BAB III EKSPLORASI TERHADAP AL-MÂWARDIY
B. Konteks Historis al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah
Apa yang dimaksud dengan istilah "konteks historis" adalah kondisi sosial, politik, dan budaya Islam pada abad X-XI masehi, serta wacana politik Islam yang
152
Al-Mâwardiy, Loc. Cit.
berkembang hingga kurun itu. Kondisi-kondisi tersebut diasumsikan sebagai, sesuai perspektif teoretis yang telah dibahas di depan, fenomena epistemik yang menentukan kelahiran al-’Ahkâm al-Shulthâniyyah.
Sebelum hal ini dipaparkan, terlebih dahulu akan dikemukakan biografi al-Mâwardiy secara singkat. Meskipun singkat, diharapkan biografi ini dapat membantu dalam melakukan analisa nanti, terutama untuk menentukan posisi al-Mâwardiy dalam struktur sosialnya, dan posisi pemikirannya di antara pemikiran-pemikiran yang lain.
1. Riwayat Hidup Al-Mâwardiy
Al-Mâwardiy memiliki nama lengkap ’Abû Hasan ‘Aly bin Habîb Al-Mâwardiy al-Bashriy al-Baghdâdiy. Ia lahir di Basra, pada tahun 364 H/974 M, ketika kota ini menjadi salah satu pusat pengajaran dan pendidikan di dunia Muslim.154 Di
154 Kota Bashrah (Basra) dibangun pada tahun 16 H (636 M) pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar bin Khaththâb, setelah wilayah Irak dikuasai oleh tentara Islam di bawah pimpinan Sa‘d bin ’Abî Waqqâs tahun 635. Lokasi pembangunan kota Basra ditetapkan sendiri oleh Khalifah ‘Umar di daerah Kharîbah yang berdekatan dengan kota pelabuhan Ubullah di teluk Persia. Selama pemerintahan ‘Umar, Basra menjadi markas tentara Islam. Dalam perkembangannya, setelah didatangi para pedagang, Basra menjadi pusat perdagangan, baik pada masa khulafâ’u al-râsyidûn berikutnya, maupun pada masa dinasti ‘Umâwiyyah dan ‘Abbâsiyyah.
Untuk mengajarkan Islam kepada penduduk Basra, Khalifah ‘Umar mengirimkan ulama dari Madinah ke kota itu, antara lain ’Abû Mûsâ al-Asy‘ariy. Sejak itu sampai di masa pemerintahan ‘Umâwiyyah dan ‘Abbâsiyyah, Basra menjadi salah satu pusat pendidikan di dunia Islam. Para siswa berdatangan ke kota itu untuk mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan. Kota itu menjadi tempat bertemunya kebudayaan Persia dan Arab. Ketika ilmu pengetahuan dan peradaban Islam mencapai puncak kemajuan dengan berpusat di Bagdad, Basra menjadi pusat kajian bahasa Arab, sastra dan sains yang penting, serta menjadi tempat berkumpulnya para pujangga Arab, sehingga kota itu disebut Khazânatu al-‘Arab. Kemajuan Basra di bidang perdagangan, bahasa, sastra dan ilmu pengetahuan serta peradaban Islam disebut dalam buku cerita terkenal Seribu Satu Malam (Alfu Lailatin wa Lailah).
Sebagai kota ilmu pengetahuan, bahasa dan sastra, kota Basra telah melahirkan sejumlah ulama, tokoh pemikir dan penyair. Ulama yang terkenal antara lain ‘Amr bin al-‘Ulâ, Yûnus bin Habîb, ‘Isâ bin ‘Amr, al-Khalîl bin Ahmad bin ‘Amr, dan al-’Asma‘iy, serta Sîbawayh. Tokoh pemikirnya antara lain [’Abû] al-Hasan al-Bashriy dan Wâshil bin ‘Athâ'. Sedangkan penyairnya antara lain Farazdaq, Bisyâr bin Bard, Muslim bin Wahîd, dan ’Abû Nuwwâs. Sampai dengan sekarang, Basra merupakan kota propinsi terbesar kedua setelah Bagdad. Seluruh keterangan ini
kota inilah ’Abû Hasan ‘Aly, putra desa yang menjadi tempat sentra penyulingan air mawar (mâ’u al-ward), memperoleh pendidikan dasarnya. Karena berasal dari desa tersebut, ’Abû Hasan ‘Aly kemudian dikenal dengan sebutan al-Mâwardiy. Ia belajar hadis pada al-Hasan bin ‘Aly bin Muhammad al-Jabaly, Muhammad bin ‘Adiy bin Zuhri al-Muqri´iy, Muhammad bin al-Ma'lâ al-’Uzdiy, dan Muhammad bin Fadhal Baghdâdiy. Ia juga belajar fikih pada ’Abi Qâsim ‘Abd al-Wâhid bin Muhammad al-Shaimariy, seorang hakim di Basra saat itu. Kemudian ia melanjutkan studinya ke kota Bagdad di “kampus” al-Za‘farâniy [Al-Hasan bin Muhammad bin al-Shabâh Abû ‘Aly al-Za‘farâniy, w. 260 H]. Di kota pusat peradaban Islam dan pusat pemerintahan dinasti ‘Abbâsiyyah ini, al-Mâwardiy menajamkan disiplin ilmunya di bidang hadis dan fikih pada seorang guru bernama ’Abû Hâmid ’Ahmad bin ’Abî Thâhir al-’Isfirâyîniy (w. 406 H).155 Al-Mâwardiy secara khusus mempersiapkan diri untuk menjadi pejabat negara sebagai hakim,156 dan kenyataannya kemudian, ia memang diangkat oleh Khalifah al-Qâ’imbillâh menjadi hakim tingkat wilayah dan bertugas di beberapa daerah. Selain sebagai hakim, al-Mâwardiy juga diberi jabatan istimewa, yaitu sebagai duta khusus keliling bagi khalifah dari tahun 381 H. sampai dengan tahun 422
merupakan catatan ensiklopedis, lihat Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994, hlm. 243-244
155 Lihat pengantar penerbit Dâr al-Fikr untuk, Al-Mâwardiy, ’Adab al-Dunyâ wa al-Dîn, Beirut: Dâr al-Fikr, 1415 H/1995 M, h. 4. Lihat juga Nur Mufid, “Lembaga-lembaga Politik Islam Menurut Al-Mâwardiy dalam Bukunya al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah”, Surabaya: Balai Penelitian IAIN Sunan Ampel, 1998, h. 12.
156 Qamaruddin Khan, Al-Mawardi's Theory of the Satate, Lahore: Islamic Faoudation, 1983, h. 20-21
H.157 Hingga pada tahun 429 H. Khalifah al-Qâ’imbillâh mengangkatnya menjadi hakim agung (’aqdh al-qudhât) yang berkedudukan di Naisabur.158
Setelah sekian lama al-Mâwardiy menekuni karirnya sebagai hakim agung, akhirnya, ia memilih menetap di Bagdad dan menekuni kesibukan baru sebagai pengajar. Di kota ini pula al-Mâwardiy menghabiskan waktunya untuk menulis banyak buku, yang mencakup bermacam-macam disiplin seperti: fikih, hadis, tafsir, bahasa Arab, sastra, administrasi, politik, dan etika.
Namun, sampai sekarang hanya 12 karangan al-Mâwardiy yang telah diterbitkan dalam bentuk buku, yaitu: 159
1) Al-Hâwy al-Kabîr [Kandungan Besar]; kitab kumpulan hukum fikih Syafiiah yang terdiri dari 20 jilid
2) Al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah [Hukum-hukum Ketatanegaraan] 3) Nasîhat al-Mulûk [Nasehat untuk Raja-raja]
157 Nur Mufid, Op. Cit., h. 13
158 Pada tahun 429 H, Khalifah al-Qâ’im bin al-Qâdir Billâh mengumpulkan empat orang ahli hukum, yang masing-masing mewakili empat mazhab fikih, untuk menyusun sebuah ringkasan mengenai fatwa hukum. Al-Mâwardiy dipilih mewakili mazhab Syafii dan menulis kitab yang diberi judul al-’Iqnâ‘, al-Ghuduriy mewakili mazhab Hanafi menulis kitab al-Mukhtashar, sedang dua kitab lainnya dianggap tidak begitu penting. Khalifah mengakui karya al-Mâwardiy sebagai yang terbaik, dan untuk menghargai jasanya itu, al-Mâwardiy diangkat sebagai hakim agung (’aqdh al-Qudhât). Gelar dan jabatan tersebut adalah yang pertama kali dalam sejarah Islam, dan pengangkatan terhadap al-Mâwardiy untuk memegang jabatan dengan gelar tersebut memunculkan keberatan beberapa ahli hukum terkemuka lainnya, seperti ’Abu Thayyib al-Thabariy (seorang hakim waktu itu, w. 460 H, lihat Kihâlah, Mu‘jam al-Mu’allifîn, vol. 8, h. 264) yang menyatakan bahwa tidak seorang pun berhak menyandang gelar itu kecuali Allah. Namun al-Mâwardiy mengabaikan berbagai keberatan ini dengan tetap menerima pengangkatannya, dan menjalankan jabatan dengan gelarnya itu sampai akhir masa hidupnya. Alasan al-Mâwardiy mempertahankan gelar itu, karena para ahli hukum yang sama sebelumnya telah mengakui gelar
Mâlik al-Mulûk al-’A‘zham (Rajadiraja yang paling mulia) bagi Sultan Rukn al-Dawlah. Lihat keterangan ini pada Qamaruddin Khan, Al-Mawardi’s Theory of the State, h. 21. Terdapat keterangan yang kontradiktif mengenai alasan al-Mâwardiy tersebut, karena dalam kasus gelar
Mâlik al-Mulûk al-’A‘zham, menurut Muhammad bin Kan‘an, al-Mâwardiy tidak memperbolehkannya. Lihat keterangan di bawah nanti.
159
Lihat pengantar penerbit Dâr al-Fikr untuk, Al-Mâwardiy, ’Adab al-Dunyâ wa al-Dîn, Beirut: Dâr al-Fikr, 1415 H/1995 M, h. 4-5
4) Qawânînu al-Wizârâh wa Siyâsatu al-Mulk [Undang-undang Kementerian dan Politik Kekuasaan]
5) Al-Nukatu wa al-‘Uyûn fî Tafsîri al-Qur’âni al-Karîm. [Masalah-masalah Pelik dan Pilihan: Tafsir Alquran]
6) Al-’Iqnâ‘ [Kerelaan]; ringkasan al-Hâwy al-Kabîr
7) ’Adab al-Qâdhi [Etika Hakim]
8) ’A’lâm al-Nubuwwah [Tanda-Tanda Kenabian]
9) Tashîl al-Nazhar wa Ta’jîl al-Zhafr [Mempermudah Pandangan dan Mempercepat Hasil Tujuan]
10)Al-Nahw [Tata Bahasa Arab]
11)Al-’Amtsâl wa al-Hukm [Contoh-contoh (Kasus) dan Hukumnya] 12)’Adab al-Dunyâ wa al-Dîn [Etika Agama dan Dunia]
Selain 12 buku tersebut, karya-karya al-Mâwardiy, sampai dengan sekarang, masih dalam bentuk manuskrip yang tersimpan di sejumlah perpustakaan atau museum di berbagai negara, terutama di Eropa.160 Di antara banyak karangan al-Mâwardiy, al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah adalah yang memasyhurkan namanya sejak masa hidupnya hingga sekarang. Dalam sejarah Islam, karya itu merupakan naskah ilmiah yang pertama tentang ilmu politik dan administrasi negara.161
160 Komentar singkat tentang keistimewaan buku-buku karya al-Mâwardiy tersebut dan informasi tempat penyimpanan manuskrip-manuskripnya dapat ditemukan dalam Nur Mufid, Op. Cit., h. 12-17
Al-Mâwardiy adalah seorang ahli fikih yang sangat terkenal, tokoh terkemuka paham Suni dan pendukung utama mazhab Syafii,162 serta pejabat tinggi istana yang besar pengaruhnya pada masa menjelang akhir kekuasaan dinasti ‘Abbâsiyyah. Di Bagdad pula, akhirnya, al-Mâwardiy wafat pada tahun 450 H/1058 M.163
Kesimpulannya, al-Mâwardiy terlahir di daerah yang menjadi pusat pemerintahan dan peradaban Islam abad IV H/X M, ia mempelajari berbagai bidang/disiplin ilmu dan terutama mendalami ilmu fikih, karena ilmu ini memang dianggap paling penting dan merupakan standar baku untuk melihat kredibilitas intelektual Muslim di dunia Islam. Karena kemampuan keilmuannya, al-Mâwardiy dipercaya sebagai salah seorang pejabat tinggi istana yang sangat berpengaruh. Akhirnya, al-Mâwardiy bukan saja tampil sebagai seorang pejabat tinggi negara, melainkan juga seorang intelektual yang produktif menulis karya-karya ilmiah yang penting. Sebuah karya-karya yang memiliki pengaruh besar hingga masa sekarang adalah al-’Ahkâm al-Sulthâniyyah.
2. Kondisi Sosial dan Politik di Bagdad Abad IV H / X M
162 Lihat, ’Abû Bakr al-Baghdâdiy, Târîkhu al-Baghdâd, Beirut: Dâru al-Turâtsi al-‘Arabiy, 1942, XIII, h. 102. A. Hasjmy memasukkan al-Mâwardiy ke dalam daftar 30 jajaran ulama pendukung utama mazhab Syafii pada urutan ke-16, setelah ’Abû Thayyib Thâhir ‘Abdullâh al-Thabariy (w. 460 H). Lihat, A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1393 H/1973 M, h. 330
163
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1990, hlm. 58
Sejarah Bagdad sesudah Islam dibagi atas dua periode besar: (1) periode kekuasaan dinasti ‘Abbâsiyyah selama kurang lebih 500 tahun dan (2) periode sejak jatuhnya kekuasaan dinasti ‘Abbâsiyyah hingga sekarang.164
Periode pertama dimulai sejak ’Abû Ja‘far al-Manshûr, khalifah kedua dinasti ‘Abbâsiyyah. Dialah pendiri kota Bagdad yang sebelumnya hanya sebuah perkampungan kecil. Ia meletakkan batu fondasi pembangunan kota baru itu sebagai ibu kota pemerintahan Khilafah Islam pada tahun 145 H (762 M). Pemilihan Bagdad sebagai ibu kota dinasti ‘Abbâsiyyah yang masih muda itu, utamanya didasarkan pada pertimbangan politis selain geografis. Al-Manshûr tidak memilih Damaskus, ibu kota kekuasaan dinasti ‘Umâwiyyyah, karena di kota itu masih banyak pendukung dinasti ‘Umâwiyyah yang baru saja digulingkannya itu. Demikian pula ia tidak memilih kota Basra dan atau kota Kufa, karena di dua kota itu banyak pengikut ‘Aly bin ’Abî Thâlib yang menjadi musuhnya, lagi pula letaknya jauh dari Persia, padahal inti kekuatan yang mendukung berdirinya dinasti ‘Abbâsiyyah adalah rakyat Persia.165
Semula, para Khalifah ‘Abbâsiyyah memiliki kekuasaan yang kuat dan penuh. Namun setelah kekuasaan mereka dapat mencapai puncak kejayaan, berangsur-angsur otoritasnya mulai melemah. Kenyataan terpenting yang menjadikan kekuasaan khalifah semakin menurun adalah ketika terjadi penyerbuan oleh tiga amir bersaudara Banî Buwaihiy dari Dailam: ’Ahmad ’Abû al-Hasan (Mu‘izz al-Dawlah), ’Abû al-Hasan (’Imâd al-Dawlah), dan ’Abû ‘Aly (Rukn al-Dawlah), atas Bagdad dengan membawa pasukan tentara yang
164Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994, h. 215 165Loc. Cit.
berjumlah besar, pada tahun 334 H./947 M. Khalifah ‘Abdullâh bin al-Muktafi Billâh (al-Mustakfi Billâh) yang berkuasa ketika itu tidak mampu berbuat banyak untuk menghadang kekuatan para pemberontak itu. Akhirnya, Khalifah al-Mustakfi diturunkan secara paksa dari kursi singgasananya dan dimasukkan ke dalam penjara hingga akhir hidupnya.166
Banî Buwaihiy bersaudara kemudian berhasil memegang kendali kekuasaan tertinggi dan mengatur pemerintahan Islam, termasuk menentukan orang untuk menduduki posisi sebagai khalifah, yang ketika itu diberikan kepada Abû al-Qâsim al-Fadhl ibn al-Muqtadir Billâh (bergelar Khalifah al-Muthî‘ Lillâh), sebagai khalifah ke-23 Banî ‘Abbâsiyyah. Mulai saat itu kekuasaan khalifah sangat lemah, hingga dia sama sekali tidak memiliki kewenangan mengatur jalannya pemerintahan ataupun mengangkat para menteri. Khalifah hanya memiliki seorang sekretaris yang bertugas mengurusi kebutuhan-kebutuhannya. Sebaliknya, kekuasaan sepenuhnya atas kendali pemerintahan berada di tangan Mu‘izz al-Dawlah ibn Buwaihiy yang memproklamirkan diri sebagai ’amîr al-’umarâ’ ("amir tertinggi").167 Khalifah al-Muthî‘ menduduki jabatannya selama 29 tahun 5 bulan. Dia memperoleh kesempatan memegang jabatan khalifah sedemikian lamanya karena dia rela menerima posisinya itu sebagai lambang kekuasaan Khilafah Islam belaka. Mu‘izz al-Dawlah sendiri berhasil mempertahankan jabatannya sebagai ’amîral-’umarâ’ selama 22 tahun (334-356 H/945-966 M).168
166 Muhammad bin Ahmad Kan‘an, Târîkhu al-Dawlati al-‘Abbâsiyyah: Khulâshatu Târîkhi ’Ibni Katsîr, Beirut: Mu’assasatu al-Ma‘ârif, 1419 H/1998 M, h. 270
167
Muhammad bin Ahmad Kan‘an, Ibid., h. 271
Suatu kenyataan lain yang sangat menonjol pada masa itu adalah: jikalau Khalifah al-Muthî‘ itu seorang Suni, maka kekuasaan Banî Buwaihiy ditegakkan di atas supremasi doktrin-doktrin Syî‘ah aliran ’Itsnâ-‘Asyarah. Oleh karena kekuasaan Banî Buwaihiy, maka perayaan-perayaan Syî‘ah dijadikan perayaan resmi. Misalnya Perayaan 10 Muharram untuk memperingati peristiwa terbunuhnya Imam Syî‘ah: Husain bin ‘Aly bin ’Abî Thâlib di Karbela, oleh tentara Mu‘âwiyah bin ’Abî Sufyân;169 dan perayaan 1 Zulhijah yang disebut dengan yaum al-ghâdir atau "Hari Raya Ghâdir", yang menurut kepercayaan dalam lingkungan Syî‘ah, bahwa pada tanggal itulah di suatu tempat bernama Ghâdir Khum, Nabi Muhammad menjatuhkan wasiat kepada ‘Aly sebagai waris-mutlak kekuasaan duniawi maupun kekuasaan agama atas kaum Muslimin, sepeninggalnya kelak.170
Perayaan-perayaan itu dianggap oleh golongan Suni sebagai tindakan-tindakan berlebihan, aneh, dan bahkan bidah. Namun demikian, mereka tidak mampu berbuat banyak untuk mencegahnya karena kondisi pendukung Syî‘ah yang terlampau banyak dan semakin kuat, apalagi posisi mereka didukung penuh oleh kekuasaan Sultan Mu‘izz al-Dawlah bin Buwaihiy sebagai ’amîr al-’umarâ’.171 Kekuasaan Banî Buwaihiy di Bagdad juga mentolerir gerakan Syî‘ah garis keras, yaitu sayap Râfidhah. Karena merasa mendapat dukungan dan perlindungan dari Sultan, kelompok Râfidhah banyak menulis pamflet yang berisi cacian, celaan, dan penghinaan terhadap tokoh-tokoh terdahulu yang dianggap
169 Muhammad bin Ahmad Kan‘an, Op. Cit., h. 285.
170 Joesoef Soe‘yb, Op. Cit., h. 175. Sejak saat itu, perayaan-perayaan serupa dilaksanakan di kalangan Syî‘ah dan menjadi tradisi tahunan yang tetap berlangsung hingga sekarang. Lihat Muhammad bin Kan‘an, Op. Cit., h. 285.
musuh besar mereka seperti: Mu‘âwiyah bin ’Abî Sufyân, ’Abû Bakr, ‘Umar bin Khaththâb, ‘Utsmân bin ‘Affân, dan Marwân bin Hakam, yang ditempelkan di masjid-masjid. Tokoh-tokoh tersebut, menurut kelompok Râfidhah, memiliki andil yang besar dalam penyingkiran ’âlu al-bait (keluarga dan keturunan Nabi) dari hak kekuasaan atas kaum Muslimin.172
Musuh terbesar Syî‘ah, menurut kelompok Râfidhah, adalah Mu‘âwiyah. Tokoh ini disebut tidak saja sebagai penentang kekuasaan Imam ‘Aly, tetapi juga sebagai penjagal Imam Hasan dan Imam Husain; dua putra ‘Aly. Mu‘âwiyah adalah tokoh yang dianggap paling bertanggung jawab atas seluruh penderitaan yang dialami ’âlu al-bait sejak masa pemerintahannya sebagai khalifah hingga khalifah-khalifah berikutnya dari Banî ‘Umâwiyyah. Adapun alasan kelompok Râfidhah melaknat ’Abû Bakr, karena dia dianggap melakukan gasab (mempergunakan milik orang lain secara tidak sah untuk kepentingan sendiri) atas hak Fâthimah (puteri Nabi): melaknat ‘Umar bin Khaththâb, karena dia dianggap menjegal masuknya ‘Abbâs (paman Nabi) untuk duduk dalam jajaran syuriah yang memiliki kewenangan memilih dan mengangkat khalifah; melaknat ‘Utsmân, karena dia dianggap menjegal ’Abû Dzarr untuk duduk dalam jajaran dewan tersebut; dan melaknat Marwân bin Hakam, karena dia disebut sebagai orang yang melarang pemakaman jenazah Hasan bin ‘Aly di sisi kakeknya (Nabi) dan ibunya (Fâthimah).173
Sultan Mu‘izz al-Dawlah, menurut kaum Suni, mendukung propaganda kelompok Râfidhah tersebut. Bukti yang diajukan adalah bahwa ketika kaum Suni
172
Muhammad bin Kan‘an, Ibid., h. 283 173 Muhammad bin Kan‘an, Ibid., h. 284
melaporkan pamflet-pamflet dari kelompok Râfidhah tersebut sebagai aksi protes, Sultan Mu‘izz menganggapnya sebagai bukan tindak kejahatan, dan karena itu, dia tidak bereaksi apa-apa untuk merespon aksi unjuk-rasa mereka. Sehingga, kaum Suni menyimpulkan bahwa Sultan Mu‘izz al-Dawlah memiliki kecondongan yang kuat kepada gerakan Syî‘ah-Râfidhah.174
Setelah empat tahun kekuasaan Banî Buwaihiy, persengketaan antara Syî‘ah dan Suni mulai terjadi.175 Seringkali, keduannya melakukan bentrok setelah sebelumnya saling menghina, dan menyebabkan banyaknya korban yang tewas dari kedua belah pihak. Misalnya, bentrok antara Suni dengan Syî‘ah dari penduduk Karkh yang terjadi pada tahun 346 H,176 bentrok antara Suni dengan Syî’ah dari sayap Râfidhah dua tahun kemudian,177 dan bentrok terbesar terjadi pada tahun 349 H. di Bagdad,178 dan pada tahun 351 H. bentrok yang besar juga pecah di Basra.179 Tampaknya, dari beberapa peristiwa bentrokan tersebut, Suni sudah mulai melancarkan gerakan tandingan atas hegemoni gerakan Syî‘ah.
Perubahan lain tampak dalam penyebutan gelar bagi penguasa. Ketika ’Abû Syujâ‘ ibn Rukn al-Dawlah ’Abû ‘Aly al-Husain ibn Buwaihiy berkuasa, ia yang pertama kali memakai gelar syahinsyah, atau mâlik al-mulûk, yang artinya “Rajadiraja“, yang tentu dimaksudkan bahwa pemilik gelar itu posisinya lebih tinggi dari orang yang berkedudukan sebagai khalifah.180 Dalam pandangan ulama Suni semisal Al-Mâwardiy dan ’Ibn Katsîr, menurut kutipan Muhammad bin
174 Muhammad bin Kan‘an, Loc. Cit.
175 Muhammad bin Kan‘an, Ibid., h. 274 176 Muhammad bin Kan‘an, Ibid., h. 279 177 Muhammad bin Kan‘an, Ibid., h. 280 178 Muhammad bin Kan‘an, Ibid., h. 281 179
Muhammad bin Kan‘an, Ibid., h. 284 180 Muhammad bin Kan‘an, Ibid., h. 316
Kan‘an, pemakaian gelar tersebut tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan hadis sahih yang menyatakan bahwa gelar seperti itu hanya khusus untuk Allah.181
Selain perubahan situasi sosial, budaya, dan politik tersebut, Banî Buwaihiy juga menjadikan Syîraz sebagai ibu kota baru dan sebagai pusat gerakan Syî‘ah yang menggantikan Bagdad.182 Pada masa itu terjadi perubahan bentuk ketatanegaraan secara kongkrit. Kekuasaan sentral Banî Buwaihiy sudah tidak mencapai wilayah-wilayah yang berotonomi penuh, sekalipun satu persatunya masih mengakui khilâfah Banî ‘Abbâsiyyah di Bagdad. Sifat Dawlah Islâmiyyah sudah lebih mirip dengan bentuk Persemakmuran (Commonwealth) di bawah naungan khilafah Banî ‘Abbâsiyyah.183 Pada masa Khalifah ’Abû Bakr ‘Abd al-Karîm (al-Thâ’i‘, berkuasa: 363-381 H/973-991 M) misalnya, Mesir dikuasai oleh Banî Fâthîmiyyah (terutama al-Mu‘izz al-Fâthimiy) dan mulai mengembangkan pengaruh kekuasaannya ke Damaskus setelah membangun kota Kairo.184
Di bawah hegemoni kekuasaan sultan-sultan Banî Buwaihiy, Khalifah Banî ‘Abbâsiyyah setelah al-Thâ’i‘ secara berurutan dipegang oleh al-Qâdir Billâh (berkuasa: 381-422 H /991-1030 M) dan al-Qâ’im Biamrillâh (berkuasa: 422-467 H /1030-1074 M). Namun, sejak menjelang wafatnya Sultan Rukn al-Dawlah bin ‘Aly bin Buwaihiy, pamor kekuasaan Banî Buwaihiy mulai menurun seiring pembagian wilayah kekuasaannya kepada tiga anak-anaknya: ’Adhdu
181 Lihat Muhammad bin Kan‘an, Loc. Cit., lihat juga,Ibid., h. 363. 182 Joesoef Sou‘yb, Op. Cit., h. 176.
183
Joesoef Sou‘yb, Ibid, h. 204.
Dawlah menguasai Persia, Kirman, dan Arjan; Mu’ayyadu al-Dawlah menguasai Ray dan Asbihan; Fakhru al-Dawlah menguasai Hamadzan dan Dinora.185 Kekuasaan Banî Buwaihiy mulai melemah setelah tidak ada persatuan di antara mereka, dan masing-masing berseteru untuk menduduki jabatan tertinggi dengan kekuasaan terbesar.186
Kekuasaan Banî Buwaihiy yang berlangsung 113 tahun lamanya, berakhir pada tahun 447 H/1055 M. Kemudian de facto puncak kekuasaan Islam di Bagdad dipegang oleh dinasti Seljuk. Dinasti Seljuk berasal dari Turki dan beraliran Suni. Naiknya kekuasaan dinasti Seljuk adalah atas "undangan" Khalifah al-Qâ’im untuk melumpuhkan kekuatan Banî Buwaihiy di Bagdad. Sampai dengan tahun 467 H/1074 M, jabatan khalifah masih dipegang oleh Khalifah al-Qâ’im, dan pada tahun ini pula ia wafat. Keadaan khalifah memang membaik, paling tidak karena kewibawaannya dalam bidang agama kembali setelah beberapa lama dikuasai oleh orang-orang Syî‘ah.187
Jika masa kekuasaan Banî Buwaihiy memunculkan pemikir-pemikir besar seperti ’Ibn Shinâ (980-1037 M), al-Bîrûniy (973-1048 M), ’Ibn Miskawayh (930-1030 M), dan kelompok studi ’Ikhwân al-Shafâ,188 maka pada masa kekuasaan dinasti Seljuk yang mendampingi kekuasaan Khalifah al-Qâ’im, ilmu pengetahuan keagamaan yang beraliran Suni mengalami perkembangan pesat.
185 Muhammad bin Kan’an, Ibid., h. 305 186 Joesof Sou'yb, Op. Cit., h. 220 187Joesof Sou'yb, Loc. Cit.
188 Menurut Bernard Lewis, kebangkitan dinasti Buwayh yang Syî‘ah di abad ke-10 sesungguhnya menandai titik balik dalam sejarah peradaban Islam Abad Tengah. Syî‘ah selalu merupakan lahan subur bagi tradisi intelektual filsafat dan mistisisme yang menyambungkan keterputusan mata rantai intelektual di dunia Islam ketika filsafat dibabat habis oleh kalangan ortodoksi (Suni, tradisionalis). Lihat Bernard Lewis, Islam in History: Ideas, People, and Events in Middle East, (Chicago dan La Salle, Illionis: Open Court Publishing Company, 1993), h. 113
Nizhâm al-Mulk, perdana menteri pada masa itu, mendirikan Madrasah