• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lingkup Kegiatan Pemerintah

DASAR-DASAR KEBIjAKAN LIBERAL

11. Lingkup Kegiatan Pemerintah

dalam pandangan kaum liberal, tugas negara semata-mata dan secara khusus adalah melindungi nyawa, kesehatan, kebebasan, dan kepemilikan pribadi dari serangan kekerasan. Lebih dari itu adalah kejahatan. Pemerintah yang alih-alih melaksanakan tugasnya malah melakukan tindakan yang melanggar keamanan pribadi menyangkut nyawa dan kesehatan, kebebasan, dan hak milik adalah pemerintah yang buruk.

Namun, seperti dikemukakan Jacob Burckhardt, kekuasaan adalah kejahatan itu sendiri, tidak penting siapa yang menggunakannya. Kekuasaan cenderung korup dan menimbulkan penyalahgunaan. Tidak hanya para penguasa absolut dan para bangsawan, namun juga massa, yang oleh demokrasi dipercaya memegang kekuasaan tertinggi atas pemerintahan, dengan mudah terdorong ke arah ekses berlebihan. di Amerika Serikat, pembuatan dan penjualan minuman beralkohol dilarang.

Negara-negara lain tidak bertindak sejauh itu, tapi hampir di mana pun diberlakukan pembatasan bagi penjualan opium, kokain, dan narkotika sejenis. Secara umum, melindungi setiap orang dari diri mereka sendiri dianggap sebagai salah satu tugas undang-undang dan pemerintah. Bahkan mereka yang umumnya ragu dalam memperluas lingkup kegiatan pemerintah menganggap bahwa cukup tepat untuk membatasi kebebasan individu dalam hal ini, dan mereka berpendapat bahwa hanya para penganut doktrin kaku yang kolot yang menentang larangan semacam itu.

Sesungguhnya, masyarakat sangat menerima interfensi semacam ini dari pihak yang berwenang dalam hidup setiap orang sehingga mereka yang menentang liberalisme secara prinsip cenderung mendasarkan pendapat mereka pada pengakuan yang seolah-olah tak terbantahkan bahwa larangan tersebut diperlukan, dan yang menyimpulkan bahwa kebebasan penuh adalah kejahatan, dan bahwa langkah-langkah untuk membatasi kebebsan individu harus diambil oleh pemerintah dalam kapasitas mereka sebagai penjaga

L U D W I G v o N M I S E S 63

kesejahteraan mereka.

Pertanyaannya bukanlah apakah pihak yang berwenang harus memberlakukan larangan atas kebebasan setiap orang, tapi hanya seberapa jauh mereka bisa melakukannya. Tak perlu dikatakan lagi bahwa semua jenis narkotika berbahaya. Pertanyaan mengenai apakah alkohol dalam jumlah kecil berbahaya, atau apakah bahaya itu hanya merupakan akibat dari penyalahgunaan minuman ber-alkohol, tidak dipersoalkan di sini. Adalah kenyataan yang tak bisa dipungkiri bahwa alkoholisme, kokainisme, dan morinisme adalah musuh kehidupan, kesehatan, dan kapasitas untuk bekerja dan untuk menikmati kesenangan yang mematikan; dan oleh sebab itu, para penganut utilitarian harus menganggap mereka sebagai kejahatan.

Namun, ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa pihak yang berwenang harus campur tangan untuk menekan kejahatan ini melalui larangan perdagangan. Selain itu tidak ada bukti bahwa inter vensi semacam itu benar-benar dapat menekan kejahatan tersebut, dan bahkan sekali pun tujuannya tercapai, akan membuka kotak Pandora yang berisi ancaman-ancaman lain yang tidak kurang jahat dari alkoholisme dan morphinism.

Siapa pun yang percaya bahwa kesenangan atau kesenangan berlebihan yang ditimbulkan semua racun ini bersifat merusak tidak dihalangi untuk makan dan minum secukupnya atau untuk menjalani kehidupan secukupnya. Persoalan ini tidak bisa dihadapi hanya dengan mengacu pada alkoholisme, morinisme, kokainisme, dan lain-lain, yang diakui sebagai kejahatan oleh semua orang yang berpikiran sehat. Karena jika mayoritas penduduk, pada prinsipnya, menyerahkan hak untuk menentukan jalan hidup mereka kepada kelompok minoritas, mustahil larangan hanya akan terbatas pada kesenangan akan alkohol, morin, kokain, dan racun-racun sejenis.

Mengapa apa yang berlaku untuk semua racun ini tidak diber-lakukan juga untuk nikotin, kafein, dan sejenisnya? Mengapa negara tidak menentukan makanan apa yang boleh dinikmati dan mana yang harus dihindari karena merugikan? Juga dalam olahraga,

banyak orang memiliki kecenderungan untuk memuaskan diri mereka jauh dari yang dimungkinkan oleh kekuatan isik mereka. Mengapa negara tidak campur tangan di sini? Tidak banyak orang tahu bagaimana mengendalikan kehidupan seksual mereka dan tampaknya sangat sulit bagi orang tua untuk memahami bahwa mereka harus berhenti menikmati kesenangan seperti itu, atau seti-daknya, melakukannya dengan hati-hati dan terukur. Tidakkah negara harus ikut campur dalam masalah ini?

Yang lebih berbahaya dari semua kenikmatan ini, menurut banyak orang, adalah membaca bacaan yang merusak. Apakah pers yang bertujuan memuaskan naluri manusia yang paling rendah dibiar kan merusak jiwa manusia? Tidakkah pameran gambar-gambar porno, pertunjukan-pertunjukkan cabul, singkatnya, semua daya tarik perbuatan-perbuatan asusila, seharusnya dilarang? dan bukankah penyebaran doktrin-doktrin sosiologis palsu sama berbahayanya bagi manusia dan bangsa-bangsa?

Bolehkah manusia dibiarkan mendorong orang lain melancarkan perang saudara dan peperangan melawan negara-negara lain? dan bolehkah serangan keji dan pidato-pidato kecaman yang berisi peng hinaan kepada Tuhan dibiarkan untuk mengurangi rasa hormat kepada Tuhan dan gereja? Kita lihat bahwa begitu kita mele-paskan prinsip bahwa negara tidak boleh ikut campur dalam semua persoalan yang menyangkut jalan hidup seseorang, kita mendapati diri kita mengatur dan membatasi semua hal itu sampai pada detail terkecil.

Kebebasan pribadi manusia dicabut. Ia menjadi budak masya-rakat, dipaksa untuk mematuhi semua perintah kelompok mayoritas. Tak ada gunanya membahas secara panjang lebar berbagai cara yang dapat dilakukan untuk menyalahgunakan kekuasaan sebesar itu oleh orang-orang jahat di dalam pemerintah. Penggunaan kekuasaan oleh orang-orang yang berniat baik sekali pun menjerumuskan dunia ke tempat pembuangan hantu.

Setiap kemajuan umat manusia dicapai sebagai hasil prakarsa sekelompok kecil kaum minoritas yang menyimpang dari

gagasan-L U D W I G v o N M I S E S 65

gagasan dan adat-istiadat kaum mayoritas sampai akhirnya contoh yang mereka berikan menggugah orang lain untuk menerima inovasi tersebut secara sukarela. Memberikan kelompok mayoritas hak untuk menentukan apa yang harus dipikirkan, dibaca dan dila-kukan kaum minoritas sama dengan menghentikan kemajuan.

Semoga tak seorang pun menyangkal bahwa perjuangan melawan morinisme dan perjuangan melawan bacaan “merusak” adalah dua hal yang sangat berbeda. Satu-satunya perbedaan di antara kedua hal itu adalah bahwa sebagian orang yang mendukung larangan terhadap morinisme tidak menyetujui larangan terhadap bacaan “merusak“. di Amerika Serikat, kelompok Metodis dan Fundamentalis, segera setelah undang-undang yang melarang pembuatan dan penjualan minuman beralkohol disahkan, berjuang untuk memberangus teori evolusi dan mereka berhasil mengenyahkan darwinisme dari sekolah-sekolah di beberapa negara bagian.

di Soviet Rusia, setiap pendapat bebas opini ditekan. Boleh tidak nya sebuah buku diterbitkan tergantung pada kebijaksanaan sejumlah orang fanatik yang tidak terdidik dan tidak terlatih, yang menjadi kepanjangan tangan pemerintah dengan wewenang untuk menangani masalah-masalah seperti itu.

Kecenderungan orang-orang di jaman kita untuk menuntut larangan pemerintah begitu sesuatu yang tidak berkenan bagi mereka muncul, dan kesiapan mereka untuk mengajukan permohonan larangan seperti itu, bahkan jika apa yang dilarang menyenangkan mereka, menunjukkan bahwa semangat mengabdi masih sangat tinggi dan telah mendarah-daging dalam diri mereka. dibutuhkan bertahun-tahun bagi seseorang untuk mendidik dirinya sendiri sampai ia berubah menjadi seorang warga negara. Seorang manusia bebas harus bisa menerima tindakan dan gaya hidup sesamanya meskipun hal itu bertentangan dengan apa yang ia anggap layak. Ia harus membebaskan dirinya dari kebiasaan memanggil polisi setiap kali sesuatu yang tidak menyenangkan baginya muncul.

12. Toleransi

Liberalisme membatasi perhatiannya semata-mata pada kehi-dupan dan upaya-upaya duniawi. Sebaliknya, kerajaan agama bukan dari dunia ini. dengan demikian, baik liberalisme maupun agama dapat hidup berdampingan tanpa saling bersinggungan. Ketika pada akhirnya mereka bertabrakan bukan karena kesalahan liberalisme. Liberalisme tidak melanggar batas wilayahnya; liberal isme tidak mencampuri wilayah keyakinan agama atau ajaran metaisik.

Namun, liberalisme memandang gereja sebagai kekuatan politik yang menuntut hak untuk mengatur sesuai dengan penilaiannya bukan hanya hubungan antara manusia dan dunia yang akan datang, tetapi juga urusan-urusan di dunia ini. Pada titik inilah garis pertem puran harus ditarik.

Kemenangan luar biasa yang diraih liberalisme dalam pertikaian ini memaksa gereja melepaskan untuk selama-lamanya semua hak yang telah dijaga dengan sekuat tenaga selama ribuan tahun. Pembakaran orang-orang bidat, penganiayaan melalui pengadilan, dan perang agama sekarang hanya tinggal sejarah. Tak seorang pun dapat memahami bagaimana orang-orang yang dengan tenang menja lankan keyakinan yang mereka anggap benar di balik dinding rumah mereka diseret ke pengadilan, dipenjara, menjadi martir, dan dibakar. Namun, sekali pun tidak ada lagi kayu bakar yang dinyalakan “Untuk Keagungan Allah”, sikap tidak toleran masih sering dijumpai.

Bagaimanapun, liberalisme harus bersikap tidak toleran terhadap setiap sikap tidak toleran. Jika seseorang memandang kerjasama penuh kerukunan sesama manusia sebagai tujuan evolusi sosial, ia tidak bisa membiarkan ketenangan itu diganggu oleh para pendeta dan orang-orang fanatik. Liberalisme menyerukan toleransi terha-dap setiap keyakinan beragama dan setiap keyakinan metaisik, bukan karena ketidakpedulian terhadap hal-hal yang bersifat “lebih tinggi” tetapi karena keyakinan bahwa perdamaian di masyarakat harus didahulukan dari segala hal dan semua orang. Oleh karena

L U D W I G v o N M I S E S 67

liberalisme menuntut toleransi dari semua pandangan dan semua gereja dan sekte, liberalisme harus meminta agar mereka kembali ke batas-batas wilayah mereka setiap kali mereka melewati batas-batas itu dengan cara yang tidak toleran.

dalam sebuah tatanan sosial yang didasarkan atas kerjasama yang rukun, tidak ada ruang bagi tuntutan gereja untuk memonopoli pengajaran dan pendidikan kaum muda. gereja akan mendapatkan apa pun selama itu disetujui oleh pendukungnya atas kehendak mereka sendiri; gereja tidak diperkenankan melakukan apa pun terhadap orang-orang yang tidak ingin berurusan dengan gereja.

Sulit dimengerti bagaimana prinsip-prinsip liberalisme ini men ciptakan musuh di antara para anggota tetap gereja dengan keyakinan berbeda-beda. Jika mereka menghalangi gereja memaksa orang berpindah agama dengan cara kekerasan, baik kekerasan oleh gereja sendiri maupun melalui sarana yang disediakan negara, di sisi lain mereka melindungi gereja dari upaya gereja atau sekte lain mengubah keyakinan mereka secara paksa. Apa yang diambil oleh liberalisme dari gereja dengan satu tangan, dikembalikan dengan tangan lain. Bahkan pengikut agama yang fanatik sekali pun harus mengakui bahwa liberalisme tidak mengambil apa pun yang menjadi hak agama.

Yang pasti, gereja-gereja dan sekte-sekte yang, saat mereka berada di atas angin, tidak pernah puas menganiaya orang-orang ingkar, menuntut toleransi, setidaknya untuk mereka sendiri, ketika mereka berada dalam kelompok minoritas. Namun, tuntutan bagi toleransi ini sama sekali berbeda dengan tuntutan bagi toleransi kaum liberal. Liberalisme menuntut toleransi karena alasan prinsip, bukan karena memanfaatkan kesempatan (oportunis). Liberalisme menuntut toleransi bahkan terhadap ajaran-ajaran yang tidak masuk akal, bentuk-bentuk penyimpangan agama yang konyol, dan takhayul-takhayul bodoh yang kekanak-kanakan. Liberalisme menuntut toleransi terhadap doktrin-doktrin dan pendapat-pendapat yang mereka anggap merusak dan merugikan masyarakat dan bahkan terhadap gerakan-gerakan yang mereka lawan tanpa kenal lelah.

Apa yang mendorong liberalisme menuntut toleransi dan ber-sikap toleran bukan pertimbangan agar muatan doktrin tersebut mendapatkan toleransi, namun pemahaman bahwa hanya toleransi yang dapat menciptakan dan menjaga perdamaian sosial dan tanpa perdamaian itu umat manusia akan terperosok kembali ke era barbarisme dan kemiskinan dari abad-abad yang lampau.

dalam melawan kebodohan, hal-hal yang tidak masuk akal dan jahat, liberalisme menggunakan pikiran, bukan kekuatan seekor hewan dan penindasan, sebagai senjatanya.