• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODOLOGI DAN IDEOLOGI AL-MÂWARDIY DALAM AL-’AHKÂM AL-SHULTHÂNIYYAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "METODOLOGI DAN IDEOLOGI AL-MÂWARDIY DALAM AL-’AHKÂM AL-SHULTHÂNIYYAH"

Copied!
294
0
0

Teks penuh

(1)

Tesis

Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora

(M.Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

NIM : 036322013

Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma

(2)
(3)
(4)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Metodologi dan Ideologi Al-Mâwardiy dalam Al-’Ahkâm Al-Shulthâniyyah” merupakan hasil karya dan penelitian saya sendiri. Di dalam bagian tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi. Peminjaman karya-karya sarjana lain di dalam tesis ini adalah semata-mata untuk keperluan ilmiah sebagaimana diacu secara tertulis dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, 03 November 2008

(5)

MOTTO

! "#

$%&'

( "#) *

+ , +- . ( *

*

/-) -! *

01-

2 3'

4

5

6

78

"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan [menyuruh kamu] apabila menetapkan hukum di antara

manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha

Mendengar lagi Maha Mengetahui." Q.S. al-Nisâ’ (4): 58.

9 /: 9; < - =!

(6)

PERSEMBAHAN

!

"

#

$

!

#

%

$

!

&

!

'(()

*

'((+

(7)
(8)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Setiap manusia hidup dengan pemahaman terhadap masa lalu yang diceritakan, yang memungkinkannya mengkondisikan diri dalam kekinian, bahkan menyusun angan-angan masa depan. Dengan demikian, masa lalu adalah lokus pencarian makna "jatidiri" setiap orang. Imajinasi, impian, tak lain kecuali serangkaian preskripsi tentang bagaimana menempatkan hasil pemahaman: – iman /ideologi – dalam orbit kehidupan, dan menghadapi kekuatan-kekuatan yang meremehkan 'jatidiri'.

Penulis terlahir di lingkungan budaya yang sangat menghargai masa lalu Islam: pesantren salafiy,1 di sebuah desa pinggiran sebelah timur kota besar, Semarang. Namun, seperti ciri pesantren salafiy pada umumnya, Pondok Pesantren Tafsir dan Sunnah: Al-Itqon, tempat kelahiran penulis, merupakan wahana bagi warga pesantren untuk menemukan jalinan intensif masa lalu-masa kini-masa depan, melalui prinsip fikih: Al-muhâfazhatu ‘ala qadîmi shâlihi wa akhdzu bi al-jadîdi al-’ashlahi ("menjaga nilai-nilai masa lalu yang baik dan mengambil nilai-nilai baru – kekinian – yang lebih baik"), sebuah prinsip melihat sejarah secara dinamis. Melalui prinsip hidup yang dijunjung tinggi di lingkungan pesantren semacam Al-Itqan ini, warga sangat menyadari dan menghargai arti "relatifitas nilai".

Suatu hari, ketika penulis masih duduk di bangku kelas enam Madrasah Diniah Ibtidaiah, masuk seorang santri baru yang berasal dari desa tetangga. Ia berusia kira-kira 5-7 tahun lebih tua dari usia rata-rata santri di kelas kami. Meski teman santri baru ini berumur relatif lebih dewasa daripada santri-santri lain, ia tampak mengalami kesulitan menangkap pemahaman dari pelajaran-pelajaran yang ada, terutama pelajaran pokok ilmu "nahwu" dan "sharaf". Apalagi, ia tidak sebagai

(9)

santri mukim melainkan sebagai santri kalong,2 sehingga tidak banyak kesempatan baginya untuk mendiskusikan kesulitan-kesulitan pelajaran yang dihadapinya bersama teman-teman santri maupun guru-guru pembimbing. Hal yang paling menonjol darinya adalah keaktifannya dalam organisasi santri, baik di tingkat kelas maupun di tingkat madrasah.

Kurang-lebih dua tahun berikutnya, Sang teman mulai jarang-jarang masuk kelas, hingga akhirnya tidak masuk sama sekali. Belakangan penulis ketahui, ia aktif mengadakan dan mengikuti kajian agama di mana-mana, yang jelas di luar pesantren. Suatu hari ia datang ke pesantren/madrasah dengan penampilan fisik dan sikap yang di luar kebiasaan. Ia tidak lagi memakai sarung dan pecis, ciri khas pakaian santri laki-laki, tetapi baju koko dan celana 'congklang', dan berkopiah. Ia menampakkan semangat yang gigih dan besar sebagai pemuda gerakan yang menginginkan "kehormatan Islam" dengan mendirikan "Negara Islam" (khilâfah/’imâmah). Bahkan, ia menilai bahwa kajian agama model pesantren/madrasah seperti yang pernah ia ikuti tidak efektif dalam menjawab tuntutan 'kehormatan Islam' yang ia cita-citakan itu. Ia pun memperkenalkan kepada teman-teman santri buku-buku (terjemahan) dan majalah-majalah, sebagai bahan bacaan barunya. Penulis dan teman-teman santri lain, kami warga pesantren umumnya, sebenarnya telah memiliki "standar" penilaian tersendiri terhadap buku-buku dan majalah-majalah seperti yang diperkenalkannya itu.

Setelah itu, ia tak pernah lagi berkunjung ke pesantren dan kami tak tahu bagaimana kabarnya. Sampai akhirnya, setelah kurang-lebih 20-an tahun penulis tidak pernah berjumpa dengannya, ketika penulis menyimak siaran 'Kabar Petang' dari sebuah stasiun televisi swasta, diberitakan bahwa seorang laki-laki yang diduga sebagai anggota teroris tewas ditembak petugas "Polisi Detasemen Lapan-Lapan", di Sleman Yogyakarta. Menurut berita itu, laki-laki itu memiliki banyak nama dan salah satunya berinisial "Em-En" yang berasal dari salah satu desa tetanggaku. Penulis penasaran, jangan-jangan laki-laki yang diberitakan itu adalah Sang teman yang

(10)

penulis ceritakan. Seminggu kemudian ketika penulis pulang ke Semarang, ternyata dugaan itu benar.

Tentu, ini hanyalah salah satu kisah yang terkait dengan isu

khilâfah/’imâmah. Sebuah isu tentang problem "Islam" yang sampai hari ini masih sangat nyaring terdengar. Isu yang telah meminta banyak keringat, air mata, dan darah "syuhada". Menurut penulis, jarang sekali isu khilâfah/’imâmah itu didekati secara ilmiah melalui kajian sejarah. Bahkan, isu itu telah menjelma sebagai gelora ideologi gerakan yang mendakwahkan diri sebagai kelompok "Islam militan". Bagaimanakah asal-usul dan mekanisme ide khilâfah/’imâmah itu terbangun, dan bagaimana pula ideologi melingkupinya? Kajian terhadap Al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah karya al-Mâwardiy adalah sebuah cara untuk memahami salah satu fenomena sejarah Islam itu yang masih sangat aktual hingga kini.

Pertama-tama, Penulis harus menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada para petugas di Perpustakaan Kolsani dan Perpustakaan Pusat Universitas Sanata Dharma atas pelayanan dan dedikasi mereka, terutama mas Slamet (Kolsani) yang tak pernah jera melayani peminjaman buku oleh penulis dan yang sangat santun dalam memberi teguran kepada penulis karena selalu terlambat dalam pengembalian, bahkan selalu me-ngendon buku-buku dalam waktu yang lama. Yang kedua, terima kasih penulis ucapkan kepada Pak Nardi (Dr. S(i)t(i). Sunardi) atas segala bimbingannya; Romo Baskara, Romo Banar, Pak Budiawan, dan Mbak Devi; mereka yang selalu berempati tehadap penulis, bahkan penulis merasa telah diperlakukan lebih dari sekedar sebagai mahasiswa. Ketiga, terima kasih pula kepada Mas Tri bersama istri yang banyak membantu dan memberi motivasi, tak lupa kepada Entis, I'im dan suami yang memberi banyak waktu, tenaga, pikiran, dan perhatian untuk selesainya tesis ini, serta Izzah, Mas Totok (juragané "Joglo Semar"), Icul, Pak Teo, Yus, dan semua "adik-adik" di IRB: Hasan, Anziem, Dona, Olvi, dan terutama Kang

(11)

selalu, dan terakhir terima kasih kepada Prof. Dr. Mujahirin Tohir (Guru Besar Antropologi di Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, Semarang) atas keramahan, keakraban, dan terutama keutuhan dedikasinya dalam membaca laporan penelitian ini secara teliti dan kritis.

Akhirnya, penulis berharap dan berdoa, semoga kajian ini bermanfaat dan semua orang yang berjasa pada hidup penulis dan dalam kajian ini mendapatkan ganti kebaikan dari Allah Subhânahû wa Ta‘âlâ, amin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Abdurrosyid

(12)

DAFTAR ISI

... Hal

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

MOTTO... v

HALAMAN PERSEMBAHAN... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... xi

PEDOMAN TRANSLITERASI ... xiv

ABSTRAK... xvii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Relevansi Penelitian... 13

E. Survei Hasil-hasil Penelitian... 21

F. Orientasi dan sistematika Penulisan... 33

BAB II KERANGKA TEORETIS DAN METODE PENELITIAN 37

A. Kerangka Teoretis dan Pengertian Konsep-Konsep.... 37

1. Situasi Sosial Historis dan Peranannya dalam Pembentukan Pengetahuan ... 38

2. Mekanisme Pembentukan Pengetahuan... 41

3. Fungsi Pengetahuan ... 45

4. Kritik Pengetahuan... 51

5. Ideologi ... 53

6. Kritik Ideologi... 56

B. Metode Penelitian ... 60

1. Sumber data ... 60

2. Teknik Pengumpulan data... 60

3. Teknik analisa Data... 61

BAB III EKSPLORASI TERHADAP AL-MÂWARDIY DAN AL-’AHKÂM AL-SHULTHÂNIYYAH 63

A. Substansi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah... 64

1. Asal-usul Imamah dan Fungsinya... 64

2. Landasan Normatif Legalitas Imamah... 68

(13)

4. Kualifikasi "Dewan Pemilih" dan Calon Imam ... 71

a. Kualifikasi "Dewan Pemilih"... 71

b. Kualifikasi Calon Imam... 72

5. Mekanisme Pengangkatan Imam ... 73

a. Sistem Pemilihan ... 74

b. Sistem Permandatan... 75

6. Tugas-tugas Pokok Imam ... 77

7. Pemakzulan Imam, Kudeta, dan Pemberontakan .. ... 80

8. Sistem Birokrasi Negara ... 82

B. Konteks Historis al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah... 84

1. Riwayat Hidup Al-Mâwardiy ... 85

2. Kondisi Sosial dan Politik di Bagdad abad IV H/10 M 89 3. Sejarah Wacana Politik Islam ... 99

C. Metodologi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah... 115

1. Asal-usul Pembentukan Fikih (Hukum Islam) ... 116

2. Metodologi Pembentukan Fikih ... 120

3. Metodologi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah... 124

D. Wacana-wacana Ideologis al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah 124 BAB IV ANALISA HISTORIS, METODOLOGIS, DAN MITOS AL-’AHKÂM AL-SHULTHÂNIYYAH... 131

A. Analisa Historis: Sosiologi-Genealogi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah... 134

1. Konteks Sosial-Budaya yang Melahirkan al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah... 135

2. Konteks Politik yang Melahirkan al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah... 137

3. Konteks Budaya Intelektual [Wacana Politik] yang Melahirkan al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah... 140

4. Posisi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dalam Konteks Sosial, Politik, dan Budaya Islam Abad IV H/X M ... 141

5. Efek Konteks Historis terhadap al-’Ahkâm al-Shulthâ- Niyyah ... 143

a. Historisitas Konsep Imamah ... 144

b. Implikasi Ideologis Konsep Imamah ... 155

1. Nuansa Ideologis Kewajiban Pengangkatan Imam 167 2. Nuansa Ideologis Mekanisme Pengangkatan Imam 169 3. Nuansa Ideologis Tugas-tugas Imam... 186

4. Nuansa Ideologis Mekanisme Pemakzulan Imam 188 5. Nuansa Ideologis Pengabsahan Kudeta dan Pemberontakan... 190

6. Nuansa Ideologis Pembatasan Hak Wanita dalam Kepemimpinan ... 192

(14)

B. Analisa Metodologis... 197

1. Sistem Metodologi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah... 199

2. Batas-batas Metodologi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dan Implikasinya... 202

a. Batas-batas secara Metodis-Epitemis dan Implikasinya... 202

b. Batas-batas secara Ideologis dan Implikasinya... 209

Catatan Penutup Analisa Metodologis... 212

C. Analisa Mitis ... 212

1. Konsep Inti al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dan Sistem Mitisnya ... 216

2. Sistem Pemikiran al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dan Sistem Mitisnya ... 231

3. Fungsi Mitis al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah... 234

BAB V KESIMPULAN... 238

A. Konteks Historis al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dan Implikasinya... 242

B. Syarat-syarat Ilmiah (Metodologi) al-’Ahkâm niyyah dan Implikasinya ... 245

BAB VI PENUTUP... 248

DAFTAR PUSTAKA 255

LAMPIRAN : 1. Tabel Operasionalisasi Metodologi al-’Ahkâm

al-Shulthâniyyah 261

(15)

PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi dimaksudkan untuk menuliskan kata-kata atau istilah-istilah Arab ke dalam tulisan bahasa Indonesia (Latin). Semua kata atau istilah Arab, kecuali nama, yang belum menjadi bahasa baku bahasa Indonesia, ketika ditulis dengan bahasa Indonesia, ditransliterasi dan dicetak miring (italik), seperti ditransliterasi dengan khilâfah. Kata-kata atau istilah yang sudah baku tidak perlu ditransliterasi, seperti salat, Zakat, dan Ramadan. Pedoman transliterasi itu sebagai berikut:

A. Konsonan Arab Latin

’ (apostrof)

b

t

ts (t dan s)

j

h (h garis bawah)

kh (k dan h)

d

dz (d dan z)

r

z

s

sy (s dan y)

sh (s dan h)

dh (d dan h)

th (t dan h)

(16)

!

gh (g dan h)

"

f

#

q

$

k

%

l

&

m

'

n

(

w

)

h

*

y

B. Vokal

1. Vokal tunggal:

2. Vokal rangkap

*

: ai (tanda baca "a" yang bersambungan dengan yâ’ sukûn)

(

: au (tanda baca "a" yang bersambungan dengan waw sukûn)

3. Vokal panjang (madd)

: â (tanda baca "a" yang bersambungan dengan alif)

+*

: î (tanda baca "i" yang bersambungan dengan yâ’ sukûn)

+(

: û (tanda baca "u" yang bersambungan dengan waw sukûn) a
(17)

C. Tâ’ Marbûthah ( ):

1. Ditulis dengan "h", apabila tidak berhubungan atau tidak dibaca sambung dengan kata lain, seperti

,-./

ditransliterasi dengan al-madînah

2. Ditulis dengan "t" dan disesuaikan dengan tanda baca "a", "u", atau "i",

apabila dibaca sambung dengan kata lain sesudahnya, seperti

0 1,/

,-./

ditransliterasi dengan Al-Madînatu al-Munawwarah, Al-Madînata al-Munawwarah, atau Al-Madînati al-Munawwarah, sesuai dengan kaidah

’i‘rab-nya.

D. Penulisan kata yang menggunakan "al-" (

%

)

1. "Al-" yang terletak di awal kalimat, "a"-nya ditulis dengan huruf kapital dan sesudah "l" diberi garis datar "-", seperti

0 1 ,/

,-./

ditransliterasi dengan Al-Madînatu al-Munawwarah. Khusus kata

2

"a"-nya ditulis dengan huruf kapital: "Allah", dan tidak dicetak miring jika tidak dalam satu rangkaian dengan kata yang lain. Jika terangkai dengan kata lain

menjadi satu kata seperti

2 .34

, ditulis menjadi: ‘abdullâh, atau ‘abdillâh,

‘abdallâh.

2. "Al-" yang terletak di tengah kalimat, "a"-nya ditulis dengan huruf kecil. 3. "Al" yang dimiliki suatu kata yang terletak di tengah kalimat tetap ditulis

"al-", seperti

0

1 ,/

,-./

ditransliterasi dengan Al-Madînatu al-Munawwarah

4. "Al-" yang berhubungan dengan huruf-huruf Syamsiyyah tetap ditulis

dengan "al-", seperti

5/6

ditransliterasi dengan al-syams.

5. Huruf konsonan setelah "al-" ditulis dengan huruf kapital jika merupakan nama benda atau merupakan judul.

(18)

ABSTRAK

Penelitian ini membahas metodologi dan ideologi al-Mâwardiy dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, sebuah karya monumental dari seorang cendekiawan Muslim klasik, dalam upaya mencari akar-akar sejarah pemikiran etika politik Islam dan kaitannya dengan ideologi. Dalam konteks kajian pemikiran Islam yang lebih luas, penelitian ini merupakan upaya kritik sejarah dan kritik ideolgi, suatu upaya yang dihindari kebanyakan orang karena khawatir dapat merong-rong kemapanan iman.

Walaupun al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah ditulis al-Mâwardiy pada abad IV H/X M, kitab ini masih dijadikan rujukan utama dalam diskursus mengenai model kekuasaan dan pemerintahan Islam hingga sekarang. Kajian kritis terhadap al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah mensyaratkan penelusuran sejarah kelahirannya, metode pembentukannya, serta jangkauan-jangkauan ideologisnya.

Dalam konteks teoretis dan praktis politik Islam, kehadiran ’Ahkâm al-Shulthâniyyah menjadi wacana "penanda" yang penting bagi pembakuan model "negara Islam": khilâfah, yang merujuk pada pengalaman "negara Madinah". Namun sejarah menunjukkan, bahwa "negara Madinah" sebagai sumber imajinasi politik Islam telah berkembang sedemikian rupa menjadi "negara ‘Umâwiyyah", "negara ‘Abbâsiyyah", "negara Fâthimiyyah", dan "negara ‘Utsmâniyyah" yang semuanya mengklaim sebagai pewaris sah tahta kekuasaan Islam. Al-‘Ahkâm al-Shulthâniyyah menampilkan dirinya sebagai pemikiran politik Islam yang ideal dan mengatasi perbedaan-perbedaan sejarahnya yang nyata dan penuh konflik.

Penelitian ini menyimpulkan, al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dilahirkan dan dibentuk oleh sejarah yang melingkupinya, sistem berpikir yang mengarahkannya, serta mengandung fungsi dan bias-bias yang bersifat ideologis.

(19)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bagi kehidupan setiap kelompok orang atau masyarakat, kekuasaan

memiliki arti penting karena mereka hidup dan bergerak dengan kekuasaan itu

sendiri.3 Dalam konteks Islam, kekuasaan juga selalu menjadi perhatian kaum

muslimin. Bahkan, masalah itu telah mengarahkan seluruh sejarah mereka sejak

masa pendirian Islam hingga sekarang. Sejak awal pertumbuhan di Arab,

fenomena keterkaitan Islam dengan kekuasaan dapat dibuktikan melalui

pengalaman Muhammad. Selain sebagai Nabi utusan Allah (Rasulullah), dia juga

memiliki “senjata” dengan mendirikan komunitas (’ummah) di bawah

kepemimpinannya. Justru karena dia muncul sebagai yang berwenang dalam

agama maka dia menjadi pemimpin Umatnya.4 Kenyataannya, Nabi Muhammad

memang tampil sebagai pendiri sebuah negara yang sepeninggalnya mampu

menguasai tata dunia global selama berabad-abad.

Maka wajar, ketika Nabi Muhammad wafat dan jasadnya pun belum

dimakamkan, di kalangan Sahabat5 muncul persoalan pertama yang berdimensi

3

Dalam ilmu sosial dan politik, kekuasaan adalah konsep yang penting meskipun hingga sekarang hakikatnya masih sangat sulit untuk dipahami. Namun, menurut April Carter kekuasaan mempunyai dua ciri: pertama kemampuannya untuk menghasilkan kesetiaan yang bersifat suka rela, dan kedua kemampuannya untuk memerintah dan memaksakan kepatuhan. Lihat April Carter, Otoritas dan Demokrasi, Jakarta: Rajawali, 1985, h. 25-28.

4 Lihat Mohammed Arkoun “Agama dan Kekuasaan”, dalam Johan Hendrik Meuleman (ed.),

Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, Jakarta: INIS, 1994, h. 210.

5

(20)

politik: siapa yang akan menjadi pengganti (khalîfah)6 tugas-tugasnya. Persoalan

pertama ini segera menjadi polemik, pertentangan dan bahkan di kemudian hari

berkembang menjadi krisis politik yang menentukan sejarah Islam ke masa depan.

Krisis politik yang terjadi di seputar masalah suksesi kepemimpinan

setelah Nabi wafat dan munculnya berbagai peristiwa tragis yang berlipat ganda,

adalah bukti lain yang menunjukkan bahwa Islam sebagaimana teraktualisasikan

dalam proses sejarah tidak terlepas dari masalah kekuasaan.

Meskipun kekuasaan memiliki arti penting dalam artikulasi Islam dan

merupakan pengalaman sejarah umat Islam yang otentik, tetapi secara teoretis

ternyata Alquran maupun sunah (hadis) tidak memberikan panduan yang spesifik

bagaimana seharusnya sistem kekuasaan dapat ditegakkan dan diorganisasikan

dalam Islam. Tepatnya, di dalam dasar-dasar ajaran Islam tidak ada ketentuan

yang pasti mengenai bentuk kekuasaan tertentu dan sistem pemerintahannya.7

Oleh sebab itu, dapat dimaklumi adanya perbedaan pendapat di kalangan Sahabat

sepeninggal Nabi tentang siapa yang akan menjadi penggantinya. Demikian juga

6 Istilah khalîfah secara harfiah berarti "pengganti", dan dalam wacana politik Islam istilah tersebut berarti "pemimpin pengganti Rasulullah", yaitu setiap orang yang memegang jabatan kekuasaan Islam yang tertinggi setelah Rasulullah wafat (dalam urusan negara dan agama) yang melaksanakan syariat (hukum) Islam di kehidupan negara. Selanjutnya, istilah tersebut ditulis "Khalifah" dengan huruf kapital "K" jika berfungsi sebagai sebutan, dan ditulis "khalifah" jika berarti sebagai jabatan. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, h. 563. Dalam konteks Suni (Ahlu Sunah[Waljamaah]), istilah "khalifah" sama artinya dengan "Imam" (’imâm). Istilah "khalifah" dalam laporan peneletian ini juga diartikan sama dengan istilah "Imam", yaitu "pemimpin/penguasa tertinggi Islam". Dalam arti itu, kata "Imam" ditulis dengan huruf kapital "I" yang membedakannya dengan kata "imam" yang berarti "pemimpin" di luar bidang negara atau politik, seperti imam salat, imam mazhab, dll.. "Khalifah/Imam" menunjuk kepada "orang/pejabat" dan "kekuasaan-lembaga-negara" disebut "khilafah" (khilâfah) atau "imamah" (’imâmah). Tetapi tidak demikian halnya dalam konteks Syî‘ah. Mazhab Islam yang satu ini hanya memiliki konsep "Imam-imamah" dalam arti spesifik, yaitu pemimpin/penguasa Islam yang kekuasaannya bersifat suci (ma‘shûm) dan merupakan hak mutlak Nabi Muhammad dan keturunannya (’âlu baiti al-Naby). Syî‘ah tidak menerima konsep "khalifah-khilafah" sebagaimana dipahami Suni.

7

(21)

polemik dan pertentangan politik di antara mereka menjadi tidak mudah

diselesaikan.

Ironisnya, siapapun yang bermaksud menjelaskan karakter tertentu

kekuasaan politik yang Islami, memastikan struktur dan mekanismenya, dan

menyusun sistemnya, justru tidak akan dapat terhindar dari perangkap-perangkap

kepentingan dan ideologi. Karena tidak dapat disangkal bahwa polemik berupa

klaim-klaim politik, pertentangan, dan pertumpahan darah yang terjadi adalah

bermotivasi kekuasaan dan perbedaan kepentingan antar pribadi atau antar

kelompok yang pada taraf tertentu diatasnamakan bermotivasi menegakkan

kebenaran agama. Klaim kalangan Quraisy atas hak kekuasaan terhadap selain

mereka, klaim elit Quraisy yang pro-’Abû Bakr terhadap kalangan yang pro-‘Aly

bin ’Abî Thâlib misalnya, atau sebaliknya, adalah contoh-contoh yang nyata

operasi kepentingan politik kekuasaan dan ideologinya.

Tidak dapat disangkal pula bahwa faksi-faksi politik yang saling bersaing

untuk meraih kekuasaan telah memanfaatkan berbagai sarana seperti kekuatan

sosial, kekuatan ekonomi, dan kekuatan ideologi. Khusus mengenai kekuatan

ideologi, strategi operasinya dapat dirunut dari munculnya klaim-klaim kelompok

sebagai yang paling berhak atas kekuasaan. Wacana yang berkembang adalah

bagaimana mekanisme suksesi kepemimpinan harus ditempuh serta siapa aktor

dan dari kelompok mana yang berhak dan pantas menduduki jabatan khalifah.

(22)

yang dapat dijadikan pedoman bagi mekanisme suksesi kepemimpinan,8 jelas

berhadapan dengan klaim kalangan pro-‘Aly yang memastikan kepemimpinan

sebagai hak istimewa keluarga keturunan Nabi (’âlu baiti al-Naby).9 Wacana

permulaan yang tidak dapat terlepas dari muatan “penumpang gelap” ideologi ini

terus berkembang seiring dengan perkembangan realitas politik di mana otoritas

kekhalifahan berhasil ditegakkan di atas segala macam bentuk dominasi sekaligus

tandingannya.10

Apalagi dalam prakteknya, masing-masing faksi selain menciptakan

komunitas-komunitas yang dibentuk atas dasar keterikatan area geografis, suku,

budaya, dan kepentingan tertentu, juga mengembangkan konsep dasar dan

karakteristik gerakannya. Konsekuensinya, pertentangan antar faksi untuk meraih

kekuasaan berkembang menjadi perbedaan paham (aliran) dalam sistem teologi

(dasar-dasar kepercayaan, hukum, dan struktur sosial yang lain). Kebutuhan yang

8 Dalam lingkaran para elit Sahabat di Saqîfah Banî Sâ‘idah, ’Abû Bakr menyatakan: “Seharusnya saya menanyakan, siapa yang akan menggantikan dia (Nabi Muhammad) dalam kekuasaan politik. Jika dia mengangkat seseorang, maka siapapun tidak bisa menolak calonnya dalam masalah ini. Dan seharusnya saya menanyakan juga kepada Nabi, apakah kaum Ansar berhak dalam kekuasaan politik.” Lihat ’Abû Muhammad ‘Abdullâh bin Muslim bin Qutaibah al-Dainuriy (’Ibn Qutaibah),

Al-’Imâmatu wa al-Siyâsah: Târîkhu al-Khulafâ’, Mesir: Muassasat al-Halabiy wa al-Syarîkah, t.t., jilid I, h. 19. Namun, di tengah-tengah perdebatan yang sengit antara kelompok Muhajirin dan kelompok Ansar, ’Abû Bakr mengemukakan sebuah hadis Nabi bahwa: “Para Imam adalah tetap dari Quraisy”. Lihat al-Mâwardiy, al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah, Bairut: Dâru al-Fikr, 1416/1996, h. 6

9 Kelompok Sahabat yang pro-‘Aly berpendirian bahwa Nabi Muhammad telah menunjuk dan memproklamirkan ‘Aly, menantunya, sebagai penggantinya. Pendirian demikian utamanya didasarkan pada peristiwa Ghâdir Khûm yang terjadi pada bulan Zulhijah tahun ke-10 hijriah ketika Nabi menyampaikan pidato dalam haji wadak. Lihat Usman Abu Bakar dkk., “Negara dan Pemerintah: Studi Komparatif Pemikiran Al-Mâwardiy dan ’Ibn al-Farrâ’”, Semarang: Balai Penelitian IAIN Walisongo, 1994/5, h. 2, tidak diterbitkan.

10 Faksi politik mayoritas yang pada akhirnya menamakan diri golongan Ahlu Sunah Waljamaah (Suni) mengembangkan wacana kekuasaan yang mengkristal pada konsep ‘Wewenang Dewan Permusyawaratan’ (’ahlu al-syûra/’ahlu al-halli wa al-‘aqd). Sementara itu wacana kekuasaan

(23)

riil untuk menyusun ajaran-ajaran Islam yang komprehensif dan sistematis oleh

masing-masing komunitas bertumpang-tindih dengan

kepentingan-kepentingannya sebagai faksi politik. Maka, perkembangan suatu paham atau

aliran di dalam Islam sangat terkait dengan kepentingannya sebagai faksi politik

dan sangat dipengaruhi oleh dominasi paham atau aliran yang dianut oleh rezim

yang berkuasa. Dengan demikian, wacana kekuasaan dengan ideologinya telah

menyebar ke segala arah sehingga mampu menembus batas-batas kesadaran

massa karena mengambil bentuk-bentuk wacana baru (dogma-dogma

keagamaan).

Karena latar belakang konflik politik yang berkepanjangan dan tidak

adanya pedoman teoretis yang dapat dijadikan pijakan untuk mengorganisasikan

sistem kekuasaan dalam Islam, kaum intelektual Muslim (ulama) merasa

terpanggil untuk menyusun teori hukum konstitusional Islam seiring dengan

semangat untuk mensistematisasi seluruh ajaran Islam. Di dalam golongan Suni

misalnya, para imam mazhab fikih seperti: ’Abû Hanîfah [al-Nu‘mân] (80-150 H

/699-767 M), Mâlik bin ’Anas (93-179 H /w.795 M), Muhammad bin ’Idrîs

al-Syâfi‘iy (150-204 H/w. 819 M), Ahmad bin Hanbal (164-241 H), dan al-’Auza‘iy

(w. 773 M) telah merintis kajian politik (al-fiqh al-siyâsiy) dan memasukkannya

ke dalam kitab-kitab fikih (hukum Islam) karangan mereka, meskipun masih

bersifat terbatas dan parsial. Barulah di tangan para murid mereka yang terkemuka

kajian politik kenegaraan dibahas secara tersendiri (terpisah dari tema-tema kajian

fikih yang lain), mendalam, meluas, detail dan sistematis. Sederet nama besar di

(24)

Hanîfah), ’Ibn Qutaibah (w. 300 H/913 M), Jâhizh (w. 305 H/917 M),

al-Bâqillâniy (w. 403 H), ’Abû Hasan ‘Aly bin Muhammad bin Habîb

[al-Mâwardiy] (364-450 H /974-1058 M), al- Baghdâdiy (w. 463 H), dan ’Abû Ya‘lâ

al-Farrâ’ (380-458 H /963-1011 M). 11

Secara umum dapat dikatakan bahwa sebaik apapun kualitas moral

individu para cendekiawan tersebut, sekuat apapun dedikasi mereka terhadap

tanggung jawab keilmuan, dan seteguh apapun upaya independensi mereka dari

pengaruh kekuasaan, di balik karya teoretis mereka terdapat endapan-endapan

kepentingan untuk memanfaatkan agama secara ideologis dalam konteks

persaingan bersama lawan-lawan mereka di dalam ruang politik yang ada.

Secara khusus dalam kasus ’Abû Hasan ‘Aly bin Muhammad bin Habîb

al-Mâwardiy (terkenal dengan sebutan al-Mâwardiy), ia telah menulis kitab

al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah. Secara substansial, isi kitab ini telah memenuhi tuntutan

kebutuhan teoretis atas landasan hukum konstitusional bagi praktek

penyelenggaraan kekuasaan negara dalam kerangka etika politik Islam. Bukan

saja cakupan materi kitab tersebut yang komprehensif, tetapi juga disusun secara

sistematis, dan menggunakan metode ilmiah yang sulit diragukan.

Maka tidak mengherankan jika kitab tersebut dinilai sebagai karya

monumental, literatur penting tentang prinsip-prinsip kekuasaan dalam Islam, dan

memiliki pengaruh yang dominan terhadap pemikiran politik Islam.12 ’Al-Ahkâm

al-Sulthâniyyah merupakan masterpiece karya al-Mâwardiy yang menjadi rujukan

11 Catatan tahun wafat para cendekiawan Muslim tersebut mengacu kepada ‘Umar Ridhâ Kihâlah,

Mu‘jamu al-Mu’allifîn, Beirut, Dâru ’Ihyâ’i al-Turâtsi al-‘Arabiy, tt. 12

(25)

terpenting pemikiran politik Suni pada abad-abad setelahnya hingga sekarang. Di

Indonesia, pengaruh al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah tampak seperti dalam tradisi

intelektual yang berlaku di dunia pesantren, di mana kitab ini dianggap sebagai

literatur yang paling muktabar mengenai pemikiran politik Islam. Selain itu,

pengaruh al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah juga tampak di dalam pemikiran

organisasi/gerakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), seperti tertuang di dalam

edisi-edisi buletinnya: "Al-Islam", yang fokus pada perjuangan menegakkan

"khilafah".13

Namun dari sudut pandang sejarah terlihat, bahwa ’Ahkâm

al-Sulthâniyyah ditulis oleh al-Mâwardiy dalam konteks ketegangan pertentangan

politik antar dinasti dan golongan yang terus bersaing untuk meraih kekuasaan

dan menanamkan pengaruhnya. Sejak pertengahan abad ke-9 M, kekuasaan

khalifah dari dinasti ‘Abbâsiyyah yang berkedudukan di Bagdad mulai melemah.

Khalifah dinasti ‘Abbâsiyyah tidak lagi memiliki kekuasaan yang eksklusif dan

penuh. Otoritas khalifah mulai terganggu dengan munculnya penguasa-penguasa

lokal yang tidak selalu menaruh respek terhadap eksistensi pemerintahan pusat.

Kekuasaan dinasti Thâhir di Persia, dinasti Thûlûn di Mesir, dan berbagai

pemberontakan telah ikut serta memperlemah posisi khalifah. Apa yang dapat

dipertahankan khalifah pada saat itu adalah sebatas otoritas simbolik sebagai

(26)

penguasa tunggal dunia Islam.14 Kemudian, pada tahun 944 M, dinasti Buwaihiy

yang merupakan para petinggi militer yang memiliki kecenderungan Syî’ah yang

kuat berhasil masuk dan menguasai pusat kekuasaan Khalifah ‘Abbâsiyyah di

Bagdad. Faksi Syî’ah yang semula lebih merupakan gerakan bawah tanah, dengan

kehadiran dinasti Buwaihiy di pusat kekuasaan, menjadi lebih leluasa berkembang

dan membangun jaringan komunitasnya. Sehingga, dalam waktu yang relatif

singkat Bagdad, Ray, Isfahan, Qazwin, Syiraz, dan Thabaristan telah berkembang

menjadi pusat-pusat dinamika Syî’ah. Di bawah pengaruh perlindungan para

’amîr dan sultan15 dari dinasti Buwaihiy berbagai perayaan keagamaan yang

bersandar pada doktrin Syî’ah berlangsung secara semarak. Gerakan intelektual

juga berkembang dengan pesat. Beberapa ilmuwan terkenal seperti ’Ibn

Bâbawaih, al-Mufîd, ‘Allâm al-Hudâ, dan al-Thûsiy hidup pada masa tersebut dan

berhasil mengembangkan doktrin-doktrin Syî’ah lebih jauh.16

Perkembangan situasi sosial dan politik tersebut jelas mengundang reaksi

dari kelompok lawan untuk mengadakan gerakan tandingan. Suni (Ahli Sunah)

sebagai faksi politik yang terbesar, terutama melalui sayap mazhab Hambali

merespon perkembangan situasi tersebut secara fundamental, yakni mengadakan

14 M. Nafis, dkk., “Konfigurasi Keagamaan dalam Islam: Studi tentang Sekte dan Mazhab Abad XI di Daerah Bagdad dan Khurasan”, Semarang: Balai Penelitian IAIN Walisongo, 1996, h. 18, tidak diterbitkan.

15

Pada masa kepemimpinan ’Abû Bakr hingga ’Aly, pemimpin Islam disebut ’amîru al-mu’minîn. Perkembangan kemudian, umat Islam juga mengenal sebutan "khalifah", "Imam", "malik", "amir", dan "sultan" bagi penguasa-penguasa mereka. Dalam tataran praktis maupun teoretis politik Islam yang terus berkembang seiring dinamika politik dan perluasan wilayah kekuasaan Islam , penguasa tertinggi Islam (penguasa pusat) disebut "khalifah", atau "Imam", atau ’amîru al-mu’minîn yang menyimbolkan kesatuan kekuasaan Islam; sedangkan "malik", "amir", dan "sultan" adalah penguasa-penguasa daerah otonom. Fenomena ini terus berlangsung hingga dihapuskannya lembaga khilafah terakhir yang berpusat di Turki oleh Mustafa Kamal pada pertengahan abad ke-19 M.

(27)

polemik serta perlawanan terhadap gerakan Syî’ah. Pertengkaran antara dua

kelompok inipun seringkali terjadi.

Pada sisi lain, semangat faksi Suni dalam melakukan gerakan tandingan

dimanfaatkan Khalifah al-Qâdir Billâh (berkuasa: 991-1031 M) untuk

memperkuat posisinya dan mengembalikan otoritas kekuasaan kekhalifahan yang

selama hampir dua abad dipegang oleh para "amir" dan sultan yang

membangkang. Untuk tujuan tersebut, Khalifah al-Qâdir Billâh menetapkan

kebijakan politik berupa “Dekrit Qadiriah”, yaitu pemberlakuan sistem teologi

Suni sebagai mazhab resmi negara sekaligus penguatan otoritas institusi khalifah

sebagai penguasa tunggal negara Islam (al-Dawlat al-Islâmiyyah). Koalisi antara

pihak khalifah dengan faksi Suni ini di kalangan sarjana Barat dikenal sebagai

“the Suni Revival and Restoration”.17 Khalifah yang menggantikan al-Qâdir

Billâh, yaitu al-Qâ’im Billâh (berkuasa: 1031-1075 M), melanjutkan kebijakan

tersebut dengan membentuk panitia khusus yang bertugas mempersiapkan segala

sesuatu yang berhubungan dengan pengembalian otoritas khalifah. Usaha restorasi

ini tidak hanya ditujukan kepada kekuasaan dinasti Buwaihiy, tetapi juga

ditujukan kepada seluruh dinasti yang berkuasa di beberapa daerah Islam, seperti

dinasti Hamdâniy, dinasti Saljûq, dan dinasti Fâthimiyyah.18

Koalisi antara pihak Khalifah ‘Abbâsiyyah dengan kekuatan faksi Suni

yang mayoritas memiliki makna yang strategis bagi kedua belah pihak, terbukti

dengan semakin menguatnya posisi dan otoritas khalifah atas dinasti-dinasti

pesaingnya dan diberlakukannya mazhab Suni sebagai mazhab resmi negara, serta

17 Lihat G. Makdisi, “The Suni Revival”, dalam D. S. Richard (ed.), Islamic Civilization 950-1150, Oxford: Bruno Cassier, 1973, h. 68-155.

(28)

diangkatnya ulama Suni menjadi pejabat-pejabat penting negara, antara lain

sebagai penasehat khalifah atau hakim. Hal-hal inilah yang mempengaruhi kondisi

struktur politik dan formasi keagamaan.19

Gambaran umum situasi dan kondisi sosial dan politik seperti tersebut di

atas menjadi pengalaman hidup al-Mâwardiy, bahkan sebagai salah satu tokoh

terkemuka dari mazhab Suni dia terlibat langsung dalam struktur pemerintahan

dengan menjadi hakim agung (’aqdh al-qudhât).

Terkait dengan kehadiran al-Mâwardiy sebagai salah satu pemikir

terkemuka mazhab Suni, dan bahkan dia terlibat langsung dalam praktek politik

pemerintahan dengan menjadi hakim agung, patut diduga bahwa seluruh situasi

yang menjadi konteks dan melingkupi kehidupannya itu memiliki pengaruh yang

kuat terhadap karya pemikirannya, al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah.

Diasumsikan bahwa al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah bukanlah datang secara

sekonyong-konyong: hampa sejarah (a-historis), atau tidak terkait dengan

kerangka epistemik (metodologis dan ideologis) yang berkembang pada masa itu.

al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah sebagai hasil pemikiran merupakan sebagian simbol

dari realitas: pergulatan antar-kepentingan sosial, politik, ekonomi, dan budaya

pada zamannya. Atau dengan perkataan lain, tentu ada kekuatan-kekuatan sosial,

politik, dan budaya (khususnya ilmu pengetahuan dan ideologi) yang mendorong

dan atau melahirkan al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, mengoperasikannya pada

zamannya, bahkan mengkanonkannya pada zaman sesudahnya sehingga sekarang.

(29)

Dengan demikian ada gejala-gejala sejarah, epistemologi, dan ideologi

yang perlu diungkap terkait dengan kelahiran al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, dan

gejala-gejala itu sulit didekati dengan perspektif teologis-substansialis. Oleh

karena itu, gejala-gejala yang terkait dengan kelahiran ’Ahkâm

al-Shulthâniyyah perlu dilihat dari sudut pandang teori kritis dan menempatkannya

dalam wilayah kajian budaya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini mengambil tema “fenomena

historis al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah karya al-Mâwardiy”. Tema penelitian ini

dimaksudkan untuk menjawab masalah utama: kekuatan-kekuatan sejarah yang

melahirkan dan membentuk gagasan etika politik Islam al-Mâwardiy dalam

al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah”. Garis besar masalah ini dapat diuraikan menjadi tiga

persoalan spesifik sebagai berikut:

1. Kondisi sosial, politik, dan budaya macam apa yang menentukan kelahiran

al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah karya al-Mâwardiy?

2. Apa metodologi yang dipakai al-Mâwardiy untuk menyusun ’Ahkâm

al-Shulthâniyyah?

3. Bagaimana implikasi dari keduanya secara ideologis?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan persoalan tersebut di atas,

(30)

1. Mengungkap dan menggambarkan kondisi-kondisi sosial-historis yang

menentukan kelahiran al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah karya al-Mâwardiy.

Pengungkapan kondisi sosial-historis ini penting untuk menunjukkan

bahwa al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah sebagai sebuah gagasan bukan

merupakan kreasi mental al-Mâwardiy yang transenden dan terlepas dari

aspek-aspek kesejarahan. Sebaliknya, pengungkapan kondisi

sosial-historis itu akan memperlihatkan kelahiran al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah

sebagai fenomena yang bersifat budaya dan manusiawi, dan dengan

demikian ia sangat terikat dengan aspek-aspek kesejarahan.

2. Mengungkap dan menggambarkan metodologi atau sistem pemikiran yang

diapakai untuk merumuskan pandangan-pandangannya tentang etika

politik Islam dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah. Penjelasan mengenai

sistem pemikiran al-Mâwardiy ini penting, karena

pandangan-pandangannya tentang etika politik Islam pastilah berada di dalam sistem

budaya pemikiran tertentu dan dirumuskannya melalui teknik-teknik

pemikiran yang ada di dalam sistem itu. Pengungkapan aspek metodologi

ini merupakan salah satu konsekuensi teoretis dari perspektif penelitian

yang menempatkan al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah sebagai fenomena

budaya.

3. Menganalisis implikasi-implikasi ideologis al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah,

baik yang terkait dengan aspek historis, metodologis, maupun substansi. Karena penelitian ini menempatkan al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah sebagai

(31)

juga perlu diperhitungkan. Bahkan, jika aspek ini diabaikan dalam

mengkaji al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, selain akan berakibat mengurangi

arti bobot kajian dengan perspektif kritik sejarah, lebih-lebih hal itu juga

akan mengakibatkan perolehan pemahaman mengenai ’Ahkâm

al-Shulthâniyyah yang lebih kuat nuansa teologisnya. Padahal pemahaman

yang lebih berorientasi teologis sangat kecil kemungkinannya dapat

menghindar dari "perangkap" ideologi yang ada pada dirinya sendiri,

maupun kemungkinan untuk dapat menangkap keberadaan ideologi dalam

al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah sebagai sebuah wacana keagamaan yang

otoritatif.

D. Relevansi Penelitian

Islam memiliki makna yang historis, tetapi, pada saat yang sama, fenomena ini

sering diabaikan dalam pemahaman dan kajian terhadap Islam, atau pemahaman

yang ada tentang fenomena ini sangat kurang memadai.

Menurut Mohammed Arkoun, telah lama wacana Islam dimonopoli oleh

kalangan yang disebut sebagai revivalis (salafiy: secara literal berarti pengikut

kaum terdahulu yang saleh) dan terkungkung oleh postulat-postulat modernisme.

Sejak permulaan Nahdhah (kebangkitan Islam) pada abad ke-19 M hingga saat

ini, wacana Islam terjebak dalam konfrontasi antara dua sikap dogmatis:

(32)

’ishlâhiy,20 dan postulat-postulat ideologis dari rasionalisme positivis kaum

modernis.21 Wacana Islam konfrontatif ini terangkum dalam semua diskusi

skolastik tentang Orientalisme. Islam, dalam diskusi-diskusi ini, diasumsikan

sebagai sebuah kesatuan sistem pemikiran, kepercayaan, non-kepercayaan yang

spesifik, esensial, dan tak dapat diubah, yang superior atau inferior (menurut umat

Islam atau non-Islam) terhadap sistem Barat (Kristen). Pendekatan historis

terhadap Islam dalam kedua tradisi tersebut tidak lebih dari sebagai sandaran

ideologis dan perhitungan naratif terhadap fakta-fakta. Sejarah hanya dilihat

secara antikuarian, di mana masa lampau terlalu diagung-agungkan dan diangkat

sebagai hakim dan menjadi legitimasi atas masa kini.22 Menurut Arkoun, "inilah

saatnya menghentikan konfrontasi tidak relevan antara dua sikap dogmatis ini."23

Ada fenomena lain sebagai akibat dari wacana konfrontatif di atas. Semua

polemik yang belakangan ini ditujukan terhadap Orientalisme memperlihatkan

20 Sikap reformis (’ishlâhiy), menurut Mohammed Arkoun, merupakan ciri utama pemikiran Islam sejak Nabi Muhammad wafat (632 M). Dalam pandangan model pemikiran ini, nilai perilaku manusia dan, secara lebih umum, nilai perkembangan suatu masyarakat sejak saat itu, dianggap semata-mata bergantung pada keselarasan dengan teks-sumber-model atau dengan contoh-contoh dan warisan-warisan dari figur-figur yang diidealkan, yaitu Nabi, para Sahabat dan Imam (’imâm). Setiap langkah penyimpangan dari model-model ini dirasa dan dipikir sebagai degenarsi pribadi dan dekadensi komunal. Akibatnya ulama dari setiap mazhab, hingga saat ini, mendakwahkan kembali kepada pola yang benar dari eksistensi manusia yang serba asli. Diskusi yang lengkap mengenai hal ini lihat, Mohammed Arkoun, Pemikiran Arab, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, h. 21. Di tempat lain Arkoun mendefinisikan pemikiran ’ishlâhiy sebagai pemikiran pembaruan yang muncul sejak abad ke-19 oleh mazhab salaf [kaum revivalis]. Lihat Mohammed Arkoun, "Rethinking Islam", dalam Charles Kurzman (ed.), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, Jakarta, Paramadina, 2001, h. 336.

21 Suasana intelektual Barat abad ke-19 M menekankan manusia sebagai makhluk yang dikenal sangat rasional dan menaruh harapan besar dalam pemikiran (akal) sebagai satu-satunya sarana untuk mengerti dan menyelesaikan setiap masalah sosial. Paham ini merasuk dalam lingkungan intelektual Muslim, salah satu nama yang memiliki pengaruh besar hingga saat ini adalah Muhammad ‘Abduh (Mesir: 1849-1905 M). Di Indonesia hingga sekarang, pemikiran-pemikiran pembaruan ‘Abduh masih berpengaruh sangat dominan di lingkungan intelektual Muslim yang mengklaim sebagai kelompok "pembaru" [modernis].

22 Ungkapan “sejarah antikuarian” meminjam istilah yang dipakai St. Sunardi, lihat tulisannya, “Kajian Budaya: Pada Mulanya Adalah Perlawanan ….”, dalam RETORIK, Vol. 2, No. 4, Oktober 2003, h. 12.

(33)

dengan jelas bahwa apa yang dikenal sebagai kelompok Islam "fundamentalis"

bersikeras menegakkan simbol-simbol ajaran Islam sebagai sebuah institusi

formal (seperti konsep "khilafah" [khilâfah] atau "imamah" [’imâmah]), yang tak

lebih hanya sebagai sebuah alat ideologis untuk mencapai

kepentingan-kepentingan politiknya. Pada tataran praktis, Islam diposisikan dalam kerangka

strategi yang tidak menyentuh realitas sosial, bahkan seringkali menimbulkan

kekerasan.

Demikian juga, karena terperangkap dalam wacana Orientalisme,

kesarjanaan modern tetap jauh dari proyek epistemologis apapun yang dapat

membebaskan Islam dari postulat-postulat esensialis dan substansialis tentang

metafisika klasik.24 Studi Islam, khususnya, dihambat oleh warisan definisi dan

metode yang kaku dari teologi dan metafisika klasik.25 Kelemahan ini, bahkan

tampak lebih jelas tergambar melalui literatur-literatur pemikiran Islam modern

yang miskin, konformis, dan seringkali polemis. Kebanyakan literatur justru

menunjukkan kecenderungan ke arah jalan pemikiran ’ishlâhiy yang

membabi-buta.26 Selain itu, karena dikuasai oleh postulat-postulat rasionalisme positivistik,

24 Mohammed Arkoun, Loc. Cit.

25 Contoh yang paling nyata adalah postulat mengenai Alquran. Sejak kekalahan doktrin Muktazilah tentang kemakhlukan Alquran, "Islam resmi" sampai sekarang berpegang pada keyakinan yang baku bahwa Alquran bukan makhluk dan bersifat azali. Oleh karena itu, hingga saat ini masih tidak mungkin, umpamanya, menggunakan ekspresi "problem Tuhan" dalam studi Islam, menggabungkan Tuhan dan musykil (problem); Tuhan tidak dapat dianggap sebagai problematik. Ia diketahui dengan baik, ditampilkan dengan baik dalam Alquran; manusia hanya diharuskan untuk merenungkan, meresapi, dan memuja apa yang Tuhan wahyukan tentang Diri-Nya dalam Kata-kata-Diri-Nya sendiri. Contoh lainnya adalah definisi yang dibakukan mengenai kelompok sosial mu’minûn di satu sisi, dan kâfirûn, munâfiqûn, serta musyrikûn di sisi yang lain. Definisi-definisi tersebut beserta konsep-konsep turunannya terpelihara secara masif dalam literatur Islam dan nyaris tertutup untuk didiskusikan.

26 Corak pemikiran ’ishlâhiy dalam literatur-literatur pemikiran Islam modern, antara lain tergambar melalui pemikiran-pemikiran Jamâl al-Dîn al-’Afghâniy (18381897) dan Muhammad ‘Abduh yang diadopsi dengan yakin oleh program International Institute of Islamic Thougth

(34)

pemikiran Islam modern hanya cenderung menitikberatkan esensi dan substansi

sebuah ajaran, dengan mengabaikan tata aturan teoretis-metodologis. Pendekatan

rasional terhadap esensi dan substansi ajaran Islam lebih dikedepankan ketimbang

detail-detail aturan metodologis yang memang rumit dan memusingkan.

Akibatnya, literatur-literatur itu tidak hanya miskin nuansa melainkan juga

simplistik secara metodologis. Ungkapan-ungkapan seperti: Islam sesuai dengan

semangat kemodernan, kemajuan, kebebasan, demokrasi dan egalitarianisme,

sebenarnya hanyalah jargon-jargon imitatif yang mengais isu-isu dari Barat.

Dalam hal kebebasan berpikir misalnya, kaum intelektual Islam "modernis" dan

"liberal" selalu mengedepankan isu kebebasan berijtihad sembari menuduh

(seperti perilaku guru-guru Orientalis mereka) kelompok tertentu sebagai yang

terbelakang, yang beku, yang anti kemajuan, dan yang menyebabkan kemunduran

Islam. Tetapi sampai dengan sekarang, isu-isu mereka tak lebih hanyalah

omong-kosong. Melalui penelitian ini, penulis tidak mau terlibat dalam semua diskusi

yang membicarakan relevansi intelektual dan ilmiah Islam dari sikap mental

inferior tersebut, sikap yang tidak memperhatikan problem-problem

epistemologis, sikap yang juga memiliki motivasi ideologis.

Tugas yang jauh lebih mendesak dan bermakna dibanding semua diskusi

(35)

dengan perspektif epistemologi baru terhadap karakteristik-karakteristik

sistem-sistem pengetahuan Islam. Perspektif ini dapat dirumuskan sebagai sikap yang

“regresif-progresif”: perspektif yang mendorong penggunaan nalar (penelitian)

secara bebas menuju elaborasi pandangan baru dan koheren, dengan memasukkan

situasi-situasi baru yang dihadapi masyarakat-masyarakat dan unsur-unsur hidup

tradisi umat Islam.27 Pendekatan historis, arkeologis, sosiologis, antropologis,

linguistik, semiotik, kritik ideologi, dan dekonstruksi, yang menjadi perspektif

baru ilmu-ilmu sosial kemanusiaan kontemporer, tampaknya lebih memungkinkan

sebagai alat bedah untuk membeberkan, menggeledah, membongkar, dan

memilah antara dimensi historis, dimensi mitis, dan fungsi-fungsi ideologis

pengetahuan yang terbentuk dalam fakta Islam. Dalam model studi demikian,

nalar harus dibebaskan dari ontologi, transendentalisme, dan substansialisme yang

telah membuatnya terpenjara, khususnya melalui berbagai postulat teologis yang

diterima tanpa diskusi. Pendekatan-pendekatan teoretis tersebut memiliki peran

yang lebih penting dalam memikirkan kembali status kognitif wacana Islam. Ia

bukan hanya menyediakan cara untuk dapat melihat, menilai, dan menempatkan

masa lalu Islam, melainkan pada saat yang sama ia juga mengajak siapapun untuk

kritis terhadap apa yang sedang terjadi dan apa yang akan terjadi dalam Islam. Hal

ini adalah sekaligus sebuah metodologi, sebuah epistemologi, dan sebuah teori

sejarah.28

Penelitian ini didedikasikan untuk memenuhi tugas mendesak dan penting

tersebut, yaitu studi kritis dalam kerangka rethinking Islam. Tentu usaha

27

(36)

memikirkan kembali (rethinking) Islam adalah proyek laten yang tidak akan

pernah berhenti dengan hasil yang final. Dalam gagasan Arkoun, proyek

memikirkan kembali Islam berarti inisiatif intelektual yang terus-menerus, yang

berusaha menemukan suara yang berwenang atau teori yang diakui yang dapat

memberikan gambaran tentang sebuah Islam yang menyerap ke dalam mentalitas

modern yang saintifik, dan pada saat yang sama ke dalam pengalaman keagamaan

umat Islam. Sebagai ilustratif Arkoun mempertanyakan:

… mungkinkah mengartikulasi sebuah visi modern Islam dapat mempunyai pengaruh yang sama, terhadap masyarakat, dengan pengaruh

Risâlah [’Abû ‘Abdillâh Muhammad] al-Syâfi‘iy (767-820 M.) atau ’Ihy ‘Ulûmu al-Dîn [’Abû Hâmid Muhammad] al-Ghazâliy (1058-1111 M.)? Saya mengacu kepada kedua karya besar itu, karena keduanya menggambarkan inisiatif intelektual yang sama dengan yang saya tuju, yaitu untuk memasukkan, sebagaimana yang dilakukan oleh al-Syâfi’iy dan al-Ghazâliy, disiplin-displin baru, pengetahuan baru, dan pemahaman-pemahaman historis yang baru ke dalam Islam sebagai sebuah pandangan spiritual dan historis tentang keberadaan manusia.29

Dengan mengapresiasi semangat dan langkah ilmiah Arkoun, telah cukup

jelas perbedaan posisi penelitian ini dibanding posisi revivalisme dalam konteks

diskusi tentang Orientalisme. Tetapi orang masih dapat mengajukan pertanyaan:

di mana letak perbedaan penelitian ini dengan kajian Orientalis? Bukankah

melakukan studi secara kritis dengan menggunakan seperangkat metode ilmu

sosial kemanusiaan kontemporer (yang notabene berkembang dalam sejarah

tradisi pemikiran Barat) terhadap karakteristik-karakteristik pengetahuan Islam,

sama saja dengan apa yang dilakukan oleh para sarjana Orientalis dan para sarjana

pengikut mereka?

(37)

Budaya Barat seperti juga budaya Timur atau Islam bukanlah budaya yang

tunggal dan monolog. Dalam aspek pemikiran misalnya, pengetahuan dan

keilmuan Barat merupakan ragam dialog antar gagasan dan bahkan kontradiktif.

Rasionalisme positivistik dalam ilmu sosial yang dominan di Barat sejak abad

ke-19, menjelang berakhirnya abad ke-20 telah banyak digugat paradigma dan status

epistemologinya. Postulat-postulat epistemik yang mendasari ilmu sosial

kemanusiaan (humaniora) dibongkar. Maka lahirlah teori-teori ilmu humaniora

yang membongkar dan emansipasif, seperti banyak digunakan dalam studi

kebudayaan kontemporer (cultural studies). Teori-teori ini lahir di Barat dan

sebagai kritik atas tradisi keilmuan Barat.

Ketika kebanyakan reaksi sarjana-sarjana non-Barat mengambil bentuk

yang secara kultural benar-benar defensif terhadap wacana Orientalisme,

sementara itu Edward W. Said secara sengaja berpijak pada keilmuan Eropa yang

emansipasif membongkar epistemologi Orientalisme. Orientalisme yang

rasional-positivistik mengklaim bahwa kultur Barat Eropa yang modern dan humanis

adalah model bagi masyarakat-masyarakat di luar Eropa, dan bahwa ekspansi

Eropa ke seluruh penjuru dunia adalah sebagai proses peradaban global.

Klaim-klaim seperti ini terasa mengabsahkan bagaimana penjajah-penjajah Eropa

membangun dominasi dan kekerasan, dan Orientalisme dengan konsep

antropologi dan sosiologinya berperan penting dalam menjamin kelangsungan

proses-proses itu. Tetapi dalam pandangan Said, “Timur dulu diciptakan – atau,

(38)

dan Barat didasarkan pada kekuasaan, atau dominasi dan berbagai tingkat

hegemoni yang kompleks.”30

Studi Said tentang Orientalisme hanya salah satu dari banyak contoh studi

kritik atas tradisi nalar Barat dengan memakai konsep-konsep metodologis yang

orisinal milik Barat. Said, yang berpijak pada teori-teori ilmu sosial kemanusiaan

kontemporer milik Michel Foucault, Antonio Gramsci, dan lain-lain, tampak

memiliki keistimewaan dalam cara memandang Barat. Sekurang-kurangnya, Said

telah menunjukkan bahwa jawaban bagi Orientalisme tidak bisa Oksidentalisme.31

Walaupun penulis sangat simpati dan sependapat dengan kritik Said atas

Orientalisme, tetapi pada taraf tertentu penulis melihat kritik Said dapat menjadi

senjata atau cara baru bagi Oksidentalisme untuk melawan Orientalisme. Penulis

merasa tidak perlu menjadi epigon semangat Said terhadap Orientalisme, tetapi

mencoba bertindak seperti Foucault, atau Gramsci, atau ‘pendekar-pendekar’

mazhab Frankfurt yang merumuskan teori kritis untuk mengkritik budayanya

sendiri. Jadi, penelitian ini adalah semacam otokritik, tanpa harus menolak atau

apalagi mengamini Orientalisme.

Terkait dengan pengaruh "wibawa" yang dimiliki Ahkâm

al-Sulthâniyyah, penelitian ini penting untuk menghindari "perangkap-perangkap"

ideologis yang diyakini ada di dalamnya, maupun untuk mengkritisi klaim dari

kelompok-kelompok Islam yang mencoba memanfaatkannya – baik langsung atau

tidak langsung – secara ideologis sebagai "resep ampuh" atas problem politik

Islam sekarang.

30

(39)

E. Survei Hasil-Hasil Penelitian

Di kalangan para ahli studi politik Islam, reputasi al-Mâwardiy dengan karyanya:

al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, telah sangat dikenal. Meskipun al-Mâwardiy

bukanlah perintis pemikiran politik Islam, tetapi pemikiran politik yang

dituangkannya di dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dinilai paling komprehensif

dan sistematis. Oleh karena itu, al-Mâwardiy dianggap sebagai tokoh pemikir

yang berperan penting dalam mengembangkan teori politik Islam yang melebihi

para pemikir pendahulunya, mulai dari al-Baghdâdiy, al-Bâqillâniy, ’Ibn

Qutaibah, al-Jâhizh, ’Ibn al-Muqaffâ, hingga ’Abû Yûsuf.32

Maxmillian Enger adalah orang pertama yang berjasa memperkenalkan

karya al-Mâwardiy tersebut kepada publik ilmiah Eropa. Pada tahun 1853, Enger

menterjemahkan al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah ke dalam bahasa Inggris dengan

judul yang sama.33

Tulisan yang lebih bersifat kajian dibuat oleh H.A.R. Gibb, (1937), dalam

bentuk artikel dengan judul “Al-Mâwardi’s Theory of the Caliphate”.34

Penelitian-penelitian kecil yang lain dilakukan oleh Khâlid M. ’Ishaque dengan judul

“Al-Ahkâm al-Sulthâniyya: Law of Government in Islam”35, dan Muhammad ’Abû

Zahrah dengan judul “’Abû al-Hasan al-Mâwardiy”.36

32 Lihat komentar Qamaruddin Khan, Al-Mawardi's Theory of The State, h. 20-21. 33

Maxmillian Enger (ed.), Al-’Ahkâm al-Sultâniyya, Bonn: Adolphus Marcus, 1853. Di sini, perlu disampaikan koreksi atas informasi Nur Mufid yang melaporkan bahwa ’Ahkâm al-Shulthâniyyah dalam edisi bahasa Inggris baru terbit pada tahun 1996 yang ditulis oleh Asadullah Yate dengan judul: the Laws of Islamic Governance, di London oleh penerbit Ta-Ha Publishers. Lihat Nur Mufid, “Lembaga-lembaga Politik Islam Menurut Al-Mâwardiy dalam Kitabnya al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah ah”, Surabaya: Balai Penelitian IAIN Sunan Ampel, 1998.

34 H.A.R. Gibb, “Al-Mâwardi’s Theory of the Caliphate”, Islamic Culture 11, No. 3, Juli 1937. 35 Khâlid M. Ishaque, “Al-Ahkâm al-Sulthâniyya: Law of Government in Islam”, Islamic Studies 4, No. 3, September 1965.

(40)

Ann K. S. Lambton, melalui perspektif ilmu hukum, menulis buku State

and Government in Medieval Islam, 1981. Sesuai judul buku, isinya merupakan

pengantar bagi pembaca untuk mengenal konsep negara dan pemerintahan dalam

Islam Abad Pertengahan. Di dalam buku tersebut, Lambton mengemukakan

ikhtisar pemikiran beberapa tokoh yang dianggap mewakili atas pemikiran

beberapa tokoh yang lain, dan di antara tokoh yang dibahas pemikirannya adalah

al-Mâwardiy. Lambton mencoba menganalisa al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah untuk

menemukan corak pemikiran politik al-Mâwardiy. Menurut Lambton, teori politik

al-Mâwardiy bersifat yuridis dan bukan teori politik yang bercorak pemikiran

spekulatif (filosofis).37 Lambton juga mengemukakan bahwa teori politik

al-Mâwardiy dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah yang bersifat yuridis tidak hanya

didasarkan pada kaidah-kaidah ijtihad hukum tertentu, melainkan lebih banyak

didasarkan pada fakta-fakta historis yang disimpulkan sebagai ijmak. Oleh karena

itu, menurut Lambton, al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah adalah sebuah dokumen kunci

untuk mengetahui prinsip-prinsip kekuasaan dalam praktek Islam yang terdapat

pada abad ke-6 M. sampai dengan masa hidup al-Mâwardiy, yang diterima (secara

ijmak) oleh para ahli (ulama) hukum Islam.38 Tetapi, Lambton tidak sampai

menemukan dan mengulas metodologi penyimpulan hukum (al-manhaj li

’istinbâth al-hukm) yang dipakai al-Mâwardiy dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah.

Penulis mempunyai kesan, bahwa Lambton hanya melihat teks pemikiran

al-Mâwardiy yang eksplisit dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, sementara aspek

historis yang menjadi latar belakang teks dan metodologi yang menjadi

37 Ann K. S. Lambton, State and Government in Medieval Islam, Oxford: Oxford University Press, 1981, h. 83.

(41)

kaedah pengarah bagi teks, yang kedua-duanya implisit diabaikannya. Selain itu,

Lambton hanya berkutat pada aspek hasil pemikiran (product of thought)

al-Mâwardiy dengan memindah isi teks al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah secara ringkas

dan menjelaskan beberapa maknanya. Dengan demikian, Lambton lebih bertindak

sebagai promotor atau quality control atas ‘produk’ al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah,

daripada bertindak sebagai seorang teknisi ahli. Karena itu, Lambton masih

berpijak pada posisi tradisi Orientalis klasik yang memiliki kecenderungan

esensialis dan substansialis terhadap teks-teks yang menjadi obyek studinya.

Sebuah kajian yang eksklusif mengenai al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah,

ditulis dalam bentuk buku oleh Qamaruddin Khan berjudul Al-Mâwardi’s Theory

of the State, (1983). Buku Qamaruddin tersebut, meskipun tipis tetapi koheren, di

mana ia menganalisa teori politik al-Mâwardiy secara kritis-refleksif. Ia mencoba

membandingkan pemikiran al-Mâwardiy dengan pendirian para ahli hukum

sebelumnya di satu sisi, dan mendialogkannya dengan kondisi politik

kontemporer pada sisi yang lain. Qamaruddin berhasil menunjukkan poin-poin

kelebihan pemikiran al-Mâwardiy dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah atas

pemikiran-pemikiran para ahli yang lain, seperti diungkapkannya: bahwa

al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah lebih komprehensif, detil, dan sistematis,39 sehingga

“…. al-’Ahkâm al-Sultânia became a standard work of reference on political and

administrative practice,”40 dan bahwa “al-Mâwardi was the founder of the science

of politics in the political world.”41 Sekaligus, Qamaruddin menggaris-bawahi

39 Qamaruddin Khan, Al-Mâwardi’s Theory of the State, Lahore: Islamic Book Foundation, 1403 H/1983 M, h. 23.

40

(42)

beberapa hal di dalam al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah yang menurutnya perlu

dikritisi.

Di antara kritik-kritik Qamaruddin terhadap al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah

adalah: pertama, seperti gambaran yang ditangkap oleh Lambton, Qamaruddin

juga melihat bahwa al-Mâwardiy bukanlah seorang pemikir (thinker) politik, dan

oleh karena itu dia tidak mengemukakan konsepnya tentang negara secara

filosofis. Al-Mâwardiy, menurut Qamaruddin, tidak mendiskusikan hakikat

(meaning) negara, tujuan-tujuannya, struktur hukumnya (jurisdiction), mekanisme

kebijakan-kebijakan (obligations) dan pertanggungan-jawabnya (responsibilities),

dan konsep kedaulatannya (sovereignty), sehingga tidak dapat diketahui secara

lengkap gagasannya tentang konstitusi. Kehati-hatian al-Mâwardiy, atau dalam

ungkapan Qamaruddin dikatakan: “did not indulge in empty speculation”,

sehingga memiskinkan teorinya tentang konstitusi negara, menurut Qamaruddin

membawa dampak: “….has not only very much reduced the value of

al-Mawardi’s work but has its deadening effect on the later development of Islamic

political thought.”42

Kedua, terkait dengan konsep demokrasi, Qamaruddin melihat bahwa

kesetujuan al-Mâwardiy terhadap praktek pemilihan khalifah hanya melalui

penunjukan oleh khalifah yang menjabat sebelumnya adalah tidak demokratis.

Lebih dari itu, menurut Qamaruddin, al-Mâwardiy sangat mengkhususkan

hak-hak dan prerogatif khalifah, tetapi tidak memberikan atensi pada hak-hak-hak-hak dan

tuntutan-tuntutan (claims) rakyat. Akhirnya, kata Qamaruddin: “lack of the idea of

(43)

fundamental rights of men has been one of the principal sores in Muslim polity for

ages, and has been mainly responsible for almost complete absence of the growth

of democratic life in Muslim lands”.43

Buku Qamaruddin tersebut telah cukup adil dalam menilai ’Ahkâm

al-Shulthâniyyah. Qamaruddin mengkritik pemikiran al-Mâwardiy itu secara

seimbang: mengakui kelebihan-kelebihannya dan sekaligus menunjukkan

kekurangan-kekurangannya. Tetapi, Qamaruddin agak berlebihan (kurang

proporsional) di dalam kritiknya. Ia tidak fair, karena mengkritik pemikiran

al-Mâwardiy tidak berdasarkan tuntutan konteks situasi politik saat itu (epistème

Islam Abad Pertengahan), melainkan berdasarkan wacana-wacana politik dan

tuntutan budaya masyarakat kontemporer. Penulis menganggap, Qamaruddin

telah meletakkan “beban” yang terlalu berat di atas “pundak” al-Mâwardiy.

Di kalangan intelektual Muslim Indonesia, nama al-Mâwardiy dan

al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah juga sangat dikenal. Di lingkungan akademik, kajian

terhadap al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dapat ditemukan, antara lain, di dalam buku

Syafii Maarif yang berjudul Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang

Percaturan dalam Konstituante.44 Buku Syafii Maarif ini semula merupakan

disertasinya di Universitas Chicago. Ketika Syafii Maarif membangun kerangka

teoretis untuk disertasi tersebut, khususnya konsep ’imâmah, ia menyinggung

pemikiran al-Mâwardiy. Dengan mengacu kepada al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah,

Syafii Maarif mengulas teori al-Mâwardiy tentang ’imâmah. Tetapi, mungkin

karena alasan tempat yang sempit atau tema ini bukan merupakan obyek langsung

43 Qamaruddin Khan, Loc. Cit. 44

(44)

penelitiannya, Syafii Maarif hanya mengutip komentar-komentar orang lain

tentang al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, tanpa menunjukkan pendapat atau

analisanya sendiri.

Penulis juga menemukan buku yang ditulis oleh Munawir Sjadzali

berjudul Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran.45 Seperti

tampak dari judul buku tersebut, isinya merupakan ringkasan sejarah hidup dan

teori politik tokoh-tokoh Muslim Abad Klasik dan Abad Pertengahan. Apa yang

dikerjakan Munawir itu hampir sama dengan yang dikerjakan Lambton dalam

State and Government in Medieval Islam. Perbedaannya, di antara banyak

perbedaan yang lain, Lambton mengkaji al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah melalui

pendekatan ilmu hukum, sedangkan Munawir mengkajinya melalui pendekatan

ilmu politik. Sesuatu hal yang baru dalam tulisan Munawir adalah ulasan

perbandingan antara konsep bai‘ah (baiat) al-Mâwardiy dengan teori "kontrak

sosial" dari pemikiran para filsuf Barat seperti: Hubert Languet (Perancis:

1519-1581 M), Thomas Hobbes (Inggris: 1588-1679 M), John Locke (Inggris:

1632-1704 M), dan Jean Jaques Rousseu (Perancis: 1712-1778 M).

Usman Abu Bakar bersama dosen-dosen lain sejawatnya di IAIN

Walisongo Semarang, melakukan tugas penelitian pada tahun 1994 dengan obyek

al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah. Penelitian yang mereka lakukan diarahkan untuk

menjawab masalah yang kontroversial di kalangan pemerhati teori politik Islam

sehubungan pada tahun 1938 ditemukan kitab tulisan ’Abû Ya’lâ al-Farrâ

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan Presiden sebagai Lembaga Eksekutif yang menjalankan Pemerintahan juga memiliki fungsi Legislasi yang bersifat memberikan inisiatif RUU sebagaimana yang

(1) Hasil kompilasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d dan huruf e, diserahkan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak/Kepala Kantor Pelayanan

1) tambahan tugas (menghafal); menerapkan hukuman bagi siswa-siswinya sekolah dapat menerapkan fafalan ayat al- Quran. Misalnya, siswa melakukan kesalahan karena datang

8 PPID Provinsi Jawa Timur memperoleh penghargaan dari Komisi Informasi Pusat masuk 10 besar sebagai Badan Publik dalam rangka implementasi UU Keterbukaan Informasi

Sistem antrian angkutan pelabuhan penyeberangan Merak apabila disimulasikan dengan total keberangkatan dan kedatangan kapal Ro-Ro dalam satu hari berjumlah 119 kapal Ro-Ro

Selain itu, tinggi rendahnya kadar protein pada bakso goreng dapat disebabkan oleh lama tidaknya proses penjemuran dan pengovenan yang bertujuan untuk mengurangi kadar air pada

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan berkat dan Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh

Nama Institusi : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas