• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hak Menentukan Nasib Sendiri

Dalam dokumen ludwig von mises menemukan kembali liberalisme (Halaman 160-163)

KEBIjAKAN LUAR NEGERI LIBERAL

2. Hak Menentukan Nasib Sendiri

Seperti telah dinyatakan sebelumnya, sebuah negara bisa menik-mati perdamaian dalam negeri hanya ketika konstitusi demokratis menjamin bahwa pengaturan pemerintahan sesuai dengan ke-inginan rakyat berlangsung tanpa gesekan. Tidak ada hal lain yang dibutuhkan selain penerapan prinsip yang sama secara konsisten untuk menjamin perdamaian internasional.

Kaum liberal di masa lalu mengira semua orang di dunia pada dasarnya cinta damai dan bahwa hanya kalangan monarki yang menginginkan perang untuk meningkatkan kekuatan dan kekayaan mereka dengan menaklukkan provinsi-provinsi. Oleh karena itu, mereka percaya bahwa untuk menjamin perdamaian abadi yang diperlukan hanyalah mengganti pemerintahan para pangeran kerajaan dengan pemerintahan yang bertumpu pada rakyat.

L U D W I G v o N M I S E S 127

Jika sebuah republik demokratis mendapati bahwa batas-batas negaranya, yang dibentuk oleh sejarah sebelum transisi ke liberalisme, tidak lagi memenuhi keinginan politik rakyat, batas-batas itu harus diganti dengan jalan damai agar sesuai dengan hasil referendum yang mencerminkan keinginan rakyat. Kemungkinan harus tetap terbuka untuk menggeser batas-batas negara jika pen-duduk suatu wilayah menyatakan secara tegas keinginan mereka untuk bergabung dengan negara selain negara di mana mereka saat itu berada.

di abad ketujuhbelas dan kedelapan belas, para tsar Rusia menggabungkan ke dalam kerajaan mereka berbagai wilayah luas yang penduduknya tidak pernah memiliki keinginan untuk menjadi bagian Rusia. Bahkan jika Kekaisaran Rusia mengadopsi konstitusi yang benar-benar demokratis, keinginan penduduk di wilayah-wilayah itu tetap tidak terpenuhi karena mereka benar-benar tidak ingin mengasosiasikan diri mereka dalam ikatan politik apa pun dengan orang-orang Rusia.

Tuntutan demokratis mereka adalah: bebas dari Kekaisaran Rusia; pembentukan Polandia, Finlandia, Latvia, Lithuania dsb yang independen. Kenyataan bahwa semua tuntutan ini dan tuntutan serupa dari bangsa-bangsa lain (e.g., Italia, Jerman di Schleswig-holstein, orang-orang Slavia di Kerajaan hapsburg) hanya bisa dipenuhi melalui pengerahan senjata merupakan penyebab utama dari semua perang di Eropa sejak Kongres wina.

dengan demikian hak untuk menentukan nasib sendiri berkaitan dengan status keanggotaan dalam sebuah negara berarti: kapan pun penduduk sebuah wilayah, baik sebuah desa, seluruh distrik, atau sekumpulan distrik yang saling berdekatan, menyatakan secara terbuka melalui sebuah referendum yang diselenggarakan secara bebas, bahwa mereka sudah tidak ingin lagi bersatu dalam negara di mana saat itu mereka menjadi anggota, namun berharap untuk membentuk negara independen atau bergabung dengan negara lain, keinginan mereka harus dihormati dan ditaati. Ini merupakan satu-satunya cara yang efektif dan mungkin untuk mencegah revolusi,

perang saudara dan perang internasional.

Menyebut hak untuk menentukan nasib sendiri sebagai “hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasib mereka sendiri” meru-pakan kekeliruan. hak menentukan nasib sendiri bukan hak sebuah unit nasional yang terbatas untuk menentukan nasibnya sendiri melainkan hak para penduduk setiap wilayah untuk menentukan dengan negara mana mereka ingin bergabung. Kesalahpahaman ini lebih menyedihkan lagi saat ungkapan “hak bangsa-bangsa menentukan nasib sendiri” diartikan sebagai hak negara untuk mele-paskan dan menggabungkan wilayah negara lain di luar kehendak penduduknya ke dalam negara itu. Berdasarkan pengertian hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasib sendiri maka kaum Fasis Italia mencoba untuk mendapatkan pembenaran atas tuntutan mereka agar wilayah (kanton) Tessin dan bagian-bagian wilayah lain dilepaskan dari Swiss dan digabungkan dengan Italia meskipun para penduduk wilayah-wilayah itu tidak berkeinginan untuk bergabung. Sikap serupa diambil oleh beberapa pendukung Pan-Jermanisme berkaitan dengan wilayah Swiss yang berbahasa Jerman dan Belanda.

Meskipun begitu, hak menentukan nasib sendiri yang kita bicarakan bukanlah hak bangsa untuk menentukan nasibnya, namun hak menentukan nasib sendiri penduduk dari setiap wilayah yang cukup besar untuk membuat sebuah unit administrasi independen. Jika memungkinkan, setiap individu diberikan hak menentukan nasib sendiri. Ini tidak bisa dilakukan hanya karena pertimbangan teknis yang tidak bisa diabaikan, yang menuntut agar sebuah wilayah dijalankan sebagai sebuah unit administrasi tunggal dan hak menentukan nasib sendiri dibatasi pada keinginan mayoritas penduduk wilayah yang cukup besar untuk dianggap sebagai unit teritorial dalam administrasi negara.

Sejauh hak menentukan nasib sendiri diakui, dan di mana pun hak itu diberikan, di abad kesembilanbelas dan keduapuluh, pengakuan itu akan melahirkan atau berujung pada pembentukan negara-negara yang terdiri dari satu jenis kebangsaan (i.e.,

orang-L U D W I G v o N M I S E S 129

orang yang berbicara dalam bahasa yang sama) dan bubarnya negara-negara yang terdiri dari berbagai kebangsaan, walau hanya sebagai konsekwensi pilihan bebas mereka yang berhak ambil bagian dalam referendum.

Pembentukan negara yang semua anggotanya berasal dari satu kelompok nasional merupakan akibat dari hak menentukan nasib sendiri, bukan tujuan hak itu. Seandainya beberapa anggota suatu bangsa merasa lebih bahagia bila mereka secara politik bebas dan tidak menjadi bagian sebuah negara yang warganya berasal dari kelom pok lingusitik yang sama, mungkin orang akan berusaha untuk mengubah ide-ide politik mereka melalui persuasi agar mereka menganut prinsip kebangsaan yang menyatakan semua anggota kelompok lingusitik yang sama harus membentuk sebuah negara yang independen.

Seandainya seseorang mencoba untuk menentukan takdir politik mereka melawan keinginan mereka dengan menerapkan hak negara yang lebih tinggi, orang itu melanggar hak menentukan nasib sendiri sama efektifnya dengan seandainya orang itu mempraktekkan bentuk-bentuk penindasan lain. Pembagian Swiss di antara Jerman, Perancis, dan Italia, bahkan jika dilakukan berdasarkan batas-batas linguistik, tetap merupakan pelanggaran berat atas hak menentukan nasib sendiri, sama seperti terpecahnya Polandia.

Dalam dokumen ludwig von mises menemukan kembali liberalisme (Halaman 160-163)