• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunitas Utan Ka u “Seni Itu Keren ”

D. Antologi sebagai Sumber Acuan

Jika antologi menjadi sumber acuan, kita harus memperhatikan unsur-unsur beserta urutannya yang perlu disebutkan dalam daftar pustaka sebagai berikut:

1. nama pengarang, 2. tahun terbit karangan, 3. judul karangan,

4. nama penghimpun (Ed.), Contoh:

Kartodirjo, Sartono. 1977. “Metode Penggunaan Dokumen”. Dalam Koentjaraningrat (Ed.). 1980. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.

4.3 Imbuhan Asing

Imbuhan yang bersumber dari bahasa asing dapat dipertim-bangkan pemakaiannya di dalam peristilahan Indonesia setelah disesuaikan ejaannya. Pemakaian imbuhan asing bisa diletakkan di awal kata atau di akhir kata.

Sebagai gambaran, awalan a-, anti- menyatakan arti tidak. Awalanpra-, semi- menyatakan sebelum. Awalan poli- menyatakan

banyak.

5. tahun terbit antologi, 6. judul antologi, 7. tempat terbit, dan 8. nama penerbit.

Jakarta dalam Buletin Pusat Perbukuan Volume 10 tahun 2004.

6. Yuli Supriyanto menulis artikel berjudul Membangkitkan Krea-tifitas Anak di Sekolah. Artikel ini diterbitkan Depdiknas Jakarta dalam Buletin Pusat Perbukuan Volume 10 tahun 2004. 7. Buku berjudul Sastra dan Ilmu

Sastra: Pengantar Teori Sastra ditulis oleh A. Teeuw pada ta-hun 1994. Buku ini diterbitkan oleh Pustaka Jaya di Jakarta. 8. Herman Waluyo menulis sebuah

buku tentang puisi yang ber-judul Apresiasi Puisi Untuk Pelajar dan Mahasiswa. Buku ini diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2005 di Jakarta.

Setelah Anda mencermati data-data di atas,buatlah bibliografi berdasar data-data tersebut!

1. Pemakaian imbuhan asing di awal kata2. Imbuhan - is - isme - logi - log - al - nasionalis, moralis - terorisme, patriotisme - analogi, teknologi - katalog, dialog - minimal, nasional Contoh

1. Carilah lima kata yang meng-gunakan imbuhan asing di awal kata selain contoh yang sudah disebutkan! Tuliskan beserta kalimatnya!

2. Carilah lima kata yang meng-gunakan imbuhan asing di akhir kata selain contoh yang sudah disebutkan! Tuliskan beserta kalimatnya!

3. Buatlah kalimat lain menggu-nakan kata berimbuhan asing tersebut!

2. Pemakaian imbuhan asing di akhir kata

4.4 Hal ang Menarik dalam erpen

Anda tentu sudah sering membaca cerpen. Cerpen banyak Anda jumpai di majalah, tabloid, dan surat kabar. Ketika Anda usai membaca cerpen, biasanya ada hal menarik yang membuat Anda terkesan pada cerpen tersebut. Hal yang menarik itu dapat berupa nilai yang dapat Anda gunakan sebagai pengalaman hidup Anda.

Berikut ini ada sebuah cerpen yang ditulis oleh sastrawan wanita Indonesia. Nh. Dini, sastrawan wanita Indonesia yang tak diragukan lagi kiprahnya di dunia sastra Indonesia. Dia telah banyak mengha-silkan karya sebagai wujud eksistensinya dalam sastra.

Cerpen yang akan dibahas berikut ini adalah cerpen berjudul

Ajaran Kehidupan Seorang Nenek.

Bacalah cerpen berikut secara cermat!

A aran Kehidupan Seorang Nenek

Oleh h. Dini Imbuhan - a - anti - pra - poli - semi - amoral, asusila - antiklimaks, antikomunis - praduga, prasangka - poligami, poliandri - semifinal, semiotomatis Contoh

Jauh-jauh aku datang, dimulai hari pertama aku sudah mendapat kekecewaan.

“Ibu tidur di kamar Puspa tapi tidak boleh menggendong dia,” kata anak sulungku.

“Kalau dia terbangun dan menangis?” “Biarkan saja! Anakku tidak kubiasakan digendong”.

Seolah-olah tidak yakin bahwa aku mengerti kata-katanya, anakku mengulang lagi nada suara-nya terkesan mengancam.

“Betulloh, Bu! Jangan sampai begitu Ibu pulang aku direpoti anak manja dan terlalu minta diperha-tikan!”

Barangkali karena kaget, aku terdiam. Bayangkan! Hanya ibuku yang seharusnya berhak berbicara dalam nada seperti itu kepadaku. Aku tersinggung. Semakin umur bertambah, sakit hati semakin sering kualami.

*****

Aku direktris suatu rantai usaha swadaya yang boleh dikatakan sukses. Semua karyawan di tempatku

hormat kepadaku. Berbicara nyaris kuanggap berlebihan. Terlalu sopan bagiku. Di saat mengunjungi perusahaan atau kantor lain, orang-orang menerimaku dengan sikap dan pandang

ering1) yang acap kali membuat aku merasa risih sendiri. Meskipun aku tahu pasti bahwa perlakuan mereka itu didasari pengakuan terhadap kenyataan yang tidak bisa dibantah. Karena selain disebabkan oleh kedudukanku, upaya pengembangan usaha kami ke lain daerah yang berhasil, lebih-lebih sebagai perempuan aku mampu mengendalikan serta mempertahankan kesuksesan wiraswasta yang ditinggalkan ayahku. Walaupun benar itu “hanya” berupa warisan. Tapi, itu jatuh ke tanganku tidak secara otomatis, dengan cuma-cuma. Aku harus melewati tes di antara keempat saudara kandungku.

Dalam sebuah dongeng, diceritakan bahwa raja suatu negeri tidak dapat memutuskan kepada siapa pun dia akan menyerahkan takhtanya. Dia mempunyai empat anak, putra dan putri. Masing-masing berpenampilan cakap, dan sepintas lalu kelihatan berperilaku baik. Namun, sang raja tidak yakin bahwa putra sulungnya yang suka berpesta akan memerintah secara adil sehingga rakyat akan bahagia. Begitu pula dengan putra keduanya. Walaupun pandai berulah senjata, namun kebiasa-annya mabuk-mabukan dan berjudi merupakan ancaman besar bagi kelangsungan pemerintahan yang harus didasari kejernihan pikiran dan hati tenang. Anak yang ketiga dan keempat adalah perempuan. Paras cantik, kelakuan lembut, mum-puni dalam mengatur urusan rumah tangga atau-pun penerimaan tamu. Keduanya juga sudah diajari dasar-dasar menggunakan senjata seper-lunya jika bahaya datang, mereka tahu memper-tahankan diri atau keraton bahkan kerajaan.

Pendek kata, sang raja kebingungan memilih di antara empat anak tersebut. Maka agar tidak menimbulkan kecemburuan, ayah itu menyuruh anak-anaknya mengembara selama kurun waktu tertentu. Selain mereka harus mendapatkan pa-sangan masing-masing juga harus pulang memba-wa tambahan pengetahuan yang bisa digunakan untuk masyarakatnya.

Ayah kami bukan seorang raja, ibuku bukan keturunan bangsawan. Tapi mereka telah memba-ngun satu usaha kecil dari cucuran keringatnya. Sebagai modal, ayahku tidak berutang atau meminjam, melainkan menjual sepedanya. Dari

memotong, menjahit dan menjual sendiri sandal-sandal buatannya dari pintu ke pintu calon pem-beli, sampai kemudian mempunyai toko. Lalu ibuku menambahkan membikin tas-tas bagor dan aneka anyaman dari bahan alami yang dikeringkan. Selang beberapa waktu, kombinasi dibuat untuk memanfaatkan limbah kulit asli atau sintetis.

Ketika akan menambah karyawan, aku baru lulus SMA. Kukatakan mengapa tidak mempe-kerjakan orang-orang sekampung saja di rumah mereka masing-masing. Mereka diberi bahan sebagai pinjaman. Jika hasilnya bagus, kami beli. Setelah diperbaiki atau disempurnakan guna menjaga mutu dan nama baik, kami jual di toko. Itulah asal mula mengapa di kawasan tempat kami tinggal, sekarang terdapat begitu banyak perajin sandal, sepatu, tas yang terbuat dari berbagai bahan. Beberapa tetangga bahkan mencoba pula mendirikan toko. Tapi hingga sekarang hanya pro-duk kami yang berhasil memiliki tingkat penjualan yang memadai, bahkan melayani pesanan dari luar negeri.

Kakakku sulung sudah berkeluarga sejak aku duduk di SD. Dia bekerja sebagai sopir. Kuliahnya berhenti sebelum tahun pertama selesai. Kakak kedua lebih berhasil menjadi penjual makanan matangan. Suaminya adalah tukang becak. Sete-lah selesai salat asar, setiap sore dia mendorong gerobak ke pinggir jalan, ditinggal di sana. Lalu iparku balik lagi mengusung dagangan bersama istrinya. Dengan cara demikian, sekarang dua anak mereka bersekolah di akademi akuntansi dan in-formatika, yang seorang di kelas tertinggi SMA. Saudara kandung yang tepat di atasku tidak lulus SMP bekerja di bengkel. Bisa dikatakan hidupnya berhasil karena mampu membeli tiga kendaraan yang disewakan sebagai angkutan. Kadang ter-dengar berita dia ditipu sopir yang dipekerjakan-nya. Tapi di depan keluarga, dia tampak tenang saja, selalu mampu mengatasi semua kesu-litannya.

Aku sendiri, mungkin karena aku anak pe-rempuan bungsu, maka aku lebih senang bermain dengan limbah apa pun yang terdapat di lantai di ruangan menjahit dan menggunting aneka bahan. Ketika duduk di TK, aku memberikan sebuah bantalan. Tempat mencocok jarum berbentuk ikan kepada ibuku. Itu adalah hadiah ulang tahunnya. Sampai sekarang benda tersebut masih diguna-kan, mendapat tempat di kotak jahitan ibu kami.

Untuk seterusnya, sekolahku aman-aman saja hingga aku mampu menyelesaikan kuliah dan menggondol gelar sarjana ekonomi. Aku sadar bahwa keluargaku sangat bangga dengan pen-capaian gelar tersebut. Apalagi di masa itu belum marak didesuskan orang tentang pembelian ijazah ataupun gelar.

Setelah berunding sekeluarga, kami empat bersaudara dikirim ke seluruh penjuru tanah air untuk mencari kemungkinan pengembangan, baik kemitraan maupun kerja sama di bidang niaga kerajinan. Masing-masing diberi sejumlah uang, dan kami disuruh memilih sendiri ke mana tujuan kami. Setiap hari kami harus mencatat semua pengeluaran secara teliti. Seorang dari antara ka-mi yang dianggap paling berhasil akan menerima tanggung jawab tiga toko bersama atelir pera-jinnya sekalian.

Ternyata kakak-kakakku tidak menggerutu menerima tugas itu. Mereka mempunyai hubungan atau teman bekas sekolah yang tersebar di berbagai kota di pulau Jawa, Kalimantan, dan Sumatra. Bahkan kakakku perempuan, yang kelihatannya tidak keluar dari lingkungannya, langsung berkata, akan ke Bandar Lampung, mencari kemungkinan kerja sama dengan sebuah toko di sana. Rupanya hanya diriku yang bingung ke mana harus pergi. Aku tidak begitu pandai ber-gaul. Bekas teman-teman sekolah atau kuliah tidak ada yang bisa kuandalkan. Selain yang tinggal se-kota, tidak kuketahui di mana mereka lainnya menetap.

Setelah berpuasa dan berdoa menurut ajaran orang tua, aku menetapkan tujuan: Bali. Orang tuaku hanya diam mendengar itu. Kakak-kakakku tertawa atau tersenyum tanpa kuketahui apa maknanya. Di waktu itu, pariwisata sayup-sayup menunjukkan pengembangannya. Walaupun di Bali dibikin aneka kerajinan sebagai benda kenang-kenangan, apa salahnya bila kita kirim pula hasil dari Bantul. Siapa tahu dengan keberuntungan dan nasib baik, aku akan menemukan mitra sejajar yang biasa diajak bekerja sama dalam pemasaran produk kami.

Wahyu Ilahi ternyata tidak dapat diabaikan. Aku kembali dari perjalananku dua pekan kemudian bersama seorang pemuda. Juga kemungkinan pat mengirim ratusan, mungkin ribuan benda da-gangan ke berbagai kios dan toko di pantai Kuta serta sebuah toko eksklusif di Ubud. Setelah masa

Tempat mencocok jarum berbentuk ikan untuk ibuku.

tunangan beberapa bulan, aku dinikahi seorang anak sebuah restoran di Sanur. Menurut adat, lebih dulu aku diangkat menjadi anak seorang pegawai rumah makan itu yang berkasta sudra supaya dapat kawin dengan upacara Hindu Bali.

Kulewati berbagai cobaan yang menggo-yahkan keteguhan batinku. Terus terang, gelom-bang dan alun yang melanda bahtera kehidupanku nyaris meluluhlantahkan ketegaranku. Aku mensyukuri “kebebasan” ibuku sebagai perem-puan Jawa dalam mengatur rutinitas keseharian, namun tidak membosankan. Yang dinamakan aturan ini-itu sehubungan dengan tradisi Jawa tidak terlalu mengekang atau menyita waktu.

Terjun bebas tanpa paksaan ke lingkungan tradisi dan rutinitas sehari-hari di Bali, aku hampir kehabisan napas karena kekurangan waktu atau ruang gerak. Semua serba upacara. Semua serba penyiapan sesaji. Memang benar aku belajar banyak. Aku menyukai serbaneka ajaran menga-nyam dan mendekor sesaji. Tapi aku tidak kuasa hadir di dunia ini hanya untuk melakukan hal-hal tersebut. Tekanan lebih-lebih datang dari mer-tuaku perempuan. Dia menginginkan aku meng-gantikan kedudukannya kelak sebagai tetua wanita dalam keluarga. Padahal ada dua menantu pe-rempuan lain. Semua impitan keharusan untuk melaksanakan upacara itu membenihkan kerikil-kerikil di dada, hingga pada akhirnya membentuk satu bongkahan yang mengimpit pernapasanku. Untunglah aku masih sadar bahwa aku sedang melayang-layang di ambang stres. Lalu kuputus-kan untuk bertindak demi kesehatan rohani dan

2