• Tidak ada hasil yang ditemukan

Yang masih tersisa untuk didiskusikan hanyalah sedikit hal teknis menyangkut terjemahan ini: pertama adalah problema umum yang tidak dapat dihindari yang dihadapi oleh semua penerjemah dari Kanon Pāli, kemudian beberapa perubahan tertentu yang telah dilakukan pada kata-kata doktrin penting dari terjemahan YM. Ñāṇamoli.

PENGULANGAN

Para pembaca sutta-sutta Pāli, khususnya dalam bahasa aslinya, akan segera menemukan kalimat-kalimat pengulangan yang sering dan panjang. Saya memeriksa bahwa pengulangan- pengulangan itu dapat ditemukan dalam beberapa jenis berbeda dan dengan demikian mungkin berasal dari sumber berbeda. Kita akan mempertimbangkan tiga jenis utama di sini.

Pertama pengulangan-pengulangan narasi dalam satu sutta serta pengulangan pernyataan-pernyataan dalam suatu percakapan biasa. Ini tidak diragukan berasal dari metode penyampaian lisan yang dengannya sutta-sutta dilestarikan selama empat abad pertama kemunculannya, pengulangan demikian berguna sebagai alat bantu mengingat yang sangat berguna untuk memastikan agar detail-detailnya tidak hilang. Dalam terjemahan ini pengulangan-pengulangan demikian biasanya disingkat dan dituliskan dengan tanda ellipsis (tanda

“…”) dan kadang-kadang secara bebas menyingkatnya.

Jenis pengulangan ke dua berasal dari penggunaan formula umum untuk menjelaskan kelompok tetap dari kategori-kategori doktrin atau aspek-aspek latihan. Contoh yang paling sering dari pengulangan ini adalah formula empat jhāna dan tiga pengetahuan sejati. Formula-formula ini hampir dipastikan merupakan bagian dari perbendaharaan pengajaran Sang Buddha, yang digunakan oleh Beliau dalam banyak khotbah yang Beliau babarkan selama empat puluh lima tahun pengajaranNya untuk melestarikan kesatuan dan konsistensi ajaranNya. Di sini formula stereotip yang lebih pendek biasanya akan dibiarkan utuh kecuali jika memainkan peran kecil pada tema yang lebih besar, yang mana pada kasus demikian hanya klausul utama yang dipertahankan; sebuah contoh adalah perlakuan pada formula jhāna pada MN 53.18. Formula yang lebih panjang yang muncul sangat sering akan diringkas, dengan referensi yang biasanya diberikan pada kalimat-kalimat di mana formula itu muncul secara

lengkap; contohnya adalah perlakuan atas dua pengetahuan sejati yang pertama pada MN 27.23-24 dan latihan bertahap pada MN 38.31-38.

Pengulangan jenis ke tiga berasal dari penerapan oleh Sang Buddha atas suatu metode pembabaran identik pada serangkaian istilah-istilah doktrin yang menjadi bagian dari suatu kelompok yang tetap. Misalnya adalah formula bagi pandangan terang yang melekat pada masing-masing dari latihan dalam

Satipaṭṭhāna Sutta (MN 10.5), dan pembabaran tentang ketiga

karakteristik yang diterapkan pada masing-masing kelima kelompok unsur kehidupan (MN 22.26). Pengulangan- pengulangan ini, berlawanan dengan anggapan modern, adalah merupakan bagian integral dalam metode pengajaran Sang Buddha dan berfungsi untuk mengarahkan kembali pada hal-hal yang Beliau ingin sampaikan. Kita dapat membayangkan bahwa pengulangan-pengulangan demikian, yang dibabarkan oleh seorang guru yang tercerahkan sempurna kepada mereka yang sungguh-sungguh berusaha untuk mencapai pencerahan, pasti telah meresap ke dalam batin dari mereka yang mendengarkannya dan dalam banyak kasus telah memicu sepercik kebenaran. Dalam terjemahan ini jenis pengulangan ini hanya terjadi pada bagian pertama dan terakhir dalam kelompok tersebut – seperti yang sering dilakukan dalam teks-teks edisi Pāli – kecuali ketika metode pembabaran itu sangat panjang (seperti pada MN 118.37-39), yang mana ditunjukkan secara lengkap untuk istilah pertama dan secara ringkas untuk bagian-bagian selanjutnya. Mereka yang membaca sutta-sutta sebagai latihan dalam perenungan, dan bukan sekedar untuk mendapatkan informasi, harus berusaha untuk melengkapi dalam hati bagian- bagian dalam keseluruhan rangkaian dan mengeksplorasi jangkauan implikasinya.

DHAMMA

Dalam terjemahannya yang belakangan YM. Ñāṇamoli tampaknya berketetapan untuk mencapai dua tujuan: menerjemahkan dengan setepat-tepatnya setiap kata Pāli ke Bahasa Inggris (Arahant dan Bodhisatta adalah pengecualian yang jarang); dan

menerjemahkan dengan kepatuhan pada standar konsistensi yang ketat. Akibatnya prinsip yang menuntun pekerjaannya adalah: satu kata Pāli, satu kata Bahasa Inggris yang bersesuaian. Prinsip ini juga ia terapkan pada perlakuannya atas kata dhamma yang bermakna ganda, yang untuk ini ia menulis di

tempat lain bahwa “perlunya keseragaman dalam penerjemahan begitu besar sehingga nyaris putus-asa” (Minor Readings and Illustrator, p.331). Sebagai akarnya ia memilih kata “gagasan,” yang ia coba untuk menerapkannya pada kata Pāli dalam segala kemunculannya yang beragam. Bahkan ketika dhamma

digunakan dalam sutta-sutta untuk menyiratkan ajaran Buddha, ia masih tetap setia pada pilihannya dengan menerjemahkannya sebagai “Gagasan Sejati.”

Tidak perlu dikatakan bahwa percobaan ini tidak berhasil. Mengetahui hal ini, YM. Khantipālo, dalam edisi sembilan puluh sutta yang ia kerjakan, memutuskan untuk mempertahankan kata Pāli dalam sebagian besar kemunculannya. Akan tetapi, keputusan ini tampaknya tidak diperlukan ketika dilepaskannya tuntutan atas konsistensi ketat yang memungkinkan penerjemahan yang luwes dan dapat dipercaya tanpa kehilangan maknanya. Walaupun banyak penggunaan yang berbeda-beda atas kata Pāli dhamma, mungkin pada awalnya memiliki hubungan makna yang mendasari, pada masa Kanon Pāli hubungan demikian telah memudar kepada latar belakang sehingga tidak relevan dengan pemahaman teks-teks. Komentar- komentar menetapkan sedikitnya sepuluh makna kontekstual berbeda pada kata tersebut yang muncul dalam Kanon dan mereka tidak berusaha untuk membaca makna filosofis ke dalam

penerapan yang berbeada-beda ini. Oleh karena itu tujuan dari terjemahan jelas tampaknya memerlukan agar kata itu diterjemahkan secara berbeda menurut konteksnya, yang umumnya membuat makna yang dimaksudkan menjadi lebih jelas.

Dalam merevisi terjemahan YM. Ñāṇamoli saya telah mempertahankan kata Pāli Dhamma hanya jika kata itu merujuk

pada ajaran Buddha, atau dalam beberapa kasus merujuk pada ajaran saingan yang dipertentangkan oleh Sang Buddha (seperti pada MN 11.13 dan MN 104.2). Dalam penggunaan lainnya konteknya telah diperbolehkan untuk memutuskan terjemahannya. Demikianlah ketika dhamma muncul dalam

bentuk jamak sebagai kata referensi ontologis umum maka kata ini diterjemahkan sebagai “segala sesuatu” (seperti pada MN 1.2 dan MN 2.5). Ketika kata ini memerlukan nuansa yang lebih teknis, apakah dalam makna fenomena kehidupan atau unsur batin, maka diterjemahkan sebagai “kondisi-kondisi” (seperti pada MN 64.9 dan MN 111.4). Akan tetapi, kata ini, harus dilepaskan dari nuansa kestatisannya, dhamma sebagai peristiwa-peristiwa dalam suatu proses dinamis, dan kata ini juga tidak boleh dianggap merujuk pada suatu entitas tetap yang mengalami kondisi-kondisi, menunjukkannya sebagai serangkaian dhamma- dhamma yang berhubungan belaka. Dua makna terakhir dari dhamma tidak selalu dapat dipisahkan dalam teks-teks dan

kadang-kadang gaya bahasa Inggris yang sewajarnya harus digunakan sebagai faktor untuk memutuskan mana yang harus dipilih.

Sebagai landasan perhatian ke empat dan sebagai landasan indria (āyatana) ke enam, dhamma telah diterjemahkan sebagai

“objek-objek pikiran” (bahkan di sini “gagasan-gagasan” adalah terlalu sempit). Dalam konteks lain lagi kata ini telah diterjemahkan sebagai kualitas-kualitas (MN 15.3, MN 48.6) dan ajaran-ajaran (MN 46.2, MN 47.3). Ketika digunakan sebagai akhiran maka kata

ini memperoleh makna idiomatis sebagai “tunduk pada” dan demikianlah kata ini diterjemahkan, misalnya, vipariṇāmadhamma

sebagai “tunduk pada perubahan.”

SANKHĀRA

Walaupun kata ini seperti yang digunakan dalam sutta-sutta memiliki referensi spesifik berbeda dalam konteks-konteks berbeda, namun tidak seperti dhamma, kata ini cukup

mempertahankan keseragaman makna dalam terjemahan, dengan beberapa pengecualian yang jarang. Akan tetapi, masalahnya adalah untuk memutuskan kata apa dari banyak terjemahan yang diusulkan yang cukup memadai, atau, jika tidak ditemukan kata yang tepat, maka membentuk kata yang baru.

Gagasan dasar yang disiratkan oleh kata sankhāra adalah “bersama-sama.” Para komentator Pāli menjelaskan bahwa kata ini memperbolehkan baik makna aktif maupun pasif. Demikianlah

sankhāra adalah delapan faktor (atau kekuatan) yang berfungsi

bersama-sama dalam menghasilkan suatu akibat, atau hal-hal yang dihasilkan oleh kombinasi dari faktor-faktor yang bekerja sama. Dalam terjemahan Visuddhimagga, YM. Ñāṇamoli telah

menerjemahkan sankhāra sebagai “bentukan-bentukan,” suatu

terjemahan yang disukai oleh banyak penerjemah. Dalam skema terjemahannya yang belakangan ia telah bereksperimen dengan menerjemahkannya sebagai “tekad-tekad” dan telah mencoba untuk memasukkan pilihan baru tersebut ke dalam naskah Majjhima. Dalam menyunting naskah tersebut YM. Khantipālo memilih untuk kembali pada pilihan penerjemah yang lebih dikenal yaitu “bentukan-bentukan,” dan dalam edisi ini saya mengikutinya. Walaupun kata ini memiliki kelemahan dalam bentuk penekanan pada aspek pasif sankhāra, namun kata ini menghindari persoalan yang ditimbulkan oleh “tekad-tekad” dan tampak cukup tidak berwarna untuk mengambil makna yang ditentukan oleh konteks.

Kata sankhāra muncul dalam empat konteks utama dalam

sutta-sutta Pāli: (1) Sebagai faktor ke dua dalam formula kemunculan bergantungan kata ini digunakan sebagai perbuatan- perbuatan berkehendak, menyiratkan peran aktifnya dalam menghasilkan akibat dalam proses kelahiran kembali. (2) Sebagai yang ke empat dari kelima kelompok unsur kehidupan sankhāra

terdiri dari semua faktor batin yang tidak termasuk dalam ketiga kelompok unsur batin lainnya; kelompok ini mungkin diberi nama

sankhārakkhandha menurut unsur utamanya, yaitu kehendak (cetanā), yang bertanggung jawab untuk membentuk semua kelompok unsur kehidupan lainnya. (3) Sankhāra juga digunakan dalam makna yang sangat komprehensif untuk menyiratkan segala sesuatu yang dihasilkan oleh kondisi-kondisi. Dalam makna ini sankhāra terdiri dari seluruh kelima kelompok unsur kehidupan (seperti pada MN 35.4 dan MN 115.12). Di sini kata ini membawa makna pasif, yang dijelaskan oleh para komentator sebagai sankhatasankhārā, “bentukan-bentukan yang terdapat dalam apa yang terkondisi.” Penggunaan ini mendekati makna dari penggunaan ontologis dari kata dhamma, kecuali bahwa dhamma memiliki cakupan yang lebih luas karena termasuk

elemen tidak terkondisi NIbbāna dan konsep-konsep (paññatti),

yang keduanya tidak termasuk dalam sankhāra. (4) Dalam

konteks lain lagi kata sankhāra digunakan dalam hubungannya dengan kāya, vaci, dan citta – jasmani, ucapan, dan pikiran – yang bermakna bentukan jasmani, yaitu nafas masuk-dan-keluar; bentukan ucapan, yaitu awal pikiran dan kelangsungan pikiran; dan bentukan pikiran, yaitu persepsi dan perasaan. Yang pertama dan ke tiga adalah hal-hal yang bergantung berturut-turut pada jasmani dan pikiran, yang kedua adalah hal-hal yang mengaktifkan ucapan. Triad ini dibahas pada MN 44.13-15.

Sankhāra juga digunakan di luar konteks-konteks utama ini, dan dalam kasus demikian makna “tekad” dari YM. Ñāṇamoli tetap dipertahankan. Ini adalah di mana kata ini muncul dalam

kata majemuk padhānasankhāra, yang telah diterjemahkan sebagai “tekad berusaha” (seperti pada MN 16.26). Idiom yang jarang tetapi termasuk, sankhāraṁ padahati, telah diterjemahkan dengan cara serupa sebagai “ia berusaha dengan penuh tekad” (MN 101.23). Dalam kasus lain (MN 120), mengikuti kemasan komentar, sankhāra diterjemahkan sebagai “aspirasi.”

NĀMARŪPA

YM. Ñāṇamoli telah menerjemahkan kata majemuk ini secara literal sebagai “nama-dan-bentuk.” Dalam edisi ini kata majemuk ini telah dikembalikan pada terjemahan yang digunakan dalam terjemahannya atas Visuddhimagga sebagai “batin-jasmani,” walaupun dengan menyesal bahwa ungkapan latin yang tidak praktis ini tidak memiliki keringkasan dan sentuhan dari “nama- dan-bentuk.” Kata nāma pada aslinya berarti “nama,” tetapi dalam sutta-sutta Pāli kata ini digunakan dalam kata majemuk sebagai istilah kolektif bagi faktor-faktor batin yang berhubungan dengan kesadaran, seperti yang akan terlihat dalam definisi pada MN 9.54. Komentar-komentar menjelaskan nāma di sini sebagai turunan dari kata namati, condong, dan diaplikasikan pada faktor- faktor batin karena “condong” ke arah objek dalam tindakan mengenalinya. Rūpa digunakan dalam dua konteks utama dalam sutta-sutta: sebagai yang pertama dari kelima kelompok unsur kehidupan dan sebagai objek spesifik dari kesadaran-mata. Yang pertama adalah kategori yang lebih luas yang mencakup yang ke dua sebagai salah satu di antara banyak spesies lain dari rūpa. YM. Ñāṇamoli, dengan tujuan konsistensi, dalam naskah terjemahannya telah menggunakan “bentuk” untuk rūpa sebagai objek terlihat (dalam preferensi pada “data-terlihat” yang digunakan dalam skema terjemahannya yang sebelumnya). Tetapi ketika rūpa digunakan untuk menyiratkan yang pertama di antara kelima kelompok unsur kehidupan, kata ini telah diubah menjadi “bentuk materi.” Terjemahan ini harus mengindikasikan secara

lebih tepat makna rūpa dalam konteks tersebut sekaligus mempertahankan hubungan dengan rūpa sebagai objek terlihat. Kadang-kadang dalam teks-teks kata ini tampaknya mencakup kedua makna tanpa memperbolehkan suatu batasan eksklusif, seperti dalam konteks pencapaian meditatif tertentu seperti pada kedua kebebasan pertama (MN 77.22).

BRAHMA

Kata brahma memberikan tantangan lain kepada YM. Ñāṇamoli

pada usahanya untuk mencapai konsistensi sepenuhnya. Kata itu sendiri, pada masa Veda, awalnya berarti kekuatan suci, kekuatan keramat yang memelihara kosmos dan yang terhubung melalui doa-doa dan ritual-ritual Veda. Walaupun kata ini tetap mempertahankan makna penting “suci” atau “keramat,” namun pada masa Sang Buddha kata ini telah mengalami dua jalur perkembangan berbeda. Yang satu memuncak dalam gambaran Brahman (tanpa jenis kelamin) sebagai suatu realitas mutlak non- personal yang tersembunyi dan mewujudkan dirinya melalui fenomena dunia yang berubah-ubah. Konsep ini adalah kata kunci pada Upanishad, tetapi kata brahma tidak pernah muncul

dengan makna ini dalam Kanon Pāli. Jalur perkembangan lainnya memuncak dalam konsep Brahmā (sosok tunggal maskulin) sebagai sesosok Tuhan personal yang abadi yang menciptakan dan mengatur dunia. Konsep ini dianut oleh para brahmana seperti tergambar dalam sutta-sutta Pāli. Umat Buddhis sendiri menegaskan bahwa Brahmā bukanlah sesosok Tuhan pencipta tunggal melainkan nama kolektif bagi beberapa kelompok dewa tingkat tinggi yang para pemimpinnya, karena lupa bahwa mereka adalah makhluk-makhluk tidak kekal yang dicengkeram oleh kamma, cenderung menganggap diri mereka sebagai pencipta yang mahakuasa dan abadi (baca MN 49).

YM. Ñāṇamoli berusaha memenuhi tuntunan konsistensi ini dengan menerjemahkan kata brahma dalam berbagai

kemunculannya sebagai “tuhan” atau sejenisnya. Demikianlah Brahmā sebagai dewa diterjemahkan sebagai “kebrahmaan,”

brāhmaṇa (=brahmana) diterjemahkan sebagai “brahma” (sebagai

kata benda yang bermakna pendeta teologi), dan ungkapan

brahmacariya, yang mana brahma berfungsi sebagai kata sifat,

diterjemahkan sebagai “Kehidupan Brahma.” Akibat dari eksperimen ini sekali lagi mengorbankan kejelasan demi konsistensi, bahkan dengan resiko mengakibatkan kesalah- pahaman, dan oleh karena itu dalam proses revisi saya memutuskan untuk memperlakukan ungkapan-ungkapan ini selaras dengan praktik yang lebih konvensional. Demikianlah Brahmā dan brahmana dibiarkan tidak diterjemahkan (kata terakhir mungkin lebih akrab bagi para pembaca modern daripada kata benda kuno “tuhan”). Kata brahma, jika muncul dalam kata majemuk, biasanya diterjemahkan “suci” – misalnya,

brahmacariya sebagai “kehidupan suci” kecuali jika digunakan

untuk menyiratkan penghindaran sepenuhnya pada hubungan seksual, yang mana dalam konteks tersebut akan diterjemahkan sesuai makna yang dimaksudkan sebagai “selibat.” Akan tetapi, kata “brahma” telah dipertahankan dalam ungkapan

brahmavihāra, yang diterjemahkan sebagai “alam brahma” (MN

83.6) dengan merujuk pada meditasi “tidak terbatas” pada cinta kasih, belas kasih, kegembiraan altruistik, dan keseimbangan, yang merupakan kediaman Brahmā (MN 55.7) dan jalan menuju kelahiran kembali di alam Brahma (MN 99.22).