BAB III EKSPLORASI TERHADAP AL-MÂWARDIY
A. Substansi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah
5. Mekanisme Pengangkatan Imam
Dalam "negara agama" sebagaimana dikonsepsikan al-Mâwardiy, kedaulatan adalah milik Tuhan. Maka, wewenang dan kekuasaan pun harus dijalankan sesuai dengan Kehendak Tuhan. Pengesahan seseorang untuk menjadi Imam juga harus menggunakan mekanisme yang dipahami dan diyakini sebagai bagian dari ajaran Tuhan (syariat). Bagi kalangan ortodoks seperti al-Mâwardiy, ketentuan mekanisme itu tidak cukup deserahkan kepada akal bebas manusia, meskipun tidak ada nas dalam Alquran maupun sunah mengenai hal itu.135 Jalan yang kemudian ditempuh al-Mâwardiy untuk memperoleh ketentuan mekanisme pemilihan dan pengangkatan Imam adalah meneliti praktek-praktek dan kesepakatan-kesepakatan (ijmak) yang dilakukan oleh generasi sebelumnya, terutama generasi Sahabat.
134 Maksud ijmak dalam ketentuan ini adalah kesepakatan para Sahabat dalam pertemuan di Saqîfah Banî Sâ’idah untuk memilih khalîfah (pengganti) kepemimpinan Rasul, pada hari setelah ia wafat. Pada saat itu terjadi pertentangan sengit antara kelompok Sahabat Muhajirin dan Ansar untuk memperebutkan posisi itu, yang pada akhirnya mereka sepakat (’ajma‘a) bahwa yang berhak menjadi imâm/khalîfah adalah dari kalangan Muhajirin suku Quraisy. Lihat Al-Mâwardiy,
Loc. Cit., dan tesis ini pada halaman 3, catatan kaki ke-6. 135
Dalam masalah ini tentu harus dikecualikan pendapat golongan Syî‘ah yang meyakini bahwa
Menurut al-Mâwardiy, mekanisme pengangkatan Imam ada dua: (a) Melalui pemilihan "dewan pemilih", dan (b) melalui permandatan (al-‘ahd) oleh Imam sebelumnya.
a. Sistem Pemilihan
Mekanisme yang dianggap al-Mâwardiy paling legal untuk mengangkat Imam adalah melalui prosedur pemilihan oleh "dewan pemilih". Ia mengatakan: "Imam dipilih dan diangkat oleh 'orang-orang yang mempunyai wewenang (kekuasaan) mengurai dan mengikat masalah' (’ahlu al-halli wa al-‘aqdi)."136 Di banyak tempat al-Mâwardiy juga orang-orang itu dengan istilah ’ahlu al-’ikhtiyâr
("dewan pemilih") dan ’ahlu al-syûrâ ("dewan permusyawaratan/legislatif").137 Al-Mâwardiy tidak mendiskusikan secara rinci mengenai mekanisme atau prosedur pembentukan institusi "dewan pemilih" ini, kecuali dia menyebutkan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang jumlah anggota "dewan pemilih" sebagai standar legalitas keputusannya. Pertama, kelompok pendapat yang menyatakan bahwa Imam dipilih oleh "dewan pemilih" dari setiap daerah "kabupaten" (balad), sehingga keputusan mengenai orang yang dipilih memperoleh persetujuan secara luas (‘âmm) dan kepemimpinannya diterima oleh mayoritas. Kedua, kelompok pendapat yang menyatakan bahwa jumlah minimal "dewan pemilih" adalah lima orang, yang mana salah seorang dari mereka akan dipilih menjadi Imam dengan kesepakatan empat orang selainnya. Ketiga,
136 Al-Mâwardiy, al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, h. 6-7
137 Secara teknis ketiga istilah yang dipakai Al-Mâwardiy itu dapat diartikan sebagai orang-orang yang memiliki kompetensi: orang-orang yang memiliki kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan sesuatu). Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, h. 584.
kelompok yang berpendapat bahwa jumlah "dewan pemilih" minimal enam orang dengan ketentuan yang sama dengan pendapat kedua. Keempat, kelompok yang berpendapat bahwa jumlah "dewan pemilih" minimal tiga orang dengan ketentuan sama dengan pendapat kedua dan ketiga. Bahkan kelima, kelompok yang menyatakan bahwa pemilihan Imam legal oleh hanya satu orang pemilih.138
Dari kelima prosedur tersebut, prosedur yang pertama justru ditolak oleh Al-Mâwardiy. Menurutnya, Imam tidak harus dipilih oleh "dewan pemilih" dari setiap daerah "kabupaten" karena baiat terhadap ’Abû Bakr untuk memegang khilafah dilakukan oleh hanya orang-orang yang hadir di forum Saqîfah, dan hal itu legal. Pemilihan Imam dengan prosedur yang kedua sampai dengan yang kelima dianggap legal oleh Al-Mâwardiy, karena hal itu telah dipraktekkan pada masa al-khulafâ’u al-râsyidûn.139
Jika Imam tidak dipilih melalui prosedur pemilihan oleh "dewan pemilih" tersebut, maka pengangkatannya dapat dilakukan melalui baiat-mandat oleh Imam sebelumnya (prosedur permandatan). Cara permandatan merupakan prosedur yang kedua untuk mengangkat Imam yang dikatakan "legal" oleh Al-Mâwardiy.
b. Sistem Permandatan
Dalam sistem permandatan, Imam diangkat melalui mandat dari Imam sebelumnya. Al-Mâwardiy mengatakan bahwa sistem permandatan ini boleh dilakukan sejak sebelumnya dan telah disepakati legalitasnya secara ijmak.140
138 Al-Mâwardiy, Loc. Cit.
139
Al-Mâwardiy, Loc. Cit.
Menurut al-Mâwardiy, legalitas prosedur ini didasarkan pada praktek yang telah dilakukan oleh kaum Muslimin generasi Sahabat dan mereka tidak mengingkarinya. Praktek pertama, ’Abû Bakr telah menyerahkan mandat jabatan Imam kepada ‘Umar bin Khaththâb, kemudian kaum Muslimin mengakui legalitas jabatan ‘Umar itu. Praktek kedua, ‘Umar bin Khaththâb menyerahkan mandat jabatan itu kepada "dewan permusyawaratan". Mereka adalah para Sahabat senior yang merupakan tokoh-tokoh masyarakat yang diakui pada masa itu (’a‘yânu al-‘ushr) yang berjumlah enam orang, sementara para Sahabat senior yang lain berada di luar dewan itu. Menurut al-Mâwardiy, kedua praktek tersebut telah diterima oleh kaum Muslimin secara ijmak (diakui legalitasnya oleh mayoritas besar kaum Muslimin) sehingga menunjukkan bahwa prosedur permandatan wewenang/kekuasaan Imam itu legal.141
Dengan demikian, al-Mâwardiy tidak mau berspekulasi sedikitpun mencari kemungkinan-kemungkinan yang lain dari apa yang telah dipraktekkan oleh generasi Sahabat mengenai prosedur pemilihan/pengangkatan Imam.
Kemudian, ada hal penting yang perlu dikemukakan di sini. Al-Mâwardiy menyebutkan secara rinci terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai otoritas "dewan pemilih" ketika berhadapan dengan otoritas Imam untuk menjatuhkan mandat kepada hanya satu orang (alias orang itu langsung dibaiat menjadi Imam pelanjut). Menurut sebagian ulama Basra, bahwa persetujuan "dewan pemilih" terhadap baiat yang dilakukan Imam kepada hanya satu orang untuk menggantikannya, adalah syarat keabsahan baiat itu sehingga
imamahnya mengikat Umat. Mereka beralasan bahwa baiat imamah adalah hak Umat, dan baiat Imam terhadap hanya satu orang tidak dapat mengikat Umat kecuali dengan persetujuan "dewan pemilih" dari mereka.142 Mengenai pendapat dan argumentasi yang dinyatakan oleh sebagian ulama Basra tersebut al-Mâwardiy menanggapinya sebagai berikut:
Yang sahih, bahwa baiat Imam terhadap satu orang [untuk menggantikannya] adalah 'sah' (mun'aqadah) dan persetujuan 'dewan pemilih' terhadap hal itu tidak dipandang perlu (ghairu mu‘tabar), karena baiat imamah [yang diterima] 'Umar [bin Khaththâb dari ’Abû Bakr] tidak bergantung kepada persetujuan Sahabat, dan kerena Imam lebih berhak dengan baiat imamah itu sehingga keputusan pilihannya lebih berfungsi (’amdhâ) dan perkataan baiatnya lebih memiliki kekuatan (’anfadz).143