TINDAK PIDANA
4.1. Peristilahan dan Pengertian Pidana
Hukum pidana itu merupakan suatu hukum sanksi yang istimewa (bijzonder sanctierecht). Sebagai suatu hukum sanksi yang istimewa, maka hukum pidana itu dapat membatasi kemerdekaan manusia dengan menjatuhkan hukuman penjara atau hukuman kurungan. Bahkan, menghabiskan hidup manusia dengan cara menjatuhkan hukuman mati.1 Masalah pidana sering menjadi indikator seberapa jauh tingkat peradaban bangsa yang bersangkutan.2 Pidana merupakan karakteristik hukum pidana yang membedakannya dengan hukum perdata. Terkait dengan hal ini, Andi Hamzah menuliskan:3
Dalam gugatan perdata pada umumnya, pertanyaan timbul mengenai berapa besar apabila ada, tergugat telah merugikan penggugat dan kemudian pemulihan apa apabila ada yang sepadan untuk mengganti kerugian penggugat.
Dalam perkara pidana, sebaliknya, seberapa jauh terdakwa telah merugikan masyarakat dan pidana apa yang perlu dijatuhkan kepada terdakwa karena telah melanggar hukum.
Di dalam beberapa bahasa di dunia, pidana disebut dengan beragam istilah, yaitu poena (Latin), straf (Belanda), uqubah (Arab), punishment/penalty/sentence (Inggris), chatimen (Prancis), bestrafung (Jerman), la punizione/la pena (Italia), dan el
1 E Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I (Jakarta:
Penerbitan Universitas, 1958), 149.
2 Mudzakkir, “Sistem Pengancaman Pidana dalam Hukum Pidana”, dalam Teguh Prasetyo and Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana:
Kajian Kebijakan Kriminalisasi Dan Dekriminalisasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 176.
3 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), 27.
149 menyebut pidana juga beragam, yaitu mulai hukuman, sanksi pidana, hingga hukuman pidana. Menariknya, di Indonesia, istilah pidana di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia belum mendapatkan pemaknaan yang tepat. Oleh karena keragaman istilah tersebut, Topo Santoso lebih setuju menggunakan istilah pidana dengan arti yang sama dengan criminal punishment.4 Persetujuan penggunaan istilah pidana tersebut berkesesuaian dengan judul bab pada Bab II Buku II KUHP.5
Satochid Kartanegara sebagaimana dikutip oleh Topo Santoso menyatakan, sanksi di dalam hukum pidana yang berupa ancaman dengan pidana tersebut bersifat penderitaan dan siksaan.6 Sifat yang demikian juga disebut oleh D. Simons dan G.A.
van Hammel sebagaimana dikutip oleh Eddy O.S. Hiariej.7 Alasan mengapa pidana itu bersifat penderitaan dan siksaan mengingat pidana itu dimaksudkan sebagai hukuman terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana (rechsbelang), yaitu hidup, badan, kehormatan, kebebasan, dan hak milik.8 Berdasarkan pendapat 3 (tiga) ilmuwan hukum pidana tersebut, Eddy O.S.
Hiariej mengemukakan, unsur-unsur dari pidana itu adalah: (1) penderitaan yang sengaja diberikan oleh negara kepada seseorang; (2) sebagai reaksi atas perbuatan seseorang yang melanggar hukum pidana; (3) sanksi pidana yang diberikan oleh negara diatur dan ditetapkan secara rinci.9
Sebelumnya, Muladi dan Barda Nawawi Arief juga memberikan perincian unsur-unsur yang terkandung di dalam pengertian mengenai pidana atas pendapat-pendapat para
4 Topo Santoso, Hukum Pidana: Suatu Pengantar (Depok: Rajawali Pers, 2020), 158–159.
5 Lihat, Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana: Terjemahan Resmi Dari Wetboek van Strafrecht (WvS) (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), 15.
6 Lihat, Santoso, Hukum Pidana: Suatu Pengantar, 160.
7 Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana (Yogyakarta: Cahaya Atma Pusaka, 2016), 36.
8 Lihat, Santoso, Hukum Pidana: Suatu Pengantar, 160.
9 Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, 36–37.
150
ilmuwan hukum pidana. Adapun unsur-unsur yang dimaksud adalah: (1) pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan; (2) pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang); dan (3) pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.10
Kini, Topo Santoso memberikan pengertian pidana sebagai suatu reaksi formal dari negara melalui putusan hakim terhadap setiap orang atau korporasi yang melanggar norma yang diancam dengan sanksi pidana dalam peraturan perundang-undangan yang konsekuensi kepada pelakunya itu menyangkut perampasan kemerdekaan, harta, atau konsekuensi lainnya yang ditentukan dalam perundang-undangan. Pengertian demikian mengingat pada perkembangan hukum pidana, termasuk tujuan pidana serta subjek (pelaku tindak pidana) yang tidak terbatas pada manusia.11 Lebih lanjut, P.A.F. Lamintang menegaskan, pidana itu sebenarnya hanya merupakan suatu penderitaan atau suatu alat belaka. Ini berarti bahwa pidana itu bukan merupakan suatu tujuan.12
Sementara itu, saat ini, masyarakat pada umumnya telah menerima pendapat bahwa subjek hukum satu-satunya yang mempunyai hak untuk menghukum (ius punindi) ialah negara.
Artinya, tidak ada subjek hukum lain yang mempunyai ius punindi.
Negara diberi hak untuk menghukum pelanggar, supaya dapat mempertahankan ketertiban negara.13 Kewenangan negara memonopoli reaksi terhadap pelanggar hukum pidana mulai terjadi ketika muncul organisasi negara modern. Hal ini mengingat konsep kejahatan adalah melanggar kepentingan negara sebagai representasi kepentingan publik. Kewenangan ini kemudian mendapatkan legitimasi dengan adanya pengklasifikasian ilmu hukum, yaitu hukum pidana merupakan
10 Muladi and Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana (Bandung: Alumni, 2010), 4.
11 Santoso, Hukum Pidana: Suatu Pengantar, 161.
12 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung:
Sinar Baru, 1984), 36.
13 Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, 150–152.
151 tangan individu.14
Pada umumnya, ada 2 (dua) hal penting bagi negara terkait dengan hak untuk menghukum. Pertama, negara hanya dapat atau harus menghukum perbuatan-perbuatan yang ditinjau dari sudut objektif adalah perbuatan yang bertentangan dengan tata tertib sebagaimana dirumuskan menurut hukum publik.
Dengan kata lain, perbuatan-perbuatan yang tidak bertentangan dengan tata tertib negara, biarpun bertentangan dengan kesusilaan, tidak dapat dihukum. Kedua, negara hanya dapat atau harus menghukum perbuatan-perbuatan yang ditinjau dari sudut subjektif adalah perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada yang melakukan perbuatan itu. Artinya, tidak boleh dihukum perbuatan-perbuatan melanggar yang dilakukan karena terpaksa.15
Berdasarkan tugas-tugas negara sebagaimana diuraikan di atas, maka asas-asas yang menjadi dasar pidana dapat dibagi menjadi 2 (dua) golongan. Pertama, menurut golongan yang negatif: (1) mengenai pidana, negara tidak boleh campur tangan dalam hal-hal yang terletak di luar lingkungan kekuasaan hukum sendiri atau yang terletak di luar tata tertib kemasyarakatan; dan (2) pidana tidak boleh langsung mengacau atau tidak boleh langsung menimbulkan kekacauan. Kedua, menurut golongan yang positif: (1) pidana harus memajukan diadakannya perbuatan-perbuatan yang mempertahankan tata tertib dalam masyarakat. Oleh sebab itu, hukuman harus juga bersifat menakutkan; (2) pidana harus mencegah akan terjadinya perbuatan-perbuatan yang mengacau; (3) negara harus mempertahankan tata tertib kemasyarakatan yang ada; dan (4) negara harus mengembalikan ketentraman dalam masyarakat apabila ketentraman itu terganggu atau tidak ada lagi.16
14 Prasetyo and Barkatullah, Politik Hukum Pidana: Kajian Kebijakan Kriminalisasi Dan Dekriminalisasi, 112–113.
15 Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, 152–153.
16 Ibid., 155–156.
152