KAJIAN PUSTAKA dan KERANGKA PIKIR
A. Penelitian Yang Relevan
5. Are dan ilmu dalam kajian linguistik forensik
Mc. Menamin (2002) mengemukakan bahwa area penelitian linguistik forensik dalam ranah bahasa dan hukum dapat diuraikan sebagai berikut.
a) Fonetik Auditori (auditory phonetics)
Fonetik auditori dalam penelitian linguistik forensik meliputi: (1) pengenalan pembicara korban dan korban, kadang-kadang disebut “saksi telinga”), (2) antrian suara atau parade suara (saksi telinga). Parade suara), (3) persepsi dan diskriminasi suara (persepsi dan diskriminasi suara), (4) peniruan atau penyamaran suara, (5) pengaruh bahasa ibu terhadap pengenalan pembicara (pengaruh bahasa ibu pendengar terhadap pengenalan pembicara), (6) Dampak pergeseran gaya pada pengenalan ucapan, (7) Pengenalan aksen atau dialek sosial atau daerah), (8) Persepsi pendengar tentang usia pembicara, (9) Tuturan atau
ucapan yang berulang (reverse speech), (10) Identifikasi speaker telepon,dan (11) identifikasi pembicaraan melalui aspek morfologi dan sintaksis (speaker identification by morphology and syntax). b) Fonetik Akustik (Acoustic Phonetics)
Fonetik akustik dalam penelitian linguistik forensik meliputi: (1) pengenalan suara dengan analisis fonetik (pengidentifikasian pembicara dengan analisis fonetik), (2) pengenalan suara dengan kualitas suara (speaker mengidentifikasi dengan kualitas suara), (3) perubahan suara/diphop Pengenalan suara (mengenali pembicara melalui perubahan diftong), (4) Mengenali ucapan dengan kecepatan berbicara (mengenali pembicara dengan kecepatan berbicara), (5) Karakteristik fisik pembicara: tinggi dan berat, dari format frekuensi), (6) Regional dan kelompok sosial (analisis karakteristik penutur yang berkaitan dengan wilayah dan kelompok sosial), (7) pengaruh mabuk pada tuturan, (8) kinerja tuturan emosional penutur asli (ekspresi tuturan keadaan emosi penutur), (9) Diskriminasi terhadap aksen asing (foreign accent in voice discrimination), (10) aksen penyamaran ataupun imitasi (accent disguise or imitation), (11) suara menyamar ( voice disguise),(12) ciri suara yang identik kembar (voice characteristics of identical twins), (13) komparabilitas contoh ujaran( comparability of speech samples), (14) Merumuskan kenyaringan suara dari pengukuran nada, (15) membedakan perkataan dari suara latar,
serta (16) merekam kenaikan perkataan kontroversial (kenaikan rekaman audio perkataan kontroversial).
c) Semantik: Interpretasi Makna (semantic: meaning of interpretation)
Semantik yang digunakan selaku riset arti dalam linguistik forensik meliputi: (1) interpretasi kata, tahapan serta kalimat, (2) interpretasi bacaan: kontrak, polis asuransi, komunikasi, perintah penahanan, peraturan, serta bacaan hukum (interpretasi bacaan): kontrak, polis asuransi, komunikasi, perintah pembatasan, keputusan serta teks hukum), (3) ambiguitas antara teks dan hukum (ambiguitas antara teks dan hukum), (4) interpretasi wacana lisan untuk memperoleh hak (interpretasi wacana lisan) Hak membaca, dan (5) interpretasi instruksi juri.
d) Wacana dan Pragmatik
Wacana serta pragmatik selaku arti implisit penelitian linguistik forensik meliputi: (1) analisis wacana forensik, analisis pragmatik konteks bahasa dan asing, analisis bahasa yang digunakan (analisis pragmatik kehendak), persepsi makna (makna yang dirasakan dan diharapkan) (2) Wacana dalam konteks tertentu, analisis dikte, transkrip yang dilindungi oleh rekaman audio), bahasa imigran, bahasa terdakwa, dan (3) bahasa terdakwa. Bahasa pengadilan), wacana pengacara dan dialog klien, wacana pengacara, wacana pertanyaan pengadilan, bahasa pengajaran juri, (4) bahasa tindak tutur tertentu, wacana ancaman,
kesepakatan (menjanjikan), peringatan, penawaran dan penerimaan, pencemaran nama baik, sumpah palsu, pelecehan seksual, kekerasan seksual (sexual assault), dan penjualan mobil (car sales).
e) Gaya Penulisan dan Kebebsan Bertanya
gaya penyusunan serta kebebasan bertanya selaku aplikasi riset linguistik forensik meliputi : (1) tata cara deskripsi identifikasi penulis (2) metode deskripsi identifikasi penulis, (3) dialek dalam bahasa tulis, (4) waktu tanya jawab dan kesempatan menulis (waktu tanya dan kesempatan menulis), (5) Stilistika dan metode statistik dalam penulisan: kedokteran forensik dan literatur (metode stilistika dan statistik dari penulis yang dipertanyakan: forensik dan sastra), (6) linguistik korpus dalam analisis forensik (linguistik korpus dalam analisis forensik), (7) Korpus Linguistik (corpus linguistik), (8) program komputer yang berkaitan dengan identitas penulis yang bersangkutan, dan (9) jumlah grafik kumulatif (metode cusum) atau identifikasi penulis (grafik penjumlahan kumulatif untuk identifikasi penulis "metode CUSUM").
C. Pragmatik
Istilah pragmatik seperti yang kita ketahui saat ini ini diperkenalkan pada tahun 1938 oleh seseorang filsuf bernama Charles Morris. Kala berdialog tentang wujud universal ilmu semiotika (semiotik). Dia menarangkan dalam (Levinson, 1983: 1) "kalau semiotika
mempunyai 3 bidang riset, ialah sintaksis, semantik, serta pagmatik. Sintaks merupakan riset linguistik yang menekuni ikatan resmi antara isyarat. Semantik merupakan riset linguistik tentang ikatan antara ciri serta orang yang menafsirkannya".
Sampai saat ini, kajian pragmatik sangat populer di bidang linguistik. Walaupun tadinya, pada 1970- an, banyak pakar bahasa yang mendiskriminasi riset pragmatis ini nyaris tidak sempat mengulasnya. Tetapi, dikala ini banyak pakar bahasa yakin kalau bila pengguna bahasa tidak menguasai hakikat pragmatik, mereka tidak hendak bisa menguasai ciri bahasa yang mereka pakai dalam komunikasi, ialah gimana bahasa selaku perlengkapan komunikasi bisa digunakan sebagaimana mestinya.
Sejalan dengan perihal tersebut di atas, Joko Nurkamto (2000) menarangkan kalau riset di bidang pragmatik diawali pada tahun 1971, diisyarati dengan diterbitkannya Harian Pragmatik yang muat isu- isu pragmatik. Suatu organisasi bernama IPRA (International Pragmatic Association) didirikan serta sebagian konferensi tentang isu-isu pragmatis diselenggarakan (Soemarmo,1988).
Timbulnya atensi pragmatik dipicu oleh sebagian alibi, salah satunya merupakan alibi historis. Dalam perihal ini, Levinson (1983: 35) berkata bahwa “pengembangan minat sebagian sebagai tanggapan atau penangkal pandangan Chomsky tentang bahasa sebagai desain abstrak atau kemampuan mental, dan sebagai penangkal pengguna bahasa,
Pemisahan dari fungsi.. (Minat disebut respons atau penangkal pandangan Chomsky tentang bahasa sebagai desain abstrak atau kemampuan mental yang dapat dipisahkan dari pengguna dan fungsi bahasa) Seperti yang kita ketahui bersama.
Chomsky mengatakan bahwa teori linguistik forensik yang berkenaan terutama dengan (1965:1) “an ideal speaker-listener, in a completely homogeneous speech-community, who knows its language perfectly and is unaffected by such grammatically irrelevant conditions as memory limitations, distructions, shifts of attention and interest, and error in applying his knowledge of the language in actual perfomance.” (seorang pembicara atau pendengan dalam komunikasi Bahasa yang benar-benar homogen yang mengetahui bahasanya dengan sempurna dan tidak terpengarus dengan kondisi Bahasa gramatikal yang tidak relevan seperti keterbatasan ingatan, gangguan, oergeseran perhatian dan minat serta kesalahan dalam menerapkan pengetahuan tentang Bahasa secara aktual kinerja).
Selain itu, ada beberapa motivasi yang mendesak berkembangnya teori pragmatis. Salah satu aspek terutama merupakan kalau pragmatik bisa menuju pada penyederhanaan semantik. Harapan ini didasarkan pada realitas kalau prinsip- prinsip pragmatis pemakaian bahasa bisa lebih menguasai arti perkata yang tidak bisa dimengerti seluruhnya cuma dari arti literal (semantik).
Aspek berarti yang lain merupakan kesenjangan antara teori-teori bahasa. Menimpa pembuatan beberapa rumus/pola tertentu yang bisa menciptakan jumlah kalimat yang tidak terbatas, bisa disimpulkan kalau teori tersebut bisa membagikan inspirasi gimana memakai bahasa buat berbicara. Tetapi, kala Kala ia menciptakan kalau arti bahasa terbatas pada semantik, ia tidak puas, namun kecewa. Diakui kalau semantik sangat berarti dalam komunikasi, tetapi kontribusinya bisa dikatakan kecil dalam uraian arti bahasa secara universal.
Kesimpulannya, timbulnya riset pragmatis pula sebab mungkin interpretasi fungsional berarti dari kenyataan bahasa. Umumnya interpretasi bahasa cuma bertabiat internal. Dengan kata lain, identitas bahasa dipaparkan dengan mengacu pada identitas bahasa lain ataupun aspek- aspek teori bahasa itu sendiri. Apalagi, terdapat mungkin uraian lain dari luar bahasa (Levinson, 1983)
Seperti yang telah dijelaskan pragmatik dan analisis wacana termasuk dalam kajian linguistik makro. Dalam kajian ini tidak hanya mengkaji unsur teks Bahasa itu sendiri tetapi juga mengkaji hal-hal lain yang berhubungan dengan lingkungan sekitar teks atau sering disebut sebagai konteks. Dalam kaitannya untuk mengetahui makna dalam sebuah teks tidak hanya dilihat dari kajian semantik saja, tetapi kajian pragmatik dan analisis wacana yang mengedepankan konteks juga dapat digunakan. Dengan begitu, kekuatan konteks merupakan hal yang sangat dibutuhkan dalam kajian ini.
Kniffka (dalam Endang 2019:104) mengemukakan bahwa penelitian bahasa forensik meliputi analisis ahli bahasa berupa data kebahasaan, antara lain pencemaran nama baik, pencemaran nama baik, hinaan/kata-kata kotor, ujaran kebencian, berita palsu atau hoax, hasutan, konspirasi, sumpah palsu, penyuapan. Dan ancaman. Dia melakukan bentuk lisan dan tulisan berdasarkan bahasa. Lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini (grafik).
Gambar 3 kajian linguistik forensik (Kniffk 2007:29 diolah)
Berdasarkan gambar tersebut, diketahui bahwa peran Bahasa dalam pembuktian hukum melibatkan analisis seorang ahli Bahasa terhadap munculnya gugatan maupun tuntutan dalam kejahatan berbahasa dan dianalisis menggunakan pragmatik serta tindak tutur.
Pendukung ilmu forensik
Pragmatik dan tindak tutur Kejahatan berbhasa dan gugatan/tuntutan
(pelanggaran seperti kejahatan berbahasa baik lisan atau tertulis Analisis ahli Bahasa
Berupa data Bahasa termasuk kesaksian ahli bahasa Linguistik forensik
Pragmatik adalah studi tentang makna yang dimaksud dalam teks. Inilah yang membedakan pragmatik dengan semantik meskipun mereka terkait erat. Semantik adalah studi tentang makna linguistik yaitu makna yang jelas dari kalimat. Tapi makna dalam pragmatik diinterpretasikan berdasarkan niat pembicara atau penulis.
Makna dalam pragmatik bergantung pada banyak faktor kontekstual seperti identitas dan hubungan pembicara atau penulis atau pendengan atau pembaca, tempat, waktu, topik pembicaraan, yang tujuan komunikasi, Bahasa yang digunakan dan lain-lain. Pragmatik diperlukan dalam linguistik forensik, karena seseorang tidak selalu mengatakan apa yang ia maksud. Oleh sebab itu, kata-kata seseorang tidak selalu sesuai dengan niatnya. Selanjutnya ekspresi masyarakat yang terbuka menjadi teks dapat diinterpretasi oleh pendengar/pembaca sehingga dapat terjadi pemahaman yang keliru, miskomunikasi, dan akhirnya konflik. Ujaran seseorang dapat dilihat dari berbagai persfektif kalimat yang sama diucapkan oleh seseorang dapat memiliki arti yang berbeda. Arti dari ucapan, sewaktu-waktu bisa melampaui arti permukaan kaimat. Penggunaan konteks, yang tidak hanya meliputi konteks verbal, tetapi juga keadaan sekitarnya dan berbagai informasi latar belakang dan asumsi, dengan kata lain ahli Bahasa menyebutnya pragmatik.
Pragmatik telah didefenisikan oleh beberapa ahli. Leech (1983) mendefenisikan makna dalam pragmatik sebagai relasi terhadap pembicara atau pengguna Bahasa. Leech (1983: 6) merumuskan perbedaan semantik dan pragmatik dengan dua pernyataan yaitu; (1)
What does X mean? dan (2) What do you mean by X?. Semantik adalah kalimat yang pertama sedangkan pragmatik adalah kalimat yangkedua. Hal ini menjelaskan bahwa pragmatik berhubungan dengan penutur dan makna, sedangkan semantik hanya sebagai properti ucapan di dalam bahasa, terlepas dari situasi penutur atau pendengarnya. Yule (1996) mendefenisikan pragmatik sabagai studi tentang makna yang dikomunikasikan oleh pembicara (atau penulis) dan interpretasi anatar pendengar (atau pembaca). Grundy (1995) mendefenisikan pragmatik sebagai hubungan antara arti kata pembicara (secara harfia) dan apa yang dimaksud dengan kata-katanya tersebut.
Verschueren (2009) menedefinisikan pragmatik sebagai studi tentang penggunaan Bahasa. Mey (2001) juga mempertahankan pragmatik untuk mempelajari penggunaan Bahasa dalam komunikasi manusia sebagaimana ditentukan oleh kondisi masyarakat. Levinson (1983) mendefinisikan pragmatik adalah studi tentang kemampuan penguna Bahasa untuk memasankan kalimat dengan konteks seseorang yang sesuai.
Bersumber pada komentar di atas bisa disimpulkan kalau yang diartikan pragmatik merupakan jajak menimpa keahlian pemakai bahasa yang menghubungkan dan menyerasikan kalimat serta konteks. Tetapi dihubungkandengan suasana ataupun konteks di luar bahasa tersebut, serta dilihat selaku fasilitas interaksi ataupun komunikasi di dalam warga. Bahasa serta pemakai bahasa tidak teramati secara individual namun senantiasa dihubungkan dengan aktivitas dalam warga. Bahasa tidak
cuma ditatap selaku indikasi individual namun pula indikasi sosial. Dalam pragmatik juga terdapat satu hal yang umum bahwa pragmatik tidak mempelajari makna dalam abtraksi, tetapi dari sudut pandang pengguna dan pembicara. Ini merupakan aspek penting dari definisi pragmatik, karena makna Bahasa bergantung pada makna yang dimaksudkan pembicara.
Levinson (1983) juga mendefenisikan bahwa pragmatik berfokus pada Bahasa yang digunakan dalam konteks komunikasi. Meskipun ini tidak secara eksplisit dinyatakan dalam definisi lain semua definisi ini juga menyiratkan ini. Hal ini karena isu konteks merupakan pusat pragmatik yang membedakannya dari aspek linguistik lain seperti sosiolinguistik, sintaksis, semantik, dan lain-lain. Bahasa memiliki arti berbeda betgantung pada konteks yang digunakan.
Ruang lingkup pragmatik luas. Green (1989) (dalam Endang 2019:104) memberikan interpretasi terluas pragmatik ketika mencoba untuk menentukan ruang lingkup pragmatik. Pragmatik adalah studi tentang pemahaman tindakan manusiayang disengaja. Dengan demikian melibatkan interpretasi tindakan diasumsikan dilakukan untuk mencapai beberapa tujuan. Pusat gagasan pragmatik haruslah menyertakan keyakinan, niat (atau tujuan), rencana, dan tindakan.
Kajian yang berkaitan erat dengan pragmatik adalah kajian analisis wacana. Brown dan Yule (1983) dalam bukunya discourse analysis membahas hal-hal yang berkaitan dengan wacana diantaranya yaitu
peran konteks, presuposisi topik dan representasi isi wacana, referensi dalam teks dan wacana, tindak tutur dalam koherensi interpretasi wacana, dan inferensi dalam koherensi interpretasi wacana. Kajian analisis wacana berkaitan erat dengan kajian pragmatik, seperti yang dituliskan Yule (1996) dalam bukunya pragmatik yaitu tindak tutur, presuposisi, refensi, inferensi, implikatur serta wacana dan budaya.
Kajian analisis wacana maupun pragmatik tidak terlepas dari konteks. Konteks merupakan bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendunkung atau menambah kejelasan makna (KBBI, 2008:178) Malinowski (halliday dan Hasan 1992:7) menyebutkan bahwa konteks adalah keseluruhan lingkungan, tidak hanya lingkungan tutur (verbal), tetapi juga lingkungan keadaan tempat teks diucapkan. Dengan demikian, konteks dapat dipahami sebagai keseluruhan lingkungan baik berupa lingkungan tutur maupun tempat teks diucapkan atau bagian uraian/kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna.
Hubungan antara semantik, pragmatik, dan analisis wacana dapat diamati pada gambar berikut ini.
Gambar 4 keterkaitan antara semantik, pragmatik dan analisis wacana
Analisis wacana Semantik
(makna) Pragmatik
Berdasarkan uraian tersebut aspek-aspek kebahasaan memainkan perang penting dalam pengembangan linguistik forensik. Dalam kaitannya pembuktian Bahasa dalam ranah hukum, kajian kebahasaan tidak hanya terbatas pada teks yang ada dipermukaan saja. Akan tetapi, kronologis dan lingkungan atau situasi tutur menjadi pendukung kuat dalam menganalisis tersebut. Selain itu, analisis kejahatan berbahasa akan lebih komprehensif jika dilakukan dengan teori yang konpleks untuk menguraikan teks defamasi dan kejahatan berbahasa lainnya.
1. Konteks
Sebuah teks tidak lahir begitu saja, tetapi teks lahir karena sebuah konteks hal ini menunjukkan bahwa teks yang diprodiksi seseorang memiliki latar belakang dan tujuan tertentu. Oleh sebab itu teks berkaitan erat dengan konteks.
Teks dapat berupa kata-kata, frasa, kalimat, paragraph, gambar, ilustrasi, dan tipografi. Teks berupa gambar atau ilustrasi yang digunakan dalam tindak kejahatan berbahasa dapat ditemukan pada meme yang biasanya disebarkan pelaku melalui media sosial. Selain itu, dapat juga berupa foto yang diedit sedemikian rupa sehingga bisa menimbulkan fitnah atau pencemaran nama baik.
Konteks yaitu bagian dari deskripsi ataupun kalimat yang bisa menunjang atau memberikan kejelasan arti suasana yang berkaitan dengan kejadian tersebut. Sedangkan menurut, Purwo (2001: 4) (dalam Endang 2019). "Menafsirkan konteks merupakan sudut pandang utama dari analisis pragmatis. Konteks ini meliputi
pembicara serta penerima, tempat, waktu, serta seluruh suatu yang ikut serta dalam tuturan". menurut Preston (dalam Supardo, 2000: 46) menarangkan "kalau konteks merupakan seluruh data yang melingkupi pemakai bahasa, tercantum pemakaian bahasa di sekitarnya. Oleh sebab itu, hal- hal semacam konteks serta jarak posisi bisa jadi konteks pemakaian bahasa di sekitarnya". Oleh karena itu, hal-hal seperti konteks dan jarak lokasi dapat menjadi konteks penggunaan bahasa, menekankan pentingnya konteks dalam bahasa, yang dapat menentukan makna dan maksud wacana. Supardo (2000:46) membagi konteks menjadi konteks linguistik (linguistik) dan konteks non-linguistik (non-linguistik). Konteks bahasa ada dalam bentuk unsur-unsur yang membentuk struktur eksternal, yaitu bunyi, kata, kalimat, dan ucapan atau teks. Konteks nonverbalnya adalah konteks yang tidak termasuk unsur kebahasaan.
Selanjutnya, berkaitan dengan konteks, Malinowski (dalam Halliday dan hasan, 1992:7) mengartikan konteks adalah lingkungan teks. Lingkungan tersebut menurut Malinowski adalah kata-kata dan kalimat-kalimat sebelum dan sesudah kalimat tertentu yang sedang dipelajari, yang lebih jauh diungkapkan suatu keseluruhan lingkungan yang tidak hanya lingkungan tutur (verbal), tetapi juga lingkungan keadaan tempat teks diucapkan (malinowski, dalam halliday dan Hasan, 1992:7). Dalam perkara kejahatan berbahasa, seorang ahli Bahasa dapat melihat konteks berupa kronologis kejadian perkara,
berita acara pemeriksaan saki-saksi baik saksi terlapor, saksi pelapor, dan saksi yang lainnya. Oleh karena itu, konteks berperan penting dalam menentukan makna suatu teks.
Lingkungan teks yang terlibat terhadap munculnya teks (tuturan yang disengketakan) sebagai hasil dari sebuah proses dapat diamati pada gambar berikut ini
Ganbar 5 keterlibatan lingkungan teks terhadap teks sebagai hasil dari sebuah proses
Setelah diketahui kontek verbal maupun nonverbal tersebut, kronilogis maupun keterangan saksi-saksi juga diperlukan dalam menganalisis teks yang disengketakan. Dengan demikian, dapat diketahui apa tujuan dari teks yang diproduksi.
Konteks menurut Malinowski meliputi konteks situasi dan konteks budaya yang selanjutnya dikembangkan oleh Halliday dan Hasan. Untuk melihat konteks pada teks pencemaran nama baik atau defamasi,
Nonverbal 1.Tempat 2.keadaan “konteks” (lingkungan pendukung) Verbal
1.teks-teks sebelum teks yang disengketakan
Teks-teks sesudah teks yang disengketakan
Teks yang disengketakan
Tujuan teks
digunakan pendekatan konteks menurut Halliday karena pendekatan tersebut komprehensif dan aplikatif. Menurut Halliday (1992:16) ada tiga faktor konteks situasi yang memengaruhi pilihan Bahasa seseorang, yaitu medan (field) pelibat (tenor) dan sarana (mode) seperti pada gambit berikut:
konteks
konteks situasi konteks budaya
medan pelibat sarana peran bahasa
(field) (tenor) (mode) tipe interaksi
Medium/saluran Modus retoris
Pertisipan status/peran hubungan pelibat
Gambar 6 konteks menurut Halliday dan Hasan (1992:15)
Medan wacan (field) mengacu pada peristiwa yang terjadi atau topik yang dibicarakan dan dalam hal ini Bahasa merupakan komponen yang esensial. Pelibat wacana (tenor) mengacu pada partisipan, status dan peranannya, termasuk jenis hubungan peran yang dimiliki satu sama lainnya baik yang bersifat permanen atau temporer. Sarana (mode) mengacu pada bagian yang diperankan Bahasa (fungsi khas Bahasa) dalam teks kejahatan berbahasa, tipe interaksi melipiti dialog atau
monolog, selurunya menggunakan lisan atau tulisan, dan modes retoris (mode retorik) yaitu apa yang akan dicapai teks seperti bersifat membujuk, menjelaskan, mendidikk dan semacamnya.