• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.6. Penundaan Pengeringan

2.7.2. Asap cair

Asap cair merupakan hasil kondensasi asap pada proses pembakaran / pirolisis dari kayu atau bahan-bahan yang banyak mengandung karbon serta senyawa-senyawa lain. Asap cair mengandung sejumlah besar senyawa seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin. Pirolisis merupakan proses dekomposisi bahan yang mengandung karbon, baik yang berasal dari tumbuhan, hewan maupun barang tambang yang menghasilkan arang (karbon) dan asap yang dapat dikondensasi menjadi destilat (Paris et al., 2005).

Fungsi asap cair adalah sebagai bahan pengawet yang memiliki kandungan senyawa fenol dan asam yang berperan sebagai antibakteri dan antioksidan (Darmadji, 2002). Zat- zat yang ada dalam asap cair berperan sebagai antimikrobial adalah senyawa fenol dan asam asetat, yang peranannya semakin meningkat bila kedua senyawa tersebut bersama-sama (Darmadji, 1995). Menurut Maga (1988) komposisi asap cair terdirin dari air 11 – 92 %, fenol 0,22 – 2,9 %, asam 2,8 – 4,5 %, karbonil 2,6 – 4,6 % dan tar 1-17 %. Perbedaan komposisi asap tergantung kepada jenis kayu yang dipakai dan kandungan air kayu asap (Rusz and Miler, 1976) sedangkan menurut Peszczola (1995) perbedaan komposisi asap cair berdasarkan species dari tanaman, umur dan kondisi pertumbuhan tanaman. Asap cair dari tempurung kelapa mempunyai 7 macam komponen yang dominan yaitu fenol, 3-metil-1,2-siklopentadion, 2-metioksifenol, 2–metoksi-4-metilfenol, 4-etil-2-metoksifenol, 2,6–dimetoksifenol dan 2,5 – dimetoksi benzil alkohol, yang kesemuanya larut dalam eter. Komponen utama yang terdapat dalam tar

adalah fenol dan turunannya seperti guaiacol; 4-propyl guaiacol; 2,6-xylenol; 3,5- xylenol; creosol; o-creosol; syringol; 4-et srigol; 4-allylsyringol yang digunakan sebagai insektisida (Yatagai, 1996). Penggunaan lain sejak tahun 1980 adalah sebagai bahan pengawet daging babi, industri makanan, industri kesehatan, pupuk tanaman, bioinsektisida, pestisida, herbisida, desinfektan (Hendra, 1992).

Kualitas dan kuantitas unsur kimia pada umumnya tergantung pada jenis bahan pengasap yang digunakan. Bahan pengasap yang digunakan seperti jenis kayu yang dibakar menentukan komposisi dari asap yang dihasilkan. Kayu keras seperti tempurung kelapa banyak terbentuk asap karena proses pembakarannya lambat. Penggunaan beberapa jenis kayu keras pada proses pengawetan dengan persyaratan memiliki beberapa fungsional, yaitu sifat antimikrobial dan antioksidan yang berbeda-beda tergantung pada kandungan selulosa, hemiselulosa dan lignin pada masing-masing kayu (Tranggono et al. 1996).

Dalam penelit ian Tranggono (1996) diketahui bahwa asap cair tempurung kelapa memiliki 7 komponen dominan yaitu fenol, 3-metil-1,2-siklopentadion, 2- metoksiphenol, 2-metoksi-4-metilphenol, 4-etil-2-metoksiphenol, 2,6- dimetoksiphenol, dan 2,5-dimetoksi benzil alkohol, yang larut dalam eter. Gumanti (2006) mendapatkan data kandungan senyawa kimia dalam asap cair yaitu fenol sebesar 5.5% methyl alkoholnya sebesar 0.37% dan total asam sebesar 7.1%. Yulistiani (1997) mendapatkan data bahwa kandungan fenol dalam asap cair tempurung kelapa sebesar 1.28% bahwa asap cair yang bersumber dari tempurung kelapa memiliki efek antimikrobia yang lebih tinggi dibandingkan sumber kayu lainnya. Hal tersebut terkait dengan pH asap cair dari tempurung kelapa memiliki (pH 2.05) paling rendah dibandingkan sumber jenis asap lain seperti: kayu jati, bangkirai, kruing, lamtoro, mahoni, kamfer dan glugu.

Berdasarkan hasil penelitian terdahulu perbandingan hasil pengukuran kandungan fenol asap cair tempurung kelapa berbeda-beda, hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh kadungan zat- zat yang mudah terbakar yang terdapat pada bahan baku tempurung kelapa seperti selulosa, hemiselulosa, lignin, resin, protein dan abu (Daun, 1979). Secara khusus Daun (1979) menyebutkan bahwa perbedaan kandungan fenol sangat ditentukan oleh banyaknya lignin yang

terkandung dalam asap cair. Semakin tinggi kandungan lignin dalam bahan baku maka kandungan fenol dalam asap cair semakin besar.

2.8. Pengeringan

Pengeringan merupakan salah satu cara penanganan pasca panen yang dapat dilakukan untuk menekan laju kerusakan produk akibat akitivitas biologi dan kimiawi. Air merupakan media penting dalam pertumbuhan mikroorganisme, pertumbuhan spora, dan berbagai reaksi kimia. Dalam lingkungan mikro kemampuan air untuk menjadi media bagi mikroorganisme ditentukan oleh tekanan uap relatif atau akitivitas air yang didefinisikan sebagai rasio tekanan uap air sistem terhadap tekanan uap air murni pada tempertarur yang sama (Fardiaz, 1996). Pengeringan secara alami dilakukan menggunakan dengan sinar matahari. Pengeringan ini memiliki beberapa kelemahan antara lain sangat tergantung dengan cuaca, memerlukan tempat yang luas dan kurang praktis. Cara pengeringan yang kurang tepat dapat menimbulkan reaksi oksidasi dan hidrolisis asam lemak sehingga akan terjadi peningkatan asam lemak bebas serta pertumbuhan mikrobia pada biji sehingga menimbulkan kerusakan semakin berat. Pengeringan adalah operasi rumit yang meliputi perpindahan panas dan massa secara transien serta beberapa laju proses, seperti transformasi fisik atau kimia yang pada gilirannya dapat menyebabkan perubahan mutu hasil maupun mekanisme perpindahan panas dan massa (Tambunan et al., 2001). Dasar proses pengeringan adalah terjadi penguapan air ke udara karena perbedaan kandungan uap air antara udara lebih sedikit atau udara mempunyai kelembaban udara nisbi yang rendah, sehingga terjadi penguapan (Sinaga, 2006). Selama proses pengeringan terdapat dua proses perpindahan yang terjadi secara simultan yaitu perpindahan panas dan perpindahan massa. Perpindahan kalor dan perpindahan massa dalam bahan terjadi pada tingkat molekul. Perpindahan kalor ditentukan oleh konduktivitas kalor bahan sedangkan perpindahan massa akan proporsional dengan difusi molekul uap air dalam udara. Menurut Geankoplis (1993) perpindahan kalor yang terjadi selama pengeringan terjadi secara konduksi, konveksi dan radiasi. Dalam bahan yang bersifat mikroporous dimana ruang

kosong dalam bahan berisi cairan atau uap, perpindahan kalor secara konveksi terjadi antara fluida yang mengalir dengan permukaan bahan padat.

Pengeringan biji jarak pagar dilakukan hingga mencapai kadar air < 7 %. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan aw 0.64 yang setara dengan kadar air 7,61 % (Dirjenbun, 2006). Hasil penelitian Warsiki et al. (2007) yang melakukan penyimpanan biji jarak pagar pada berbagai tingkat kelembaban relatif, melaporkan bahwa kadar air biji yang dikemas dalam karung goni dan disimpan dengan kelembaban relatif 80 – 90 % (aw 0,8 – 0,9) menjadi 12 % dari kadar air awal 9 %, sedangkan kelembaban realtif 50 – 60 % (aw 0,5-0,6) kadar airnya menjadi 7 % pada penyimpanan selama 6 minggu.

Menurut Duckworth (1974) kurva sorbsi isotermik dapat dibagi menjadi beberapa bagian tergantung dari keadaan air dalam biji tersebut. Daerah yang menyatakan adsorpsi air bersifat satu lapis molekul air terdapat pada daerah monolayer yaitu pada kisaran aw 0 – 0,25. Air yang terkandung adalah air yang terikat pada permukaan (air adsorbsi) yang sangat stabil dan tidak dapat dibekukan pada suhu berapapun. Daerah ini merupakan ambang batas ketengikan, sebab air yang ada sangat terbatas hanya cukup untuk melindungi produk dari senyawa O2. Selanjutnya Worang (2008) menyatakan daerah monolayer ini setara dengan kadar air biji jarak 2,68 %. Daerah yang menyatakan terjadinya penambahan lapisan- lapisan di atas satu lapis molekul air terdapat pada daerah multilayer yaitu kisaran aw yang disimpan dengan 0,25 – 0,70. Air yang terkandung pada daerah ini, kurang kuat terikat dibandingkan pada daerah monolayer. Daerah multilayer ini setara dengan kadar air biji 5,45 – 7,61 %. Daerah yang menyatakan kondensasi air pada pori-pori bahan terdapat pada daerah kondensas kapiler yaitu aw > 0,7. Daerah ini mengandung air bebas yang cukup banyak, sehingga sangat optimal bagi beberapa reaksi biokimia, mikrobia, dan reaksi fisik. Daerah kondensasi kapiler setara dengan kadar air biji jarak pagar 9,62 ; 12,56 dan 13.52 %.