• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asal-usul Pembentukan Fikih (Hukum Islam)

BAB III EKSPLORASI TERHADAP AL-MÂWARDIY

C. Metodologi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah

1. Asal-usul Pembentukan Fikih (Hukum Islam)

Selama Nabi masih hidup, dialah yang menjadi pembimbing agama dan politik satu-satunya bagi kaum Muslimin, baik melalui wahyu Alquran maupun dengan ucapan-ucapan dia sendiri di luar Alquran, serta tingkah lakunya. Dengan kematiannya Alquran tetap utuh, namun bimbingan keagamaannya yang otoritatif dan pribadi menjadi terputus. Keempat khalifah yang pertama menangani situasi-situasi baru yang terus timbul dengan jalan menerapkan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka di bawah sinaran Alquran dan pelajaran yang mereka terima dari Nabi.230

Abad berikutnya (dari kira-kira 50-150 H/670-767 M), adalah abad yang patut dicatat, karena adanya pertumbuhan suatu fenomena yang tepatnya dijelaskan sebagai fenomena metodologi keagamaan dalam ketiadaan bimbingan yang hidup dari Nabi dan dari generasi Sahabat yang paling awal.231

Manifestasi pertama dari fenomena tersebut dikenal sebagai hadis atau tradisi Nabi, yang kemudian dikumpulkan dalam satu seri kumpulan-kumpulan, enam di antaranya [al-kutub al-sittah], yang ditulis pada abad ke-3 H/9 M,

230

Fazlur Rahman, Islam, h. 51 231 Fazlur Rahman, Loc. Cit.

kemudian dianggap sebagai sumber otoritatif kedua tentang Islam sesudah Alquran.232

Hadis (yang secara harfiah berarti ceritera, penuturan, atau laporan) sebagaimana yang dikenal sekarang, adalah sebuah narasi, biasanya sangat singkat dan bertujuan memberikan informasi tentang apa yang dikatakan Nabi, dilakukan, disetujui atau tidak disetujui olehnya, juga informasi yang sama mengenai para Sahabat, terutama Sahabat-sahabat senior, dan lebih khusus lagi, mengenai keempat khalifah yang pertama. Setiap hadis mengandung dua bagian, teks [matn] dan mata-rantai transmisi atau sanad-nya, yang menyebutkan nama-nama penuturnya [râwy], yang menjadi dukungan bagi teks hadis tersebut.233

Sementara pada masa Nabi hidup, orang-orang berbicara tentang apa yang dikatakan atau dilakukan oleh dia sebagaimana mereka berbicara tentang hal-hal sehari-hari mereka, maka setelah dia wafat pembicaraan tersebut lalu berubah menjadi suatu fenomena yang disengaja dan penuh kesadaran, karena suatu generasi baru sedang tumbuh, yang tidak menemui masa hidup Nabi, yang dengan sewajarnya menanyakan tentang perilaku Nabi.234 Apalagi, seiring dengan munculnya situasi-kondisi baru yang luas dan kompleks, munculnya kontroversi-kontroversi dalam sebagian besar masalah, termasuk dalam bidang teologi dan moral, terutama di mana pengaruh-pengaruh asing telah masuk, maka generasi baru umat Islam pun membutuhkan norma keagamaan yang praktis. Dalam kerangka orientasi praktis dan bersifat peneladanan terhadap Nabi atau untuk memperoleh landasan normatif dari dia inilah, hadis ditransmisikan.

232 Fazlur Rahman, Loc. Cit.

233

Fazlur Rahman, Ibid., hal. 68 234 Fazlur Rahman, Ibid., hal. 69

Karena itu, untuk memberikan normatifitas kepada pandangan-pandangan atau praktek-praktek yang aktual, orang-orang mulai melancarkan kampanye besar-besaran dan massal untuk menstandardisir hadis dan mengkodifikasikannya, dan menolak penafsiran-penafsiran keagamaan yang ekstrem, baik tentang dogma-dogma maupun hukum-hukum. Sesungguhnya, untuk menghadapi ekstremisme dan penafsiran sewenang-wenang yang sudah gawatlah hadis terjun ke dalam arena dengan skala besar-besaran. Itulah sebabnya mengapa kodifikasi massal hadis sebagai suatu disiplin, bermula menjelang abad ke-1 H/awal abad ke-8 M.235 Hal ini menjurus kepada pengenalan dan penyempurnaan mata-rantai transmisinya, yang mencerminkan suatu kebutuhan dasar yang nyata akan suatu macam kanonisasi pengalaman-pengalaman interpretatif-asimilatif dari kaum Muslimin terhadap ajaran-ajaran Nabi yang dianggap otentik.

Akan tetapi, dalam proses kanonisasi ini juga terkandung dua kemungkinan bahaya. Pertama, dengan merujukkan setiap doktrin teologis, dogmatis dan hukum kepada otoritas Nabi sebagaimana dituntut oleh logika fenomena hadis, maka proses interpretasi akan terhenti. Atau kedua, apabila proses kreatif tersebut terus dilanjutkan, maka produksi hadis dan atau pemalsuan hadis secara terus-menerus akan terjadi. Dalam kenyataannya, kedua macam kekhawatiran ini saling berkaitan.236

Namun demikian, sampai kira-kira pertengahan abad ke-3 H/9 M, teologi dan hukum terus berkembang di bawah perlindungan hadis, demikian pula

235

Fazlur Rahman, Ibid., hal. 76 236 Fazlur Rahman, Ibid., hal. 77

kegiatan seleksi hadis yang "asli" dari yang "lemah" dan yang "palsu". Masa ini adalah juga masa pembentukan dan konsolidasi ortodoksi.237

Dalam bidang hukum, pada akar konsepsi hukum Islam terletak ide bahwa hukum esensinya adalah religius dan berjalan berkelindan secara religius. Itulah sebabnya mengapa sejak dari awal mula sejarah Islam, hukum sudah dipandang bersumber dari Syarî‘ah (pola perilaku yang diberikan Tuhan untuk menjadi tuntunan bagi manusia) atau sebagai bagian darinya.238

Satu-satunya cara yang wajar yang harus dipakai dalam prosedur penafsiran hukum untuk aplikasi yang sesuai dari Alquran terhadap suatu situasi yang baru adalah melihat Alquran dalam keadaan sebagaimana ia benar-benar telah beroperasi dalam masa hidup Nabi, yang merupakan eksponen faktualnya yang berwenang, dan yang perilakunya memiliki kenormatifan religius yang tersendiri. Inilah sunah atau hadis Nabi. Oleh karena pada akhir abad ke-1 H/awal 8 M banyak materi yang masif telah dimasukkan ke dalam bidang sunah dari sumber-sumber yang berbeda, maka kemudian dikenakanlah predikat ‘yang telah disepakati’ (ijmak) kepada sunah,239 bukan hadis.

Selama masa keempat khalifah yang pertama (sampai kira-kira 40 H/660 M), hukum hampir tak bisa dipisahkan atau bahkan dibedakan dari pemerintahan. Pada masa ini legislasi, dapat dikatakan, dilakukan oleh khalifah sendiri, karena dalam prakteknya hal itu dilakukan oleh umat Islam pada umumnya atau oleh anggota masyarakat yang senior. Akan tetapi pada masa kekuasaan dinasti ‘Umâwiyyah, pemerintahan mengambil bentuk otokrasi yang berkuasa yang

237 Fazlur Rahman, Loc. Cit.

238

Fazlur Rahman, Ibid., hal. 91 239 Fazlur Rahman, Ibid., hal. 94

menjadi jelas berbeda dari rakyat. Penguasa-penguasa dinasti ‘Umâwiyyah melaksanakan pemerintahannya dari Damaskus, dengan mengambil pedoman terutama dari Alquran dan sunah, tetapi dengan penafsiran oleh penasehat-penasehat dan pejabat-pejabat pemerintahan dengan prinsip kepentingan sendiri dan dalam sinaran praktek-praktek lokal di setiap propinsi yang berbeda-beda. Menghadapi otorita awam ini, pemuka-pemuka masyarakat keagamaan yang berpusat di Madinah mulai menyusun kumpulan hukum Islam (fikih). Praktek lokal daerah Hijaz tak syak lagi merupakan faktor penting dalam kumpulan hukum mereka. Dengan segera kegiatan legislatif keagamaan juga timbul di Irak, Basra dan Kufa. Jadi, negara pada waktu itu adalah lembaga eksekutif yang menerapkan hukum syariat sebagaimana yang dirumuskan oleh otorita hukum setempat di masing-masing propinsi.240

Khalifah-khalifah ‘Abbâsiyyah memberikan perhatian dan validitas sepenuhnya kepada hukum syariat dan menyempurnakan mekenisme penerapannya. Tetapi beberapa perkembangan baru timbul. Tidak hanya para khalifah mulai memberlakukan hukum-hukum khusus buatan mereka sendiri untuk menghadapi situasi-situasi yang mendesak, tapi juga muncul kumpulan hukum yang baru, walupun kecil, yang dibuat oleh otorita-otorita awam untuk melengkapi hukum syariat. Para ahli hukum (fuqahâ’) yang terkemudian, termasuk Al-Mâwardiy, mencoba sedikit demi sedikit untuk mengintegrasikan hukum yang baru ini ke dalam hukum syariat.241

240

Fazlur Rahman, Ibid., hal. 108. 241 Fazlur Rahman, Ibid., hal. 109