• Tidak ada hasil yang ditemukan

Yang ke dua dari Empat Kebenaran Mulia dikenal sebagai asal- mula atau penyebab penderitaan, yang diidentifikasikan oleh Sang Buddha sebagai ketagihan (taṇhā) dalam tiga aspek: ketagihan pada kenikmatan indria, ketagihan pada penjelmaan, yaitu, pada kehidupan berkelanjutan, dan katagihan pada tanpa- penjelmaan, yaitu, pemusnahan personal. Kebenaran ke tiga menyatakan kebalikan dari kebenaran ke dua, bahwa dengan lenyapnya ketagihan, maka penderitaan yang berasal-mula dari sana juga lenyap tanpa sisa.

Penemuan Sang Buddha atas hubungan sebab-akibat antara ketagihan dan penderitaan memberikan alasan bagi percikan “pesimistis” yang nyata yang muncul dalam beberapa sutta dalam Majjhima Mikāya: dalam MN 13 dengan pembabarannya tentang bahaya dalam kenikmatan indria, bentuk, dan perasaan; dalam MN 10 dan MN 119 dengan meditasi pekuburan; dalam MN 22, MN 54, dan MN 75 dengan perumpamaan yang mengguncang pada kenikmatan indria. Ajaran-ajaran demikian adalah bagian dari pendekatan taktis Sang Buddha untuk membimbing para siswaNya menuju kebebasan. Dari sifatnya sendiri ketagihan muncul dan tumbuh di mana saja ia menemukan sesuatu yang tampak menyenangkan dan indah. Ia berploriferasi melalui persepsi keliru – persepsi objek indria sebagai menyenangkan – dan dengan demikian untuk mematahkan cengkeraman ketagihan pada pikiran, nasihat saja sering kali tidak mencukupi. Sang Buddha harus membuat orang-orang melihat bahwa segala sesuatu yang mereka idamkan dan mereka kejar dengan penuh kekalutan sesungguhnya adalah penderitaan, dan Beliau

melakukan ini dengan membeberkan bahaya yang tersembunyi di bawah kemanisan dan kemenarikan bentuk luarnya.

Walaupun kebenaran mulia ke dua dan ke tiga memiliki kebenaran psikologis segera, namun juga memiliki aspek yang lebih mendalam yang dijelaskan dalam sutta-sutta. Kedua kebenaran pertengahan seperti yang dinyatakan dalam formulasi umum Empat Kebenaran Mulia sesungguhnya adalah versi ringkas dari formulasi yang lebih panjang yang mengungkapkan asal-mula dan lenyapnya keterikatan dalam saṁsāra. Doktrin dalam versi yang lebih luas dari pembabaran kedua kebenaran ini disebut paṭicca samuppāda, kemunculan bergantungan. Dalam

pernyataan yang paling lengkapnya doktrin ini menjelaskan asal- mula dan lenyapnya penderitaan dalam formula dua belas faktor yang saling berhubungan dalam sebelas dalil. Formulasi ini, yang ditetapkan secara sistematis, terdapat dalam MN 38.17 dalam urutan kemunculan dan dalam MN 38.20 dalam urutan kelenyapan. MN 115.11 memasukkan kedua urutan bersama- sama didahului oleh suatu pernyataan tentang prinsip umum kondisionalitas yang melandasi doktrin yang diterapkan itu. Sebuah versi yang lebih lengkap memberikan analisis faktorial pada masing-masing istilah dalam rangkaian tersebut diberikan dalam MN 9.21-66, dan sebuah versi yang memberikan contoh dalam perjalanan kehidupan seorang individu terdapat dalam MN 38.26-40. Versi ringkasnya terdapat dalam MN 1.171, MN 11.16, dan MN 75.24-25. Yang Mulia Sāriputta mengutip kata-kata Sang Buddha bahwa seorang yang melihat kemunculan bergantungan melihat Dhamma dan seorang yang melihat Dhamma melihat kemunculan bergantungan (MN 28.28).

Menurut interpretasi biasa, rangkaian dua belas faktor merentang hingga tiga masa kehidupan dan dibagi dalam tahap sebab dan akibat. Karena ketidak-tahuan (avijjā) – didefinisikan sebagai ketiadaan pengetahuan atas Empat Kebenaran Mulia – maka seseorang terlibat dalam perbuatan-perbuatan

berkehendak atau kamma, yang dapat berupa jasmani, ucapan,

atau pikiran, bermanfaat atau tidak bermanfaat. Perbuatan- perbuatan kamma ini adalah bentukan-bentukan (sankhārā), dan matang dalam kondisi-kondisi kesadaran (viññāṇa) – pertama

sebagai kesadaran kelahiran kembali pada momen konsepsi dan setelah itu sebagai kondisi kesadaran pasif yang dihasilkan dari kamma yang matang dalam perjalanan sepanjang kehidupan. Bersama dengan kesadaran di sana muncul batin-jasmani (nāmarupa), yaitu organisme psikofisikal, yang dilengkapi dengan enam landasan (saḷāyatana), kelima organ indria fisik dan pikiran sebagai indria dengan fungsi kognisi yang lebih tinggi. Melalui organ indria, kontak (phassa) terjadi antara kesadaran dan objeknya, dan kontak mengondisikan perasaan (vedanā). Mata rantai dari kesadaran hingga perasaan adalah produk kamma masa lampau, dari tahap sebab yang diwakili oleh ketidak-tahuan dan bentukan-bentukan. Dengan mata rantai berikutnya tahap aktif secara kamma dari kehidupan sekarang dimulai, menghasilkan penjelmaan baru di masa depan. Dengan dikondisikan oleh perasaan, maka ketagihan (taṇhā) muncul, ini adalah kebenaran mulia ke dua. Ketika ketagihan menguat, maka akan memunculkan kemelekatan (upādāna), yang dengannya

sekali lagi seseorang akan terlibat dalam perbuatan-perbuatan berkehendak yang penuh dengan penjelmaan baru (bhava). Penjelmaan baru dimulai dari kelahiran (jāti), yang tak terhindarkan akan mengarah pada penuaan dan kematian (jarāmaraṇa).

Ajaran kemunculan bergantungan juga menunjukkan bagaimana lingkaran kehidupan dapat dipatahkan. Dengan munculnya pengetahuan sejati, penembusan sepenuhnya pada Empat Kebenaran Mulia, maka ketidak-tahuan dapat dilenyapkan. Akibatnya pikiran tidak lagi menuruti ketagihan dan kemelekatan, perbuatan kehilangan potensinya untuk menghasilkan kelahiran kembali, dan bahan bakarnya dihilangkan, lingkaran itu berakhir. Hal ini menandai tujuan ajaran

yang disiratkan oleh kebenaran mulia ke tiga, yaitu lenyapnya penderitaan.

NIBBĀNA

Keadaan yang muncul ketika ketidak-tahuan dan ketagihan telah dicabut disebut Nibbāna (Sanskrit, Nirvāṇa), dan tidak ada

konsep dalam ajaran Buddha yang begitu kokoh pada konseptual seperti yang satu ini. Dalam cara yang sangat sulit dipahami, karena Nibbāna dijelaskan secara tepat sebagai “mendalam, sulit dilihat dan sulit dipahami, … tidak dapat dicapai hanya dengan penalaran” (MN 26.19). Namun dalam paragraf yang sama ini Sang Buddha juga mengatakan bahwa Nibbāna adalah untuk dialami oleh para bijaksana dan dalam sutta-sutta Beliau memberikan cukup banyak petunjuk atas ciri-cirinya untuk menyampaikan gagasan tentang apa yang menyebabkannya begitu diinginkan.

Kanon Pāli juga memberikan bukti yang cukup untuk mematahkan pendapat dari beberapa penerjemah bahwa Nibbāna hanyalah pemusnahan semata; bahkan pandangan yang lebih rumit bahwa Nibbāna adalah hancurnya kekotoran- kekotoran dan padamnya penjelmaan tidak dapat dipertahankan dalam penyelidikan. Mungkin suatu testimoni yang paling memaksa yang melawan pandangan itu adalah sebuah paragraf yang sangat terkenal dari Udāna yang menyatakan sehubungan dengan Nibbāna bahwa “ada yang tidak terlahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta, tidak terkondisi,” yang karena keberadaannya memungkinkan “kebebasan dari kelahiran, penjelmaan, penciptaan, dan keterkondisian” (Ud 8:3/80). Majjhima Nikāya mencirikan Nibbāna dengan cara serupa. Yaitu, “Tidak terlahir, tidak menua, tidak sakit, tanpa kematian, tanpa dukacita, keamanan tertinggi yang murni dari keterikatan,” yang dicapai oleh Sang Buddha pada malam pencerahanNya (MN 26.18). Realitas unggulnya ditegaskan oleh Sang Buddha ketika

Beliau menyebut Nibbāna sebagai landasan tertinggi kebenaran, yang bersifat tidak menipu (MN 140.26). Nibbāna tidak dapat dilihat oleh mereka yang hidup dalam nafsu dan kebencian, tetapi dapat dilihat dengan munculnya penglihatan spiritual, dan dengan memusatkan pikiran pada Nibbāna dalam kedalaman meditasi, sang siswa dapat mencapai hancurnya noda-noda (MN 26.19, MN 75.24, MN 64.9).

Sang Buddha tidak memberikan banyak kata pada definisi filosofis tentang Nibbāna. Satu alasan adalah bahwa Nibbāna, karena tidak terkondisi, transenden, dan lokuttara, memang tidak mudah didefinisikan secara konsep yang tak dapat dihindari terikat pada apa yang terkondisi, nyata, dan lokiya. Alasan lain adalah bahwa tujuan Sang Buddha adalah tujuan praktis menuntun makhluk-makhluk menuju kebebasan dari penderitaan, dan dengan demikian pendekatan utamaNya pada karakterisasi Nibbāna adalah untuk memberikan semangat untuk mencapainya dan untuk menunjukkan apa yang harus dilakukan untuk mencapainya. Untuk menunjukkan Nibbāna sebagai sesuatu yang diinginkan, sebagai tujuan dari pengerahan usaha, Beliau menggambarkannya sebagai kebahagiaan tertinggi, sebagai keadaan tertinggi dari kedamaian luhur, sebagai tanpa penuaan, tanpa kematian, dan tanpa dukacita, sebagai keamanan tertinggi dari keterikatan. Untuk menunjukkan apa yang harus dilakukan untuk mencapai Nibbāna, untuk menunjukkan bahwa tujuan itu menyiratkan suatu tugas yang pasti, Beliau menggambarkannya sebagai ditenangkannya segala bentukan, dilepaskannya segala perolehan, hancurnya ketagihan, kebosanan (MN 26.19). Di atas segalanya, Nibbāna adalah lenyapnya penderitaan, dan bagi mereka yang mencari akhir penderitaan maka sebutan demikian sudah cukup untuk memberi isyarat kepada mereka untuk mengarah pada sang jalan.