• Tidak ada hasil yang ditemukan

Argumen Fasisme

DASAR-DASAR KEBIjAKAN LIBERAL

10. Argumen Fasisme

Jika liberalisme tidak mendapat dukungan penuh di mana pun, keberhasilan liberalisme pada abad kesembilan belas mencapai tingkat di mana prinsip-prinsipnya yang terpenting dianggap tak

terbantahkan. Sebelum 1914, bahkan lawan-lawan liberalisme yang paling keras kepala dan paling sengit pun harus merelakan prinsip-prinsip liberal diakui tanpa perlawanan.

di Rusia sekali pun, di mana liberalisme tak lebih dari cahaya remang-remang yang menembus negeri itu, para pendukung des-potisme (kezaliman) tsar dalam menganiaya lawan mereka tetap harus mempertimbangkan pendapat liberal negara-negara Eropa; dan selama Perang dunia, kelompok negara-negara yang berperang, terlepas dari semangat mereka yang berkobar-kobar, harus bersikap moderat dalam menghadapi perlawanan internal.

hanya ketika kelompok Sosial-demokrat yang Marxis berada di atas angin dan mengambil alih kekuasaan dengan keyakinan bahwa era liberalisme dan kapitalisme telah berlalu selamanya, maka berakhirlah konsesi yang sebelumnya dianggap harus diberikan kepada ideologi liberal.

Anggota Partai Internasional Ketiga (hird International, aso-siasi partai-partai komunis) menganggap semua cara diboleh kan jika cara itu memberi harapan bagi tercapainya tujuan per juangan mereka. Barang siapa tidak mengakui tanpa syarat semua ajaran mereka sebagai satu-satunya paham yang benar, dan memper-tahankannya dalam susah dan senang, menurut pendapat mereka, patut mendapat hukuman mati; dan mereka tidak ragu-ragu untuk memusnahkannya dan seluruh keluarganya, termasuk bayi, kapan saja dan di mana saja jika memungkinkan secara isik.

dukungan terang-terangan terhadap kebijakan untuk menghan-curkan lawan dan pembunuhan yang dilakukan dalam rangka menegakkan kebijakan itu melahirkan gerakan oposisi. Tiba-tiba lawan-lawan liberalisme yang non komunis melihat kebenaran di hadapan mereka. Sampai saat itu, mereka percaya bahwa dalam perjuangan melawan musuh yang sangat dibenci sekali pun sese-orang tetap harus menghormati prinsip-prinsip liberal tertentu.

dengan terpaksa mereka mencoret pembunuhan dan pemban-taian dari datar tindakan yang bisa diambil dalam rangka perjuangan politik. Mereka harus menerima kenyataan bahwa sekarang mereka

L U D W I G v o N M I S E S 57

tidak bisa memperlakukan pers oposisi secara semena-mena dan membungkam suara-suara yang menentang mereka.

Tiba-tiba mereka menyaksikan lawan-lawan mereka yang ber mun culan sama sekali tidak mengindahkan pertimbangan-pertim bangan tersebut dan menganggap segala cara cukup baik untuk mengalahkan musuh mana pun. Musuh-musuh militeristik dan nasionalistis Partai Internasional Ketiga merasa tertipu oleh liberalisme.

Mereka mengira liberalisme tidak akan bertindak saat muncul keinginan untuk menghantam partai-partai revolusioner selagi ada kesempatan. Seandainya liberalisme tidak menghalangi mere-ka, mereka percaya bahwa mereka telah menumpas gerakan revolusioner secara kejam saat gerakan itu baru muncul.

Ide-ide revolusioner mampu berakar dan berkembang hanya karena toleransi lawan-lawan mereka yang kemauannya dilemahkan oleh rasa hormat terhadap prinsip-prinsip liberal yang di kemudian hari terbukti tidak diperlukan.

Jika ide itu muncul bertahun-tahun sebelumnya, bahwa meng-hancurkan setiap gerakan revolusioner tanpa ampun dibolehkan, kemenangan yang diraih Partai Internasional Ketiga sejak tahun 1917 tidak akan pernah mungkin terjadi. Ini karena kelompok militeris dan nasionalis yakin bahwa dalam hal menembak dan bertempur, mereka adalah penembak jitu yang selalu mengenai sasaran dan pejuang yang paling lihai.

Ide mendasar gerakan-gerakan ini—yang, dari nama yang paling besar dan paling disiplin di antara mereka, orang-orang Italia, mungkin secara umum ditakdirkan sebagai Fasis—dibangun dari usulan untuk menggunakan metode-metode tidak bermoral serupa dalam perjuangan melawan Partai Internasional Ketiga, yang juga menggunakannya dalam menghadapi lawan-lawan mereka.

Partai Internasional Ketiga berupaya untuk memusnahkan musuh-musuh mereka serta ide-idenya dengan cara sama yang digunakan oleh seorang pakar kebersihan (higiene) dalam memus-nahkan basil-basil pembawa wabah; mereka tidak merasa terikat

sama sekali oleh ketentuan setiap perjanjian yang mungkin mereka tanda tangani dengan lawan mereka, dan mereka menganggap semua kejahatan, kebohongan, dan itnah dibolehkan dalam perjuangan mereka.

Kaum fasis, setidaknya dalam prinsip, menyatakan tujuan yang sama. Bahwa mereka belum berhasil sepenuhnya seperti kaum Bolshevik di Rusia dalam membebaskan diri mereka dari rasa hormat terhadap gagasan-gagasan liberal dan ide-ide serta aturan-aturan etika tradisional, semata-mata adalah karena kaum fasis melakukan upaya mereka di antara bangsa-bangsa di mana warisan intelektual dan moral dari peradaban yang berusia ribuan tahun tidak bisa dihancurkan dengan satu pukulan mematikan, dan bukan di antara orang-orang barbar di kedua sisi Pegunungan Ural, yang bersentuhan dengan peradaban hanya saat mereka, sama seperti para pengelana hutan dan padang pasir terbiasa melakukan serangan dari waktu ke waktu terhadap wilayah-wilayah yang dihuni peradaban untuk menjarah.

Karena perbedaan ini, fasisme tidak akan pernah berhasil sepe nuhnya seperti Bolshevisme Rusia dalam membebaskan diri dari kekuatan ide-ide liberal. hanya karena ingatan segar atas pembunuhan dan kekejaman yang dilakukan oleh para pendukung Sovietlah maka Jerman dan Italia mampu menghilangkan ingatan tentang kendali tradisional, yaitu keadilan dan moralitas, dan menemukan dorongan untuk melakukan serangan balik yang berdarah.

Tindakan kaum fasis dan pihak-pihak yang terkait dengan mereka merupakan releks emosional yang ditimbulkan oleh kema -rahan atas tindakan kaum Bolshevik dan komunis. Begitu luapan kemarahan berlalu, kebijakan mereka berubah menjadi lebih moderat dan mungkin akan semakin moderat seiring dengan ber-lalunya waktu.

Sikap moderat ini muncul dari fakta bahwa pandangan liberal tradisional masih memiliki pengaruh yang tidak disadari atas kaum fasis. Tapi sejauh mana pun hal ini berlangsung, seseorang tidak

L U D W I G v o N M I S E S 59

boleh melupakan bahwa ketika partai-partai kanan mengubah taktik dan menerapkan taktik fasisme, perjuangan melawan liberalisme mencapai keberhasilan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.

Banyak orang mendukung metode fasisme meskipun program ekonominya sama sekali antiliberal, dan kebijakannya sangat inter-vensionis karena fasisme tidak menerapkan metode pemus nahan yang tidak masuk akal dan tak terkendali yang telah membuat kaum komunis dicap sebagai musuh bebuyutan peradaban.

Namun, kelompok lain, terlepas dari pemahaman mereka tentang keburukan kebijakan ekonomi fasis, menganggap fasisme tidak seburuk Bolshevisme dan Sovietisme. Bagi sebagian besar pen dukung dan orang-orang yang secara diam-diam mengagumi fasisme, daya tarik fasisme justru terletak pada metode kekerasannya.

Tidak dapat disangkal bahwa satu-satunya cara untuk melakukan perlawanan yang efektif terhadap tindakan kekerasan adalah dengan jalan kekerasan. dalam menghadapi senjata kaum Bolshevik, senjata harus digunakan sebagai balasan, dan salah besar menunjukkan kelemahan kepada para pembunuh. Kaum liberal tidak pernah meragukan hal ini.

Apa yang membedakan taktik politik liberal dari taktik politik fasis bukan perbedaan dalam pandangan mengenai perlu atau tidak-nya menggunakan kekuatan bersenjata untuk menghadapi para penyerang bersenjata, tetapi perbedaan dalam penilaian mendasar tentang peran kekerasan dalam perjuangan untuk memperoleh kekuasaan.

Bahaya besar yang mengancam kebijakan dalam negeri dari sisi fasisme terletak pada keyakinan penuh pada kekuatan mutlak kekerasan. Untuk memastikan keberhasilan, seseorang harus mem-punyai keinginan untuk meraih kemenangan dan untuk selalu menggunakan kekerasan dalam melangkah. Ini merupakan prinsip tertinggi.

Namun, apa yang terjadi saat seseorang menghadapi lawan yang sama-sama dijiwai oleh keinginan untuk keluar sebagai pemenang dan bertindak sama kerasnya? Yang terjadi hanyalah pertempuran,

perang saudara. Pemenang terakhir yang muncul dari konlik seperti itu adalah golongan yang terkuat dari segi jumlah. dalam jangka panjang, kelompok minoritas—bahkan jika kelompok itu terdiri dari orang-orang yang paling mampu dan energik—tidak akan berhasil melawan kelompok mayoritas.

Oleh karena itu, pertanyaan yang menentukan tetap sama: Bagai-mana seseorang memperoleh dukungan mayoritas untuk partainya? Bagaimanapun, ini adalah murni masalah intelektual. Kemenangan hanya bisa diraih dengan senjata intelektual, tidak akan pernah bisa dengan kekerasan. Penindasan oposisi dengan kekerasan semata merupakan cara yang paling tidak sesuai untuk menggalang pengikut bagi tujuan seseorang.

Penggunaan kekerasan murni—tanpa pembenaran pendapat intelektual yang diterima oleh publik—hanya menghasilkan sekutu bagi pihak yang ingin ditumpas. dalam pertempuran antara kekerasan dan gagasan, yang terakhir selalu menang.

Fasisme berjaya saat ini karena kemarahan universal atas keke-jaman yang dilakukan oleh kaum sosialis dan komunis telah menim bulkan simpati luas terhadap fasisme. Tapi ketika ingatan segar tentang kejahatan kaum Bolshevik memudar, program kaum sosialis sekali lagi akan menggunakan kekuatannya untuk menarik massa.

Karena fasisme tidak melakukan apa pun untuk memerangi sosial isme kecuali dengan menekan gagasan-gagasan sosialis dan meng aniaya orang-orang yang menyebarkannya. Jika fasisme benar-benar ingin memerangi sosialisme, ia harus menentangnya dengan pemikiran. Namun, hanya ada satu gagasan yang dapat menentang sosialisme dengan efektif, yaitu gagasan mengenai liberalisme.

Telah sering dikatakan bahwa tidak ada yang dapat memajukan sebuah gerakan dengan cara lebih baik selain menciptakan martir untuk pergerakan itu. Ini tidak sepenuhnya benar. Yang memperkuat tujuan kelompok yang teraniaya bukan pengorbanan penganutnya sebagai martir tetapi kenyataan bahwa mereka diserang oleh kekerasan dan bukan oleh senjata intelektual.

L U D W I G v o N M I S E S 61

Penindasan dengan kekerasan selalu berarti pengakuan atas ketidakmampuan untuk menggunakan senjata yang lebih baik, yaitu senjata intelektual. disebut lebih baik karena hanya senjata itu yang menjanjikan keberhasilan. Ini merupakan kesalahan mendasar fasisme, dan yang akhirnya akan menyebabkan keruntuhannya. Kemenangan fasisme di sejumlah negara hanyalah sebuah episode dari rangkaian panjang perjuangan tentang kekayaan.

Episode berikutnya adalah kemenangan komunisme. Bagai-manapun, hasil akhir dari perjuangan tidak ditentukan oleh senjata tetapi oleh gagasan. gagasanlah yang menghimpun orang-orang ke dalam kelompok-kelompok perang, yang meletakkan senjata ke tangan mereka, dan yang menentukan terhadap siapa dan untuk siapa senjata digunakan. Merekalah, bukan senjata, yang pada akhirnya membalikkan keadaan.

Itulah akhir kebijakan dalam negeri fasisme. Bahwa kebijakan luar negerinya, yang didasarkan atas prinsip kekuatan dalam hubungan internasional, selalu menimbulkan rangkaian perang tanpa akhir yang menghancurkan semua peradaban modern, tidak perlu dibahas lebih lanjut.

Untuk mempertahankan dan untuk lebih meningkatkan pem-bangunan ekonomi kita sekarang ini, perdamaian antara bangsa-bangsa harus terjamin. Tapi bangsa-bangsa-bangsa-bangsa tidak bisa hidup bersama dengan damai jika prinsip dasar ideologi yang memerintah mereka adalah keyakinan bahwa negara dapat menjamin tempatnya dalam komunitas bangsa-bangsa hanya dengan jalan kekerasan.

Tidak dipungkiri lagi bahwa fasisme dan gerakan-gerakan serupa yang bertujuan membentuk kediktatoran dipenuhi dengan niat baik dan bahwa campur tangan mereka telah, untuk saat ini, menyelamatkan peradaban Eropa.

Pujian yang diraih fasisme akan hidup abadi dalam sejarah. Tapi, meskipun kebijakan fasisme membawa keselamatan untuk saat ini, kebijakan itu bukanlah kebijakan yang menjanjikan sukses berkelanjutan. Fasisme adalah cadangan untuk keadaan darurat. Menganggapnya lebih dari itu merupakan kesalahan fatal.