• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORETIS DAN METODE PENELITIAN

A. Kerangka Teoretis dan Pengertian Konsep-Konsep

3. Fungsi Pengetahuan

Mohammed Arkoun juga menaruh perhatian kepada fungsi/kepentingan pengetahuan. Menurut dia, manusia tidak semata-mata digerakkan oleh material dan ekonomi tetapi juga digerakkan oleh gambaran fantasi (image) dan mimpi-mimpi indah. Dalam konteks masyarakat-masyarakat al-Kitab, Arkoun menyatakan: "Terdapat fantasi gabungan (kolektif) pada setiap masyarakat yang terbentuk, diturunkan, dan ditanamkan selama sejarah yang panjang melalui kelahiran kitab yang diwahyukan."81 "Sesungguhnya aspek fungsional yang menguasai fantasi ... itulah yang seharusnya menjadi bahan pertama untuk analisa, pemahaman, dan penafsiran."82

Dalam hal ini, Arkoun mengajak orang untuk kritis terhadap faktor-faktor non-teoretis yang ikut menentukan pengetahuan. Faktor-faktor non-teoretis itu bisa saja berupa "ideologi" maupun berupa dorongan-dorongan, kehendak kolektif, halusinasi individual, dan fantasi kolektif masyarakat (kelompok).

Jika dilihat secara cermat, metode Arkoun tersebut bertolak-belakang dengan metode sejarah intelektual yang berorientasi pada konsep a priori yang meyakini bahwa perubahan-perubahan gagasan dapat dipahami pada taraf gagasan-gagasan (sejarah intelektual imanen). Sebaliknya, metode Arkoun tampak bersesuaian dengan sosiologi pengetahuan yang menganggap bahwa

80 Mohammed Arkoun, Ibid., h. 347 81

Mohammed Arkoun, Op. Cit., h. 211 82 Mohammed Arkoun, Ibid., h. 210

kekuatan-kekuatan yang hidup dan sikap-sikap aktual yang mendasari sikap-sikap teoretis sama sekali bukan merupakan sesuatu yang individual belaka. Kekuatan-kekuatan dan sikap-sikap itu lebih-lebih muncul dari tujuan-tujuan kolektif suatu kelompok yang mendasari pemikiran individu. Individu hanyalah berpartisipasi di dalam pandangan yang telah digariskan sebelumnya.

Dengan demikian, semakin jelaslah tesis bahwa pengetahuan tidak bisa dimengerti secara betul selama kaitannya dengan kehidupan atau dengan implikasi-implikasi sosial kehidupan manusia tidak diperhitungkan.83 Karl Mannheim mengatakan:

Dunia diketahui lewat banyak orientasi yang berbeda-beda karena ada banyak kecenderungan pemikiran yang bersamaan dan saling bertentangan (tidak sama sekali nilai yang sama) yang bersaing satu sama lain dengan berbagai penafsiran mereka tentang pengalaman 'bersama'. Dengan demikian, petunjuk untuk konflik ini tidak dapat ditemukan pada 'objek pada dirinya sendiri' (jika demikian, mustahillah memahami mengapa objek dapat tampak dalam sedemikian banyak pembiasan), melainkan di dalam harapan-harapan, tujuan-tujuan, dorongan-dorongan yang sangat berbeda-beda yang muncul keluar dari pengalaman.84

Atas dasar prinsip tersebut, Mannheim menghendaki sosiologi pengetahuan sebagai sebuah metode tidak memisahkan cara-cara pemikiran yang konkret ada dari konteks tindakan kolektif. Dalam pandangan sosiologi pengetahuan, manusia dilihat sebagai kelompok-kelompok yang menghadapi objek-objek dunia ini dari taraf abstrak pikiran dan bertindak dengan dan terhadap kelompok-kelompok yang lain yang tertata secara berbeda-beda, dan sambil melakukan semua itu, mereka berpikir dengan dan terhadap yang lain.

83 Lihat Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik, Kanisius, Yogyakarta, 1991, h. 292

orang ini yang terikat bersama ke dalam kelompok-kelompok, berjuang keras menurut ciri dan posisi kelompok-kelompok mereka untuk mengubah dunia dan masyarakat atau berusaha memeliharanya tetap pada kondisi yang telah ada. Arah dari kegiatan kolektif inilah yang menghasilkan kompleks pemikiran yang memberi petunjuk bagi munculnya permasalahan, konsep-konsep dan bentuk-bentuk pemikiran mereka.85

Mannheim menganggap bahwa pertentangan antar kelompok tersebut sebagai kompetisi yang pada dirinya merupakan sebuah kasus yang mewakili tempat proses-proses ekstra-teoretis mempengaruhi kemunculan dan arah perkembangan pengetahuan. Kata Mannheim:

Kompetisi tidak hanya mengontrol ekonomi, tidak sekedar arus peristiwa-peristiwa sosial dan politis, melainkan juga memberi daya penggerak di balik berbagai penafsiran tentang dunia yang bila latar belakng sosial penafsiran-penafsiran itu disingkapkan, menyatakan diri sebagai ekspresi-ekspresi intelektual dari kelompok-kelompok yang bertentangan yang memperebutkan kekuasaan.86

"Kompetisi" yang disebut Karl Mannheim sebagai tempat terjadinya proses-proses ekstra-teoretis yang mempengaruhi kemunculan dan arah perkembangan pengetahuan, dapat dibandingkan dengan konsep Foucault tentang "rasionalitas diskursif", yaitu otoritas yang menentukan pilihan teoretis yang dikarakterisasi oleh posisi-posisi kenikmatan (desire) dalam hubungan yang memungkinkan wacana.87 Foucault mengatakan:

Tak ada buku yang eksis dengan sendirinya; ia bisa eksis karena adanya relasi dengan dan bergantung pada kesatuan buku yang lain; inilah inti

85 Karl Mannheim, Ibid., h. 4 86 Karl Mannheim, Ibid., h. 292 87

Lihat Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, Great Britain: Tavistock Publications Limited, 1972, h. 64-70.

jaringannya, yang isinya suatu sistem indikasi yang memberikan tekanan baik eksplisit maupun implisit terhadap buku, teks, kalimat, dan lain-lain.88

Lebih jauh, "kompetisi" yang dimaksudkan Mannheim sebagai tempat proses-proses ekstra-teoretis juga dapat dipahami dengan istilah Foucault "ruang kebebasan konkret", yaitu kemungkinan transformasi bagi cara kerja intelektual, apa yang dibutuhkan akal sebagai kebutuhan, atau apa yang ditawarkan sebagai bentuk-bentuk rasionalitas yang disadari sebagai keharusan mengada. Tapi Foucault mengingatkan bahwa semua bentuk rasionalitas ini – ditempatkan dalam proses kerja dominasi – melarikan analisis di dalam dirinya sendiri.89 Singkatnya, menurut Foucault, dalam pengetahuan (connaissance) atau teknik, di sana terdapat pertukaran: transmisi, perpindahan, dan campur tangan. Pada saat yang sama, terdapat beragam perjanjian yang saling berhubungan.90

Dari sinilah lahirnya konsep Foucault tentang "kekuasaan" dalam hubungannya dengan "rasionalitas diskursif" yang ditempatkan pada posisi kerja dominasi. Meskipun terdapat ragam perjanjian yang saling berhubungan dalam tiga 'kerajaan' pertukaran yang saling berkaitan, itu bukanlah isomorfisme. Oleh karena itu, Foucault mengingatkan:

Ketika saya membahas hubungan kekuasaan dari bentuk rasionalitas, yang dapat mengatur dan meregulasikan mereka, saya tidak merujuk pada Kekuasaan – dengan huruf K kapital – yang dominan dan mengesankan rasionalitasnya di atas totalitas struktur sosial. Nyatanya memang ada

88 Michel Foucault, "Arkeologi Pengetahuan: Tanggapan atas Lingkaran Epistemologi", dalam Paul Rabinow (ed.), Pengetahuan dan Metode: Karya-Karya Penting Foucault, Jalasutra, Yogyakarta, 2002, h. 128

89 Michel Foucault, "Strukturalisme dan Post-Strukturalisme", dalam Paul Rabinow (ed.), Ibid., h. 338-9

90

Michel Foucault, “Strukturalisme dan Post-Strukturalisme”, dalam Paul Rabinow (ed.), Ibid., h. 340

hubungan kekuasaan. Hubungan yang beragam; hubungan itu mempunyai bentuk yang berbeda-beda, mereka dapat berperan dalam hubungan keluarga, atau dalam suatu institusi atau suatu administrasi, atau antara satu kelas yang mendominasi dan kelas yang didominasi. Hubungan-hubungan kekuasaan memiliki bentuk rasionalitas yang spesifik, bentuk-bentuk yang serupa dengan mereka, dan sebagainya. Ini adalah suatu medan analisis, bukan suatu referensi bagi segala kesementaraan yang unik.91

Foucault memberi ilustrasi yang bagus tentang akibat dari praktek kekuasaan terhadap posisi yang didominasi: ketika psikiatri mendefinisikan konsep modern tentang alienasi mental, kemudian konsep ini mengubah praktek penanganan orang gila. Konsepsi itu lalu diterjemahkan melalui praktek-praktek baru seperti didirikannya rumah sakit yang tertutup atau tempat pengasingan untuk penderita penyakit tersebut. “Orang gila” merupakan hasil pendefinisian pengetahuan-kekuasaan, atau akibat posisi yang didominasi.92

Foucault mendefinisikan strategi kekuasaan sebagai yang melekat pada kehendak untuk mengetahui. Melalui wacana (diskursus), kehendak untuk mengetahui terumus dalam pengetahuan. Bahasa menjadi alat untuk mengartikulasikan kekuasaan pada saat kekuasaan harus mengambil bentuk pengetahuan, karena ilmu-ilmu terumus dalam bentuk pernyataan-pernyataan. Kekuasaan-pengetahuan terkonsentrasi di dalam pernyataan-pernyataan ilmiah. Oleh karena itu, semua masyarakat berusaha menyalurkan, mengontrol, dan mengatur wacana mereka agar sesuai dengan tuntutan ilmiah. Wacana macam ini dianggap mempunyai otoritas, karena kriteria keilmiahan seakan-akan mandiri

91 Michel Foucault, "Strukturalisme dan Post-Strukturalisme", dalam Paul Rabinow (ed.), Ibid., h. 341

terhadap subyek: wacana ilmiah memiliki kekuasaan yang bisa mengklaim dirinya benar. Padahal, klaim ini merupakan bagian dari strategi kekuasaan.93

Di antara tujuan penting kekuasaan adalah memberi struktur-struktur kegiatan-kegiatan di dalam masyarakat. Orang hanya bisa ambil bagian atau menderita kekuasaan melalui jaringan-jaringan atau gugusan-gugusan kekuasaan lokal yang tersebar (micro-pouvoirs) seperti keluarga, sekolah, barak militer, pabrik, penjara, asrama. Dari situ kelihatan bahwa kekuasaan memberi struktur kegiatan-kegiatan manusia dalam masyarakat dan selalu rentan terhadap perubahan. Struktur-struktur kegiatan itu disebut institusionalisasi kekuasaan, yaitu keseluruhan struktur hukum dan politik serta aturan-aturan sosial yang melanggengkan suatu dominasi dan menjamin reproduksi kepatuhan. Tentu saja pengetahuan yang menyatakan diri obyektif berperan dalam pelanggengan itu.94

Dan salah satu lembaga produksi kekuasaan-pengetahuan yang dahsyat adalah agama. Lembaga ini tidak bisa dilepaskan dari mekanisme dan teknik kekuasaan normatif dan disipliner. Agama mengatur individu dan masyarakat melalui teknik penyeragaman baik perilaku, bahasa, pakaian, maupun ritus. Dengan teknik itu akan dihasilkan identitas, yang akan memudahkan mendapatkan kepatuhan dari pemeluknya. Teknik penyeragaman juga berfungsi untuk menafikan mereka yang bukan pengikut.95

Hubungan pengetahuan-kekuasaan itu, dalam konteks pemikiran agama, ditegaskan oleh Arkoun sebagai berikut:

93 Melalui Haryatmoko, Ibid., h. 225-226. 94

Melalui Haryatmoko, Ibid., h. 224. 95 Melalui Haryatmoko, Ibid., h. 230.

Bahwa pemikiran berdasarkan kitab/tulisanlah yang menetapkan pandangan-pandangan, batasan-batasan, pembagian-pembagian, dan sistem realisasinya terhadap masyarakat dengan medium domain fungsional yang bekerja dan sangat efektif di antara empat kekuatan yang ada. Dan dengan kekuatan-kekuatan tersebut akan berakhir kepada hegemoni terhadap seluruh bidang kemasyarakatan (yaitu kepada seluruh anggota masyarakat) Kekuatan-kekuatan ini adalah: Negara, Tulisan/Kitab, Peradaban elit (yaitu peradaban baku/resmi bagi orang yang mengerti baca-tulis), dan ortodoksi keagamaan.96

Kesimpulannya, jika pengetahuan adalah implikasi kekuasaan dan akibat dari kekuasaan adalah adanya posisi yang didominasi, sementara pengetahuan memungkinkan dan menjamin beroperasinya kekuasaan, maka pengetahuan adalah teknologi/strategi kekuasaan untuk menjalankan operasi dominasinya. Operasi dominasi itu menjadi “tersembunyi” secara “teknologis” atau “strategis”, karena pengetahuan adalah cara bagaimana kekuasaan memaksakan diri kepada subyek tanpa memberi kesan bahwa ia datang dari subyek tertentu. Kriteria pengetahuan “yang ilmiah” seakan-akan mandiri terhadap subyek. Pendek kata, pengetahuan adalah ideologis: bukan hanya yang berhubungan dengan akibat dominasi golongan/kelas, bahkan lebih menjadi sumber dan pembenaran dominasi dalam masyarakat.