• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINDAK TUTUR PELAKU PECEMARAN NAMA BAIK DI MEDIA SOSIAL KAJIAN LINGUISTIK FORENSIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINDAK TUTUR PELAKU PECEMARAN NAMA BAIK DI MEDIA SOSIAL KAJIAN LINGUISTIK FORENSIK"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

SPEECH ACTS OF DEFAMATION ACTORS ON SOCIAL

MEDIA FOR FORENSIC LINGUISTIC STUDIES.

TESIS

Oleh:

RISKA HALID

Nomor Induk Mahasiswa : 10.504.14.013.19

PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

(2)

TESIS

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Magister Program Studi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia

Disusun dan Diajukan oleh

RISKA HALID

Nmor Induk Mahasiswa : 10.50.414.013.19

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

(3)
(4)
(5)
(6)

iii

(7)
(8)

v

MOTO

"Barang siapa yang bersungguh sungguh, sesungguhnya

kesungguhan tersebut untuk kebaikan dirinya sendiri"

(Qs. Al-Ankabut: 6)

Kematian bagi manusia adalah bukan terpisahnya roh dari

raga tapi ketika kita masih berada di bumi dan keberadaan

kita tidak berarti. Mari berarti sebelum mati

Kupersembahkan karya ini untuk :

kedua perempuan yang paling saya cintai yaitu ibunda HJ.munirah Wati dan saudara perempuanku Risma Halid , keluarga besar dan sahabat-sahabatku serta

semua pihak yang telah membantu selama proses perkuliahan. Dengan segenap ketulusan dan keikhlasan hati ku ucapkan terima kasih atas segalah kasih sayang

(9)

vi ABSTRAK

Riska Halid. 2021. Tindak Tutur Pelaku Pencemaran Nama Baik di Media Sosial Kajian Linguistik Forensik”. Tesis Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar di bawa bimbingan bapak prof Muhammad Rapi Tang dan bapak Dr. Andi sukri Syamsuri.

Tujuan dalam penelitian ini untuk mendeskripsikan 1) bagaimana bentuk tindak tutur dalam kasus pencemaran nama baik di media sosial 2) bagaimana peristiwa tutur dalam bentuk speaking. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk tindak tutur ilokusi menurut searle dan bentuk peristiwa tutur yang bermuatan ujaran kebencian, pencemaran nama baik, fina dan hinaan. Yang bereda di dunia maya atau sosial media. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif sumber data dalam penelitian ini berupa postingan ujaran kebencian, pencemaran nama baik, penghinaan dan fitnah di media sisoal seperti facebook dan twitter.

Hasil penelitian dari penelitian ini ditemukan bentuk tindak tutur asertif 4, bentuk tindak tutur direktif 1, bentuk tindak tutur refresentatif 1, bentuk tindak tutur deklaratif dan peristiwa tutur SPEAKING yang menunjukkan adanya dugaan tindak pidana dengan sengaja menunjukkan kebencian atau menghina orang lain di depan umum serta mencemarkan nama baik orang lain melalui media online. Berdasarkan UU ITE No. 11 Tahun 2008 yang di perbaharui kedalam UU RI No. 19 tahun 2016 dan KUHP pasal 27 ayat (3). Ditinjau dari teori tindak tutur ilokusi Searle (1969) (dalam Endang, 2018:114) dan pengaruh dari peristiwa tutur dalam bentuk SPEAKING.

(10)
(11)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Sang Maha pencipta yang telah menciptakan langit dan bumi, serta segala isinya. Penulis tidak mampu mengungkapkan semua nikmat yang telah diberikan karena tidak ada yang mampu menuliskan nikmat-Nya. Semoga limpahan ar-rahman dan ar-rahim-Nya yang diberikan senantiasa mengiringi perjuangan penulis dalam menyelesaikan tugas dan tanggung jawab serta mengembang amanah sebagai khalifa di muka bumi ini. Semoga karunia yang diberikan oleh-Nya menjadikan penulis sebagai gerenasi kobaran api revolusi yang tetap melekat dalam diri dan semoga nikmat Sang pencipta selalu dilimpahkan kepada hambaNya yang senantiasa berbuat baik dan bermanfaat.

Salawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Sang Pemimpin terbaik sepanjang zaman, pemudah terbaik serta umat terbaik di muka bumi ini, sebagai penutup para rasul serta nabi akhir zaman. Beliaulah, yang telah membawa manusia dari zaman jahilia ke zaman kepintaran dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benerang seperti saat ini. Beliau Baginda Rasulullah Muhammad saw sebagai suri teladan terbaik yang menjadi pembuka cakrawala umat manusia. Sebagai cerminan terindah untuk umat manusia

Penulis berterima kasih kepada dosen dan staf program pasca sarjana yang senantiasa membantu proses selama perkuliahan, dosen pembimbing I dan pembimbing II yakni,

Prof, Dr. Muhammad. Rapi Tang, M. Si., dan Dr. H. A. Sukri Syamsuri, M. Hum., yang senantiasa membimbing

dalam menyelesaikan tesis ini. Terima kasih kepada Dr. Abd. Rahman Rahim, M.Hum. Ketua Program Studi Magister

Pendidikan Bahasa Indonesia. Dr. H. Darwis Muhdina, M. Ag. direktur pascasarjan Universitas Muhammadia Makassar. Dan terakhir terimakasih kepada Prof Dr. H. Ambo Asse, M.Ag. Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar.

(12)

ix

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Ibu saya Hj. Murni tercinta yang telah memberikan begitu banyak konstribusi terutama kasih sayang dan do’a yang tidak akan pernah putus sehingga penulis dapat melanjutkan pendidikan sampai saat ini dengan do’a dan dukungan ibunda tercinta semoga dapat lebih memacu semangat penulis dalam menuntut ilmu.

Penulis juga sampaikan terima kasih kepada teman-teman yang telah membantu serta meluangkan waktunya dalam menyelesaikan tesis ini tanpa adanya bantuan serta partisipasi dari teman-teman tentunya tesis ini tidak akan terselesaikan tepat waktu.

Penulis menyadari dalam penyusunan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun dari segenap pembaca. Harapan penulis dalam penyusun tesis ini semoga dapat memberikan manfaat bagi para pembaca dan bagi para penulis.

Makassar, Juni 2021

(13)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN... ii

HALAMAN PENERIMAAN PENGUJI ... iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 12

A. Penelitian Yang Relevan ... 12

B. Linguistik Forensik ... 16

1. Sejarah Linguistik Forensik ... 16

2. Bidang Kajian Linguistik Forensik ... 17

3. Defamasi ... 21

4. Delik aduan ... 31

5. Are dan ilmu linguistik forensik ... 35

C. Pragmatik ... 38

1. Konteks ... 48

2. Tindak tutur menurut Austin ... 52

3. Faktor peristiwa tutur ... 68

D. Kerangka konsep ... 70

BAB III METODE PENELITIAN ... 72

A. Jenis Penelitian ... 72

B. Data dan Sumber Data... 72

C. Definisi Istilah ... 73

D. Teknik pengumpulan Data ... 74

E. Teknik Analisis data ... 75

F. Pengecekan keabsahan temuan ... 76

(14)

xi

A. Hasil Analisi Data ... 78

B. Pembahasan ... 93 BAB V PENUTUP ... 106 A. Simpulan ... 106 B. Saran... 107 DAFTAR PUSTAKA ... 108 LAMPIRAN

FOTO-FOTO POSTINGAN DI MEDIA SOSIAL RIWAYAT HIDUP

(15)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel Bidang Kajian Linguistik Forensik ... 21

Tabel Kajian Linguistik Forensik ... 43

Keterkaitan Antara Semantik Pragmatik Dan Analisis Wacana ... 47

Keterlibatan Lingkungan Teks Sebagai Hasil Dari Sebuah Proses.... 50

(16)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bahasa yang dituturkan oleh penutur Bahasa mempunyai nilai-nilai dan norma dalam bahasanya. Bukan hanya berbahasa dalam forum resmi tetapi juga dalam forum non resmi atau dalam kehidupan sehari-hari baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Bahasa dalam berkomunikasi mempunyai dampak pada kehidupan manusia. Peran penggunaan bahasa Indonesia dalam kehidupan masyarakat terbilang banyak, memiliki kepentingan dan masing-masing fungsi.

Aktivitas manusia dalam bermasyarakat tidak terlepas dari kegiatan berbahasa seperti halnya, komunikasi dan interaksi manusia. Komunikasi adalah proses tindak tutur yang dilakukan secara tersistem, dengan maksud untuk mencapai tujuan. Bahasa sangat berperan penting, terlebih dalam penelitian bahasa. Dalam penelitian bahasa tidak hanya membahas masalah kebahasaan saja, tetapi dapat diteliti dari gejala-gejala penggunaan bahasa dalam masyrakat.

Pragmatik sebagai suatu bidang ilmu linguistik tentulah tidak dapat dilepaskan dalam kehidupan sehari-hari. Setiap hari, kita berkomunikasi dengan menggunakan tindak tutur. Dalam media sosial pun, tindak tutur pasti berlangsung, Tindak tutur bias terjadi dimanapun bahasa itu digunakan, seperti halnya di media sosial. Seperti, Instagram, facebook, Whatsapp, dan youtube yang berisikan foto atau

(17)

tulisan dapat terjadi tindak tutur. Dalam penelitian ini penulis ingin mengulas tentang jenis tindak tutur, yakni tindak tutur ilokusi, untuk mengetahui maksud tuturan pengguna media sosial.

Tuturan manusia biasanya di eksperisikan melalui media sosial Instagram, facebook, whatsap, dan youtube Yang biasanya menggunakan bahasa lisan dan bahasa tulisan. Dalam media sosial yang menggunakan bahasa lisan, orang yang melakukan tindak tutur merupakan pembicara (penutur), dan orang yang mendengarkan disebut mitra tutur. Sedangkan dalam penggunaan bahas tulis, tuturan disampaikan oleh penulis (penutur) kepada pembaca (mitra tutur). Dalam pembahasan pragmatik tidak hanya terfokus pada bahasa lisan, tetapi terfokus juga pada bahasa tulis, Tarigan (2015: 32-33). Jadi dapat diartikan bahwa, tindak tutur tidak hanya terjadi di dunia nyata saja, tetapi juga terjadi di media sosial yang menggunakan bahasa sebagai sarana menyampaikan informasi baik secara lisan ataupun tulisan yang biasanya terdapat pada unggahan foto maupun video.

Tindak tutur dalam kejadian tutur ialah dua fenomena yang terjalin dalam satu proses, Proses komunikasi. Dalam kehidupan setiap hari tidak dapat lepas dari kejadian verbal, sebab manusia bisa mengantarkan data ataupun gagasan serta kemauan kepada lawan bicaranya melalui kata-kata, dan dapat saling memahami. Ada banyak sekali jenis tuturan atau tindak tutur yang salah satunya dikelompokkan menurut sifat hubungannya, Antara lain tindak tutur lokusi, tindak ilokusi, dan tindak perlokusi. Tindak tutur yang dirancang

(18)

untuk menyatakan sesuatu disebut ilokusi. Pertama-tama, kata dan kalimat hanyalah tindak tutur lokusi, yaitu tindakan berbicara dengan kata-kata, menurut arti kata dalam kamus dan arti kata, kaidah sintaksis , Gunawan (Rustono 1999: 37). Dalam tindak tutur, maksud dan fungsi kata tidak dipermasalahkan. Kedua, tindak tutur ilokusi yakni tindak tutur yang memunyai guna untuk melaporkan ataupun membagikan data sesuatu serta dipergunakan buat melaksanakan suatu. Ketiga, perlokusi merupakan dampak ataupun energi pengaruh (perlocutionary force) yang dihasilkan dari ujaran penutur. Dampak ataupun energi tuturan bisa ditimbulkan penutur baik terencana ataupun tidak disengaja Tindak tutur yang diartikan untuk memengeruhi mitra tutur disebut tindak tutur perlokusi.

Austin (1962) mengatakan bahwa semua bahasa diekspresikan dalam bentuk tindakan, hal ini menjelaskan bahwa catatan atau tulisan yang diunggah dalam media sosial instagram, facebook, twitter, dan youtube masuk ke dalam kategori tindakan, karena menggunakan bahasa tulis sebagai sarana untuk membagi informasi melalui unggahan yang berarti telah terjadi tindak tutur yang dilakukan oleh pengguna media sosial. yaitu Instagram, facebook twitter, dan youtube. baik kepada pembaca dari akun media sosial Instagram, facebook twitter, dan youtube. Secara mendasar, Instagram, facebook twitter, dan youtube adalah Media sosial yang menjadi wadah dalam mengespresikan diri mengembangkan kreativitas dalam menyampaikan informasi baik dalam bentuk unggahan foto maupun

(19)

video yang berisi curhatan atau catatan. Media sosial dipilih sebagai bahan analisis dilatar belakangi oleh maraknya penggunaan bahasa dalam media sosial berupa unggahan foto atau video di Instagram, facebook, twitter, dan youtube. Pengguna media sosial dapat memberikan keterangan berupa tulisan pada unggahan foto atau video yang diunggah, dan netizen dapat meninggalkan komentar di kolom kometar terkait foto atau vidio yang diunggah.

Penggunaan media sosial Instagram, facebook twitter, dan youtube juga biasanya banyak yang tidak bijak menggunakan media sosial sebagaimana mestinya. Pengguna media sosial biasanya menggunakan media sosial sebagai wadah untuk menyampaikan kemarahan terhadap orang lain seperti pencemaran nama baik, ujaran kebencian, fitna, penistaan agama dan hoax. Sehingga banyak kasus defamasi yang muncul melalui media sosial karena kebebasan menggunakan media sosial ini. Karena permasalahan inilah sehingga dibuatlah “UU ITE NO.11 Tahun 2008 yang di perbaharui dalam UU RI NO 19 Tahun 2016. KUHP BAB XVI tantang penghinaan”. Untuk mengkaji permasalahan ini maka penulis menggunakan kajian linguistik forensik.

Selain dari pada peraturan pemerintah yang tercantum dalam “UU ITE No. 11 Tahun 2008 yang di perbaharui kedalam UU RI NO. 19 tahun 2018” tentang pencemaran nama baik dan UU RKUHP tentang kebohongan atau penistaan. Di dalam al-qur’an Allah SWT telah memberikan petunjuk dalam berakhlak yang baik terutama tentang

(20)

sikap mencelah dan mengolok orang lain. Dalam Qs al-hujarat ayat 11, Allah SWT berfirman: اَي اَهُّيَأ ََنيِذَّلا اوُنَمَآ ََل َْرَخْسَي َ م ْوَق َْن ِم َ م ْوَق ىَسَع َْنَأ اوُنوُكَي ا ًرْيَخ َْمُهْنِم ََل َو َ ءاَسِن َْن ِم َ ءاَسِن ىَسَع َْنَأ ََّنُكَي ا ًرْيَخ ََّنُهْنِم Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laiki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari pada mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan yang lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik”, (Qs. Al-hujarat: 11)”

Dalam Qs An-Nur ayat 11 juga menjelaskan tentang hukum pencemaran nama baik sebagai berikut

ََ ْي ِذَّ لاَ ِِۚم ْث ِ ْل اَ َب َسَ ت ْك اَاَ ئ ِر ْماَ ِّ ِل ُك ِلَ ْْۗم ُكَّ لَ ْلَ ْْۗم ُكَّ لَاَ َلَ ِك ْف ِ ْلاَ ْو ُء ۤاَ َن ْي ِذ َّلاَ َّنِ ا َ ب ا َ ٗه َ ل َ ىّٰ ل َ

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu (juga). Janganlah kamu mengira berita itu buruk bagi kamu bahkan itu baik bagi kamu. Setiap orang dari mereka akan mendapat balasan dari dosa yang diperbuatnya. Dan barangsiapa di antara mereka yang mengambil bagian terbesar (dari dosa yang diperbuatnya), dia mendapat azab yang besar (pula). QS: An-Nur ayat:11”

Selanjutnya QS: At-Taubah Ayat 79 menegaskan tentang larangan mencelah sebagai berikut:

َِت ٰق َد َّص ل ا َ َن ْي ِ ن ِم ْؤ ُم ْل ا َ َن ْي ِع ِِّو َّط ُم ْلاَ َن ْو ُز ِم ْل َ َن ْي ِذ َّلَ ا

ََ

َُ ّٰاللّ َ َّلِاَ َلَ َن ْي ِذَّ لا

ََ

َْم ُهَ ل

ََ

َ م ْي ِلَ اَ ب ا َ

Artinya: “(orang-orang munafik itu) yaitu orang-orang yang mencelah orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekadar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih”.

Tafsir al-qur’an yang dikemukakan oleh Imam Ibn Katsir mengatakan bahwa ayat di atas berisi larangan melecehkan dan meremehkan orang lain. Serta sifat melecehkan atau meremehkan

(21)

termasuk dalam kategori orang sombong. Ia mengutip salah satu sabda Rasulullah SAW:

َُرْبِكْلا َُرَطَب َِِّقَحْلا َُطْمَغ َو َ ِساَّنلا

Yang artinya: “Sombong adalah sikap menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. muslim no 91).

Ulama tafsir al-qur’an yakni Imam Ath-Thabari di dalam tafsir At-Thabari menjelaskan makna ayat di atas dengan mengutip salah satu hadis Nabi Muhammad, sebagai berikut:

ََل َو ََّن َرِقْحَت اًئْيَش ََنِم َِفو ُرْعَمْلا َْنَأ َو ََمِِّلَكُت ََكاَخَأ ََتْنَأ َو َ طِسَبْنُم َِهْيَلِإ ََكُهْج َو ََّنِإ ََكِلَذ ََنِم َِفو ُرْعَمْلا َْعَف ْرا َو ََك َرا َزِإ َىَلِإ َِفْصِن َِقاَّسلا َْنِإَف ََتْيَبَأ َىَلِإَف َِنْيَبْعَكْلا ََكاَّيِإ َو ََلاَبْسِإ َو َِرا َزِلإا اَهَّنِإَف ََنِم َِةَلي ِخَمْلا ََّنِإ َو َََّاللّ ََل َُّب ِحُي ََةَلي ِخَمْلا َِنِإ َو َ ؤ ُرْما ََكَمَتَش ََك َرَّيَع َو اَمِب َُمَلْعَي ََكيِف ََلَف َُه ْرِِّيَعُت اَمِب َُمَلْعَت َِهيِف اَمَّنِإَف َُلاَب َو ََكِلَذ َِهْيَلَع

Yang Artinya: “Janganlah meremehkan kebaikan sedikit pun walau dengan berbicara kepada saudaramu dengan wajah yang tersenyum kepadanya. Amalan tersebut adalah bagian dari kebajikan”. .

Menurut pendapat (Coulthard dan Johnson, 2010 dalam subyantoro 2019) “linguistik forensik menggunakan teori-teori linguistik dalam suatu kejadian kebahasaan yang termasuk dalam proses hukum, baik dalam wujud produk hukum, interaksi dalam proses peradilan, serta dalam interaksi antar perorangan yang sudah menyebabkan munculnya akibat hukum tertentu. Dalam perihal ini, teori-teori linguistik yang diaplikasikan meliputi teori tata bahasa, obrolan, analisis wacana, linguistik kognitif, tindak tutur, teori serta metode linguistik deskriptif, semacam fonetik serta fonologi, leksis, sintaksis, semantik, pragmatik, wacana, serta analisis bacaan”.

(22)

Salah satu kajian yang menarik untuk mengkaji tindak tutur ilokusi permasalahan pencemaran nama baik di media sosial ialah kajian linguistik forensik sejalan dengan pertumbuhan teknologi data serta komunikasi (TIK) kasus-kasus defamasi semacam pencemaran nama baik, fitna, serta penistaan/penghinaan. Dikenal dari sebagian sumber, pelibat dalam permasalahan defamasi tersebut berasal dari bermacam golongan semacam pejabat publik, artis, guru, dosen, mahasiswa, kiai, santri, pengusaha, Tentara Nasional Indonesia (TNI) Polri, dokter, perawat, pengembang, komsumen, politikus, pilot, pramugari, serta petani. Dilihat dari umur pelibatnya bisa dikenal mulai dari umur muda, anak muda, berusia, ataupun tua, baik bertempat tinggal di desa, di kota kecil, dan di kota besar.

Permasalahan defamasi tersebut lumayan menyita atensi warga terlebih bila timbul dipemberitaan baik di media cetak ataupun media elektronik yang tidak lepas dari pemberitahuan kasus-kasus tersebut. Akhir- akhir ini, permasalahan defamasi banyak timbul di media sosial. bukan hanya pembicaraan secara langsung, tuturan di media sosial pula jadi lahan produktif hendak timbulnya permasalahan defamasi itu. Di Indonesia, pemakaian media sosial leluasa tanpa batasan. Kapanpun serta di manapun seorang bisa berbicara dalam jaringan (daring) dengan pemanfatan internet.

Dalam UU informasi dan transaksi elektronik (UU ITE) No. 11 Th. 2008 pasal 27 ayat 3 menjelaskan “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau

(23)

membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” termasuk perbuata melanggar hukum. Dalam kutipan tersebut, menyatakan jika siapapun yang dengan berencana mengirimkan pesan yang memuat faktor penghinaan serta/ataupun pencemaran nama baik lewat media elektronik sehingga bisa diakses oleh banyak orang, perihal itu ialah perbuatan melawan hukum. Pencemaran nama baik dapat dilaporkan selaku tindakan melanggar hukum

alasan penulis mengambil penelitian ini sebab ketertarikan penulis terhadap ilmu baru linguistik forensik terkhusus permasalahan defamasi serta banyaknya kesenjangan-kesenjangan dan fonemona-fenomena permasalahan baru yang bisa dikaji dengan menggunakan kajian ilmu linguistik forensik. seperti pencemaran nama baik, Bahasa kasar di media sosial, penistaan agama, Permasalahan Ahok tentang permasalahan penistaan agama, permasalahan Rocky Gerung yang berkata kalau Kitab suci itu fiksi permasalahan yang mengaitkan mantan presiden PKS dalam permasalahan suap impor daging sapi, permasalahan Zaskia Gotik yang menghina Pancasila, permasalahan ujaran kebencian ADP ( Ahmad Dani Prasetyo), permasalahan Tindak tutur kebencian di media sosial di facebook sebagian permasalahan tersebut inilah yang membuat penulis tertarik untuk melaksanakan penelitian tindak tutur pelaku pencemaran nama baik di media sosial. masalah seperti itu yang membuat penulis tertarik untuk mempelajari

(24)

tindak tutur pelaku pencemaran nama baik di media sosial. sebab tuturan bisa berakibat buruk.

Berdasarkan penelitian Devita (2019), Karmila (2020), Waljinah (2016), Susanto dan Deri (2020) Linawati (2017), Subyantoro (2019). Munirah (2020), Belum mengkaji tindak tutur pelaku pecemaran nama baik di media sosial. Oleh karena itu, penulis merumuskan sebuah judul “tindak tutur pelaku pencemaran nama baik di media sosial” “

Rumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang yang telah dijelaskan tersebut rumusan masalah dalam penelitian ini adalaha:

1. Bagaiamanakah bentuk tindak tutur dalam kasus pencemaran nama baik di media sosial?

2. Bagaimanakah peristiwa tutur dalam bentuk speaking?

B. Tujuan Penelitian

Berdasarkan dari rumusan masalah yang telah diuraikan maka tujuan dalam penelitian ini adalah

1.

untuk mendeskripsikan bentuk tindak tutur dalam kasus pencemaran nama baik media sosial

2.

untuk mendeskripsikan peristiwa tutur dalam bentuk speaking

C. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik manfaat secara teoritis maupun manfaat secara praktis.

(25)

1. Manfaat Teoretis

Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan ilmu pengetahuan terkait linguistik forensik dengan mengetahui tindak tutur ilokusi terhadap penggunaan bahasa yang baik dalam media sosial. Selain itu, dapat menjadi referensi bagi peneliti lain yang ingin mengembangkan atau mengambil judul analisis linguistik forensik dengan menggunakan pisau bedah pragmatik.

2. Manfaat Praktis

Dijadikan sebagai rujukan ataupun bahan bacaan bagi penegak hukum dalam kejahatan berbahasa. Hasil dari penelitian ini, mempunyai manfaat dalam pengembangan kerja instan linguistiK foensik bagi dosen serta mahasiswa. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai contoh dalam pengaplikasian teori linguistik forensik dalam mengkaji tindak tutur pelaku pencemaran nama baik penelitian ini juga dapat digunakan oleh mahasiswa dalam menerapkan teori linguistik forensik serta mengenali metode pelaksanaannya dalam bidang hukum dan dapat digunakan selaku bahan acuan untuk penelitian berikutnya dalam objek yang berbeda.

(26)

KAJIAN PUSTAKA dan KERANGKA PIKIR

A. Penelitian Yang Relevan

Munirah (2020) “Sudut Pandang Linguistik Forensik dari Percakapan Implikasi dalam Interogasi Polisi: Tinjauan” Kajian ini mencakup perhatian pada kriteria yang digunakan untuk memutuskan seseorang dapat dikenal sebagai saksi ahli bahasa, etika seorang saksi bahasa, kriteria yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat bukti ilmiah yang disajikan oleh saksi linguistik, cara saksi ahli bahasa dalam menemukan bukti kebahasaan, dan cara ahli bahasa dalam menggambarkan implikatur percakapan dalam interogasi polisi. Data yang diperoleh dari artikel penelitian, buku, dan jurnal dianalisis dengan menggunakan metode analisis deskriptif. Dalam studi ini, Hal-hal yang berkaitan dengan peran forensik linguistik akan disajikan dalam proses interogasi, bahasa hukum, dan posisi linguistik forensik itu sendiri. Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa implikatur percakapan digunakan oleh polisi dalam proses interogasi dalam menghadapi tersangka pada titik temu, membuat tersangka konsisten tanpa merasa tertekan, dan membantu tersangka dalam menggambarkan kasusnya.

Karmila (2020) melakukan penelitian tindak tutur yang berjudul “Implikatur Percakapan Terhadap Siswa Pelanggar Aturan Sekolah (Kajian Linguistik Forensik Interogasi)”. Penelitian yang dilakukan oleh Karmila mendeskripsikan fenomena kebahasaan siswa serta bentuk

(27)

implikatur percakapan menggunakan kajian linguistik forensik. Menggunakan prinsip kerja sama grice.

Penelitian di atas, memmiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian penulis. Persamaan penelitian tersebut terletak pada teori tindak tutur dengan pisau bedah analisis dalam penelitian ini dan penelitian Karmila Indah Hasin. Adapaun perbedaan dari penelitian ini terletak pada objek kajian penelitian serta metode yang digunakan.

Waljinah (2016) melakukan penelitian tindak tutur dengan judul “Linguistik Forensik Interogasi: Kajian Implikatur Percakapan Dari Perspektif Makna Simbolik Bahasa Hukum”. Penelitian ini bertujuan untuk Mendeskripsikan bentuk dan analisis implikatur percakapan dalam interogasi di kepolisian dari sudut pandang makna simbol bahasa hukum. Selanjutnya Menjabarkan kajian linguistik forensik dalam introgasi di kepolisian dari persfektif makna Metode yang digunakan dalam penelitian metode kualitatif.

Penelitian yang dilakukan Wajinah memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Persamaan terletak pada kajian linguistik forensik sebagai pendekatan dalam penelitian ini. Perbedaannya terletak pada objek teori yang digunakan untuk mengkajia penelitian. Penelitian ini menggunakana teori tindak tutur.

Devita (2019) dalam penelitiannya yang berjudul “Tindak Tutur ujaran kebencian Facebook 2017-2019” bertujuan untuk

(28)

mendeskripsikan tentang penggunaan tindak tutur ujaran kebencian facebook 2017-2019 Metode dalam penelitian Devita yakni deskriptif kualitatif dengan menggunakan metode pengumpulan data teknik membaca dan mencatat. Hasil dari penelitian Devita Indah Permata Sari yakni datanya berupa jenis-jenis tindak tutur yang terdapat komentara facebook ujaran kebencian.

Penelitian ini memiliki persamaan dengan yang dilakukan penulis. Persamaan tersebut terletak pada kajian pragmatik tindak tutur dalam penlitian ini dan penelitian yang dilakukan oleh Devita Indah Permata Sari. Disisi lain terdapat perbedaan dari penelitian ini yaitu pada Objek kajian yang dikaji, objek kajian pada penelitian ini adalah pencemaran nama baik di media sosial objek kajian linguistik forensik, sedangkan pada penelitian Devita Indah Pernata Sari mengkaji tentang tindak tutur ilokusi ujaran kebencian di facebook 2017-2019.

Susanto dan Deri Sis Nanda (2020), dalam penelitiannya yang berjudul “Dimensi analisis bahasa dalam linguistik forensik”. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan Linguistik forensik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif.

Penelitian ini mempunyai kesamaan dan perbedaan dengan penelitian yang dilakukan Susanto dan Deri Sis. Adapaun persamaan ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Susanto dan Deri sis Nanda sama-sama menggunakan pisau linguistik forensik. Di sisi lain terdapat

(29)

juga perbedaan dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan penelitian Susanto terletak pada objek kajiannya.

Linawati (2017) “Tindak Tutur Ujaran Kebencian dalam Komentar Pembaca pada Surat Kabar Online Tribunnews.com”. Penelitian yang dilakukan oleh Linawati memiliki tujuan untuk mendeskripsikan bentuk ujaran kebencian yang terdapat dalam komentar surat kabar online tribunnews.com. Adapun metode yang digunakan pada penelitian Linawati yaitu metode analisis data.

Persamaan Persamaan dalam penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Linawati yakni menggunakan pendekatan penelitian yang sama, dan menggunakan kajian tindak tutur. Adapun letak perbedaan dari penelitian ini yaitu pada objek kajian yang diteliti, penelitian ini mengkaji tindak tututr pencemaran nama baik di media sosial sedangkan penelitian linawat tentang mengkaji tuturan pada kolom komentar.

Subyantoro (2019) dengan judul “Linguistik Forensik: Sumbangsi Kajian Bahasa dalam Penegakan HUKUM”. Penelitian inimemiliki persamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis yaitu terletak pada kajian yang dibahas, yaitu linguistik forensik. Dan adapun perbedaannya yaitu terletak pada objek kajiannya, Subyantoro mengulas tentang teori-teori linguistik forensik secara umum, sedangkan penelitian ini mengkaji tindak tutur pencemaran nama baik di media sosial

(30)

B. Linguistik Forensik

1. Sejarah Linguistik Forensik

Dimulai pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, beberapa ahli melakukan penelitian yang menekankan pada pengukuran atribut seperti panjang rata-rata kata, makna panjang kalimat, dan lain-lain. Aplikasi mengenai bahasa dalam kasus hukum saat itu masih sedikit dilakukan.

Lingusitik forensik menggunakan bahasa sebagai alat yang sangat penting dalam pekerjaan hukum. Olison (2008) mengatakan bahwa sejak abad ke-19 para sarjana telah mempertimbangkan beberapa teks yang paling terkenal di dunia, yakni teks suci dan drama Shakespeare. Namun dengan menggunakan linguistik forensik, ahli bahasa dapat mempertahankan pendapat mereka di forum publik dan pengadilan, tidak hanya pada masalah siapa penulisnya, tetapi juga pada masalah lain.

Istilah linguistik forensik pertama kali digunkan di inggris pada tahun 1968. Istilah itu digunakan dalam laporan Jan Startvik seorang ahli bahasa dalam kasus pembunuhan. Pada tahun 1949 terjadi pembunuhan dan pada tahun 1950 Timothy John Evans digantung yang berperan sebagi terdakwa. Dalam kasus itu, korban pembunuhan adalah istri Timothy John Evans, Beryl Susan Evans, dan bayi perempuan mereka Geraldine, bayi perempuan berumur 14 bulan.

(31)

Starwick menganalisis dalam laporannya, terdapat empat dokumen yang ditulis Evans kepada polisi, yang menunjukkan pengakuannya. Analisis yang dilakukan oleh Starvik menunjukkan bahwa tidak semua pernyataan tertulis Evan berasal darinya. Kemudian temuan Starwick diserahkan kepada public untuk diselidiki, da Evans diampuni secara anumerta.

Perkembangan linguistik forensik menjadi suatu disiplin ilmu tidak terlepas dari ahli bahasa yang mengkhususkan diri dalam memperkenalkan dan mengajarkan linguistik forensik di institusi akademik. Perkembangan linguistik forensik juga ditandai dengan adanya publikasi laporan hasil penelitian. Di sisi lain, ahli bahasa juga membentuk organi sasi profesi, termasuk Asosiasi Internasional Linguistik Forensik dan Asosiasi Internasinal untuk ahli Forensik dan Akustik Forensik.

2. Bidang Kajian Linguistik Forensik

Mcmenamin mendefiniskikan linguistik forensik sebagai studi ilmiah tentang bahasa yang digunakan untuk tujuan forensik dan pernyataan hukum. Menurut oisson, linguistik forensik adalah hubungan antara bahasa, kejahatan dan hukum termasuk , masalah hukum, peraturan perundang-undangan, perselisilahan,atau prosedur hukum dan bahkan yang melibatkan hukum yang bertujuan untuk memperoleh penyelesaian hukum.

Linguitik forensi teori linguistik pada peristiwa kebahasaan yang menyangkut prosedur hukum termasuk bentuk produk hukum

(32)

, interaksi yang menimbulkan akibat hukum tertentu. Dalam hal menurut coulthard dan jhonson teori linguistik terapan meliputi tata bahasa, teori percakapan, analisis wacana, linguistik kognitif, teori tindak tutur dan tehnik linguistik deskriptif seperti fonetik dan fonologi, leksikal sintaksis, semantic, pragmatic, wacana dan analisis teks

penelitianLinguistik forensik meliputi: 1) analisis pengguna bahasa dalam bidang hukum, 2) menyelidiki factor terdalam dalam penggunaan bahasa yang kemudian dapat di gunakan sebagai bukti dalam proses hukum, 3) memeriksa penggunaan bahasa oleh aparat penegak hukum. Dalam upaya mengungkapkan fakta di balik kasus, seperti wawancara yang melibatkan psikolog untuk mendeteksi perilaku orang yang wawancara investigasi yang melibatkan psikologi untuk mendeteksi atau ilmu penerjemahan. Non Indonesia (dalam bahasa asing atau bahasa daerah) perlu di catat bahwa analisis yang di ajukan liguistik forensik tidak mencapai dalam bidang psikilogis analisis tulisan tangan seseorang.

Selain itu analisis bahasa forensik tidak akan membuat keputusan bersalah atau tidak bersalah dalam proses persidangan, tetapi hanya menentukan status partispasi dan masing- masing peran pihak dalam kasus melibatkan penggunaan bahasa. 1) bahasa dokum hukum, 2) bahasa polisi dan lembaga penegak hukum, 3) wawancara dengan anak dan saksi rentan dalam system hukum, 4) interaksi pengadilan, 5) bukti linguistik dna ketrerangan

(33)

ahli di pengadilan, 6) penulis dan plagiarisme dan 7) pembicraan forensik. Selain ketujuh aspek tersebut , gibbons mengatakan bahwa linguistik forensik juga mengkaji tentang bahasa yang di gunakan dalam konteks peristiwa hukum, penyediaan bukti forensik linguistik berbasis pada kepakaraan dan penyediaan kepakaran linguitik dalam penyusunan dokumen legal serta upaya penyederhaan bahasa hukum.

Menurut topik penelitian yang telah dilakukan, bidang linguistik forensik secara garis besar Dapat dibagi menjadi tiga kelompok, seperti terlihat pada . Yang pertama adalahstudi bahasa dalam prosedur hukum. Hal ini dapat di ilustrasikan dengan penelitian bahasa. Penelitian dapat di lakukan untuk menentukan strategi penyidik polisi penelitian dapat di lakukan untuk strategi penyedik polisi menju kasus pidana. Selama persidangan di pengadilan penelitian dapat di lakukan untuk memahami bagaimana komunikasi dengan jaksa, hakim, pengacara, saksi dan terdakwa. (Shuy, 1993; Solan, 1993; Susanto, 2016).

Kedua penelitian produk hukum. Penelitian bahasa perundang-undangan dan peenlitian bahasa putusan pengandilan. Penelitian dalam kajian ini dapat di lakukan untuk memahami penggunaan bahasa secara khusus dipakai dalam produk hukum (carpenter, 1981; warganer dan cacciaguidi, 2006).

Ketiga kajian bahasa bukti hukum . penelitian ini dapat di lakukan dalam studi bahasa terhadapan dokumen-dokumen. Selain

(34)

itu juga dapat di lakukan dalam penelitian bahasa telepon (Künzel, 2001; Rathborn, Bull dan Clifford, 1981). Melalui percakapan telepon, jika pesan berisi ancaman, pemerasan, atau penghinaan yang dilarang oleh undang-undang, pesan tersebut dapat menimbulkan masalah hukum.

Setiap kelompok studi dalam linguistik forensik dapat diselesaikan secara individual atau terintegrasi satu sama lain. Itu tergantung pada tujuan penelitian yang ingin dicapai.

Gambar 1.

Bidang Kajian Linguistik Forensik.

3. Defamasi (pencemaran nama baik; fitnah; penghinaan/penistaan)

Pencemaran nama baik dalam hukum pidana diucap pula penghinaan. Pencemaran nama baik dalam bahasa inggirs di sebut libel, sebab terdapat pihak yang merasa di rugikan ialah nama baiknya di cemarkan ataupun kehormatannya di lecehan apalagi di rusak.

(35)

Pencemaran nama baik; fitnah; penghinaan/penistaan masuk dalam satu bab yaitu bab XVI tentang penghinaan jika mengacu pada KUHP (Pasal 31,317, dan 318.) terlihat bahawa fitna dapat berimplikasi pada tuntutan pidana yang lebih berat selama-lamanya empat tahun. Berdasarkan black law dictionary, defamasi (pencemaran nama baik; fitnah penghinaan/penistaan) didefenisikan Sebagai komunikasi palsu dengan sengaja, baik di publihskasi atau diucapkan untuk bertujuan melukai/mencemarakan reputasi atau nama baik oaring lain. (dalam shuy, 2010:10). Komunikasi palsu dalam konteks tersebut dapat dimaknai sebagai berita bohong (hoax) seseorang yang melakukan tindak defamasi dilakukan dengan sengaja yang tentu sudah ada niat di dalamnya. Unsur dipublikasikan atau diucapkan itu bertujuan agar publik tahu akan hal yang dimaksud. Dari semua hal itu memiliki tujuan utama yaitu tujuannya adalah menyerang harga diri, kehormatan, atau nama baik orang lain.

Hukum Internet menjelaskan dari esensi dan sejarah tindak pidana penghinaan bahwa tindak pidana pencemaran nama baik dalam Pasal 27(3) UU TIIE bukanlah tindak pidana biasa. Ditinjau dari sifat penghinaan, pencemaran nama baik adalah tindakan menyerang nama baik atau kehormatan seseorang, yang berdampak pada fitnah atau perusakan nama baik korban atau pihak. Isi dan latar belakang ucapan atau tulisan seseorang terhadap pihak tertentu dianggap sebagai tindakan “menyerang” nama baik yang hanya dapat dipahami oleh korban serangan pencemaran nama baik, karena merekalah yang merasa dihina, dihina, atau dilecehkan . Di sisi lain, seperti yang kita

(36)

ketahui bersama, hukum memberikan perlindungan hukum terhadap harkat dan martabat warga negara sebagai hak asasi manusia.

dijelaskan dalam hukum online, konteks digunakan untuk memperhitungkan secara objektif isi penghinaan. Konteks yang diartikan meliputi perasaan“ diserbu” dan perasaan pihak“ menyerang”, tujuan“ penyerang” menyebarkan penghinaan tersebut. Berlandaskan hal tersebut, untuk menangkap konteks terhadap konten hinaan dibutuhkan ahli bahasa, ahli psikologi, serta ahli komunikasi.

Pasal-pasal yang mengatur defamasi di indonesia di atur di dalam UUD ITE Nomor. 11 tahun 2008 serta KUHP Bab XVI tentang penghinaan yang diperbarui dalam UU RI Nomor. 19 Th. 2016 tentang pergantian atas UUD Nomor. 11 Th. 2008 tentang ITE Yang dipaparkan sebagai berikut:

1. UU ITE No. 11 tahun 2008 yang diperbaharui dalam UU RI No. 19 tahun 2016 pasal 27 ayat 3

(3) setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan

(4) setiap orang dengan terencana serta tanpa hak mendistribusikan serta/ ataupun mentransmisikan serta/ ataupun membuat bisa diaksesnya data elektronik serta/ ataupun dokumen elektronik yang mempunyai muatan pemerasan ataupun pengancaman.

(37)

Di dalam UU RI Nomor. 19 Th. 2016 tentang ITE pergantian atas UU Nomor. 11 Th. 2008 pasal 27 ayat (1) dipaparkan sebagian perihal selaku berikut. Yang diartikan dengan “mendistribusikan” merupakan mengirimkan serta/ataupun menyebarkan data elektronik serta/ataupun dokumen elektronik kepada orang yang ataupun bermacam pihak lewat sistem elektronik. Yang diartikan dengan “mentransmisikan” merupakan mengirimkan data elektronik serta/ataupun dokumen elektronik yang diperuntukan kepada satu pihak lain lewat sistem elektronik. Yang diartikan dengan “membuat bisa diakses” merupakan seluruh perbuatan lain tidak hanya mendisribusikan serta mentransmisikan lewat sistem elektronik yang menimbulkan data elektronik serta/ataupun dokumen elektronik bisa dikenal pidak lain ataupun publik.

Pasal 28

(1) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik (2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan

informasi yang ditujukan untuk menimbulkan asa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)

(38)

Tiap orang dengan terencana serta tanpa haka tau melawan hukum melaksanakan perbuatan sebagaimana yang diartikan dalam pasal 27 hingga pasal 34 yang menyebabkan kerugian untuk orang lain.

Pasal 51

Tiap orang yang penuhi faktor sebagaimana yang diartikan dalam pasal 36 dipidana dengan pidana penjara sepanjang 12 tahun dana tau dengan sangat banyak 12. 000. 000. 000 (dua belas miliyar rupiah).

Berdasarkam pasal 27 ayat (3) UU ITE, tindak pidana pencemaran nama baik (defamasi) dilihat dari teksnya mempunyai kriteria/unsur- unsur selaku berikut:

a. Mendisribusikan/mentransmisikan data. Mendisribusikan berarti menyalurkan (membagi mengirimkan) kepada sebagian orang ataupun tempat

b. Lewat elektronik. Perihal ini ialah media tindak pencemaran nama baik.

c. Bermuatan penghinaan/pencemaran nama baik.

Penghinaan merupakan perbuatan menghina yang yang berarti merendahkan (hina/tidak berarti), memburukkan nama baik orang, menyinggung perasaan orang (semacam memaki- maki, menistakan/merendahkan derajat) (KBBI 2008: 499)

(39)

penghinaan atau defamasi juga di atur di dalam KUHP menurut soesilo 1992:225 (dalam Endang 2018:80) penghinaan ada enak macam yaitu menista pasal 310 (2) menfitna pasal 311, penghinaan ringan, pasal 315, mengaduh secara menfitna pasal 317, serta tuduhan secara menfitnah pasal 318. Seluruh penghinaan ini cuma bisa dituntut ataupun digugat apabila terdapat pengaduan dari orang yang menderita (delik aduan). Objek penghinaan dalam pasal- pasal yang lain (soesilo, 1995: 225) lebih jelasnya pasal- pasal dalam KUHP tentang penghinaan bisa diamati selaku berikut

BAB XVI

TENTANG PENGHINAAN

Pasal 310

(1) Benda siapa terencana melanda kehormatan ataupun nama baik seorang dengan menuduhkan suatu perihal, yang artinya cerah biar perihal itu dikenal universal, diancam sebab pencemaran dengan pidana penjara sangat lama 9 bulan ataupun pidana denda sangat banyak empar ribu lima ratus rupiah.

(2) Bila perihal itu dicoba dengan tulisan ataupun cerminan yang ditayangkan, dipertunjukkan ataupun ditempelkan di muka universal, hingga diancam sebab pencemaran tertulis dengan pidana penjara sangat lama satu tahun empat bulan ataupun pidana denda sangat banyak empat ribu empat ratus rupiah.

(40)

(3) Tidak ialah pencemaran ataupun pencemaran tertulis, bila perbuatan jelas dicoba demi kepentingan universal ataupun sebab terpaksa buat membela diri.

Soesilo, 1995:226 (dalam Endang, 2018:81) seseorang dapat dihukum menurut pasal 310 (1) yaitu menista jika menuduh seseorang telah melakukan perbuatan tertentu dengan maksud tuduhan itu diketahui orang banyak. Dijelaskan pula, perbuatan yang dituduhkan itu tidak harus perbuatan kriminal, bisa perbuatan biasa yang membuat malu orang lain seperti dalam contoh kalimat berikut:

Contoh: “waktu itu kamu telah masuk melacur di rumah persundalan”

Perbuatan yang dituduhkan dalam contoh kalimat itu bukanlah perbuatan yang boleh dihukum melainkan dapat membuat malu orang lain bila disiarkan ke publik. Di dalam pasal 310 (2) itu tampak bahwa jika penghinaan dilakukan melalui tulisan dimuka umum hukumannya lebih berat (satu tahun empat bulan) di banding penghinaan secara lisan (Sembilan bulan).

Pasal 312

Pembuktian akan kebenaran tuduhan hanya dibolehkan dalam hal-hal berikut:

1e. Apabila hakim memandang perlu untuk memeriksa kebenaran itu guna menimbang keterangan terdakwa,

(41)

bahwa perbuatan dilakukan demi kepentingan umum, atau karena terpaksa untuk membela diri

2e. Apabila seorang pejabat dituduh sesuatu hal dalam menjalankan tugasnya.

Soesilo (dalam ending 2018:81) memberikan penjelasan pasar 312 tersebut bahwa (1) untuk membela kepentingan umum misalnya dilakukan dengan menunjukkan kekeliruan-kekeliruan yang nyata-nyata merugikan atau membahayakan pada umum dari pihak-pihak yang berwajib dan (2) terpaksa untuk membela diri misalnya orang yang disangka telah melakukan perbuatan (sebenarnya tidak benar) lalu menunjuk orang yang sebenarnya salah dalam hal ini.

Pasal 315

Masing- masing penghinaan dengan terencana yang tidak bertabiat pencemaran ataupun pencemaran tertulis yang dilakuknn terhadap seorang, baik di muka universal dengan lisan ataupun tulisan, ataupun di muka orang itu sendiri dengan lisan ataupun perbuatan, ataupun dengan pesan yang dikirimkan ataupun diterimakan kepadanya, diancam sebab penghinaan ringan dengan pidana penjara sangat lama 4 bulan 2 minggu ataupun pidana denda sangat banyak 4 ribu 5 ratus rupiah.

Pasal 317

(1) Barang iapa dengan terencana mengajukan pengaduan ataupun pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis

(42)

ataupun buat dituliskan, tentang seorang sehingga kehormatan ataupun nama baiknya terkena, diancam sebab melaksanakan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara sangat lama 4 tahun. (2) Pencabutan hak- hak bersumber pada pasal 35 Nomor, 1- 3 bisa

dijatuhkan.

Dalam pasal 317 ini kejahatan penghinaan/penistaan berupa pengaduan yang berisi fitnahan kepada pembesar yang berwajib dan tidak perlu dilakukan di muka umum (seosili dalam ending, 2018:87) perbuatan ini sama dengan membunuh karakter seseorang di depan pimpinan atau penguasa yang ditujukan untuk menjatuhkan seseorang tersebut.

Pasal 318

(1) Barang siapa dengan sesuatu perbuatan sengaja menimbulkan secara palsu persangkaan terhadap seseorang bahwa dia melakukan suatu perbuatan pidana, diancam karena menimbulkan persangkaan palsu, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

(2) Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1-3 dapat dijatuhkan.

Berdasarkan pasal 310, 311, dan 315 KUHP tersebut, tindak pidana defamasi dilihat dari teksnya mempunyai kriteria/ unsur- unsur selaku berikut.

(43)

Menghina berarti merendahkan ataupun memandang rendah( hina/ tidak berarti) memburukkan nama baik orang, menyinggung

perasaan orang, (semacam memaki- maki,

menistakan/merendahkan derajat). (KBBI, 2008: 499) b) Melanda kehormatan/nama baik

Kehormatan berarti harga diri KBBI, 2008: 501) Soesilo (dalam Endang, 2018: 86) menarangkan kalau orang yang diserbu ini umumnya merasa malu, kehormatan yang diserbu di mari cuma menimpa kehormatan tentang nama baik, bukan kehormatan dalam lapangan intim, kehormatan yang bisa dicemarkan sebab

tersinggung anggota kemaluannya dalam area nafsu birahi kelamin.

c) Menuduhkan sesuatu hal

Menuduhkan berarti aksi menunjuk serta berkata kalau seorang berbuat kurang baik/melanggar hukum (KBBI, 2008: 1492) d) Dikenal umum

Universal berarti orang banyak khalayak ramai, serta tersiar kemana- mana (KBBI, 2008: 1526).

e) Tulisan ataupun gambaran

Tulisan ataupun cerminan yang ditayangkan/ditempel di tempat umum

f) Fitnah

Merupakan perkataan bohong ataupun tanpa bersumber pada kebenaran yang disebarkan dengan iktikad menjelekkan orang

(44)

(semacam menodai nama baik merugikan kehormatan orang) (KBBI, 2008: 393)

g) Persangkaan palsu

Persangkaan palsu ialah persangkaan( dugaan ataupun ditaksir) palsu( tidak legal).

Dengan demikian, bersumber pada pasal 310 KUHP serta pasal 27 (3) UU ITE terdapat kesamaan kriteria/unsur- unsur tindak pidana defamasi meliputi 4 fakta ialah terdapatnya kesengjangan, tanpa hak (tanpa izin), bertujuan buat melanda nama baik ataupun kehirmatan, serta dikenal oleh universal.

4. Delik aduan

Soesilo (dalam KUHP 1995: 225) menarangkan kalau penghinaan bersumber pada KUHP itu terdapat 6 berbagai ialah menista pasa 310 ayat 1, menista dengan tulisan pasal 310 ayat 2, memfitna pasal 311, menghina ringan pasal 315, pengaduan secara memfitna pasal 317 serta tuduhan secara memfitna pasal 318.“ iya pula menarangkan kalau objek penghinaan tersebut wajib manusia perorangan, artinya bukan lembaga pemerintah, pengurus sesuatu kelompok, segolongan penduduk, serta lain- lain. Apabila objek penghinaan tersebut bukan manusia perseorangan hingga dikenakan pasal spesial semacam pasal 134 serta 137 (penghinan pada presiden serta wakil presiden), pasal 142 143 144( penghinaan terhadap kepala negeri) pasal 156 serta 157 (penghinaan terhadap segolongan penduduk), pasal 177 (penghinaan terhadap pegawai agama) pasal 183 (penghinaan terhadap orang yang

(45)

tidak ingin duel) dan pasal 207 serta 208 (penghinaan terhadap kekuasaan yang terdapat di Indonesia). Soesilo (dalam KUHP, 1995: 225) pula menimbulkan kalau seluruh penghinaan itu bisa dituntut ataupun digugat apaabila terdapat pengaduan dari orang yang keberetan serta itu dipahami dengan sebutan delik aduan.

Defamasi (pencemaran nama baik; fitna; penghinaan/penistaan termasuk delik aduan. Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tidank pidana (KBBI ,2008:308) delik aduan adalah palanggaran (perbuatan tidank pidana) berupa penghinaan )fitnah atau defamasi) yang dilakukan secara tertulis atau lisan terhadap nama seseorang dan dapat dituntut di pengadilan jika ada pengaduan dari yang merasa dirugikan nama baiknya (KBBI, 2008:308) dengan kata lain delik aduan hanya dapat dituntut atau digugut jika diadukan oleh orang yang merasa dirugikan (korban).

Delik aduan tersebut dalam ilmu hukum pidana dibedakan atas dua jenis yaitu delik absolut dan delik aduan relativeyang di uraikan sebagai berikut. (KUHP 1995:87)

a. Delik aduan absolut iala delik (peristiwa hukum) yang hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan seperti tersebut dalam pasal-pasal berikut

(46)

b. Pasal 287 KUHP tentang bersetunuh diluar perkawinan dengan seorang wanita berumur di bawah lima tahun atau belum waktunya untuk kawin.

c. Pasal 293-294 KUHP tentang perbuatan cabul

d. Pasal 310-319 KUHP (kecuali 316) entang penghinaan e. Pasal 230-321 KUHP tentang penghinaan terhadap orang

yang telah meninggal dunia

f. Pasal 322-323 KUHP tentang perbuatan membuka rahasia g. Pasal 332 KUHP Tentnag melarikan wanita

h. Pasal 335 ayat (1) butir 2, tentang pengancaman terhadap kebebsan individe dan

i. Pasal 485 KUHP tentang delik pers.

R. soesilo (dalam KUHP, 1995:87), menjelaskan bahwa dalam delik aduan yang dituntut adalah peristiwanya jadi seluruh orang yang terllbat (melaksanakan, membujuk, menolong) dengan kejadian itu wajib dituntut, oleh sebab itu delik aduan ini tidak bisa dibela. Perihal itu bisa dimaksud kalau delik aduan obsolut mempunyai akibat hukum dalam permasalahan penuntutan tidak boleh dipisah- pisahkan. Contohnya A serta B merupakan suami istri. B berzina denga C serta D. berikutnya A cuma mengadukan B sudah melaksanakan perbuatan perzinaan. Tetapi, sebab tidak bisa dipisahkan ataupun dibelah hingga tidak cuma B saja yang dikira pelakon, namun tiap orang yang ikut serta sesuatu perbuatan ataupun kejahatan yang bersangkutan ialah C serta D secara otomatis(

(47)

cocok hasil penyelidikan) wajib dicoba pula oleh A. dengan demikian, delik perzinaan yang diajukan wajib keduanya serta pihak lain yang ikut serta.

b. Delik aduan relative ialah delik- delik (kejadian pidana) yang umumnya bukan ialah delik aduan, hendak senantiasa bila dicoba oleh sanak keluarga yang didetetapkan dalam pasal 367, kemudian jadi delik aduan. Perihal ini bisa dimaksud selaku sesuatu delik yang awalanya merupakan delik biasa, tetapi karna terdapat ikatan istimewa/keluarga yang dekat sekali antara sikorban serta sang pelakon ataupun sang pembantu kejahatan itu hingga sifatnya berganti jadi delik aduan ataupun cuma bisa di tuntut bila di adukan oleh pihak korban. Pasal- pasal yang tercantum dalam delik aduan relative merupakan selaku berikut:

a. Pasal 367 ayat 2 KUHP, tentang pencurian dalam keluarga b. Pasal 370 KUHP, Tentang pemerasan serta pengancaman dalam keluarga.

c. Pasal 376 KUHP, Tentang pengelapan dalam keluarga. d. Pasal 394 KUHP, Tentang penipuan dalam keluarga.

e. Pasal 411 KUHP, Tentang peluluhlantahkan barangdalam keluarga

menurul Soesilo dalam hal ini (dalam KUHP,1995:87) menjelaskan bahwa pengaduan bukanlah untuk menuntut peristiwanya melainkan menuntut orang yang telah melakukan kejahatan dalam peristiwa ini, maka karena itu delik aduan ini dapat dibelah. Dengan kata lain, meskipun dalam perkara tersebut melibatkan beberapa orang lain tetapi penuntutan

(48)

hanya sebatas orang yang di adukan (bersalah) saja. agar orang itu dapat dituntut maka perlu ada tuntutan atau pengaduan kembali. Oleh karena itu, delik aduan relative dapat di pisah-pisahkan. Contoh A adalah Bapaknya, B adalah anaknya, dan C adalah keponakanya. B dan C bekerja sama untuk mencuri uang di lemari A. dalam perkara ini jika A dapat memilih siapa yang diadukan ke polisi dengan pertimbangan kedekatan hubumgan keluarga. Hal ini berbeda dengan kasus persinaan itu, Si A tidak bisa mengadukan prang itu saja melainkan pihak lain yang terlibat juga di anggap sebagai pelaku (R. Soesilo, dalam KUHP,1995:87)

5. Are dan ilmu dalam kajian linguistik forensik

Mc. Menamin (2002) mengemukakan bahwa area penelitian linguistik forensik dalam ranah bahasa dan hukum dapat diuraikan sebagai berikut.

a) Fonetik Auditori (auditory phonetics)

Fonetik auditori dalam penelitian linguistik forensik meliputi: (1) pengenalan pembicara korban dan korban, kadang-kadang disebut “saksi telinga”), (2) antrian suara atau parade suara (saksi telinga). Parade suara), (3) persepsi dan diskriminasi suara (persepsi dan diskriminasi suara), (4) peniruan atau penyamaran suara, (5) pengaruh bahasa ibu terhadap pengenalan pembicara (pengaruh bahasa ibu pendengar terhadap pengenalan pembicara), (6) Dampak pergeseran gaya pada pengenalan ucapan, (7) Pengenalan aksen atau dialek sosial atau daerah), (8) Persepsi pendengar tentang usia pembicara, (9) Tuturan atau

(49)

ucapan yang berulang (reverse speech), (10) Identifikasi speaker telepon,dan (11) identifikasi pembicaraan melalui aspek morfologi dan sintaksis (speaker identification by morphology and syntax). b) Fonetik Akustik (Acoustic Phonetics)

Fonetik akustik dalam penelitian linguistik forensik meliputi: (1) pengenalan suara dengan analisis fonetik (pengidentifikasian pembicara dengan analisis fonetik), (2) pengenalan suara dengan kualitas suara (speaker mengidentifikasi dengan kualitas suara), (3) perubahan suara/diphop Pengenalan suara (mengenali pembicara melalui perubahan diftong), (4) Mengenali ucapan dengan kecepatan berbicara (mengenali pembicara dengan kecepatan berbicara), (5) Karakteristik fisik pembicara: tinggi dan berat, dari format frekuensi), (6) Regional dan kelompok sosial (analisis karakteristik penutur yang berkaitan dengan wilayah dan kelompok sosial), (7) pengaruh mabuk pada tuturan, (8) kinerja tuturan emosional penutur asli (ekspresi tuturan keadaan emosi penutur), (9) Diskriminasi terhadap aksen asing (foreign accent in voice discrimination), (10) aksen penyamaran ataupun imitasi (accent disguise or imitation), (11) suara menyamar ( voice disguise),(12) ciri suara yang identik kembar (voice characteristics of identical twins), (13) komparabilitas contoh ujaran( comparability of speech samples), (14) Merumuskan kenyaringan suara dari pengukuran nada, (15) membedakan perkataan dari suara latar,

(50)

serta (16) merekam kenaikan perkataan kontroversial (kenaikan rekaman audio perkataan kontroversial).

c) Semantik: Interpretasi Makna (semantic: meaning of interpretation)

Semantik yang digunakan selaku riset arti dalam linguistik forensik meliputi: (1) interpretasi kata, tahapan serta kalimat, (2) interpretasi bacaan: kontrak, polis asuransi, komunikasi, perintah penahanan, peraturan, serta bacaan hukum (interpretasi bacaan): kontrak, polis asuransi, komunikasi, perintah pembatasan, keputusan serta teks hukum), (3) ambiguitas antara teks dan hukum (ambiguitas antara teks dan hukum), (4) interpretasi wacana lisan untuk memperoleh hak (interpretasi wacana lisan) Hak membaca, dan (5) interpretasi instruksi juri.

d) Wacana dan Pragmatik

Wacana serta pragmatik selaku arti implisit penelitian linguistik forensik meliputi: (1) analisis wacana forensik, analisis pragmatik konteks bahasa dan asing, analisis bahasa yang digunakan (analisis pragmatik kehendak), persepsi makna (makna yang dirasakan dan diharapkan) (2) Wacana dalam konteks tertentu, analisis dikte, transkrip yang dilindungi oleh rekaman audio), bahasa imigran, bahasa terdakwa, dan (3) bahasa terdakwa. Bahasa pengadilan), wacana pengacara dan dialog klien, wacana pengacara, wacana pertanyaan pengadilan, bahasa pengajaran juri, (4) bahasa tindak tutur tertentu, wacana ancaman,

(51)

kesepakatan (menjanjikan), peringatan, penawaran dan penerimaan, pencemaran nama baik, sumpah palsu, pelecehan seksual, kekerasan seksual (sexual assault), dan penjualan mobil (car sales).

e) Gaya Penulisan dan Kebebsan Bertanya

gaya penyusunan serta kebebasan bertanya selaku aplikasi riset linguistik forensik meliputi : (1) tata cara deskripsi identifikasi penulis (2) metode deskripsi identifikasi penulis, (3) dialek dalam bahasa tulis, (4) waktu tanya jawab dan kesempatan menulis (waktu tanya dan kesempatan menulis), (5) Stilistika dan metode statistik dalam penulisan: kedokteran forensik dan literatur (metode stilistika dan statistik dari penulis yang dipertanyakan: forensik dan sastra), (6) linguistik korpus dalam analisis forensik (linguistik korpus dalam analisis forensik), (7) Korpus Linguistik (corpus linguistik), (8) program komputer yang berkaitan dengan identitas penulis yang bersangkutan, dan (9) jumlah grafik kumulatif (metode cusum) atau identifikasi penulis (grafik penjumlahan kumulatif untuk identifikasi penulis "metode CUSUM").

C. Pragmatik

Istilah pragmatik seperti yang kita ketahui saat ini ini diperkenalkan pada tahun 1938 oleh seseorang filsuf bernama Charles Morris. Kala berdialog tentang wujud universal ilmu semiotika (semiotik). Dia menarangkan dalam (Levinson, 1983: 1) "kalau semiotika

(52)

mempunyai 3 bidang riset, ialah sintaksis, semantik, serta pagmatik. Sintaks merupakan riset linguistik yang menekuni ikatan resmi antara isyarat. Semantik merupakan riset linguistik tentang ikatan antara ciri serta orang yang menafsirkannya".

Sampai saat ini, kajian pragmatik sangat populer di bidang linguistik. Walaupun tadinya, pada 1970- an, banyak pakar bahasa yang mendiskriminasi riset pragmatis ini nyaris tidak sempat mengulasnya. Tetapi, dikala ini banyak pakar bahasa yakin kalau bila pengguna bahasa tidak menguasai hakikat pragmatik, mereka tidak hendak bisa menguasai ciri bahasa yang mereka pakai dalam komunikasi, ialah gimana bahasa selaku perlengkapan komunikasi bisa digunakan sebagaimana mestinya.

Sejalan dengan perihal tersebut di atas, Joko Nurkamto (2000) menarangkan kalau riset di bidang pragmatik diawali pada tahun 1971, diisyarati dengan diterbitkannya Harian Pragmatik yang muat isu- isu pragmatik. Suatu organisasi bernama IPRA (International Pragmatic Association) didirikan serta sebagian konferensi tentang isu-isu pragmatis diselenggarakan (Soemarmo,1988).

Timbulnya atensi pragmatik dipicu oleh sebagian alibi, salah satunya merupakan alibi historis. Dalam perihal ini, Levinson (1983: 35) berkata bahwa “pengembangan minat sebagian sebagai tanggapan atau penangkal pandangan Chomsky tentang bahasa sebagai desain abstrak atau kemampuan mental, dan sebagai penangkal pengguna bahasa,

(53)

Pemisahan dari fungsi.. (Minat disebut respons atau penangkal pandangan Chomsky tentang bahasa sebagai desain abstrak atau kemampuan mental yang dapat dipisahkan dari pengguna dan fungsi bahasa) Seperti yang kita ketahui bersama.

Chomsky mengatakan bahwa teori linguistik forensik yang berkenaan terutama dengan (1965:1) “an ideal speaker-listener, in a completely homogeneous speech-community, who knows its language perfectly and is unaffected by such grammatically irrelevant conditions as memory limitations, distructions, shifts of attention and interest, and error in applying his knowledge of the language in actual perfomance.” (seorang pembicara atau pendengan dalam komunikasi Bahasa yang benar-benar homogen yang mengetahui bahasanya dengan sempurna dan tidak terpengarus dengan kondisi Bahasa gramatikal yang tidak relevan seperti keterbatasan ingatan, gangguan, oergeseran perhatian dan minat serta kesalahan dalam menerapkan pengetahuan tentang Bahasa secara aktual kinerja).

Selain itu, ada beberapa motivasi yang mendesak berkembangnya teori pragmatis. Salah satu aspek terutama merupakan kalau pragmatik bisa menuju pada penyederhanaan semantik. Harapan ini didasarkan pada realitas kalau prinsip- prinsip pragmatis pemakaian bahasa bisa lebih menguasai arti perkata yang tidak bisa dimengerti seluruhnya cuma dari arti literal (semantik).

(54)

Aspek berarti yang lain merupakan kesenjangan antara teori-teori bahasa. Menimpa pembuatan beberapa rumus/pola tertentu yang bisa menciptakan jumlah kalimat yang tidak terbatas, bisa disimpulkan kalau teori tersebut bisa membagikan inspirasi gimana memakai bahasa buat berbicara. Tetapi, kala Kala ia menciptakan kalau arti bahasa terbatas pada semantik, ia tidak puas, namun kecewa. Diakui kalau semantik sangat berarti dalam komunikasi, tetapi kontribusinya bisa dikatakan kecil dalam uraian arti bahasa secara universal.

Kesimpulannya, timbulnya riset pragmatis pula sebab mungkin interpretasi fungsional berarti dari kenyataan bahasa. Umumnya interpretasi bahasa cuma bertabiat internal. Dengan kata lain, identitas bahasa dipaparkan dengan mengacu pada identitas bahasa lain ataupun aspek- aspek teori bahasa itu sendiri. Apalagi, terdapat mungkin uraian lain dari luar bahasa (Levinson, 1983)

Seperti yang telah dijelaskan pragmatik dan analisis wacana termasuk dalam kajian linguistik makro. Dalam kajian ini tidak hanya mengkaji unsur teks Bahasa itu sendiri tetapi juga mengkaji hal-hal lain yang berhubungan dengan lingkungan sekitar teks atau sering disebut sebagai konteks. Dalam kaitannya untuk mengetahui makna dalam sebuah teks tidak hanya dilihat dari kajian semantik saja, tetapi kajian pragmatik dan analisis wacana yang mengedepankan konteks juga dapat digunakan. Dengan begitu, kekuatan konteks merupakan hal yang sangat dibutuhkan dalam kajian ini.

(55)

Kniffka (dalam Endang 2019:104) mengemukakan bahwa penelitian bahasa forensik meliputi analisis ahli bahasa berupa data kebahasaan, antara lain pencemaran nama baik, pencemaran nama baik, hinaan/kata-kata kotor, ujaran kebencian, berita palsu atau hoax, hasutan, konspirasi, sumpah palsu, penyuapan. Dan ancaman. Dia melakukan bentuk lisan dan tulisan berdasarkan bahasa. Lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini (grafik).

Gambar 3 kajian linguistik forensik (Kniffk 2007:29 diolah)

Berdasarkan gambar tersebut, diketahui bahwa peran Bahasa dalam pembuktian hukum melibatkan analisis seorang ahli Bahasa terhadap munculnya gugatan maupun tuntutan dalam kejahatan berbahasa dan dianalisis menggunakan pragmatik serta tindak tutur.

Pendukung ilmu forensik

Pragmatik dan tindak tutur Kejahatan berbhasa dan gugatan/tuntutan

(pelanggaran seperti kejahatan berbahasa baik lisan atau tertulis Analisis ahli Bahasa

Berupa data Bahasa termasuk kesaksian ahli bahasa Linguistik forensik

(56)

Pragmatik adalah studi tentang makna yang dimaksud dalam teks. Inilah yang membedakan pragmatik dengan semantik meskipun mereka terkait erat. Semantik adalah studi tentang makna linguistik yaitu makna yang jelas dari kalimat. Tapi makna dalam pragmatik diinterpretasikan berdasarkan niat pembicara atau penulis.

Makna dalam pragmatik bergantung pada banyak faktor kontekstual seperti identitas dan hubungan pembicara atau penulis atau pendengan atau pembaca, tempat, waktu, topik pembicaraan, yang tujuan komunikasi, Bahasa yang digunakan dan lain-lain. Pragmatik diperlukan dalam linguistik forensik, karena seseorang tidak selalu mengatakan apa yang ia maksud. Oleh sebab itu, kata-kata seseorang tidak selalu sesuai dengan niatnya. Selanjutnya ekspresi masyarakat yang terbuka menjadi teks dapat diinterpretasi oleh pendengar/pembaca sehingga dapat terjadi pemahaman yang keliru, miskomunikasi, dan akhirnya konflik. Ujaran seseorang dapat dilihat dari berbagai persfektif kalimat yang sama diucapkan oleh seseorang dapat memiliki arti yang berbeda. Arti dari ucapan, sewaktu-waktu bisa melampaui arti permukaan kaimat. Penggunaan konteks, yang tidak hanya meliputi konteks verbal, tetapi juga keadaan sekitarnya dan berbagai informasi latar belakang dan asumsi, dengan kata lain ahli Bahasa menyebutnya pragmatik.

Pragmatik telah didefenisikan oleh beberapa ahli. Leech (1983) mendefenisikan makna dalam pragmatik sebagai relasi terhadap pembicara atau pengguna Bahasa. Leech (1983: 6) merumuskan perbedaan semantik dan pragmatik dengan dua pernyataan yaitu; (1)

(57)

What does X mean? dan (2) What do you mean by X?. Semantik adalah kalimat yang pertama sedangkan pragmatik adalah kalimat yangkedua. Hal ini menjelaskan bahwa pragmatik berhubungan dengan penutur dan makna, sedangkan semantik hanya sebagai properti ucapan di dalam bahasa, terlepas dari situasi penutur atau pendengarnya. Yule (1996) mendefenisikan pragmatik sabagai studi tentang makna yang dikomunikasikan oleh pembicara (atau penulis) dan interpretasi anatar pendengar (atau pembaca). Grundy (1995) mendefenisikan pragmatik sebagai hubungan antara arti kata pembicara (secara harfia) dan apa yang dimaksud dengan kata-katanya tersebut.

Verschueren (2009) menedefinisikan pragmatik sebagai studi tentang penggunaan Bahasa. Mey (2001) juga mempertahankan pragmatik untuk mempelajari penggunaan Bahasa dalam komunikasi manusia sebagaimana ditentukan oleh kondisi masyarakat. Levinson (1983) mendefinisikan pragmatik adalah studi tentang kemampuan penguna Bahasa untuk memasankan kalimat dengan konteks seseorang yang sesuai.

Bersumber pada komentar di atas bisa disimpulkan kalau yang diartikan pragmatik merupakan jajak menimpa keahlian pemakai bahasa yang menghubungkan dan menyerasikan kalimat serta konteks. Tetapi dihubungkandengan suasana ataupun konteks di luar bahasa tersebut, serta dilihat selaku fasilitas interaksi ataupun komunikasi di dalam warga. Bahasa serta pemakai bahasa tidak teramati secara individual namun senantiasa dihubungkan dengan aktivitas dalam warga. Bahasa tidak

Gambar

Tabel Bidang Kajian Linguistik Forensik ............................................   21  Tabel Kajian Linguistik Forensik .......................................................
Gambar 3 kajian linguistik forensik (Kniffk 2007:29 diolah)
Gambar 4 keterkaitan antara semantik, pragmatik dan analisis wacana Analisis
Gambar 6 konteks menurut Halliday dan Hasan (1992:15)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasar hasil penelitian fungsi dan modus tuturan direktif dalam teks drama Tuk ini ditemukan fungsi tindak tutur direktif (1) menyuruh, (2) memohon, (3) menuntut, (4)

yang terdapat dalam tuturan tersebut ialah tindak tutur direktif karena penutur meminta mitra.. tutur untuk melakukan sesuatu yang termasuk ke dalam kategori verba meminta

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan tindak tutur ekpresif pada plesetan nama Kota di Jawa Tengah meliputi ekspresi

Searle (dalam Gunarwan, 1994:85), mengemukakan tindak tutur direktif terbagi atas lima macam yaitu (a) tindak tutur direktif menyuruh adalah tindak tutur yang

yang terdapat dalam tuturan tersebut ialah tindak tutur direktif karena penutur meminta mitra.. tutur untuk melakukan sesuatu yang termasuk ke dalam kategori verba meminta

Analisis Tindak Tutur Direktif Memohon dalam Percakapan pada Buku Minna No Nihongo Shokyu

Pada tindak direktif penutur melakukan tindak ujaran agar mitra tutur (disingkat Mt) melakukan sesuatu. Hal itu berlaku pula pada tindak direktif yang dilakukan

Hasil penelitian ini yaitu berupa menganalisis, (a) bentuk tindak tutur direktif memohon dalam surat izin siswa di Kabupaten Karanganyar, dan (b) penerapan