• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

4.5. Perkembangan Perkebunan Kakao di Sulawesi Selatan

Sulawesi Selatan menjadi sentra utama produksi kakao Indonesia, meskipun masyarakatnya belum lama mengenal komoditas kakao. Perkebunan kakao mulai berkembang di daerah ini pada awal tahun 1970-an dan pada saat itu pamornya masih jauh dibawah cengkeh yang telah banyak menghasilkan orang kaya baru di pedalaman. Namun memasuki tahun 1980-an, tanaman kakao berhasil menggeser posisi cengkeh yang harganya terus merosot. Petani cengkeh banyak yang mengganti kebun cengkehnya dengan kakao.

99

Perluasan areal perkebunan kakao di Sulawesi Selatan berlangsung sangat pesat dan hanya dalam waktu sekitar 20 tahun, areal perkebunan kakao mencapai lebih dari 72 ribu ha atau menempati posisi kedua setelah kelapa dalam yang arealnya mencapai 136,7 ribu ha pada tahun 1990. Sentra utama pengembangan kakao adalah Kabupaten Luwu, Mamuju, Pinrang dan Polmas. Dengan total areal lebih dari 72 ribu ha tersebut, perkebunan kakao mampu menyediakan kesempatan kerja dan pendapatan kepada sekitar 90 ribu kepala keluarga petani, serta memberikan kontribusi terhadap PDRB sebesar Rp 215,83 milyar atau 2,07% PDRB Sulawesi Selatan (Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan, 1991 dan Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, 1998).

Pengembangan areal perkebunan kakao terus berlanjut terutama di sentra utama pengembangan, sehingga pada tahun 1997 areal perkebunan kakao menjadi yang terluas di antara komoditas perkebunan di Sulawesi Selatan dengan total areal 157,6 ribu ha. Pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia, harga kakao di tingkat petani mengalami kenaikan yang sangat tajam. Kondisi ini makin mempercepat perluasan areal perkebunan kakao di Sulawesi Selatan. Areal perkebunan kakao berkembang menjadi 237.948 ha pada tahun 2000 dan menjadi 296.039 ha pada tahun 2003 (Tabel 14).

Tabel 14. Perkembangan areal perkebunan di Provinsi Sulawesi Selatan 1990-2003 Tahun Jenis Tanaman 1990 1995 2000 2003 ……….... (ha) ………. Kakao 72.176 131.194 237.948 296.039 Kelapa dalam 136.701 142.936 149.363 164.809 Kelapa sawit 4.937 4.788 26.738 80.928 Jambu mete 44.029 65.246 72.708 79.596 Kopi robusta 43.842 46.969 44.059 60.201 Kemiri 34.415 43.931 52.722 56.863 Kopi arabika 12.135 24.326 42.338 52.341 Cengkeh 53.256 52.401 48.850 50.605 Kelapa hybrida 15.347 24.832 28.077 42.321 Tebu 887 1.120 12.604 27.527 Lainnya 32.896 70.716 74.517 97.415 Total 450.621 608.459 789.924 1.008.645

Perluasan areal perkebunan kakao yang begitu pesat ternyata menimbulkan berbagai dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif bagi masyarakat Sulawesi Selatan. Dampak positif yang dirasakan masyarakat adalah terciptanya lapangan kerja yang lebih banyak dan peningkatan pendapatan bagi petani kakao. Sedangkan dampak negatif yang dirasakan masyarakat antara lain: kerusakan lingkungan dengan berbagai dampak turunannya dan serangan hama PBK yang makin mengganas serta sulit dikendalikan. Berikut ini akan diuraikan secara singkat dampak pesatnya pengembangan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan yang akan dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini.

4.5.1. Dampak Perluasan Perkebunan Kakao Terhadap Serangan Hama PBK

Sebagaimana telah dikemukakan, pengembangan perkebunan kakao yang begitu pesat telah menghasilkan hamparan perkebunan kakao yang begitu luas dan saling sambung-menyambung. Kondisi tersebut menciptakan lingkungan yang kondusif bagi berkembangnya berbagai organisme pengganggu tanaman kakao. Di samping itu, terbentuknya hamparan kebun yang saling sambung menyambung akan mempermudah dan mempercepat penyebaran berbagai organisme pengganggu tanaman kakao serta mempersulit upaya pengendaliannya.

Pada saat penelitian ini dilakukan, petani kakao Sulawesi Selatan sedang menghadapi persoalan yang sangat serius yaitu adanya serangan hama penggerek buah kakao (PBK). Hama PBK diduga berasal dari Tawau, Malaysia, yang terbawa oleh kapal dagang ke Kabupaten Toli-Toli, Sulawesi Tengah. Dari Kabupaten Toli- Toli Sulawesi Tengah inilah hama PBK menyebar dengan cepat ke berbagai penjuru Pulau Sulawesi, tidak terkecuali ke Sulawesi Selatan. Hama PBK teridentifikasi mulai menyerang perkebunan kakao di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan pada tahun 1995 dan menyebar dengan pesat ke seluruh areal perkebunan kakao di Sulawesi Selatan.

Pesatnya penyebaran hama PBK tersebut selain disebabkan oleh kondisi perkebunan kakao petani yang saling sambung menyambung, juga karena terbatasnya kemampuan petani untuk melakukan pengendalian hama PBK.

101

Akibatnya serangan hama PBK makin mengganas dan petani kakao Sulawesi Selatan mengalami kerugian yang tidak sedikit.

4.5.2. Dampak Perluasan Perkebunan Kakao Terhadap Lingkungan

Pengembangan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan hampir seluruhnya dilakukan oleh petani. Wilayah pengembangan perkebunan kakao umumnya di lereng-lereng bukit dan pegunungan, karena kondisi sumber daya lahan Sulawesi Selatan didominasi oleh bukit dan pegunungan. Lahan yang digunakan untuk pengembangan kakao umumnya lahan hutan dan sebagian menggunakan lahan sawah, ladang, dan bekas lahan tanaman perkebunan lainnya.

Dengan kondisi sumber daya lahan berbukit dan bergunung serta sebagian berupa hutan menyebabkan kegiatan pengembangan perkebunan kakao, khususnya pada saat pembukaan lahan akan menimbulkan masalah lingkungan. Pembukaan hutan atau konversi tanaman perkebunan lainnya di lahan perbukitan menyebabkan peningkatan erosi tanah, kerusakan tata air dan penyusutan keanekaragaman hayati.

Lebih lanjut, perkebunan kakao yang berhasil dibangun menghadapi ancaman yang serius dari serangan hama PBK. Hama PBK bukanlah hama yang baru, tetapi hama yang sudah beberapa kali menyerang dan menghancurkan perkebunan kakao di berbagai daerah di Indonesia. Beberapa tahun terakhir, hama PBK telah menunjukkan keganasannya dengan menyerang sebagian besar perkebunan kakao di Malaysia, sehingga menyebabkan perkebunan kakao Malaysia saat ini diambang kepunahan.

Apabila serangan hama PBK tidak segera dikendalikan, maka selain menimbulkan dampak negatif terhadap perekonomian regional juga akan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh serangan hama PBK terhadap lingkungan tidak bersifat langsung. Serangan hama PBK yang berat akan merugikan petani dan kerugian yang terus menerus menyebabkan perkebunan kakao terlantar dan menjadi rusak, sehingga lahannya mudah terdegradasi.

Kerusakan lingkungan akibat pesatnya perluasan areal perkebunan kakao maupun kerusakan lingkungan perkebunan kakao akibat serangan hama PBK merupakan biaya lingkungan yang perlu diperhitungkan, agar peran perkebunan kakao dalam perekonomian regional tidak bersifat semu.

4.5.3. Dampak Perluasan Perkebunan Kakao Terhadap Perekonomian Regional

Pesatnya pengembangan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan telah memberikan kontribusi yang nyata bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan, khususnya pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia. Kakao tampil sebagai penyelamat ekonomi petani sekaligus menjadi sumber utama devisa Sulawesi Selatan. Pada tahun 1998, kakao memberikan kontribusi output sebesar Rp 2,19 triliun dan menghasilkan devisa sebesar US $ 228,9 juta atau 38,28 % nilai ekspor Sulawesi Selatan (Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan, 1999 dan Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, 1999).

Selanjutnya, peranan perkebunan kakao bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2003, perkebunan kakao Sulawesi Selatan menghasilkan output senilai Rp 2,586 triliun dengan nilai ekspor sebesar US $ 246,9 juta atau 26,20% dari total Ekspor Sulawesi Selatan serta menyediakan kesempatan kerja bagi sekitar 300 ribu kepala keluarga petani (Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan, 2004a dan Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, 2004 ).

Namun peran kakao yang cukup besar bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan tersebut perlu dikaji lebih lanjut karena berbagai masalah. Pertama, peran tersebut masih bersifat semu karena belum memperhitungkan biaya lingkungan yang masih diperlakukan sebagai biaya eskternalitas. Kedua, perkebunan kakao sedang menghadapi ancaman yang serius dari hama PBK. Oleh karena itu, permasalahan biaya lingkungan, peran perkebunan kakao, dan ancaman hama PBK terhadap keberlanjutan peran perkebunan kakao bagi perekonomian regional Sulawesi selatan akan dibahas pada bab berikut ini.