BAB I PENDAHULUAN
E. Survei Hasil-hasil Penelitian
Di kalangan para ahli studi politik Islam, reputasi al-Mâwardiy dengan karyanya:
al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, telah sangat dikenal. Meskipun al-Mâwardiy bukanlah perintis pemikiran politik Islam, tetapi pemikiran politik yang dituangkannya di dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dinilai paling komprehensif dan sistematis. Oleh karena itu, al-Mâwardiy dianggap sebagai tokoh pemikir yang berperan penting dalam mengembangkan teori politik Islam yang melebihi para pemikir pendahulunya, mulai dari al-Baghdâdiy, al-Bâqillâniy, ’Ibn Qutaibah, al-Jâhizh, ’Ibn al-Muqaffâ, hingga ’Abû Yûsuf.32
Maxmillian Enger adalah orang pertama yang berjasa memperkenalkan karya al-Mâwardiy tersebut kepada publik ilmiah Eropa. Pada tahun 1853, Enger menterjemahkan al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah ke dalam bahasa Inggris dengan judul yang sama.33
Tulisan yang lebih bersifat kajian dibuat oleh H.A.R. Gibb, (1937), dalam bentuk artikel dengan judul “Al-Mâwardi’s Theory of the Caliphate”.34 Penelitian-penelitian kecil yang lain dilakukan oleh Khâlid M. ’Ishaque dengan judul “Al-Ahkâm al-Sulthâniyya: Law of Government in Islam”35, dan Muhammad ’Abû Zahrah dengan judul “’Abû al-Hasan al-Mâwardiy”.36
32 Lihat komentar Qamaruddin Khan, Al-Mawardi's Theory of The State, h. 20-21. 33
Maxmillian Enger (ed.), Al-’Ahkâm al-Sultâniyya, Bonn: Adolphus Marcus, 1853. Di sini, perlu disampaikan koreksi atas informasi Nur Mufid yang melaporkan bahwa ’Ahkâm al-Shulthâniyyah dalam edisi bahasa Inggris baru terbit pada tahun 1996 yang ditulis oleh Asadullah Yate dengan judul: the Laws of Islamic Governance, di London oleh penerbit Ta-Ha Publishers. Lihat Nur Mufid, “Lembaga-lembaga Politik Islam Menurut Al-Mâwardiy dalam Kitabnya al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah ah”, Surabaya: Balai Penelitian IAIN Sunan Ampel, 1998.
34 H.A.R. Gibb, “Al-Mâwardi’s Theory of the Caliphate”, Islamic Culture 11, No. 3, Juli 1937. 35 Khâlid M. Ishaque, “Al-Ahkâm al-Sulthâniyya: Law of Government in Islam”, Islamic Studies
4, No. 3, September 1965.
Ann K. S. Lambton, melalui perspektif ilmu hukum, menulis buku State and Government in Medieval Islam, 1981. Sesuai judul buku, isinya merupakan pengantar bagi pembaca untuk mengenal konsep negara dan pemerintahan dalam Islam Abad Pertengahan. Di dalam buku tersebut, Lambton mengemukakan ikhtisar pemikiran beberapa tokoh yang dianggap mewakili atas pemikiran beberapa tokoh yang lain, dan di antara tokoh yang dibahas pemikirannya adalah al-Mâwardiy. Lambton mencoba menganalisa al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah untuk menemukan corak pemikiran politik al-Mâwardiy. Menurut Lambton, teori politik al-Mâwardiy bersifat yuridis dan bukan teori politik yang bercorak pemikiran spekulatif (filosofis).37 Lambton juga mengemukakan bahwa teori politik al-Mâwardiy dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah yang bersifat yuridis tidak hanya didasarkan pada kaidah-kaidah ijtihad hukum tertentu, melainkan lebih banyak didasarkan pada fakta-fakta historis yang disimpulkan sebagai ijmak. Oleh karena itu, menurut Lambton, al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah adalah sebuah dokumen kunci untuk mengetahui prinsip-prinsip kekuasaan dalam praktek Islam yang terdapat pada abad ke-6 M. sampai dengan masa hidup al-Mâwardiy, yang diterima (secara ijmak) oleh para ahli (ulama) hukum Islam.38 Tetapi, Lambton tidak sampai menemukan dan mengulas metodologi penyimpulan hukum (al-manhaj li ’istinbâth al-hukm) yang dipakai al-Mâwardiy dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah. Penulis mempunyai kesan, bahwa Lambton hanya melihat teks pemikiran al-Mâwardiy yang eksplisit dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, sementara aspek historis yang menjadi latar belakang teks dan metodologi yang menjadi
37 Ann K. S. Lambton, State and Government in Medieval Islam, Oxford: Oxford University Press, 1981, h. 83.
kaedah pengarah bagi teks, yang kedua-duanya implisit diabaikannya. Selain itu, Lambton hanya berkutat pada aspek hasil pemikiran (product of thought) al-Mâwardiy dengan memindah isi teks al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah secara ringkas dan menjelaskan beberapa maknanya. Dengan demikian, Lambton lebih bertindak sebagai promotor atau quality control atas ‘produk’ al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, daripada bertindak sebagai seorang teknisi ahli. Karena itu, Lambton masih berpijak pada posisi tradisi Orientalis klasik yang memiliki kecenderungan esensialis dan substansialis terhadap teks-teks yang menjadi obyek studinya.
Sebuah kajian yang eksklusif mengenai al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, ditulis dalam bentuk buku oleh Qamaruddin Khan berjudul Al-Mâwardi’s Theory of the State, (1983). Buku Qamaruddin tersebut, meskipun tipis tetapi koheren, di mana ia menganalisa teori politik al-Mâwardiy secara kritis-refleksif. Ia mencoba membandingkan pemikiran al-Mâwardiy dengan pendirian para ahli hukum sebelumnya di satu sisi, dan mendialogkannya dengan kondisi politik kontemporer pada sisi yang lain. Qamaruddin berhasil menunjukkan poin-poin kelebihan pemikiran al-Mâwardiy dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah atas pemikiran-pemikiran para ahli yang lain, seperti diungkapkannya: bahwa al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah lebih komprehensif, detil, dan sistematis,39 sehingga “…. al-’Ahkâm al-Sultânia became a standard work of reference on political and administrative practice,”40 dan bahwa “al-Mâwardi was the founder of the science of politics in the political world.”41 Sekaligus, Qamaruddin menggaris-bawahi
39 Qamaruddin Khan, Al-Mâwardi’s Theory of the State, Lahore: Islamic Book Foundation, 1403 H/1983 M, h. 23.
40
Qamaruddin Khan, Ibid., h. 53. 41 Qamaruddin Khan, Ibid., h. 52.
beberapa hal di dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah yang menurutnya perlu dikritisi.
Di antara kritik-kritik Qamaruddin terhadap al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah
adalah: pertama, seperti gambaran yang ditangkap oleh Lambton, Qamaruddin juga melihat bahwa al-Mâwardiy bukanlah seorang pemikir (thinker) politik, dan oleh karena itu dia tidak mengemukakan konsepnya tentang negara secara filosofis. Al-Mâwardiy, menurut Qamaruddin, tidak mendiskusikan hakikat (meaning) negara, tujuan-tujuannya, struktur hukumnya (jurisdiction), mekanisme kebijakan-kebijakan (obligations) dan pertanggungan-jawabnya (responsibilities), dan konsep kedaulatannya (sovereignty), sehingga tidak dapat diketahui secara lengkap gagasannya tentang konstitusi. Kehati-hatian al-Mâwardiy, atau dalam ungkapan Qamaruddin dikatakan: “did not indulge in empty speculation”, sehingga memiskinkan teorinya tentang konstitusi negara, menurut Qamaruddin membawa dampak: “….has not only very much reduced the value of al-Mawardi’s work but has its deadening effect on the later development of Islamic political thought.”42
Kedua, terkait dengan konsep demokrasi, Qamaruddin melihat bahwa kesetujuan al-Mâwardiy terhadap praktek pemilihan khalifah hanya melalui penunjukan oleh khalifah yang menjabat sebelumnya adalah tidak demokratis. Lebih dari itu, menurut Qamaruddin, al-Mâwardiy sangat mengkhususkan hak-hak dan prerogatif khalifah, tetapi tidak memberikan atensi pada hak-hak-hak-hak dan tuntutan-tuntutan (claims) rakyat. Akhirnya, kata Qamaruddin: “lack of the idea of
fundamental rights of men has been one of the principal sores in Muslim polity for ages, and has been mainly responsible for almost complete absence of the growth of democratic life in Muslim lands”.43
Buku Qamaruddin tersebut telah cukup adil dalam menilai ’Ahkâm al-Shulthâniyyah. Qamaruddin mengkritik pemikiran al-Mâwardiy itu secara seimbang: mengakui kelebihan-kelebihannya dan sekaligus menunjukkan kekurangan-kekurangannya. Tetapi, Qamaruddin agak berlebihan (kurang proporsional) di dalam kritiknya. Ia tidak fair, karena mengkritik pemikiran al-Mâwardiy tidak berdasarkan tuntutan konteks situasi politik saat itu (epistème
Islam Abad Pertengahan), melainkan berdasarkan wacana-wacana politik dan tuntutan budaya masyarakat kontemporer. Penulis menganggap, Qamaruddin telah meletakkan “beban” yang terlalu berat di atas “pundak” al-Mâwardiy.
Di kalangan intelektual Muslim Indonesia, nama al-Mâwardiy dan al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah juga sangat dikenal. Di lingkungan akademik, kajian terhadap al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dapat ditemukan, antara lain, di dalam buku Syafii Maarif yang berjudul Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante.44 Buku Syafii Maarif ini semula merupakan disertasinya di Universitas Chicago. Ketika Syafii Maarif membangun kerangka teoretis untuk disertasi tersebut, khususnya konsep ’imâmah, ia menyinggung pemikiran al-Mâwardiy. Dengan mengacu kepada al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, Syafii Maarif mengulas teori al-Mâwardiy tentang ’imâmah. Tetapi, mungkin karena alasan tempat yang sempit atau tema ini bukan merupakan obyek langsung
43 Qamaruddin Khan, Loc. Cit.
44
Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES, 1985.
penelitiannya, Syafii Maarif hanya mengutip komentar-komentar orang lain tentang al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, tanpa menunjukkan pendapat atau analisanya sendiri.
Penulis juga menemukan buku yang ditulis oleh Munawir Sjadzali berjudul Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran.45 Seperti tampak dari judul buku tersebut, isinya merupakan ringkasan sejarah hidup dan teori politik tokoh-tokoh Muslim Abad Klasik dan Abad Pertengahan. Apa yang dikerjakan Munawir itu hampir sama dengan yang dikerjakan Lambton dalam
State and Government in Medieval Islam. Perbedaannya, di antara banyak perbedaan yang lain, Lambton mengkaji al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah melalui pendekatan ilmu hukum, sedangkan Munawir mengkajinya melalui pendekatan ilmu politik. Sesuatu hal yang baru dalam tulisan Munawir adalah ulasan perbandingan antara konsep bai‘ah (baiat) al-Mâwardiy dengan teori "kontrak sosial" dari pemikiran para filsuf Barat seperti: Hubert Languet (Perancis: 1519-1581 M), Thomas Hobbes (Inggris: 1588-1679 M), John Locke (Inggris: 1632-1704 M), dan Jean Jaques Rousseu (Perancis: 1712-1778 M).
Usman Abu Bakar bersama dosen-dosen lain sejawatnya di IAIN Walisongo Semarang, melakukan tugas penelitian pada tahun 1994 dengan obyek
al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah. Penelitian yang mereka lakukan diarahkan untuk menjawab masalah yang kontroversial di kalangan pemerhati teori politik Islam sehubungan pada tahun 1938 ditemukan kitab tulisan ’Abû Ya’lâ al-Farrâ’ (w. 1066 M) – pengikut ’Ahmad bin Hanbal – yang berjudul sama dengan kitab
45
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1990.
Mâwardiy: al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah. Masalah-masalah yang dipolemikkan seperti: apa perbedaan kedua al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah itu? siapa yang lebih dulu menulis, al-Mâwardiy atau al-Farrâ’? mungkinkah seseorang telah menjiplak karya yang lain? Usman dkk. berhasil menemukan jawaban bagi masalah-masalah tersebut.46
Ada sebuah artikel, yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku tipis, ditulis oleh Marzuki Wahid dengan judul Latar Historis Narasi Ketatanegaraan Mâwardiy dan Ibn Farr : Bacaan “Seorang Rakyat” atas Dua Kitab al-Ahkâm al-Sulthâniyyah.47 Seumpama tubuh, buku Marzuki tersebut berdiri di atas dua kaki. Kaki yang satu adalah Al-Mâwardi’s Theory of the State karya Qamaruddin Khan, dan kaki yang lain adalah hasil penelitian Usman Abu Bakar dkk.. Penulis menganggap, Marzuki banyak berhutang kepada Qamaruddin dan Usman dkk..
Marzuki, sesuai dengan judul bukunya, mengemukakan kembali latar belakang sosial dan politik al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah karya al-Mâwardiy dan al-Farrâ’. Ia memang menyarankan, bahwa konteks sosial, politik, dan budaya harus diperhatikan ketika membaca kitab al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah. Tetapi, pemaparan Marzuki tentang latar belakang historis al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah di dalam buku tersebut, sepertinya sia-sia saja. Karena, Marzuki justru menganalisa isi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah berdasarkan latar belakang sosial dan politik kekinian (di luar konteks al-Mâwardiy dan al-Farrâ’). Akibatnya, Marzuki mudah
46 Lihat laporan penelitian Usman Abu Bakar, "Negara dan Pemerintah: Studi Komparatif Pemikiran al-Mâwardiy dan al-Farrâ’", Semarang: Balai Penelitian IAIN Walisongo, 1994/5. 47 Marzuki Wahid, Latar Historis Narasi Ketatanegaraan al-Mâwardiy-’Ibn al-Farrâ’: Bacaan “Seorang Rakyat” atas Dua Kitab al-Ahkam al-Sulthâniyyah, Cirebon: Jaringan Informasi & Lektur Islam (JILLI), 1997.
menyimpulkan bahwa ada problem yang besar jika kitab ’Ahkâm al-Shulthâniyyah harus diterapkan secara apa adanya dalam konteks sekarang, di mana masyarakat telah menjadi plural-mondial: agama hanyalah menjadi satu sub dari sejumlah sub dalam sistem sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Oleh karena itu Marzuki menyarankan: butuh pemikiran yang mendalam jika kitab al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah harus dibenturkan dengan konsep negara-bangsa (nation-state) yang telah menjadi “anutan suci” masyarakat dunia.48
Pada tahun 1997, Sri Mulyati menulis sebuah artikel berjudul “The Theory of State of al-Mâwardi”. Artikel Sri Mulyati ini bersama artikel-artikel penulis yang lain terkumpul di dalam buku Islam & Development: A Politico-Religious Response.49 Salah satu masalah yang ingin diketahui kejelasannya oleh Sri Mulyati adalah perbedaan antara konsep khilâfah dan konsep ’imâmah dalam teori al-Mâwardiy, mengingat penggunaan dalam kajian politik Islam, kedua konsep itu sering diartikan berbeda: khilâfah adalah konsep kenegaraan mazhab Suni, dan
imâmah adalah konsep kenegaraan mazhab Syî‘ah50. Sri Mulyati menemukan kenyataan bahwa di dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, al-Mâwardiy tidak membedakan kedua konsep tersebut, bahkan justru al-Mâwardiy yang dikenal sebagai salah satu pembesar ulama Suni lebih banyak menggunakan istilah
’imâmah atau ’imâm daripada khilâfah atau khalîfah. Dengan mengutip Munawir Sjadzali, Sri Mulyati menyatakan: “al-Mâwardi’s understanding of the role the
48 Marzuki Wahid, Ibid., h. 32-33.
49 Sri Mulyati, “The Theory of State of al-Mâwardi”, dalam Sri Mulyati dkk., Islam & Development: A Politico-Religious Response, Montreal: Permika Montreal & LPMI, 1997. 50 Lihat Sri mulyati, Ibid., h. 4.
imâm is simply that it is equivalent to that of the ’khalîfah, king, sultan or head of state.”51
Terdapat juga laporan penelitian dari Nur Mufid (1998) dengan judul “Lembaga-Lembaga Politik Islam menurut al-Mâwardiy dalam Bukunya al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah”, di IAIN Sunan Ampel, Surabaya. Yang sedang dikerjakan Nur Mufid sesungguhnya adalah menterjemahkan ’Ahkâm al-Shulthâniyyah, kemudian memasukkan unsur-unsurnya yang sesuai dengan judul ke dalam sistematika penelitiannya.
Selain ditemukan karya-karya hasil kajian tersebut, juga berhasil didapat sebuah karya terjemahan al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah yang ditulis oleh Abdul Hayyie al-Kattani dan Kamaluddin Nurdin52.
Sepanjang pembacaan terhadap karya-karya tersebut di atas, diperoleh beberapa kesan. Pertama, karya-karya hasil kajian terhadap ’Ahkâm al-Shulthâniyyah tersebut cenderung linier, esensialis, substantif, dan reproduktif, terutama karya-karya yang menggunakan pendekatan sejarah-kisah gagasan. Kebanyakan hanya melihat pemikiran jadi (product of thought) al-Mâwardiy dengan memindah isi teks al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dan menjelaskan maksudnya. Hal ini menyebabkan kesan pemikiran al-Mâwardiy yang kering, miskin nuansa, dan a-historis. Khusus mengenai tulisan Lambton dan Munawir Sjadzali, keduanya lebih menempatkan teks al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah sebagai dokumen berbagai himpunan gagasan al-Mâwardiy yang berdiri sendiri dan
51 Sri Mulyati, Ibid., h. 22. Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, h. 63.
52
Al-Mâwardiy, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam, Abdul Hayyie al-Kattani & Kamaluddin Nurdi (pent.), Jakarta: Gema Insani Press, 2000.
berkembang hanya karena interaksi dengan gagasan lain. Padahal, suatu teks (gagasan) adalah produk sebuah budaya. Sebuah gagasan adalah makhluk mental yang tidak stabil. Meminjam ungkapan Mohammed Arkoun, “gagasan tergantung pada kendala bahasa, masyarakat, politik, dan ekonomi.”53
Dengan demikian, penelitian terhadap faktor-faktor historis suatu teks menjadi penting dilakukan untuk menemukan makna teks itu dalam konteks sejarahnya. Walaupun semua karya tulis di atas telah mengemukakan latar historis
al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, tetapi satu karyapun belum menjelaskan bagaimana faktor-faktor kesejarahan berpengaruh terhadap al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah. Dengan kata lain, latar kesejarahan pada masa hidup al-Mâwardiy belum dimanfaatkan oleh para penulis tersebut untuk menempatkan ’Ahkâm al-Shulthâniyyah fenomena budaya pada masanya. Dalam karya-karya mereka, latar belakang historis ditulis sebatas sebagai ilustrasi konteks bagi al-Mâwardiy dan karyanya, dan hanya demi memenuhi kepatutan (formalitas) sebuah studi mengenai gagasan seorang tokoh.
Kedua, karena para penulis di atas lebih condong kepada pemikiran jadi al-Mâwardiy, akibat dari sikap itu, maka mereka mengabaikan proses dan prosedur berpikir yang ditempuh al-Mâwardiy dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah. Tentu, gagasan Al-Mâwardiy dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah tidaklah datang sekonyong-konyong, tanpa metode. Metode yang dipilih atau digunakan al-Mâwardiy pun, tentu mengakar pada keyakinan dan konsepsi-konsepsi awal yang tertanam dalam dirinya, dan situasi epistemik tertentu. Semestinya dalam hal ini,
53
Mohammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, Jakarta: INIS, 1994, h. 43.
tulisan Lambton lebih dapat membuka kemungkinan untuk memasuki aspek metodologi yang digunakan Mâwardiy, karena dia mendekati pemikiran al-Mâwardiy melalui perspektif ilmu hukum sedangkan teori politik al-al-Mâwardiy adalah produk dari ilmu hukum Islam. Sayangnya, hal terakhir ini tidak juga dibahas oleh Lambton. Seandainya hal itu benar-benar dikerjakan oleh Lambton, pembaca (khususnya publik ilmiah di Eropa atau non-Muslim) akan mendapatkan gambaran teori politik al-Mâwardiy yang lebih “unik” dan “mengigit”. Karena, persoalan metodologilah yang sesungguhnya menyebabkan ada “jarak” antara tradisi pemikiran hukum Islam dengan tradisi pemikiran hukum yang lain.
Ketiga, terkait dengan despotisme Barat, penulis menangkap kesan bahwa ada semacam rasa kekecewaan dan rendah diri yang mengendap dalam batin kebanyakan intelektual Muslim masa kini, baik yang mengaku diri sebagai tradisionalis, moderat, atau liberal sekalipun, meskipun kadar intensitasnya dan cara mereka menyikapinya masing-masing berbeda. Dalam wilayah kasus penelitian ini misalnya, fenomena tersebut terlihat dalam tulisan Qamaruddin Khan, Sri Mulyati, Marzuki Wahid, dan Munawir Sjadzali. Ketika mereka membaca teks pemikiran al-Mâwardiy, perkembangan situasi dan beban problem politik yang dihadapi umat Islam sekarang juga melingkupi benak mereka. Maka, Qamaruddin dan Sri Mulyati menilai bahwa teori ’imâmah al-Mâwardiy tidak demokratis (undemocratic),54 dan Marzuki pun menyatakan bahwa ada problem besar jika teori al-Mâwardiy tersebut harus diterapkan dalam kondisi sekarang.55 Jika ungkapan “undemocratic” direfleksi secara mendalam, hal itu merupakan
54 Lihat Qamaruddin Khan, Al-Mâwardi's Theory of The State, h. 54, dan Sri Mulyati (ed.), Islam and Development: A Politico-Religious Respons, h. 37.
ekspresi kekecewaan.56 Mereka kecewa, karena problem politik yang bersifat etis-filosofis yang sedang mereka hadapi bersama Umat tidak ditemukan pemecahannya dari membaca al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah. Mereka kecewa, ternyata al-Mâwardiy tidak memiliki penawarnya. Dan mengenai tulisan Munawir Sjadzali, itu adalah contoh dari fenomena yang lain. Munawir dengan penuh semangat menunjukkan keterdahuluan teori "kontrak sosial" (bai‘ah) yang digagas oleh Al-Mâwardiy (abad X M), atas teori yang sama yang digagas oleh para pemikir di Eropa (abad XVI M) yang termasyhur.57 Munawir seperti mengatakan: “Ternyata, al-Mâwardiy (yang adalah bagian dari Saya-Muslim-Terjajah) lebih "senior" daripada mereka: Barat-Kristen-Penjajah.” Jika direfleksi secara mendalam, semangat Munawir itu sebenarnya berangkat dari rasa "rendah diri".
Terkait dengan ketiga kesan tersebut, maka penelitian lebih memilih posisi sebagaimana ditunjukkan oleh Arkoun dalam kata-katanya:
Kita menengok ke belakang bukan untuk melemparkan ke dalam teks-teks fundamental tersebut tuntutan-tuntutan dan kebutuhan masyarakat Muslim jaman sekarang – sebagaimana dilakukan oleh ‘ulamâ’ ’ishlâhiy – melainkan untuk mengungkap mekanisme historis serta faktor-faktor yang menghasilkan teks-teks tersebut dan fungsi-fungsinya. Pada waktu yang bersamaan kita harus ingat bahwa teks-teks ini masih hidup, aktif sebagai sistem ideologis dari kepercayaan dan pengetahuan yang ikut menentukan dalam membentuk masa depan. Oleh karena itu kita harus memeriksa proses perubahan yang terjadi pada teks-teks tersebut, yaitu dari kandungan dan fungsi perdana ke kandungan dan fungsi yang baru.58
56 Tentu penulis menyadari bahwa ungkapan tersebut bisa memiliki banyak makna yang lain. 57 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, h. 67. 58
Dikutip melalui St. Sunardi, “Islam dan Kekuasaan: Telaah Tentang Pemikiran Arkoun”, makalah yang terkumpul dalam kertas kerja, Islam dalam Lintasan Sejarah, belum diterbitkan.
Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa Arkoun hendak menggabungkan aspek diakronis dan sinkronis dalam kajian terhadap teks-teks fundamental Islam. Artinya, teks-teks itu dilihat Arkoun sebagai sistem kepercayaan dan pengetahuan yang dipakai kelompok-kelompok Islam dalam situasi historis tertentu untuk memahami dan membentuk tatanan kehidupan yang diinginkan, dan karenanya bersifat historis. Kajian-kajian Arkoun dimaksudkannya untuk mengungkap mekanisme historis pemikiran Islam dan faktor-faktor yang menghasilkannya. Pada waktu bersamaan, Arkoun memeriksa fungsi-fungsi pemikiran-pemikiran itu sebagai sistem mitis/ideologis yang hidup/dihidupkan yang ikut menentukan dalam membentuk masa depan. Dengan demikian, studi Islam Arkoun dapat juga diartikan sebagai usaha intelektual yang memperhadapkan pemikiran-pemikiran Islam klasik yang otoritatif dengan mencari syarat-syarat kemungkinannya yang baru pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Metode inilah yang sesungguhnya telah mengarahkan seluruh studi Arkoun tentang (masyarakat) Islam yang ia sebut sebagai proyek “thinking Islam”.
Dengan mengapresiasi sebagian posisi ilmiah Arkoun, telah cukup jelas perbedaan posisi penelitian ini di antara penelitian-penelitian terdahulu mengenai al-Mâwardiy dan al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah.