BAB I PENDAHULUAN
D. Relevansi Penelitian
Islam memiliki makna yang historis, tetapi, pada saat yang sama, fenomena ini sering diabaikan dalam pemahaman dan kajian terhadap Islam, atau pemahaman yang ada tentang fenomena ini sangat kurang memadai.
Menurut Mohammed Arkoun, telah lama wacana Islam dimonopoli oleh kalangan yang disebut sebagai revivalis (salafiy: secara literal berarti pengikut kaum terdahulu yang saleh) dan terkungkung oleh postulat-postulat modernisme. Sejak permulaan Nahdhah (kebangkitan Islam) pada abad ke-19 M hingga saat ini, wacana Islam terjebak dalam konfrontasi antara dua sikap dogmatis: klaim-klaim teologis dari kaum reformis salafiy yang menempuh jalan pemikiran
’ishlâhiy,20 dan postulat-postulat ideologis dari rasionalisme positivis kaum modernis.21 Wacana Islam konfrontatif ini terangkum dalam semua diskusi skolastik tentang Orientalisme. Islam, dalam diskusi-diskusi ini, diasumsikan sebagai sebuah kesatuan sistem pemikiran, kepercayaan, non-kepercayaan yang spesifik, esensial, dan tak dapat diubah, yang superior atau inferior (menurut umat Islam atau non-Islam) terhadap sistem Barat (Kristen). Pendekatan historis terhadap Islam dalam kedua tradisi tersebut tidak lebih dari sebagai sandaran ideologis dan perhitungan naratif terhadap fakta-fakta. Sejarah hanya dilihat secara antikuarian, di mana masa lampau terlalu diagung-agungkan dan diangkat sebagai hakim dan menjadi legitimasi atas masa kini.22 Menurut Arkoun, "inilah saatnya menghentikan konfrontasi tidak relevan antara dua sikap dogmatis ini."23
Ada fenomena lain sebagai akibat dari wacana konfrontatif di atas. Semua polemik yang belakangan ini ditujukan terhadap Orientalisme memperlihatkan
20 Sikap reformis (’ishlâhiy), menurut Mohammed Arkoun, merupakan ciri utama pemikiran Islam sejak Nabi Muhammad wafat (632 M). Dalam pandangan model pemikiran ini, nilai perilaku manusia dan, secara lebih umum, nilai perkembangan suatu masyarakat sejak saat itu, dianggap semata-mata bergantung pada keselarasan dengan teks-sumber-model atau dengan contoh-contoh dan warisan-warisan dari figur-figur yang diidealkan, yaitu Nabi, para Sahabat dan Imam (’imâm). Setiap langkah penyimpangan dari model-model ini dirasa dan dipikir sebagai degenarsi pribadi dan dekadensi komunal. Akibatnya ulama dari setiap mazhab, hingga saat ini, mendakwahkan kembali kepada pola yang benar dari eksistensi manusia yang serba asli. Diskusi yang lengkap mengenai hal ini lihat, Mohammed Arkoun, Pemikiran Arab, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, h. 21. Di tempat lain Arkoun mendefinisikan pemikiran ’ishlâhiy sebagai pemikiran pembaruan yang muncul sejak abad ke-19 oleh mazhab salaf [kaum revivalis]. Lihat Mohammed Arkoun, "Rethinking Islam", dalam Charles Kurzman (ed.), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, Jakarta, Paramadina, 2001, h. 336.
21 Suasana intelektual Barat abad ke-19 M menekankan manusia sebagai makhluk yang dikenal sangat rasional dan menaruh harapan besar dalam pemikiran (akal) sebagai satu-satunya sarana untuk mengerti dan menyelesaikan setiap masalah sosial. Paham ini merasuk dalam lingkungan intelektual Muslim, salah satu nama yang memiliki pengaruh besar hingga saat ini adalah Muhammad ‘Abduh (Mesir: 1849-1905 M). Di Indonesia hingga sekarang, pemikiran-pemikiran pembaruan ‘Abduh masih berpengaruh sangat dominan di lingkungan intelektual Muslim yang mengklaim sebagai kelompok "pembaru" [modernis].
22 Ungkapan “sejarah antikuarian” meminjam istilah yang dipakai St. Sunardi, lihat tulisannya, “Kajian Budaya: Pada Mulanya Adalah Perlawanan ….”, dalam RETORIK, Vol. 2, No. 4, Oktober 2003, h. 12.
dengan jelas bahwa apa yang dikenal sebagai kelompok Islam "fundamentalis" bersikeras menegakkan simbol-simbol ajaran Islam sebagai sebuah institusi formal (seperti konsep "khilafah" [khilâfah] atau "imamah" [’imâmah]), yang tak lebih hanya sebagai sebuah alat ideologis untuk mencapai kepentingan-kepentingan politiknya. Pada tataran praktis, Islam diposisikan dalam kerangka strategi yang tidak menyentuh realitas sosial, bahkan seringkali menimbulkan kekerasan.
Demikian juga, karena terperangkap dalam wacana Orientalisme, kesarjanaan modern tetap jauh dari proyek epistemologis apapun yang dapat membebaskan Islam dari postulat-postulat esensialis dan substansialis tentang metafisika klasik.24 Studi Islam, khususnya, dihambat oleh warisan definisi dan metode yang kaku dari teologi dan metafisika klasik.25 Kelemahan ini, bahkan tampak lebih jelas tergambar melalui literatur-literatur pemikiran Islam modern yang miskin, konformis, dan seringkali polemis. Kebanyakan literatur justru menunjukkan kecenderungan ke arah jalan pemikiran ’ishlâhiy yang membabi-buta.26 Selain itu, karena dikuasai oleh postulat-postulat rasionalisme positivistik,
24 Mohammed Arkoun, Loc. Cit.
25 Contoh yang paling nyata adalah postulat mengenai Alquran. Sejak kekalahan doktrin Muktazilah tentang kemakhlukan Alquran, "Islam resmi" sampai sekarang berpegang pada keyakinan yang baku bahwa Alquran bukan makhluk dan bersifat azali. Oleh karena itu, hingga saat ini masih tidak mungkin, umpamanya, menggunakan ekspresi "problem Tuhan" dalam studi Islam, menggabungkan Tuhan dan musykil (problem); Tuhan tidak dapat dianggap sebagai problematik. Ia diketahui dengan baik, ditampilkan dengan baik dalam Alquran; manusia hanya diharuskan untuk merenungkan, meresapi, dan memuja apa yang Tuhan wahyukan tentang Diri-Nya dalam Kata-kata-Diri-Nya sendiri. Contoh lainnya adalah definisi yang dibakukan mengenai kelompok sosial mu’minûn di satu sisi, dan kâfirûn, munâfiqûn, serta musyrikûn di sisi yang lain. Definisi-definisi tersebut beserta konsep-konsep turunannya terpelihara secara masif dalam literatur Islam dan nyaris tertutup untuk didiskusikan.
26 Corak pemikiran ’ishlâhiy dalam literatur-literatur pemikiran Islam modern, antara lain tergambar melalui pemikiran-pemikiran Jamâl al-Dîn al-’Afghâniy (18381897) dan Muhammad ‘Abduh yang diadopsi dengan yakin oleh program International Institute of Islamic Thougth
pemikiran Islam modern hanya cenderung menitikberatkan esensi dan substansi sebuah ajaran, dengan mengabaikan tata aturan teoretis-metodologis. Pendekatan rasional terhadap esensi dan substansi ajaran Islam lebih dikedepankan ketimbang detail-detail aturan metodologis yang memang rumit dan memusingkan. Akibatnya, literatur-literatur itu tidak hanya miskin nuansa melainkan juga simplistik secara metodologis. Ungkapan-ungkapan seperti: Islam sesuai dengan semangat kemodernan, kemajuan, kebebasan, demokrasi dan egalitarianisme, sebenarnya hanyalah jargon-jargon imitatif yang mengais isu-isu dari Barat. Dalam hal kebebasan berpikir misalnya, kaum intelektual Islam "modernis" dan "liberal" selalu mengedepankan isu kebebasan berijtihad sembari menuduh (seperti perilaku guru-guru Orientalis mereka) kelompok tertentu sebagai yang terbelakang, yang beku, yang anti kemajuan, dan yang menyebabkan kemunduran Islam. Tetapi sampai dengan sekarang, isu-isu mereka tak lebih hanyalah omong-kosong. Melalui penelitian ini, penulis tidak mau terlibat dalam semua diskusi yang membicarakan relevansi intelektual dan ilmiah Islam dari sikap mental inferior tersebut, sikap yang tidak memperhatikan problem-problem epistemologis, sikap yang juga memiliki motivasi ideologis.
Tugas yang jauh lebih mendesak dan bermakna dibanding semua diskusi skolastik tentang Orientalisme adalah studi kritis-radikal yang mengevaluasi Islam"). Salah satu proyek lembaga ini adalah "Islamisasi Pengetahuan". Di Indonesia, pengaruh keduanya dapat ditemukan dalam pemikiran dan slogan kaum intelektual Muslim "modernis" yang mendengung-dengungkan kebutuhan pembaruan pemikiran Islam (propaganda kebutuhan pemikiran rasional) di satu sisi, dan di sisi lain mempropagandakan kebutuhan umat Islam untuk kembali kepada sebuah "kerangka Islam" yang selalu valid, transenden, otentik, dan universal, yang dengannya seluruh aktivitas dan inisiatif manusia harus dikontrol dan diintegrasikan dengan benar, dan oleh karena itu mereka berusaha keras memberantas "bidah". Salah satu slogan yang sangat terkenal di era 1990-an adalah "otak Jerman-hati Mekah". Slogan ini cukup menggambarkan "imajinasi sosial" kaum intelektual Muslim "modernis" tentang kualitas umat Islam yang "modern".
dengan perspektif epistemologi baru terhadap karakteristik-karakteristik sistem-sistem pengetahuan Islam. Perspektif ini dapat dirumuskan sebagai sikap yang “regresif-progresif”: perspektif yang mendorong penggunaan nalar (penelitian) secara bebas menuju elaborasi pandangan baru dan koheren, dengan memasukkan situasi-situasi baru yang dihadapi masyarakat-masyarakat dan unsur-unsur hidup tradisi umat Islam.27 Pendekatan historis, arkeologis, sosiologis, antropologis, linguistik, semiotik, kritik ideologi, dan dekonstruksi, yang menjadi perspektif baru ilmu-ilmu sosial kemanusiaan kontemporer, tampaknya lebih memungkinkan sebagai alat bedah untuk membeberkan, menggeledah, membongkar, dan memilah antara dimensi historis, dimensi mitis, dan fungsi-fungsi ideologis pengetahuan yang terbentuk dalam fakta Islam. Dalam model studi demikian, nalar harus dibebaskan dari ontologi, transendentalisme, dan substansialisme yang telah membuatnya terpenjara, khususnya melalui berbagai postulat teologis yang diterima tanpa diskusi. Pendekatan-pendekatan teoretis tersebut memiliki peran yang lebih penting dalam memikirkan kembali status kognitif wacana Islam. Ia bukan hanya menyediakan cara untuk dapat melihat, menilai, dan menempatkan masa lalu Islam, melainkan pada saat yang sama ia juga mengajak siapapun untuk kritis terhadap apa yang sedang terjadi dan apa yang akan terjadi dalam Islam. Hal ini adalah sekaligus sebuah metodologi, sebuah epistemologi, dan sebuah teori sejarah.28
Penelitian ini didedikasikan untuk memenuhi tugas mendesak dan penting tersebut, yaitu studi kritis dalam kerangka rethinking Islam. Tentu usaha
27
Mohammed Arkoun, "Rethinking Islam", h. 336. 28 Mohammed Arkoun, Ibid., h. 344
memikirkan kembali (rethinking) Islam adalah proyek laten yang tidak akan pernah berhenti dengan hasil yang final. Dalam gagasan Arkoun, proyek memikirkan kembali Islam berarti inisiatif intelektual yang terus-menerus, yang berusaha menemukan suara yang berwenang atau teori yang diakui yang dapat memberikan gambaran tentang sebuah Islam yang menyerap ke dalam mentalitas modern yang saintifik, dan pada saat yang sama ke dalam pengalaman keagamaan umat Islam. Sebagai ilustratif Arkoun mempertanyakan:
… mungkinkah mengartikulasi sebuah visi modern Islam dapat mempunyai pengaruh yang sama, terhadap masyarakat, dengan pengaruh
Risâlah [’Abû ‘Abdillâh Muhammad] al-Syâfi‘iy (767-820 M.) atau ’Ihy ‘Ulûmu al-Dîn [’Abû Hâmid Muhammad] al-Ghazâliy (1058-1111 M.)? Saya mengacu kepada kedua karya besar itu, karena keduanya menggambarkan inisiatif intelektual yang sama dengan yang saya tuju, yaitu untuk memasukkan, sebagaimana yang dilakukan oleh al-Syâfi’iy dan al-Ghazâliy, disiplin-displin baru, pengetahuan baru, dan pemahaman-pemahaman historis yang baru ke dalam Islam sebagai sebuah pandangan spiritual dan historis tentang keberadaan manusia.29
Dengan mengapresiasi semangat dan langkah ilmiah Arkoun, telah cukup jelas perbedaan posisi penelitian ini dibanding posisi revivalisme dalam konteks diskusi tentang Orientalisme. Tetapi orang masih dapat mengajukan pertanyaan: di mana letak perbedaan penelitian ini dengan kajian Orientalis? Bukankah melakukan studi secara kritis dengan menggunakan seperangkat metode ilmu sosial kemanusiaan kontemporer (yang notabene berkembang dalam sejarah tradisi pemikiran Barat) terhadap karakteristik-karakteristik pengetahuan Islam, sama saja dengan apa yang dilakukan oleh para sarjana Orientalis dan para sarjana pengikut mereka?
29 Mohammed Arkoun, Ibid., h. 338.
Budaya Barat seperti juga budaya Timur atau Islam bukanlah budaya yang tunggal dan monolog. Dalam aspek pemikiran misalnya, pengetahuan dan keilmuan Barat merupakan ragam dialog antar gagasan dan bahkan kontradiktif. Rasionalisme positivistik dalam ilmu sosial yang dominan di Barat sejak abad ke-19, menjelang berakhirnya abad ke-20 telah banyak digugat paradigma dan status epistemologinya. Postulat-postulat epistemik yang mendasari ilmu sosial kemanusiaan (humaniora) dibongkar. Maka lahirlah teori-teori ilmu humaniora yang membongkar dan emansipasif, seperti banyak digunakan dalam studi kebudayaan kontemporer (cultural studies). Teori-teori ini lahir di Barat dan sebagai kritik atas tradisi keilmuan Barat.
Ketika kebanyakan reaksi sarjana-sarjana non-Barat mengambil bentuk yang secara kultural benar-benar defensif terhadap wacana Orientalisme, sementara itu Edward W. Said secara sengaja berpijak pada keilmuan Eropa yang emansipasif membongkar epistemologi Orientalisme. Orientalisme yang rasional-positivistik mengklaim bahwa kultur Barat Eropa yang modern dan humanis adalah model bagi masyarakat-masyarakat di luar Eropa, dan bahwa ekspansi Eropa ke seluruh penjuru dunia adalah sebagai proses peradaban global. Klaim-klaim seperti ini terasa mengabsahkan bagaimana penjajah-penjajah Eropa membangun dominasi dan kekerasan, dan Orientalisme dengan konsep antropologi dan sosiologinya berperan penting dalam menjamin kelangsungan proses-proses itu. Tetapi dalam pandangan Said, “Timur dulu diciptakan – atau, dalam ungkapan yang lebih saya sukai – , ditimurkan…. Hubungan antara Timur
dan Barat didasarkan pada kekuasaan, atau dominasi dan berbagai tingkat hegemoni yang kompleks.”30
Studi Said tentang Orientalisme hanya salah satu dari banyak contoh studi kritik atas tradisi nalar Barat dengan memakai konsep-konsep metodologis yang orisinal milik Barat. Said, yang berpijak pada teori-teori ilmu sosial kemanusiaan kontemporer milik Michel Foucault, Antonio Gramsci, dan lain-lain, tampak memiliki keistimewaan dalam cara memandang Barat. Sekurang-kurangnya, Said telah menunjukkan bahwa jawaban bagi Orientalisme tidak bisa Oksidentalisme.31 Walaupun penulis sangat simpati dan sependapat dengan kritik Said atas Orientalisme, tetapi pada taraf tertentu penulis melihat kritik Said dapat menjadi senjata atau cara baru bagi Oksidentalisme untuk melawan Orientalisme. Penulis merasa tidak perlu menjadi epigon semangat Said terhadap Orientalisme, tetapi mencoba bertindak seperti Foucault, atau Gramsci, atau ‘pendekar-pendekar’ mazhab Frankfurt yang merumuskan teori kritis untuk mengkritik budayanya sendiri. Jadi, penelitian ini adalah semacam otokritik, tanpa harus menolak atau apalagi mengamini Orientalisme.
Terkait dengan pengaruh "wibawa" yang dimiliki Ahkâm al-Sulthâniyyah, penelitian ini penting untuk menghindari "perangkap-perangkap" ideologis yang diyakini ada di dalamnya, maupun untuk mengkritisi klaim dari kelompok-kelompok Islam yang mencoba memanfaatkannya – baik langsung atau tidak langsung – secara ideologis sebagai "resep ampuh" atas problem politik Islam sekarang.
30
Edward W. Said, Orientalism, New York: Random House, 1979, h. 5. 31 Edward W. Said, Ibid., h. 328.