• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam Majjhima Nikāya Sang Buddha sering membabarkan praktik sang jalan sebagai suatu latihan bertahap (anupubbasikkhā), yang mengungkapkan tahap-tahapan dari langkah pertama hingga tujuan akhir. Latihan bertahap ini adalah pembagian yang lebih halus dari ketiga pembagian sang jalan ke

dalam moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Tanpa kecuali dalam sutta-sutta urutan latihan bertahap ditunjukkan dengan meninggalkan keduniawian menuju kehidupan tanpa rumah dan menjalani gaya hidup seorang bhikkhu. Hal ini segera mengalihkan perhatian pada pentingnya kehidupan monastik dalam Pengajaran Buddha. Secara prinsip keseluruhan praktik Jalan Mulia Berunsur Delapan terbuka bagi semua orang dari segala gaya hidup, monastik atau awam, dan Sang Buddha menegaskan bahwa banyak para pengikut awamnya telah sempurna dalam Dhamma dan telah mencapai tiga tingkat pertama dari empat tingkat lokuttara (MN 68.18-23; MN 73.9-22; posisi Theravāda adalah bahwa umat awam juga dapat mencapai tingkat ke empat, Kearahantaan, tetapi setelah mencapainya mereka segera meninggalkan keduniawian atau meninggal dunia). Akan tetapi, faktanya adalah bahwa kehidupan rumah tangga tidak dapat dihindarkan cenderung merintangi pencarian yang sungguh-sungguh pada kebebasan karena mengurus banyak urusan duniawi dan kemelekatan personal. Karena itu Sang Buddha sendiri meninggalkan keduniawian menuju kehidupan tanpa rumah sebagai langkah awal dalam pencarian muliaNya sendiri, dan setelah pencerahanNya Beliau mendirikan Sangha, kumpulan para bhikkhu dan bhikkhunī, sebagai wadah bagi mereka yang sepenuhnya ingin menekuni praktik ajaranNya tanpa dibelokkan oleh kesibukan kehidupan rumah tangga.

Paradigma utama bagi latihan bertahap yang terdapat dalam Majjhima Nikāya adalah yang ditetapkan dalam MN 27 dan MN 51; versi alternatif terdapat pada MN 38, MN 39, MN 53, MN 107, dan MN 125, dan beberapa variasi yang lebih penting akan disebutkan secara singkat. Urutannya dibuka dengan munculnya seorang Tathāgata di dunia dan pembabaran Dhamma, yang dengan mendengarkannya sang siswa memperoleh keyakinan dan mengikuti Sang Guru menuju kehidupan tanpa rumah. Setelah meninggalkan keduniawian, ia menerima dan menjalani

aturan-aturan disiplin yang memajukan pemurnian perilaku dan penghidupan. Ketiga langkah berikutnya – kepuasan, pengendalian organ indria, dan perhatian dan kewaspadaan penuh – dimaksudkan untuk menginternalisasi proses pemurnian dan dengannya menjembatani transisi dari moralitas menuju konsentrasi. Versi aternatif (MN 39, MN 53, MN 107, MN 125) menyisipkan dua langkah tambahan di sini, makan secukupnya dan menekuni keawasan.

Latihan langsung dalam konsentrasi tampak menonjol dalam bagian ditinggalkannya kelima rintangan. Kelima rintangan – keinginan indria, permusuhan, kelambanan dan ketumpulan, kegelisahan dan penyesalan, dan keragu-raguan – adalah rintangan utama pada pengembangan meditatif dan oleh karena itu pelenyapannya adalah penting bagi pikiran agar ditenangkan dan dipusatkan. Dalam urutan latihan bertahap penanggulangan rintangan-rintangan diperlakukan secara skematis; bagian-bagian lain dari Kanon memberikan instruksi yang lebih praktis, yang lebih diperkuat lagi dalam komentar. Paragraf tentang rintangan- rintangan diperindah dalam MN 39 dengan serangkaian perumpamaan yang mengilustrasikan perlawanan antara keterikatan oleh rintangan-rintangan dan kegembiraan dari kebebasan yang diperoleh ketika rintangan-rintangan itu ditinggalkan.

Tahap berikutnya dalam urutan itu menjelaskan pencapaian

jhāna-jhāna, keadaan konsentrasi yang mendalam di mana pikiran menjadi sepenuhnya terserap dalam objeknya. Sang Buddha menjelaskan empat jhāna, yang dinamai dari posisi numeriknya dalam rangkaian itu, masing-masingnya lebih halus dan lebih tinggi daripada pendahulunya. Jhāna-jhāna selalu dijelaskan dengan formula yang sama, yang dalam beberapa sutta (MN 39, MN 77, MN 119) diperkuat dengan perumpamaan- perumpamaan yang sangat indah. Walaupun dalam tradisi Theravāda jhāna-jhāna tidak dianggap sebagai suatu keharusan

untuk mencapai pencerahan, namun Sang Buddha tanpa kecuali memasukkannya dalam latihan bertahap lengkap karena kontribusinya pada kesempurnaan intrinsik sang jalan dan karena konsentrasi mendalam yang dihasilkan memberikan landasan kuat bagi pengembangan pandangan terang. Bahkan ketika masih lokiya jhāna-jhāna adalah “jejak kaki Sang Tathāgata” (MN 27.19-22) dan pertanda bagi kebahagiaan Nibbāna yang terletak di akhir latihan.

Dari jhāna ke empat tiga jalur alternative bagi pengembangan selanjutnya menjadi mungkin. Dalam sejumlah paragraf di luar urutan latihan bertahap (MN 8, MN 25, MN 26, MN 66, dan sebagainya) Sang Buddha menyebutkan empat keadaan meditatif yang melanjutkan keterpusatan yang ditegakkan oleh jhāṅa. Keadaan-keadaan ini, yang digambarkan sebagai “kebebasan-kebebasan yang damai dan tanpa-materi,” adalah, seperti halnya jhāna, juga lokiya. Dibedakan dari jhāna-jhāna karena melampaui gambaran pikiran halus yang membentuk objek dalam jhāna, keadaan-keadaan ini dinamai menurut objek luhurnya sendiri: landasan ruang tanpa batas, landasan kesadaran tanpa batas, landasan kekosongan, dan landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi. Dalam komentar- komentar Pāli keadaan-keadaan ini disebut jhāna-jhāna tanpa materi atau tanpa bentuk (arūpajjhāna).

Jalur pengembangan ke dua yang diungkapkan oleh sutta- sutta adalah perolehan pengetahuan supernormal. Sang Buddha sering menyebutkan enam jenis sebagai satu kelompok, yang kemudian disebut enam jenis pengetahuan langsung (chaḷabhiññā; sebutan ini tidak muncul dalam Majjhima). Yang terakhir dari ini, yaitu pengetahuan hancurnya noda-noda, adalah lokuttara dan dengan demikian menjadi bagian dari jalur pengembangan ke tiga. Tetapi lima lainnya semuanya adalah lokiya, produk dari konsentrasi pikiran tingkat tinggi yang luar biasa yang dicapai dalam jhāna ke empat: kekuatan-kekuatan

supernormal, telinga dewa, kemampuan membaca pikiran orang lain, mengingat kehidupan lampau, dan mata dewa (MN 6, MN 73, MN 77, MN 108).

Jhāna-jhāna dan jenis-jenis pengetahuan langsung lokiya secara sendiri-sendiri tidak menghasilkan pencerahan dan kebebasan. Seluhur dan sedamai apapun pencapaian- pencapaian ini, hanya dapat menekan kekotoran-kekotoran yang mempertahankan kelangsungan kelahiran kembali tetapi tidak dapat melenyapkannya. Untuk mencabut kekotoran-kekotoran pada tingkat yang paling mendasar, dan dengannya mencapai buah pencerahan dan kebebasan, proses meditatif harus diarahkan pada jalur pengembangan ke tiga, pengembangan yang tidak harus mensyaratkan dua pengembangan sebelumnya. Ini adalah perenungan “segala sesuatu sebagaimana adanya,” yang menghasilkan pandangan terang yang lebih dalam ke pada sifat kehidupan dan memuncak dalam tujuan akhir, pencapaian Kearahantaan.

Jalur pengembangan ini adalah apa yang Sang Buddha ikuti dalam urutan latihan bertahap, walaupun Beliau mendahuluinya dengan penjelasan atas dua pengetahuan langsung, yaitu pengingatan kehidupan lampau dan mata dewa. Ketiganya bersama-sama, yang digambarkan dengan sangat menonjol dalam pencerahan Sang Buddha sendiri (MN 4.27-30), secara kolektif disebut tiga pengetahuan sejati (tevijjā). Walaupun dua yang pertama tidak penting bagi realisasi Kearahantaan, namun kita dapat beranggapan bahwa Sang Buddha memasukkannya di sini karena pengetahuan-pengetahuan itu mengungkapkan dimensi yang luas dan mendalam atas penderitaan dalam saṁsāra dan karenanya mempersiapkan pikiran untuk penembusan Empat Kebenaran Mulia, yang mana penderitaan itu didiagnosa dan diatasi.

Proses perenungan yang dengannya meditator mengembangkan pandangan terang tidak secara eksplisit

ditunjukkan demikian dalam urutan latihan bertahap. Hanya disiratkan dengan memperlihatkan buah akhirnya, di sini disebut pengetahuan hancurnya noda-noda. Āsava atau noda-noda

adalah pengelompokan kekotoran-kekotoran yang dianggap berperan dalam mempertahankan lingkaran saṁsāra. Komentar- komentar menurunkan kata ini dari akar kata su yang bermakna

“mengalir.” Para terpelajar membedakannya sehubungan dengan apakah aliran ini yang disiratkan oleh awalan ā adalah ke dalam atau ke luar; karena itu beberapa orang menerjemahkannya sebagai “aliran masuk,” dan yang lainnya sebagai “aliran keluar.” Kalimat umum dalam sutta-sutta menunjukkan pentingnya kata ini tidak bergantung pada etimologi ketika menjelaskan āsava

sebagai kondisi-kondisi “yang mengotori, yang membawa penjelmaan baru, memberikan kesulitan, matang dalam penderitaan, dan mengarah pada kelahiran, penuaan, dan kematian” (MN 36.47, dan sebagainya). Demikianlah para penerjemah lainnya, dengan mengabaikan makna literalnya, telah menerjemahkannya sebagai “borok,” “pembusukan,” atau “noda- noda,” yang terakhir adalah pilihan YM. Ñāṇamoli. Ketiga noda yang disebutkan dalam sutta-sutta sebenarnya adalah bersinonim dengan ketagihan pada kenikmatan indria, ketagihan pada penjelmaan, dan ketidak-tahuan yang muncul pada awal formula kemunculan bergantungan. Ketika pikiran sang siswa telah terbebaskan dari noda-noda dengan selesainya jalan Kearahantaan, ia meninjau kembali kebebasan yang baru saja ia menangkan dan mengaumkan auman singanya: “Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan lagi kembali pada kondisi makhluk apapun.”