• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asas Nasionalitas Pasif/Asas Perlindungan

Dalam dokumen BUKU AJAR HUKUM PIDANA. Moch Choirul Rizal (Halaman 97-102)

PERUNDANG-UNDANGAN

2.2. Batas-Batas Berlakunya Aturan Pidana dalam Perundangan-undangan menurut Tempat

2.2.3. Asas Nasionalitas Pasif/Asas Perlindungan

Peraturan perundang-undangan pidana di Indonesia juga menganut asas nasionalitas pasif atau lazim juga disebut asas perlindungan. Konsekuensi atas dianutnya asas tersebut diatur di dalam Pasal 4 angka 1 KUHP, Pasal 4 angka 2 KUHP, dan Pasal 4 angka 3 KUHP, yang kemudian diperluas oleh ketentuan di dalam Pasal 7 KUHP dan Pasal 8 KUHP. Sesuai dengan ketentuan Pasal 4 KUHP yang mengandung asas nasionalitas pasif atau asas perlindungan, ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia:

72 Lihat, antara lain, Ibid., 101.; dan Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, 55.

92

- Salah satu kejahatan berdasarkan Pasal 104 KUHP73, Pasal 106 KUHP74, Pasal 107 KUHP75, Pasal 108 KUHP76, dan Pasal 131 KUHP77;

- Suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank, ataupun mengenai meterai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia; dan/atau

- Pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan Indonesia, atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon, tanda deviden atau tanda bunga, yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut, atau menggunakan surat-surat tersebut di atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak dipalsu.

73 Pasal 104 KUHP mengatur, “Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjaran sementara paling lama dua puluh tahun.”

74 Pasal 106 KUHP mengatur, “Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.”

75 Pasal 107 KUHP mengatur: “(1) Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. (2) Para pemimpin dan para pengatur makar tersebut dalam ayat (1), diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.”

76 Pasal 108 KUHP mengatur: “(1) Barang siapa bersalah karena pemberontakan, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun:

1. orang yang melawan pemerintah Indonesia dengan senjata; 2. orang yang dengan maksud melawan pemerintah Indonesia menyerbu bersama-sama atau menggabungkan diri pada gerombolan yang melawan pemerintahan dengan senjata. (2) Para pemimpin dan para pengatur pemberontakan diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.”

77 Pasal 131 KUHP mengatur, “Tiap-tiap perbuatan penyerangan terhadap diri Presiden atau Wakil Presiden, yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana lain yang lebih berat, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.”

93 Lamintang, sesuai dengan ketentuan tersebut di atas yang mengandung adanya asas nasionalitas pasif atau asas perlindungan, berlakunya peraturan perundang-undangan pidana suatu negara itu tergantung pada tempat pelaku telah melakukan tindak pidananya, melainkan pada kepentingan hukum yang telah menjadi sasaran tindak pidana tersebut.

Dengan demikian, negara yang kepentingan hukumnya menjadi sasaran tindak pidana itu berwenang menghukum pelaku tindak pidana tersebut.78 Artinya, ada upaya melindungi kepentingan nasional terhadap siapapun juga dan di manapun juga79 sebagai konsekuensi atas dianutnya asas nasionalitas pasif atau asas perlindungan dalam peraturan perundang-undangan pidana di Indonesia.

Dasar pemikiran adanya asas nasionalitas pasif atau asas perlindungan adalah setiap negara yang berdaulat itu wajib melindungi kepentingan hukumnya atau kepentingan nasionalnya, juga apabila kepentingan hukumnya atau kepentingan nasionalnya dilanggar di luar wilayah atau di luar negeri, dan meskipun pelanggarnya itu adalah orang asing.80 Di dalam hal ini juga, negara telah dipercayakan rakyatnya untuk melindungi berbagai kepentingan hukum mereka, sehingga negara memperluas berlakunya aturan pidana untuk dapat mengemban kepercayaan rakyatnya.81 Mengingat asas ini menitikberatkan kepada perlindungan kepentingan nasional yang dibahayakan oleh tindak pidana yang dilakukan di luar negeri, untuk itulah mengapa selain disebut “asas nasional pasif”, asas ini juga lazim disebut “asas perlindungan”.82

78 Lihat, Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, 103.

79 Ini tentunya hanya terlaksana apabila pelaku itu dapat dibawa ke wilayah Indonesia. Orang-orang asing, warga negara dari negara tempat tindak pidana dilakukan, sukar akan diserahkan kepada pemerintah Indonesia, karena biasanya pemerintah suatu negara tidak akan menyerahkan warga negaranya sendiri kepada pemerintah negara asing. Lihat, Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, 56.

80 Sastrawidjaja, Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana Sampai Dengan Alasan Peniadaan Pidana), 103.

81 Marpaung, Asas, Teori, Dan Praktik Hukum Pidana, 119.

82 Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, 59.

94

Sesuai ketentuan di dalam perundang-undangan pidana yang mengandung adanya asas nasionalitas pasif atau asas perlindungan, kepentingan-kepentingan nasional yang dipandang perlu untuk mendapatkan perlindungan adalah sebagai berikut:

- Terjaminnya keamanan negara dan terjaminnya keselamatan serta martabat kepala negara dan wakilnya;

- Terjaminnya kepercayaan terhadap mata uang, meterai-meterai, dan merek-merek yang telah dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia;

- Terjaminnya kepercayaan terhadap surat-surat atau sertifikat-sertifikat utang yang telah dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia; dan

- Terjaminnya alat-alat pelayaran Indonesia terhadap kemungkinan dibawa ke dalam kekuasaan bajak laut.

Keberlakuan asas nasionalitas pasif atau asas perlindungan diperluas dengan adanya ketentuan Pasal 7 KUHP yang mengatur, “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap pejabat yang di luar Indonesia melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam bab XXVIII Buku Kedua.” Menurut Sofjan Sastrawidjaja, ketentuan tersebut menyasar, antara lain, pegawai kedutaan Republik Indonesia, pegawai polisi Republik Indonesia dalam rangka tugas interpol atau tugas lainnya, pegawai imigrasi, pegawai postel, pegawai televisi, dan pegawai-pegawai lainnya yang ditugasi ke dan di luar negeri. Pegawai-pegawai ini pada umumnya terdiri dari warga negara Indonesia dan banyak pula orang asing.83

Beberapa literatur menyebutkan kata “pejabat” dengan frasa “pegawai negeri Indonesia”. Menurut Wirjono Prodjodikoro, alasan perluasan yang dimaksudkan kira-kira adalah bahwa hubungan negara Indonesia dengan seorang asing yang menjadi pegawai negeri Indonesia adalah mirip dengan hubungan negara Indonesia dengan warga negara Indonesia.84 P.A.F. Lamintang menjelaskan, frasa “pegawai negeri Indonesia”

83 Sofjan Sastrawidjaja, Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana sampai dengan Alasan Peniadaan Pidana), (Bandung: Armico, 1995), h. 104.

84 Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, 55.

95 sebagai setiap orang yang bekerja pada pemerintah Indonesia, sehingga ia dapat merupakan seorang warga negara Indonesia atau seorang warga negara dari suatu negara asing, asalkan ia memenuhi persyaratan untuk disebut sebagai pegawai negeri Indonesia.85

Keberlakuan asas nasionalitas pasif atau asas perlindungan diperluas dengan adanya ketentuan Pasal 8 KUHP yang mengatur, “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi nahkoda dan penumpang perahu Indonesia, yang di luar Indonesia, sekalipun di luar perahu, melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Bab XXIX Buku Kedua86, dan Bab IX Buku Ketiga87; begitu pula yang tersebut dalam peraturan mengenai surat laut dan pas kapal di Indonesia, maupun dalam Ordonansi Perkapalan.”

Merujuk pada pendapat Sofjan Sastrawidjaja, ketentuan Pasal 8 KUHP dimaksudkan untuk melindungi kepentingan pelayaran Indonesia.88

Berlakunya ketentuan Pasal 8 KUHP tersebut tergantung pada keadaan si pelaku, yaitu sebagai nahkoda atau sebagai penumpang alat pelayaran Indonesia yang bersangkutan. P.A.F.

Lamintang berpendapat, kepentingan hukum yang ingin dilindungi oleh berlakunya Pasal 8 KUHP adalah terjaminnya

85 Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, 100–101.

86 Bab XXIX Buku II KUHP mengatur perihal “Kejahatan Pelayaran”

yang diatur di dalam Pasal 438 KUHP sampai dengan Pasal 479 KUHP. Namun, Pasal 456 KUHP dihapus berdasarkan Staatsblad 1934 Nomor 214 jo.

Staatsblad 1938 Nomor 2. “Kejahatan Pelayaran” menunjuk pada kejahatan-kejahatan yang ada hubungan dengan pelayaran, terutama pelayaran di laut dan bersifat berat, yaitu hampir semua merupakan perbuatan kekerasan terhadap orang atau barang. Lihat, Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia (Bandung: Eresco, 1986), 141.

87 Pelanggaran-pelanggaran yang disebutkan dalam Bab IX Buku III KUHP ini mengenai keteledoran-keteledoran seorang nahkoda di bidang administrasi, yang pada umumnya tidak berbeda dari peraturan-peraturan administrasi yang termuat dalam pelbagai undang-undang dalam bidang administrasi. “Pelanggaran Pelayaran” diatur dalam Pasal 560 KUHP sampai dengan Pasal 569 KUHP.

88 Sastrawidjaja, Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana Sampai Dengan Alasan Peniadaan Pidana), 106.

96

keadaan bahwa nahkoda atau penumpang-penumpang sebuah alat pelayaran Indonesia itu tidak melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran pelayaran di luar negeri. Di dalam hal ini, titik tekan berlakunya ketentuan Pasal 8 KUHP tersebut adalah pada frasa “di luar perahu”, untuk membedakannya dengan berlakunya ketentuan Pasal 3 KUHP yang menggunakan frasa “di dalam kendaraan air”.89

Dalam dokumen BUKU AJAR HUKUM PIDANA. Moch Choirul Rizal (Halaman 97-102)