• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. BIAYA LINGKUNGAN HIDUP DAN EKSTERNALITAS

8.1. Keragaan Usahatani Kakao

Perkebunan kakao mulai berkembang di Sulawesi Selatan pada awal tahun 1970 dan mengalami perkembangan pesat sejak awal tahun 1980-an. Pengembangan areal perkebunan kakao berlangsung terutama di sentra-sentra produksi kakao seperti Luwu, Mamuju, Polmas, Pinrang dan Bone. Tanaman kakao umumnya diusahakan secara monokultur di lereng atau punggung gunung dan sebagian di daerah dataran seperti yang dikembangkan di Kabupaten Pinrang dan Bone.

159

Pada tahun 2003, areal perkebunan kakao Sulawesi Selatan tercatat seluas lebih dari 296 ribu ha dan sebagian besar (lebih dari 99,2%) diusahakan oleh petani dan hanya sekitar 0,8% yang dikelola oleh perkebunan besar (Dinas Perkebunan Propinsi Sulawesi Selatan 2004a).

Pada saat ini areal perkebunan kakao petani umumnya sudah saling sambung- menyambung, sehingga membentuk suatu hamparan perkebunan kakao. Kondisi tersebut kurang menguntungkan bagi petani karena penyebaran hama dan penyakit tanaman kakao dapat berlangsung cepat dan sulit untuk dikendalikan.

8.1.1. Karakteristik Petani kakao

Petani kakao Sulawesi Selatan rata-rata berumur 41,59 tahun dengan kisaran 24-65 tahun. Sebagian besar (80%) petani responden berada pada usia produktif yaitu usia 24-50 tahun dan selebihnya berumur di atas 50 tahun. Petani kakao umumnya cukup berpendidikan karena sebagian besar telah menamatkan sekolah dasar (32,50%), tamat SLP 18,75%, tamat SLA 23,75% dan hanya sekitar 25% yang tidak tamat sekolah dasar.

Petani kakao sudah cukup berpengalaman menjadi petani khususnya sebagai petani tanaman pangan dengan pengalaman rata-rata selama 21,48 tahun dengan kisarasn 5 tahun hingga 50 tahun. Sementara itu, pengalaman berusahatani kakao rata-rata selama 14,24 tahun dengan kisaran 2 tahun hingga 26 tahun. Namun pengalaman yang cukup lama tersebut belum mampu untuk menjadi petani kakao yang baik, bahkan seolah-olah menghadapi jalan buntu untuk mengatasi serangan hama PBK yang makin mengganas.

Petani kakao memiliki jumlah anggota keluarga tergolong sedang meskipun ada beberapa petani yang memiliki jumlah anggota keluarga sampai 10 orang. Jumlah anggota keluarga petani kakao rata-rata 4,54 jiwa, dengan kisaran 1-10 jiwa. Sementara itu, jumlah angkatan kerja tiap keluarga rata-rata sebanyak dua orang dengan kisaran 1 sampai 7 orang.

Petani kakao pada umumnya memiliki lahan cukup luas yaitu berkisar antara 0,5 ha sampai 7 ha, tetapi rata-ratanya 1,96 ha, terdiri dari 1,32 ha kebun kakao

produktif; 0,24 ha kebun kakao belum menghasilkan; 0,25 ha kebun pekarangan dan campuran/ladang serta 0,15 ha sawah (Tabel 26).

Tabel 26. Karakteristik petani kakao dan kondisi usahataninya, 2005

Keterangan Rata-rata Tertinggi Terendah

Karakteristik Petani:

Umur petani (tahun) 41,59 65 24

Pendidikan petani:

- Tidak tamat SD (%) 25,00

- Tamat SD (%) 32,50

- Tamat SMP (%) 18,75

- Tamat SMA (%) 23,75

Jumlah anggota keluarga (jiwa) 4,54 10 1

Jumlah angkatan kerja (orang) 1,95 7 1

Pengalaman berusahatani (th) 21,48 50 5

Pengalaman berkebun kakao (th) 14,24 26 2

Kondisi Usahatani:

Lahan yang dimiliki (ha) 1,96 7 0,5

- Kakao (ha) 1,56 5 0,5

- Ladang dan pekarangan (ha) 0,25 3 0

- Sawah (ha) 0,15 2 0

Kebun kakao menghasilkan (ha) 1,32 4,5 0,25

Umur tanaman kakao (th) 15,24 31 4

Produksi (kg) 792,25 3400 270

Produktivitas (kg/ha) 610,49 2267 172

Produtivitas sebelum terserang hama

PBK (kg/ha) 1268,75 2500 500

8.1.2. Pendapatan Petani Kakao

Pada tahun 2005, tingkat pendapatan petani kakao rata-rata Rp 8,27 juta/KK/tahun, dimana 70,35% bersumber dari kebun kakao dan selebihnya bersumber dari luar usahatani sebesar 14,43%, usahatani padi sebesar 6,67%, ternak sebesar 4,38% dan usaha perkebunan lainnya sebesar 4,17%. Tingkat pendapatan petani tersebut relatif rendah karena sekitar 50% produksi kakao hilang akibat serangan hama PBK. Serangan hama PBK menyebabkan produksi kebun kakao petani hilang rata-rata sebesar 854,25 kg atau senilai Rp 7,51 juta/KK/tahun. Seandainya kehilangan produksi tersebut dapat diselamatkan, maka pendapatan petani rata-rata mencapai Rp 15,78 juta/KK/tahun (Tabel 27).

161

Tabel 27. Pendapatan dan pengeluaran keluarga petani kakao, 2005

Uraian Pendapatan dan Pengeluaran

(Rp) (%)

Pendapatan dari perkebunan kakao 5.817.250 70,35 Pendapatan dari usaha padi sawah 551.500 6,67 Pendapatan dari usaha ternak 362.500 4,38 Pendapatan usahatani lainnya 344.700 4,17 Pendapatan non-usahatani 1.193.125 14,43 Total pendapatan keluarga petani 8.269.075 100,00 Pengeluaran konsumsi keluarga 4.736.875 77,06

Pengeluaran lainnya 1.410.438 32,94

Total pengeluaran keluarga petani 6.147.313 100,00

Tabungan 2.121.763 Kerugian akibat serangan hama PBK 7.507.455

Pendapatan petani seharusnya 15.776.530

Sementara itu, kebutuhan hidup keluarga petani kakao rata-rata sebesar Rp 6,15 juta, terdiri dari kebutuhan untuk konsumsi keluarga Rp 4,74 juta dan kebutuhan lainnya Rp 1,41 juta. Secara umum dengan pendapatan rata-rata sebesar Rp 8,27 juta, petani kakao masih bisa menyisakan pendapatan untuk menabung sebesar Rp 2,12 juta. Namun apabila dikaji lebih lanjut, ternyata hanya sebagian kecil petani kakao yang bisa menyisakan pendapatannya untuk ditabung dan sebagian besar (57,5%) petani kakao hidup dalam kondisi paspasan, bahkan 17,5% diantaranya telah terjerat hutang.

Akibatnya sebagian besar petani tidak bisa melakukan pengelolaan kebun sesuai dengan anjuran terutama untuk pemupukan dan pemeliharaan tanaman kakao dengan baik. Kondisi tersebut diperparah lagi oleh makin mengganasnya serangan hama PBK, sehingga produksi kebun kakao yang bisa diselamatkan petani makin rendah. Apabila serangan hama PBK tidak segera dapat dikendalikan, maka akan terbentuk kantong-kantong kemiskinan di sentra produksi kakao Sulawesi Selatan.

8.1.3. Pengendalian Hama PBK

Pengendalian hama PBK sudah dilakukan petani sejak hama PBK teridentifikasi menyerang perkebunan kakao Sulawesi Selatan tahun 1995. Namun karena karakteristik hama PBK yang aktif dimalam hari dan sebagian besar masa

hidupnya berada dalam buah kakao maka berbagai upaya pengendalian yang dilakukan petani kurang efektif.

Sebenarnya telah tersedia teknologi pengendalian hama PBK yang telah teruji mampu mengurangi serangan hama PBK, tetapi teknologi tersebut harus diterapkan secara bersama-sama dan menyeluruh, sehingga siklus hidup hama PBK dapat diputuskan. Teknologi pengendalian hama yang dimaksud cukup sederhana yaitu dengan memperbaiki sistem budidaya yang dikenal dengan istilah PsPSP (panen sering, pemangkasan, sanitasi dan pemupukan).

Panen sering dianjurkan secara terus menerus dengan interval 5-7 hari. Tujuannya agar buah yang menjelang matang dan mengandung larva hama PBK ikut terpanen. Kemudian buah yang mengandung larva tersebut dipisahkan dari buah yang sehat dan selanjutnya dikubur dalam tanah atau dibakar. Sedangkan pemangkasan dilakukan untuk mengurangi naungan sehingga lingkungan perkebunan kakao tidak disenangi oleh ngengat PBK. Sementara itu, sanitasi dilakukan dengan cara membersihkan ranting-ranting atau daun kering di pohon maupun di permukaan tanah kemudian dikubur atau dibakar. Tujuannya adalah untuk mematikan kepompong hama PBK yang berada di serasah atau ranting dan daun kering. Sedangkan pemupukan dilakukan dengan memberikan pupuk yang berimbang dengan tujuan untuk meningkatkan produksi. Dengan tingkat produksi yang tinggi akan lebih banyak buah kakao yang dihasilkan dan lebih banyak pula buah kakao yang tidak terserang hama PBK.

Teknologi pengendalian hama PBK PsPSP tersebut sudah disosialisasikan oleh pemerintah kepada petani, tetapi kurang mendapat respon dari petani karena berbagai kendala. Keterbatasan modal usaha dan tenaga kerja serta kondisi kebun yang sudah seperti hutan kakao dan saling sambung-menyambung merupakan beberapa kendala yang dihadapi petani. Di samping itu, belum adanya kebersamaan langkah untuk mengendalikan hama PBK menjadi penyebab tidak efektifnya teknologi PsPSP untuk memotong siklus hidup hama PBK. Untuk lebih jelasnya berikut ini akan dibahas berbagai faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi pengendalian hama PBK.

163