komoditas unggulan yang prospektif, kompak, ekonomis dan ramah lingkungan, sehingga mampu memberikan sumbangan pendapatan kepada pekebun di atas Rp 6,5 juta/KK/tahun (Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan 2004b).

Kesadaran akan perlunya memasukkan sasaran pengembangan perkebunan ramah lingkungan agak terlambat, karena sebagian kawasan hutan yang berfungsi sebagai penyangga/pendukung kehidupan telah terusik dan dampaknya mulai dirasakan masyarakat seperti banjir dan kekeringan dikawasan Danau Tempe, serta menyusutnya potensi ekonomi dari Danau Tempe. Oleh karena itu, perkebunan yang berhasil dibangun perlu dikelola dengan baik, sehingga dapat menggantikan sebagian fungsi hutan yang terlanjur berubah.

Gambar

Gambar  1. Bagan Kerangka Pemikiran Pembangunan Perkebunan Kakao Berkelanjutan.
Gambar 2. Proses Adopsi Teknologi
Gambar 3. Tahapan Kegiatan Penelitian.
Tabel 1. Ilustrasi tabel input-output
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil-hasil penelitian dilaporkan tidak ada perbedaan produksi telur dari ayam-ayam yang diberi energi bervariasi dari 2650-2960 kkal/kg. Untuk kondisi Indonesia,

Pada dasarnya, kedua sufiks ini mempunyai arti yang sama namun adjketiva yang diikuti oleh sufiks ini lebih mewujudkan bentuk atau rasa dari adjketiva itu sendiri dan dapat

Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas ( Action Research ) pada kuliah Writing dengan menerapkan metode pembelajaran menulis teks bahasa Inggris berbasis

Sekretariat: Kp.Cibungur Rt.02/10 Kel.Setiawargi Kec.Tamansari Kota Tasikmalaya Jawa Barat. JADWAL KEGIATAN DAN RENCANA PENGGUNAAN HIBAH Kegiatan pembangunan Majlis Taklim

program intra kurikuler, ko kurikuler maupun ekstra kurikuler menurut cara-cara dan ketentuan yang berlaku. Mahasiswa sebagai calon ilmuwan berkewajiban selalu bersikap ksatria,

Dalam menghitung besaran ambang batas belanja tersebut BLUD harus mempertimbangkan fluktuasi kegiatan operasional, antara lain trend naik- turun selisih antara

Karena waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki pompa hanya sebentar + 15 menit, Masinis jaga dan Juru Minyak jaga yang pada saat itu berada dalam kamar mesin

Dari validasi yang dilakukan terhadap contoh proyek, ternyata program yang dibuat ternyata dapat dipergunakan dengan baik, dan tampilan yang ada bersifta komunikatif, sehingga