• Tidak ada hasil yang ditemukan

SANG BUDDHA DAN GURU-GURU YANG SEZAMAN DENGANNYA

Negeri Tengah di India di mana Sang Buddha hidup dan mengajar pada abad ke lima sebelum Masehi penuh dengan berbagai macam kepercayaan agama dan filosofi yang disebarkan oleh guru-guru yang juga bermacam-macam gaya hidupnya. Pengelompokan utama adalah para brahmana dan para petapa non-brahmana, samaṇa atau “pejuang.” Para

brahmana adalah kependetaan turun-temurun di India, pemelihara ortodoksi kuno. Mereka menerima Veda, yang mereka pelajari, mereka bacakan dalam banyak ritual, pengorbanan, dan upacara, dan menjadi sumber spekulasi filosofis mereka. Demikianlah mereka dikarakteristikkan dalam sutta-sutta sebagai kaum tradisionalis (anussavika), yang mengajarkan doktrin-doktrin mereka dengan berdasarkan tradisi lisan (MN 100.7). Kanon Pāli biasanya menggambarkan mereka sebagai menjalani kehidupan yang nyaman, menikah dan memiliki keturunan, dan dalam beberapa kasus juga menikmati perlindungan kerajaan. Yang lebih terpelajar di antara mereka mengumpulkan murid-murid – yang semuanya adalah berdarah brahmana – dan mengajarkan hymne-hymne Veda.

Sebaliknya, para samaṇa tidak menerima otoritas Veda, yang karena alasan itu dalam perspektif para brahmana mereka berada dalam peringkat sesat. Mereka biasanya hidup selibat, menjalani kehidupan meminta-minta, dan mendapatkan status mereka lebih karena secara sukarela meninggalkan keduniawian daripada karena kelahiran. Para samaṇa mengembara di pedalaman India kadang-kadang berkelompok, kadang-kadang sendirian, membabarkan doktrin-doktrin mereka kepada khalayak ramai, berdebat dengan para petapa lain, menekuni praktik spiritual mereka, yang seringkali melibatkan pertapaan keras (baca MN 51.8). Beberapa guru dalam kelompok samaṇa mengajar dengan berdasarkan pada penalaran dan spekulasi, sementara yang

lainnya mengajar dengan berdasarkan pada pengalaman mereka dalam meditasi. Sang Buddha menempatkan dirinya di antara kelompok terakhir, sebagai seorang yang mengajarkan Dhamma yang telah Beliau ketahui secara langsung (MN 100.7).

Pertemuan Sang Buddha dengan para brahmana biasanya bersahabat, pembicaraan mereka ditandai dengan keramah- tamahan dan saling menghormati. Beberapa sutta dalam Majjhima Nikāya membicarakan tentang klaim para brahmana sebagai yang lebih unggul daripada kelompok sosial lainnya. Pada masa Sang Buddha sistem pengkastaan baru saja mulai terbentuk di timur laut India dan belum berkembang menjadi tidak terhitung banyaknya sub-kelompok dan aturan-aturan kaku yang membelenggu masyarakat India selama berabad-abad. Masyarakat terbagi menjadi empat kelompok sosial: brahmana,

yang menjalankan fungsi-fungsi kependetaan; khattiya, para

bangsawan, prajurit, dan para pejabat; vessa, para pedagang

dan petani; dan sudda, para pekerja kasar dan para budak. Dari

sutta-sutta Pāli tampak bahwa para brahmana, walaupun memiliki otoritas dalam urusan religius, namun belum mencapai posisi pemimpin yang tidak boleh ditentang, yang harus mereka capai setelah diperkenalkannya hukum Manu. Akan tetapi,

mereka telah berangkat menuju dominasi dan melakukannya dengan menyebarkan tesis bahwa kaum brahmana adalah kasta tertinggi, keturunan Brahmā yang terberkahi oleh surga yang mampu mencapai pemurnian. Kekhawatiran bahwa klaim kaum brahmana ini adalah benar tampaknya telah menyebar di kalangan kerajaan, yang pasti merasa takut akan ancaman terhadap kekuasaan mereka (baca MN 84.4, MN 90.9-10).

Berlawanan dengan gagasan popular tertentu, Sang Buddha tidak secara eksplisit menolak pengelompokan masyarakat India atau memohon agar sistem sosial tersebut dihapuskan. Akan tetapi, di dalam Sangha, segala perbedaan kasta dibatalkan sejak saat penahbisan. Demikianlah orang-orang dari empat kasta yang

meninggalkan keduniawian di bawah Sang Buddha juga meninggalkan gelar kasta dan hak-haknya dan menjadi hanya dikenal sebagai para siswa putera Sakya (baca Ud 5:5/55). Ketika Sang Buddha atau para siswaNya dikonfrontasi dengan klaim superioritas kaum brahmana, mereka dengan penuh semangat membantahnya, berpendapat bahwa klaim demikian adalah tanpa dasar. Mereka berpendapat bahwa pemurnian adalah hasil dari perilaku, bukan kelahiran, dan dengan demikian dapat dicapai oleh orang-orang dari seluruh empat kasta (MN 40.13-14, MN 84, MN 90.12, MN 93). Sang Buddha bahkan melepaskan sebutan “brahmana” dari gelar turun-temurun itu, dan mengembalikannya pada konotasi asli sebagai orang suci, Beliau mendefinisikan brahmana sejati sebagai Arahant (MN 98). Mereka di antara para brahmana yang belum terhalangi oleh prasangka kasta menghargai ajaran Buddha. Beberapa brahmana terkemuka pada masa itu, yang pada mereka masih terbakar semangat Veda kuno merindukan cahaya, pengetahuan, dan kebenaran, mengenali Kemaha-tercerahkan pada Sang Buddha yang mereka idamkan dan menyatakan diri mereka sebagai siswa Beliau (baca khususnya MN 91.34). Beberapa di antaranya bahkan meninggalkan hak-hal kastanya dan bersama dengan para pengikutnya memasuki Sangha (MN 7.22, MN 92.15-24).

Para samaṇa terdiri dari kelompok yang lebih bermacam- ragam lagi yang, karena tidak memiliki otoritas kitab yang sama, mengajarkan doktrin filosofis yang berlebihan dari yang menyeramkan hingga ketuhanan. Kanon Pāli sering menyebutkan enam guru tertentu sebagai guru yang sezaman dengan Sang Buddha, dan karena mereka digambarkan sebagai “pemimpin kelompok … dianggap oleh banyak orang sebagai orang suci” (MN 77.5), maka mereka pasti cukup berpengaruh pada masa itu. Majjhima Nikāya menyebutkan baik keenam itu sebagai sekelompok maupun secara terpisah, menyatakan doktrin-doktrin mereka masing-masing; akan tetapi tidak menghubungkan nama

dengan doktrinnya. Hubungan antara nama dan doktrin disebutkan dalam Sāmaññaphala Sutta dari Digha Nikāya.

Pūraṇa Kassapa, yang selalu disebutkan pertama dalam daftar, mengajarkan doktrin tanpa-perbuatan (akiriyavāda) yang

menyangkal kebenaran perbedaan moral (MN 60.13, MN 76.10). Makkhali Gosāla adalah pemimpin dari suatu sekte yang disebut Ājivaka (atau Ājivika), yang bertahan di India hingga masa pertengahan. Ia mengajarkan doktrin fatalisme yang menyangkal kausalitas (ahetukavāda) dan menyatakan bahwa keseluruhan

proses kosmis secara pasti dikendalikan oleh suatu prinsip yang disebut nasib atau takdir (niyati); makhluk-makhluk tidak memiliki

kendali kehendak atas perbuatan-perbuatan mereka tetapi bergerak tanpa daya dalam cengkeraman nasib (MN 60.21, MN 76.13). Ajita Kesakambalin adalah seorang nihilis moral (natthikavāda) yang mengemukakan filosofi materialis yang

menolak penjelmaan setelah kematian dan pembalasan kamma (MN 60.5, MN 76.7); doktrinnya selalu dikutip oleh Sang Buddha sebagai contoh paradigma pandangan salah di antara perjalanan perbuatan tidak bermanfaat. Pakudha Kaccāyana mengajarkan suatu atomisme dengan berdasarkaṇ pada hal itu ia menolak pendirian dasar moralitas (MN 76.16). Sañjaya Bellaṭṭhiputta, seorang skeptis, menolak untuk mengambil posisi atas persoalan moral dan filosofi penting pada masa itu, mungkin karena mengakui pengetahuan demikian adalah di luar kapasitas kita untuk memverifikasi (MN 76.30). Guru ke enam, Nigaṇṭha Nātaputta, yang diidentifikasikan sebagai Mahāvira, leluhur historis dari Jainisme. Ia mengajarkan bahwa ada pluralitas entitas jiwa yang terperangkap dalam materi melalui pertalian kamma lampau dan bahwa jiwa itu harus dibebaskan dengan menghabiskan pertalian kamma melalui praktik keras menyiksa- diri.

Sementara sutta-sutta Pāli pada umumnya ramah namun kritis terhadap kaum brahmana, sutta-sutta juga tajam dalam

penolakan terhadap doktrin saingan dari para samaṇa. Dalam satu sutta (MN 60) Sang Buddha berpendapat bahwa penerimaan kuat pada salah satu dari tiga doktrin pertama (dan secara tersirat yang ke empat) melibatkan suatu rantai kondisi- kondisi tidak bermanfaat yang menghasilkan kamma buruk yang cukup kuat untuk turun ke alam rendah. Dengan cara serupa Yang Mulia Ānanda menjelaskan pandangan-pandangan ini sebagai empat “peniadaan kehidupan Suci” (MN 76). Skeptisisme Sañjaya, walaupun tidak dianggap sangat menyesatkan, dianggap sebagai suatu indikasi atas dukungan pada ketumpulan dan kebingungannya; ini digambarkan sebagai “geliat-belut” (amarāvikkhepa) karena pengelakannya dan dikelompokkan di antara jenis-jenis kehidupan suci yang tanpa penghiburan (MN 76.30-31). Doktrin Jain, walaupun memiliki kemiripan tertentu dengan ajaran Buddha, dianggap cukup keliru dalam asumsi dasar yang memunculkan penyangkalan, yang dilakukan Sang Buddha dalam beberapa kesempatan (MN 14, MN 56, MN 101). Perspektif Buddhis, agar menjadi ukuran yang diperlukan tidak hanya menyuarakan peringatan yang jelas terhadap pendirian yang secara spiritual merusak, tetapi juga untuk memotong rintangan-rintangan terhadap penerimaan pandangan benar, yang sebagai pelopor dari jalan Sang Buddha (MN 117.4) adalah merupakan prasyarat untuk maju di sepanjang jalan menuju kebebasan akhir.