• Tidak ada hasil yang ditemukan

Praktik jalan Buddhis berkembang dalam dua tahap berbeda, tahap lokiya (duniawi) atau persiapan dan tahap lokuttara (adi- duniawi) atau kesempurnaan. Jalan lokiya dikembangkan ketika siswa menjalani latihan bertahap dalam moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Hal ini mencapai puncaknya dalam praktik meditasi pandangan terang, yang memperdalam pengalaman langsung pada ketiga karakteristik kehidupan. Ketika indria-indria si praktisi telah sampai pada tingkat kematangan yang mencukupi, maka jalan lokiya memunculkan jalan lokuttara, disebut demikian karena mengarah secara langsung dan tanpa gagal keluar dari (uttara) dunia (loka) yang terdiri dari tiga alam

kehidupan menuju pencapaian “elemen tanpa-kematian,” Nibbāna.

Kemajuan sepanjang jalan lokuttara ditandai oleh empat penembusan, yang masing-masingnya mengantarkan sang siswa melewati dua tahap di bawahnya yang disebut jalan (magga) dan buahnya (phala). Tahap jalan memiliki fungsi khusus untuk melenyapkan sejumlah tertentu kekotoran yang secara langsung berlawanan, rintangan batin yang menahan kita dalam keterikatan lingkaran kelahiran kembali. Ketika pekerjaan sang jalan telah

selesai, sang siswa merealisasikan buah yang bersesuaian, tingkat kebebasan yang dapat dijangkau oleh jalan tersebut. Formula kanonis pujian kepada Sangha merujuk secara lurus pada empat bidang kebebasan ini – masing-masing dengan tahap jalan dan buah – ketika memuji komunitas para siswa mulia Sang Bhagavā sebagai terdiri dari “empat pasang makhluk, delapan jenis individu” (MN 7.7). Keempat pasang ini diperoleh dengan menghitung, pada masing-masing tingkat, seorang yang telah memasuki jalan untuk merealisasi buah dan seorang yang telah mencapai buah.

Dalam sutta-sutta Sang Buddha menggaris-bawahi karakteristik spesifik dari tiap-tiap tahap lokuttara dalam dua cara: dengan menyebutkan kekotoran-kekotoran yang ditinggalkan pada tiap-tiap bidang dan akibat dari pencapaian itu dalam hal proses kelahiran kembali (baca, misalnya, MN 6.11-13, 19; MN 22.42-45, dan sebagainya). Beliau merumuskan pelenyapan kekotoran-kekotoran ini dengan pengelompokan dalam sepuluh kelompok yang disebut sepuluh belenggu (saṁyojana). Sang siswa memasuki jalan lokuttara pertama apakah sebagai seorang pengikut-Dhamma (dhammānusārin) atau sebagai seorang pengikut-keyakinan (saddhānusārin); yang pertama adalah

seorang yang padanya kebijaksanaan adalah indria yang menonjol, yang ke dua adalah seorang yang maju dengan didorong oleh keyakinan. Jalan ini, jalan memasuki-arus, memiliki tugas melenyapkan tiga belenggu yang paling kasar: pandangan identitas, yaitu, pandangan diri di antara kelima kelompok unsur kehidupan; keragu-raguan pada Buddha dan ajaranNya; dan ketaatan pada ritual dan upacara eksternal, apakah ritualistik atau pertapaan, dengan kepercayaan bahwa ritual dan upacara tersebut dapat membawa pemurnian. Ketika sang siswa merealisasi buah dari jalan ini maka ia menjadi seorang pemasuk- arus (sotāpanna), yang telah memasuki “arus” Jalan Mulia

menuju Nibbāna. Pemasuk-arus pasti mencapai kebebasan akhir dalam maksimum tujuh kali kelahiran lagi, yang semuanya terjadi baik di alam manusia maupun di alam surga.

Jalan lokuttara ke dua melemahkan akar kekotoran-kekotoran nafsu, kebencian, dan delusi hingga tingkat yang lebih jauh lagi, walaupun belum melenyapkannya. Ketika merealisasi buah dari jalan ini sang siswa menjadi seorang yang-kembali-sekali (sakadāgāmin), yang masih harus kembali ke alam ini (yaitu, alam

indria) hanya satu kali lagi dan kemudian mengakhiri penderitaan. Jalan ke tiga melenyapkan dua belenggu berikutnya, yaitu keinginan indria dan permusuhan; jalan ini menghasilkan buah yang-tidak-kembali (anāgāmin), yang akan muncul melalui

kelahiran spontan di salah satu alam surga khusus yang disebut Alam Murni, dan di sana mencapai Nibbāna akhir tanpa pernah kembali dari alam itu.

Jalan lokuttara ke empat dan terakhir adalah jalan Kearahantaan. Jalan ini melenyapkan lima belenggu yang lebih tinggi: keinginan pada kelahiran kembali di alam bermateri halus dan di alam tanpa materi, keangkuhan, kegelisahan, dan ketidak- tahuan. Dengan merealisasi buah dari jalan ini sang praktisi menjadi seorang Arahant, seorang yang terbebaskan sepenuhnya, yang “di sini dan saat ini masuk dan berdiam dalam kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan yang tanpa noda dengan hancurnya noda-noda.” Arahant akan dibahas lebih jauh lagi pada bagian berikutnya.

Komentar-komentar (sering kali dirujuk dalam catatan pada terjemahan ini) mengembangkan suatu interpretasi jalan dan buah berdasarkan pada sistematika ajaran Buddha yang dikenal sebagai Abhidhamma. Dengan mengambil gambaran dari Abhidhamma tentang pikiran sebagai suatu rangkaian tindakan kesadaran momen demi momen yang nyata, yang disebut citta, komentar memahami masing-masing jalan lokuttara sebagai suatu peristiwa kesadaran tunggal yang muncul pada puncak

serangkaian pandangan terang ke dalam Dhamma. Masing- masing dari empat citta dari jalan momen demi momen melenyapkan kelompok kekotorannya masing-masing, yang segera diikuti oleh buahnya, yang terdiri dari serangkaian citta momen demi momen yang menikmati kebahagiaan Nibbāna yang dimungkinkan melalui penembusan sang jalan. Walaupun konsep jalan dan buah ini sering digunakan oleh para komentator sebagai suatu alat untuk menginterpretasikan sutta-sutta, namun tidak diformulasikan secara eksplisit demikian dalam Nikāya-nikāya tua dan sering kali bahkan tampak ada perbedaan antara keduanya (misalnya, dalam paragraf pada MN 142.5 yang menjelaskan keempat individu yang berada pada sang jalan sebagai penerima persembahan yang berbeda).

ARAHANT

Sosok ideal dari Majjhima Nikāya, seperti halnya Kanon Pali secara keseluruhan, adalah Arahant. Kata “Arahant” itu sendirinya diturunkan dari akar kata yang bermakna “menjadi mulia.” YM. Ñāṇamoli menerjemahkannya “sempurna” dan “Yang Sempurna” ketika digunakan sebagai gelar pada Sang Buddha, mungkin agar konsisten dengan praktik penerjemahan semua gelar Sang Buddha. Dalam teks lainnya ia membiarkannya tidak diterjemahkan. Kata ini tampaknya telah beredar sejak masa sebelum Buddhis tetapi diambil-alih oleh Sang Buddha untuk menyebutkan individu yang telah mencapai buah akhir dari sang jalan.

Sutta-sutta menggunakan penjelasan umum Arahant yang dirangkum dari kesempurnaannya: ia adalah “seorang dengan noda-noda dihancurkan, yang telah menjalani kehidupan suci, telah melakukan apa yang harus dilakukan, telah menurunkan beban, telah mencapai tujuannya, telah menghancurkan belenggu-belenggu penjelmaan, dan sepenuhnya terbebaskan

melalui pengetahuan akhir” (MN 1.51, dan sebagainya). Variasi penjelasan lainnya menekankan aspek-aspek berbeda dari pencapaian Arahant. Demikianlah satu sutta memberikan serangkaian gelar metafora yang Sang Buddha sendiri mengartikannya sebagai merepresentasikan Arahant, yaitu ditinggalkannya ketidak-tahuan, ketagihan, dan keangkuhan, dilenyapkannya belenggu-belenggu, dan kebebasannya dari lingkaran kelahiran (MN 22.30-35). Di tempat lain Sang Buddha memberikan sekumpulan gelar lainnya kepada Arahant – beberapa dari istilah brahmanis – menurunkan istilah-istilah ini dengan etimologi imaginatif dari pelenyapan segala kondisi tidak bermanfaat oleh Sang Arahant (MN 39.22-29).

Majjhima mencatat perbedaan jenis di antara para Arahant, yang dilihat dari keberagaman indria-indria mereka. Dalam MN 70 Sang Buddha memperkenalkan perbedaan mendasar antara para Arahant yang “terbebaskan-dalam-kedua-cara” dan mereka yang “terbebaskan-melalui-kebijaksanaan”: sementara yang pertama mampu berdiam dalam pencapaian-pencapaian tanpa materi, yang ke dua tidak memiliki kemampuan tersebut. Para Arahant lebih jauh lagi dibedakan menurut apa yang mereka miliki, selain dari pengetahuan hancurnya noda-noda dan seluruh enam pengetahuan langsung. Dalam MN 108 Yang Mulia Ānanda menyatakan bahwa para Arahant itu yang memiliki enam pengetahuan langsung adalah layak menerima penghormatan istimewa dan memiliki otoritas dalam Sangha setelah Sang Buddha wafat.

Akan tetapi, di bawah perbedaan-perbedaan kecil ini, semua Arahant sama dalam hal pencapaian penting – hancurnya semua kekotoran dan kebebasan dari kelahiran kembali di masa depan. Mereka memiliki tiga kualitas yang tidak terlampaui – penglihatan yang tidak terlampaui, praktik sang jalan yang tidak terlampaui, dan kebebasan yang tidak terlampaui (MN 35.26). Mereka memiliki sepuluh faktor dari seorang yang melampaui latihan –

delapan faktor Jalan Mulia Berunsur Delapan ditambah dengan pengetahuan benar dan kebebasan benar (MN 65.34, MN 78.14). Mereka memiliki empat landasan – landasan kebijaksanaan, kebenaran, pelepasan, dan kedamaian (MN 140.11). Dan dengan dilenyapkannya nafsu, kebencian, dan delusi, semua Arahant memiliki akses pada pencapaian meditatif yang khas yang disebut buah pencapaian Kerahattaan, dijelaskan sebagai kebebasan pikiran yang tidak tergoyahkan, kebebasan pikiran yang tanpa batas, kebebasan pikiran yang hampa, kebebasan pikiran melalui kekosongan, dan kebebasan pikiran tanpa gambaran (MN 43.35-37).