• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.4. Definisi Operasional

Dalam melakukan pengolahan dan analisis data digunakan beberapa istilah, konsepsi dan asumsi sebagai berikut:

a. Biaya eksternalitas adalah biaya kerusakan lingkungan atau biaya yang seharusnya dikeluarkan untuk melindungi kerusakan lingkungan, tetapi tidak dimasukkan sebagai biaya dalam sektor ekonomi yang dalam proses produksinya menimbulkan kerusakan lingkungan atau menghasilkan limbah yang menurunkan kualitas lingkungan. Sedangkan biaya lingkungan yang telah dikeluarkan untuk mencegah pencemaran atau kerusakan lingkungan dalam penelitian ini tidak diperhitungkan sebagai biaya eksternalitas karena sudah diinternalisasikan oleh produsen dalam perhitungan rugi-laba perusahaan.

b. Dalam pendugaan erosi tanah digunakan nilai penutupan tanaman (C) disesuaikan dengan jenis dan kondisi tanaman dengan kisaran 0,1-0,5. Untuk tanaman kakao dan kopi, nilai C= 0,3 untuk tanaman baru ditanam (TBM-0); nilai C = 0,2 untuk tanaman belum menghasilkan berumur 1-3 tahun dan tanaman rusak (TBM 1-3 dan TR); dan nilai C = 0,1 untuk tanaman menghasilkan (TM). Sementara itu, nilai konservasi (P) = 1 karena tidak ada tindakan konservasi lahan, dan erodibilitas rata-rata (K) = 0,205 (Morgan 1986; Rahim 2000 dan Suripin 2002). Sedangkan curah hujan digunakan curah hujan rata-rata dari berbagai lokasi yaitu 2.000 mm/tahun. Panjang lereng (L) bervariasi dengan asumsi rata-rata: 40m untuk lahan berkemiringan 5%; 35m untuk lahan berkemiringan 10%; 30m untuk lahan berkemiringan 15%; 25m untuk lahan berkemiringan 20%; dan 20 m untuk lahan berkemiringan 30% (Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan, 2004 dan 2004a; Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan 2004; dan Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan 2004).

c. Kandungan unsur hara utama (N, P, dan K) dari beberapa lokasi di Sulawesi Selatan yaitu di Kabupaten Polmas (Balai Penelitian Teknologi Pertanian, 2004),

di Kabupaten Luwu (Hendrisman et al. 2005) menunjukkan bahwa kandungan rata-rata unsur hara N sebesar 1,2344 kg/ton tanah atau setara dengan 2,7432 kg pupuk urea, unsur hara P sebesar 0,6868 kg/ton tanah atau setara dengan 1,9077 kg pupuk SP-36 dan unsur hara K sebesar 1,5691 kg/ton tanah atau setara dengan 2,6152 kg KCl. Dengan menggunakan harga pupuk masing-masing Rp 1.500/kg untuk pupuk urea, Rp 2.000/kg untuk pupuk SP-36 dan Rp 2.500/kg untuk pupuk KCl, maka nilai total kandungan unsur hara utama tanah tersebut setara dengan Rp 14.468/ton tanah (Lampiran 3).

d. Harga transaksi CO2 diasumsikan sebesar US $ 5/ton merupakan nilai tengah dari harga CO2 pada proyek mekanisme pembangunan bersih (Clean Development Mechanism-CDM) yang nilainya berkisar antara US $ 1,75-10/ton CO2 (Jotzo 2001).

e. Nilai emisi CH4 setara dengan 21 kali CO2 dan N2O setara dengan 310 kali CO2 sesuai dengan nilai yang ditetapkan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) (Hassall & Associates Pty Ltd. 1999; Meiviana et al. 2004). f. Nilai keanekaragaman hayati diasumsikan sebesar US $ 10/ha. Penetapan asumsi

tersebut berdasarkan pada kondisi hutan yang dikonversi dan hasil-hasil penelitian yang menunjukkan bahwa hutan tropis mengandung keanekaragaman hayati yang nilainya berkisar antara US $ 0,01-61/ha. (Pearce dan Moran, 1994; dan Balick dan Mendelsohn 1992 dalam Bann 1997) dan US $ 0,3-30/ha (Tacconi 2003)

g. Nilai hutan untuk pengendali banjir dan penyedia air diasumsikan sebesar US $ 12/ha/tahun. Asumsi tersebut ditetapkan berdasarkan pada kondisi hutan yang dikonversi dan hasil-hasil penelitian yang menunjukkan bahwa hutan tropis memiliki nilai guna untuk mencegah banjir dan penyedia air berkisar antara US $ 0-24/ha (Pearce 2001).

69

h. Emisi CO2 dari pembakaran batang, ranting dan daun semak belukar saat pembersihan lahan hutan untuk dijadikan lahan pertanian diasumsikan sebesar 5 ton/ha, sehingga nilainya US $ 25/ha.

i. Emisi CO2 dari industri semen diasumsikan sebesar 0,87 kg/kg semen. Asumsi tersebut merupakan besaran emisi rata-rata industri semen di Asia (Humphreys dan Mahasenan 2002; dan Hendriks et al. 2004).

j. Nilai tukar rupiah diasumsikan sebesar Rp 9.000/dolar Amerika Serikat.

k. Tingkat adopsi teknologi dianalisis berdasarkan tahapan adopsi teknologi yaitu: tahap perubahan pengetahuan, tahap pembentukan sikap, dan tahap penerapan teknologi. Masing-masing tahapan diberi nilai atau skor maksimum 400 yaitu merupakan penjumlahan dari skor maksimum setiap komponen PsPSP. Setiap komponen PsPSP masing-masing tahapan diberi skor 0-100. Sebagai contoh, seorang responden memperoleh nilai maksimum 400 untuk tahap perubahan pengetahuan apabila petani tersebut mengetahui dengan benar istilah, prosedur atau cara melakukan, dan tujuan atau manfaat dari perlakuan: panen sering, pemangkasan, sanitasi dan pemupukan. Sebaliknya akan diberi nilai atau skor 0 apabila petani benar-benar tidak mengetahui istilah PsPSP. Selanjutnya nilai total skor masing-masing tahapan adopsi teknologi dikonversi ke nilai peluang skala 0-1 dengan cara membagi nilai skor masing-masing responden dengan nilai skor maksimum yaitu 400.

beberapa wilayah kerajaan yang berdiri sendiri dan didiami oleh empat etnis yaitu; suku Bugis, Makassar, Mandar, dan suku Toraja. Pada ke XVI dan XVII ada tiga kerajaan besar yang berpengaruh luas dan mencapai kejayaannya yaitu Kerajaan Luwu, Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone. Masing-masing kerajaan telah melakukan hubungan dagang dan persahabatan dengan bangsa-bangsa lain terutama bangsa Eropa, India, Cina, Melayu dan Arab.

Setelah kemerdekaan, Sulawesi Selatan menjadi Provinsi Administratif Sulawesi berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 1950. Status tersebut bertahan hingga akhir tahun 1959. Kemudian pada tahun 1960, Provinsi Administratif Sulawesi berubah menjadi daerah otonom Sulawesi Selatan dan Tenggara berdasarkan UU Nomor 47 Tahun 1960. Selanjutnya terjadi lagi perubahan yaitu pemisahan Sulawesi Selatan dari daerah otonom Sulawesi Selatan dan Tenggara yang ditetapkan dengan UU Nomor 13 Tahun 1964, sehingga menjadi daerah otonom Sulawesi Selatan. Kemudian, terjadi lagi pemekaran wilayah sejak dikeluarkan UU No. 11 Tahun 2004, Sulawesi Selatan dimekarkan menjadi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Secara administratif Sulawesi Selatan terdiri dari 20 Kabupaten dan 3 Kota, sedangkan Sulawesi Barat terdiri dari 5 Kabupaten.

Pada saat penelitian ini dilakukan, Provinsi Sulawesi Barat masih dalam proses pembentukan, dan data serta informasi yang tersedia umumnya masih merupakan data dan informasi gabungan dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Oleh karena itu dalam penelitian ini digunakan “Sulawesi Selatan” sebagai satu kesatuan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat.