• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

4.4. Kondisi Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Selatan

4.4.1. Kondisi Sumberdaya Alam

Sumberdaya alam merupakan sumberdaya dasar pendukung berbagai fungsi kehidupan. Sumberdaya alam ini meliputi: sumberdaya lahan, sumberdaya hutan, sumberdaya air, sumberdaya pesisir dan laut dan sumberdaya iklim. Secara umum kondisi sumberdaya alami tersebut sebagian mengalami degradasi atau penurunan kualitas maupun kuantitasnya dibandingkan tahun sebelumnya dan sebagian lagi tidak mengalami perubahan. Namun rangkuman dari berbagai hasil kajian jangka panjang dapat disimpulkan bahwa kondisi sumberdaya alam Provinsi Sulawesi Selatan telah mengalami perubahan dengan kecenderungan terus menurun baik kualitas maupun kuantitasnya.

Kondisi Sumberdaya lahan teridentifikasi mengalami penurunan kualitas terutama ditunjukkan oleh penurunan produktivitas dan peningkatan luas lahan kritis. Hal ini terjadi karena kebijakan tata ruang, kebijakan penggunaan lahan dan pilihan teknologi yang tidak tepat. Kebijakan tata ruang pada setiap kabupaten dan kota umumnya lebih berorientasi kepada kepentingan ekonomi jangka pendek dan kurang berpihak pada kepentingan kelestarian lingkungan hidup. Penataan ruang kurang memperhatikan kepentingan perlindungan tata air, keanekaragaman hayati dan kemantapan ekosistem sebagai sarana penyangga kehidupan. Penetapan fungsi kawasan, khususnya kawasan lindung dan konservasi tidak didasarkan pada kriteria- kriteria yang tepat.

Luas kawasan hutan Provinsi Sulawesi Selatan tercatat seluas 3,88 juta ha terdiri dari hutan lindung 1,93 juta ha, hutan produksi terbatas 0,81 juta ha, hutan produksi 0,2 juta ha, hutan suaka alam dan margasatwa 0,21 juta ha, hutan yang dapat dikonversi 0,1 juta ha, kawasan perairan 0,58 juta ha dan kawasan lindung perairan 45,11 ribu ha. Dari segi luas hutan, khususnya hutan lindung dan konservasi wilayah daratan dengan luas lebih dari 2,1 juta ha atau 34,26% dari total wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, seharusnya lebih dari cukup untuk penyangga lingkungan hidup. Namun pada kenyataannya kawasan hutan tersebut tidak mampu memenuhi fungsinya sebagai penyangga fungsi kehidupan khususnya mencegah banjir,

87

mengendalikan erosi, menjaga kesuburan tanah, menanggulangi intrusi air laut, menjaga kelestarian plasma nutfah dan keanekaragaman hayati serta faktor lingkungan lainnya. Di samping itu kerusakan hutan berdampak pada peningkatan kemiskinan dan kesengsaraan rakyat disekitar hutan. Hal ini terjadi karena berbagai faktor antara lain; letak, luas dan posisi hutan lindung dan hutan konservasi tidak tepat, kondisinya umumnya sudah rusak dan lemahnya pengawasan serta penegakan hukum (Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan, 2004).

Hasil pemetaan Dinas Kehutanan Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa kondisi penutupan lahan hutan tahun 1997 hanya seluas 2,026 juta ha dengan areal regenarasi potensial 146.848 ha. Kehilangan areal tutupan hutan selama periode 1985-1997 mencapai 833.197 ha yang terdiri dari hutan dataran rendah 390.169 ha, hutan sub pegunungan 268.115 ha dan hutan pegunungan 174.913 ha (Gambar 6).

Lebih lanjut, kondisi sumberdaya air di Sulawesi Selatan pada tahun 2003 relatif sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Provinsi Sulawesi Selatan memiliki 72 buah sungai utama. Debit aliran air sungai tersebut secara kuantitas tidak mengalami perubahan, tetapi fluktuasi dan kualitasnya semakin menurun. Demikian juga dengan air danau, air waduk, air kolam, air genangan, air tanah pada umumnya mengalami penurunan kualitas dan waktu ketersediaannya.

Beberapa sungai besar di Sulawesi Selatan telah dibendung, sehingga dapat menyimpan jutaan m³ air dalam waduk buatan tersebut. Namun proses pendangkalan waduk karena sedimentasi akhir-akhir ini makin cepat dan akan mengurangi umur pakai waduk lebih cepat dari yang diperkirakan. Hal lain yang menunjukkan adanya penurunan kualitas waduk adalah adanya kerusakan lingkungan yang dikeluhkan masyarakat yang tinggal di sekitar waduk. Sedimentasi memang tidak bisa dihindari karena adanya erosi, tetapi perlu upaya untuk mengendalikannya sehingga dapat memperpanjang umur ekonomis bendungan.

Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, 2003. Gambar 6. Peta penutupan lahan hutan, 1997.

Pendangkalan tempat penampungan air tawar akibat sedimentasi sudah sangat nyata terjadi di tiga danau dari enam buah danau di Sulawesi Selatan yaitu Danau Sidenreng di kabupaten Sidrap dan Danau Buaya serta Danau Tempe di Kabupaten Wajo. Ketiga danau tersebut tidak lagi dapat berfungsi sebagai tempat penyimpanan cadangan air tawar karena pendangkalan akibat sedimentasi. Pada musim hujan air meluap dan menyebabkan banjir pada kawasan sekitar danau dan Sungai Wanae hilir. Sementara itu, dibeberapa kawasan hulu DAS Walanae terdapat lahan-lahan kritis (Gambar 7).

89

Sumber: Amin et al. (2005)

Gambar 7. Peta Kawasan yang mempengaruhi dan dipengaruhi Danau Tempe.

Sedangkan tiga danau lainnya terdapat di Kabupaten Luwu Timur yaitu: Danau Towuti, Mahalona dan Matano. Ketiga danau ini relatif belum terganggu dan mempunyai kapasitas penampunan air tawar yang sangat besar bahkan termasuk terbesar di Indonesia dan terkenal sebagai danau paling dalam di dunia setelah danau di Kanada. Danau Matano mempunyai kedalaman sekitar 589 m dan termasuk danau yang sangat potensial untuk mendukung pembangunan di Sulawesi Selatan. Pada saat ini kekayaan sumberdaya air danau tersebut baru dimanfaatkan oleh perusahaan tambang nikel PT International Nickel Indonesia (PT Inco) yang telah membangun dua lokasi pembangkit listrik di Sungai Larona.

Di samping bendungan dan danau, masih ada tempat penampungan air tawar berupa kolam/embung, tambak dan persawahan walaupun sifatnya sementara karena pada musim kemarau mengalami kekeringan. Ada beberapa kolam yang pada musim

kemarau masih berisi air dan dapat dikonsumsi masyarakat yaitu kolam-kolam yang terdapat di kabupaten Sidrap, Bone, dan Tana Toraja.

Sebagaimana telah diketahui bahwa sumberdaya air dan lahan merupakan sumber kehidupan utama selain udara dan sinar matahari. Tanah dan air merupakan bagian dari ekosistem lingkungan, sehingga kerusakan sumberdaya air dan tanah merupakan kerusakan ekosistem. Kemajuan pembangunan menuntut kebutuhan lahan semakin besar dan tuntutan kebutuhan tersebut mendorong terjadinya alih fungsi lahan dari kawasan yang berfungsi sebagai daerah resapan air dan pelindung fungsi kehidupan berubah menjadi lahan pertanian dan perkebunan, sehingga tanpa disadari terjadi kerusakan lingkungan terutama tata air. Akibatnya pada musim hujan terjadi banjir dan pada musim kemarau terjadi kekeringan. Di Sulawesi Selatan, alih fungsi lahan tidak hanya terjadi di dataran tinggi atau daerah hulu DAS, tetapi juga terjadi di daerah hilir dan muara DAS seperti konversi hutan sagu, nipah dan mangrove.

Hutan mangrove di Sulawesi Selatan tercatat hanya seluas 26.911 ha. Kondisi ini tergolong sangat memprihatinkan karena panjang pantai Sulawesi Selatan mencapai sekitar 2.500 km. Kerusakan hutan mangrove tersebut berdampak buruk pada ekosistem pesisir dan laut yang pada gilirannya menurunkan produksi ikan, nener alam dan minat wisatawan untuk mengunjungi pantai. Di samping itu kerusakan hutan mangrove juga berakibat masuknya air laut (intrusi) ke wilayah daratan.

Sebenarnya kebijakan pemanfaatan wilayah pesisir telah dituangkan dalam berbagai peraturan perundangan, tetapi perangkat kebijakan tersebut tidak didukung oleh perangkat kelembagaan, program dan pendanaan yang memadai, sehingga kawasan pesisir tersebut seolah-olah tidak bertuan. Di sisi lain masyarakat mendapat tekanan kebutuhan hidup dan pelaku bisnis melihat peluang usaha pertambakan cukup prospektif, sehingga mereka berlomba-lomba memanfaatkan dan merambah kawasan tersebut. Akibatnya kerusakan dan penyusutan kawasan hutan mangrove tidak bisa dielakkan.

91

Kerusakan hutan mangrove ternyata juga berimbas pada kerusakan terumbu karang, dan hal ini juga tidak terlepas dari tuntutan kebutuhan hidup. Penyusutan potensi ikan dan nener alam mendorong masyarakat untuk melakukan berbagai cara untuk menangkap ikan termasuk dengan cara melakukan pengeboman dan memanfaatkan karang untuk keperluan bahan bangunan. Berbagai kegiatan yang dilakukan masyarakat tersebut makin menambah dan mempercepat kerusakan wilayah pesisir dan laut Sulawesi Selatan.

Sementara itu, sumberdaya alam yang relatif tidak berubah adalah iklim. Kondisi iklim Sulawesi Selatan tahun 2003 tidak berubah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Curah hujan, dan unsur iklim lainnya seperti suhu, kelembaban, angin dan lain-lain sepanjang tahun 2003 berada dalam kondisi normal. Secara umum wilayah Sulawesi Selatan memiliki 3 wilayah iklim yaitu Wilayah Timur, Wilayah Barat dan Daerah Peralihan. Curah hujan yang jatuh pada ketiga wilayah tersebut tidak sama, sehingga berpengaruh pada pola tanam dan produksi. Produksi buah- buahan, padi dan palawija terjadi sepanjang tahun secara bergiliran sesuai dengan pergiliran musim di ketiga wilayah iklim.

Perubahan yang terjadi yang terkait dengan unsur iklim adalah tingkat konsentrasi ambien, debu, timbal, SO2, CO2, NO2 dan CO di udara di kota-kota besar seperti Makasar, Pare-Pare, Palopo, Bone dan beberapa ibukota kabupaten lainnya. Pada tahun 2003, konsentrasi unsur-unsur tersebut umumnya meningkat dibanding tahun 2001, terutama CO, Pb, debu dan Ambien. Peningkatan konsentrasi tersebut terkait dengan semakin meningkatnya kepadatan lalu lintas, masih banyaknya industri-industri yang tidak menggunakan penangkap polutan dan berbagai aktivitas masyarakat lainnya.