• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wacana-wacana Ideologis al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah 124

BAB III EKSPLORASI TERHADAP AL-MÂWARDIY

D. Wacana-wacana Ideologis al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah 124

Tidak dapat dikatakan secara totaliter bahwa seluruh isi ’Ahkâm al-Shulthâniyyah merupakan ideologi dan ditulis demi tujuan ideologis. Demikian

248 Fazlur Rahman, Op. Cit., h. 96.

249 Inventarisasi data-data metodologis ini dibatasi pada 6 bab yang pertama yang mencakup masalah-masalah mendasar dalam tata pemerintahan dan dekat dengan kepentingan-kepentingan ideologis. Lihat daftar lampiran.

juga, tidak dapat dikatakan bahwa al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah bersih dari ideologi. Berikut ini akan dipaparkan wacana-wacana yang secara kuat menampakkan diri sebagai mitos (simbol ideologi) atau wacana yang memiliki implikasi ideologis:

1. Menurut al-Mâwardiy, pemerintah (wullât al-’umûr) adalah lembaga kekuasaan yang kewenangannya bersumber dari Allah, bertugas (memiliki kewajiban) melaksanakan dan membuat kebijakan yang dapat menjamin pelaksanaan hukum-hukum-Nya, dan oleh karena itu, ia bertanggungjawab kepada-Nya.250 Penegasan al-Mâwardiy ini mengabaikan fakta bahwa pemerintah adalah manusia biasa yang tidak memiliki kemampuan mengakses Kehendak Allah yang absolut dan transenden. Selain itu, gagasan al-Mâwardiy tersebut juga mengabaikan fakta bahwa baik Alquran maupun sunah yang disepakati umat Islam sebagai sumber ajaran Islam yang paling otoritatif tidak menjelaskan secara rinci dan pasti mengenai mekanisme pengejawantahan mandat Kekuasaan Ilahi kepada kekuasaan manusiawi. 2. Al-Mâwardiy mengemukakan bahwa salah satu alasannya menulis al-’Ahkâm

al-Shulthâniyyah adalah karena melaksanakan perintah seseorang yang wajib dipatuhi.251 Meski al-Mâwardiy tidak menjelaskan siapa orang yang dimaksud, tetapi dapat dijelaskan bahwa yang dimaksudkannya adalah khalifah (al-Qâ’im) karena dialah yang memang wajib dipatuhi sesuai dengan konsep imamah. Sebagai seorang pejabat negara (hakim agung), sudah seharusnya jika al-Mâwardiy mematuhi perintah khalifah yang menjadi

250

Al-Mâwardiy, Al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, h. 3 251 Al-Mâwardiy, Loc. Cit.

atasannya langsung itu. Terkait dengan relasi jabatan bawahan-atasan, patut dipertanyakan bagaimana sikap al-Mâwardiy untuk menjaga independensi pendapat-pendapatnya, terutama mengenai hal-hal atau hukum-hukum yang bersangkut-paut dengan otoritas khalifah, meskipun al-Mâwardiy mengatakan: "Saya berdoa kepada Allah subhânahû wa ta‘âlâ sambil meminta pertolongan-Nya dan saya memohon taufik dan hidayah-Nya, Dialah sandaranku satu-satunya"?252

3. Al-Mâwardiy mengatakan: "Sesungguhnya Allah yang Maha Kuasa telah menetapkan adanya pemimpin bagi Umat yang menjadi pengganti fungsi kenabian, menjaga terselenggaranya ajaran Agama, memegang kendali politik, membuat kebijakan pemerintahan yang dilandasi syariat...".253 Pertanyaan-pertanyaan yang patut diajukan terkait dengan pernyataan al-Mâwardiy itu antara lain: di manakah garis ketetapan Allah itu? Seperti apakah bunyi ketetapan-Nya? Benarkah memang ada ketetapan-ketetapan itu?

4. Al-Mâwardiy mengatakan: "Imamah adalah dasar bagi tegaknya ajaran-ajaran Agama, bagi terwujudnya kesejahteraan Umat, dan menjadi tumpuan bagi kepentingan-kepentingan publik, serta menjadi sumber wewenang bagi kekuasaan-kekuasaan yang khusus."254 Bahwa negara dan kepemimpinannya harus ada adalah premis yang dapat diterima oleh siapapun yang memiliki akal sehat, karena hal itu dibutuhkan dalam hidup manusia dan untuk menjamin kelangsungannya. Manusia, dan bahkan hewan selainnya yang lebih rendah, tercipta dengan tabiat hidup secara berkelompok, dan di dalam setiap

252 Al-Mâwardiy, Loc. Cit.

253

Al-Mâwardiy, Loc. Cit.

kelompok itu terdapat "pemimpin" yang memiliki kekuasaan/kemampuan yang mengatasi selainnya. Lalu, sejak kapan "kepemimpinan" itu diagamakan? Sejak kapan 'kepemimpinan' itu menjadi sakral dan suci? Sejak kapan "kepemimpinan" itu menjadi hak istimewa orang/golongan tertentu terhadap orang/golongan yang lain? Atas dasar apa bangunan argumentasi keabsahan model-model "kepemimpinan" itu?

5. Imamah dalam terminologi al-Mâwardiy menunjuk kepada arti "pemerintahan Islam", dan al-’ummah adalah "umat Islam". Pemaknaan ini, selain didekati dari segi semantik, secara gramatika bahasa Arab dua istilah itu dipakai al-Mâwardiy dalam bentuk definitif (’ism al-ma‘rifah). Meskipun al-Mâwardiy tidak menyertakan kata-kata "Islam" dibelakng dua istilah itu, arti yang dimaksudkan al-Mâwardiy adalah arti tersebut. Apa implikasi dari penggunaan istilah-istilah ini?

6. Mengenai salah satu syarat bagi calon Imam, al-Mâwardiy mengatakan: "ia harus keturunan dari suku Quraisy karena adanya nas tentang hal itu dan telah terwujudkannya ijmak ulama tentang masalah itu".255

7. Pengangkatan Imam dilakukan dengan dua cara, yaitu melalui pemilihan oleh "dewan pemilih" dan atau melalui permandatan oleh Imam sebelumnya. Dalam dua mekanisme suksesi itu al-Mâwardiy sama sekali tidak memperhitungkan hak suara rakyat dengan dalih bahwa keduanya merupakan mekanisme yang dipraktekkan al-khulafâ’u al-râsyidûn dan telah terwujud

255 Al-Mâwardiy, Ibid., h. 6

ijmak.256 Al-Mâwardiy juga tidak menjelaskan bagaimana mekanisme pengangkatan anggota "dewan pemilih".

8. Seorang Imam dapat mengangkat siapa saja orang yang cocok sebagai penggantinya, termasuk mengangkat ayah atau anak laki-lakinya. Persetujuan "dewan pemilih" tidak diperlukan. Al-Mâwardiy mengatakan: "Imam adalah orang yang paling berhak atas baiat imamah itu, pilihannya dalam masalah baiat imamah lebih kuat dan pendapatnya lebih pasti."257

9. Al-Mâwardiy mengatakan: "Imam yang memberikan mandat kepada orang lain [putra mahkota, pen.] tidak boleh mencabut status mandat yang telah ia berikan, selama kondisinya belum berubah [sampai terjadi perubahan penting pada putra mahkota yang secara hukum membatalkannya, pen.]. Dalam masalah pemberian mandat itu, Imam berlaku sebagai wakil dari kaum Muslimin sehingga ia tidak berhak untuk mencabutnya kembali, sebagaimana halnya dewan pemilih tidak dapat memberhentikan orang yang mereka telah membaiatnya untuk memangku jabatan Imam, selama orang itu belum berubah sifatnya sehingga tetap mencukupi syarat-syarat kompetensi jabatannya."258

10.Al-Mâwardiy berkata: "Khalifah boleh memilih dewan pemilih, sebagaimana ia boleh memilih calon penerima mandat. Hanya pilihan dewan pemilih yang telah ia tunjuk itulah yang sah, juga hanya pengangkatan orang yang ia

256 Al-Mâwardiy, Ibid., h. 6-10 257

Al-Mâwardiy, Ibid., h. 10 258 Al-Mâwardiy, Ibid., h. 11

calonkan sebagai penerima mandatlah yang sah. Ini karena kedua hal itu merupakan bagian dari hak-hak jabatan kekhalifahannya."259

11.Menurut al-Mâwardiy, khalifah dapat mengangkat dua atau lebih putra mahkota sebagai penggantinya. Argumentasi ini diambil dari peristiwa pertempuran di Mu‘tah, di mana Nabi mengangkat Zaid bin Hâritsah sebagai komandan tentara Islam dan berkata, bahwa jika dia [Zaid] gugur dalam pertempuran, dia digantikan oleh Ja‘far bin ’Abî Thâlib, kemudian digantikan oleh ‘Abdullâh bin Rawâhah. Jika Rawâhah juga gugur, maka umat Islam bisa memilih salah satu di antara mereka sebagai komandannya.260

12.Jika imamah telah dipegang oleh Imam secara resmi, baik dengan penyerahan mandat maupun pemilihan, seluruh rakyat harus mempercayakan semua persoalan mereka kepadanya, menyerahkan kepadanya wewenang penetapan kebijakan umum secara mutlak [tanpa syarat], tanpa meminta penjelasannya apalagi melawan, sehingga ia dapat menjalankan apa yang diamanahkan kepadanya, yaitu menciptakan kebijakan-kebijakan yang dapat mewujudkan kebaikan bagi rakyat dan mengatur jalannya pemerintahan.261

13.Di antara 10 pokok kewajiban Imam, yang paling utama – al-Mâwardiy menyebutnya pertama kali – adalah menjaga dan mempertahankan prinsip-prinsip Agama yang telah mapan dan telah terwujud konsensus dari otoritas-otoritas masa lalu.262

259 Al-Mâwardiy, Ibid., h. 13 260 Al-Mâwardiy, Loc. Cit.

261

Al-Mâwardiy, Ibid., h. 15 262 Al-Mâwardiy, Loc. Cit.

14.Jika Imam dikudeta oleh salah seorang pembantunya, yang menginginkan semua kekuasaan ada pada dirinya namun tidak secara terbuka menentang Imam, maka ia akan tetap menempati posisinya [legalitas jabatannya tidak gugur].263

15.Menurut al-Mâwardiy, Jabatan menteri termasuk yang dilarang untuk diduduki wanita. Hal ini berdasarkan hadis: "Suatu bangsa tidak akan mendapatkan keberuntungan jika mereka menyerahkan urusan negara mereka kepada wanita". Berlakunya larangan ini, lanjut al-Mâwardiy, karena menghasilkan pendapat yang tepat serta ketangguhan sikap tidak dimiliki oleh wanita, serta tidak diperbolehkannya untuk tampil di muka umum.264

263 Al-Mâwardiy, Ibid., h. 19-20 264 Al-Mâwardiy, Ibid., h. 27

BAB IV

ANALISA HISTORIS, METODOLOGIS, DAN MITOS AL-’AHKÂM AL-SHULTHÂNIYYAH

Sesuai dengan masalah dan landasan teoretis penelitian, teks ’Ahkâm al-Shulthâniyyah akan dianalisis melalui tiga perspektif: historis, metodologis, dan mitis.

Dengan analisa historis, akan dilihat pengaruh-pengaruh situasi sosial, politik, dan budaya yang signifikan terhadap kelahiran ’Ahkâm al-Shulthâniyyah. Melalui analisa historis ini, bukan saja akan diperlihatkan konteks sosial, politik, dan budaya yang menentukan kelahiran ’Ahkâm al-Shulthâniyyah, serta posisinya di dalam konteks historis itu,265 melainkan juga akan diperlihatkan arah kehendak, dorongan-dorongan, dan kepentingan-kepentingan ideologis yang tersembunyi secara rapat dalam forma wacana hukum

al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah di dalam konteks sosial dan politiknya. Dalam model analisa yang terakhir ini, analisa historis diarahkan kepada – meminjam istilah Mannheim – faktor-faktor temporal dan sosial266 yang memiliki efek pada isi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah di satu sisi, dan di sisi lain faktor-faktor temporal dan sosial itu menunjukkan fungsi wacana al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah di dalam

265 Analisa terhadap masalah-masalah ini berarti memeriksa faktor-faktor eksisitensial al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah di dalam proses sosial secara periferis. Faktor-faktor tersebut hanya dipandang semata-mata sebagai sesuatu yang mengkondisikan asal-usul atau perkembangan faktual al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, atau sekedar dipandang sebagai faktor-faktor yang memiliki relevansi genetis dengannya.

266

Lihat Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik,

konteks historisnya. Model analisa inilah yang dimaksudkan sebagai historisitas

al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah yang berkait dengan isi atau wacananya.

Analisa metodologis dilaksanakan berdasarkan asumsi bahwa al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah sebagai wacana etika politik Islam dibentuk berdasarkan cara pandang dan cara berpikir tertentu (kelompok sosial al-Mâwardiy). Al-Mâwardiy dalam analisa ini, posisinya dipandang sebagai individu yang berpikir dengan mengambil bagian dalam pemikiran lebih lanjut yang telah dipikirkan orang lain sebelumnya. Ia berada dalam suatu situasi yang diwariskan dengan pola-pola pemikiran yang sesuai untuk situasi ini dan berusaha menjelaskan lebih lanjut cara-cara menanggapi yang telah ada atau menggantinya dengan cara-cara lain supaya dapat menghadapi tantangan-tantangan baru yang muncul dari peralihan-peralihan dan perubahan-perubahan situasinya secara memadai.267 Cara-cara tertentu yang dipakai al-Mâwardiy untuk menanggapi situasi yang dihadapinya inilah – penulis mendefinisikannya sebagai metodologi yang membentuk isi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah – yang perlu dikonkretkan rumusannya melalui analisa yang disebut analisa metodologis. Analisa metodologis bukan hanya dimaksudkan untuk mendefinisikan rumusan metodologi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah, tetapi juga dimaksudkan sebagai upaya mempertimbangkan jangkauan (batasan) metodologi itu, implikasi-ipmlikasinya, serta fungsinya secara historis. Pada momen ini, analisa akan lebih memperkuat fenomena historisitas ’Ahkâm al-Shulthâniyyah yang khusus menyangkut aspek metodologinya. Jelasnya, analisa

267 Lihat Karl Mannheim, Ibid., h. 3

metodologis juga diupayakan untuk mengungkap historisitas metodolgi al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah.

Analisa metodologis pada tahap ini, selain didasarkan pada asumsi teoretis di atas, juga didasarkan pada asumsi bahwa al-Mâwardiy sebagai individu sangat terikat dengan kelompoknya. Ia berjuang keras menurut posisi, ciri, dan cara kelompoknya itu untuk mengubah dunia alam sekitarnya dan masyarakat atau berusaha memeliharanya tetap pada kondisi yang telah ada. Padahal di dalam setiap ruang historis, terdapat ragam kelompok dan setiap kelompok memiliki kepentingan yang sama untuk melakukan tindakan seperti itu dan cenderung saling menolak atau menghancurkan (terjadi kompetisi). Maka, analisa metodologis terhadap al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah pada tahap ini adalah sebagai upaya mengungkapkan historisitas metodologinya di dalam ruang kontestasi antar sistem pemikiran yang saling berkompetisi untuk meraih kekuasaan sosial. Dengan demikian, tahap ini merupakan momen yang paling penting untuk mengenali bentuk operasi yang terdalam dari hubungan ’Ahkâm al-Shulthâniyyah dengan kekuasaan.

Akhirnya, analisa metodologis bertujuan menyatakan bahwa setiap pilihan metodologis tertentu dari kelompok tertentu (seperti metodologi ’Ahkâm al-Shulthâniyyah) memiliki keterbatasan jangkauan, mengandung implikasi-implikasi, serta fungsi-fungsi ideologis tertentu yang tidak dapat dielakkannya. Pada taraf tertentu, dalam konteks persaingan sosial, pilihan metodologis itu juga menunjukkan ideologi subyeknya.

Kemudian yang terakhir, analisa mitis lebih diartikan sebagai salah satu upaya lain untuk melakukan kritik ideologi terhadap al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah. Dalam konteks ini, analisa mitis dioperasikan untuk membedah struktur wacana mitis al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah: mengenali bentuk-bentuk mitosnya, menjabarkan sistem operasinya, dan mendefinisikan fungsinya secara ideologis. Sehingga, analisa mitis ini juga merupakan salah satu cara untuk melakukan kritik terhadap ideologi al-Mâwardiy bersama kelompoknya dalam konteks masyarakat Bagdad abad IV H/10 M. Sebenarnya, langkah analisis yang terakhir ini pun merupakan strategi yang ketiga untuk menunjukkan historisitas ’Ahkâm al-Shulthâniyyah. Perbedaan strategi ini dengan strategi yang pertama (melalui analisa historis) terletak pada bobot perspektif sinkronis-diakronis. Pada strategi pertama, historisitas al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah dibedah melalui isi atau wacananya yang lebih diperlakukan atau dilihat secara sinkronis. Sebaliknya pada strategi ketiga (melalui analisa mitis), isi atau wacana al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah

lebih diperlakukan atau dilihat secara diakronis.

Berdasarkan uraian pendahuluan di atas, maka bab ini berisi pembahasan

al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah melalui: (a) analisa historis, (b) analisa metodologis,