• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B. Kerangka Konseptual

3. Asas Pemisahan Horizontal

87 tangguh, seperti yang tertuang dalam Pasal 1263 KUH Perdata.

Syarat menangguhkan ini menyebabkan suatu perikatan belum lagi mempunyai daya kerja perikatan atau pemenuhan perikatan belum lagi dapat dilaksanakan.96 Lahirnya kepemilikan benda jaminan fidusia bagi kreditor adalah pada saat dilakukan pendaftaran di Kantor Pendaftaran Fidusia.97

Hapusnya fidusia dapat diakibatkan musnahnya benda jaminan karena objek jaminan fidusia sudah tidak ada. Apabila benda yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut musnah dan benda tersebut diasuransikan sebelumnya, maka klaim asuransi akan menjadi pengganti objek jaminan fidusia tersebut.

88 1. Penjelasan Umum angka III (II)

2. Pasal 5

3. Penjelasan Pasal 5 4. Penjelasan Pasal 16

5. Pasal 56dan secara tidak langsung juga dalam 6. Pasal 58 98

Kemudian dalam UUPA dan Peraturan Pemerintah No.40 tahun 1996 diterapkan asas pemisahan horizontal yaitu:

a. Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan

Pemilikan bangunan di atas tanah yang berstatusHak Guna Bangunan yang berasal dari tanah Hak Pengelolaan.

b. Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik

Pemilikan bangunan di atas tanah yang berstatusHak Guna Bangunan yang berasal dari tanah Hak Milik.

c. Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan

Pemilikan bangunan di atas tanah yang berstatusHak Pakai yang berasal dari tanah Hak pengelolaan

d. Hak Pakai atas tanah hak milik

Pemilikan bangunan di atas tanah yang berstatusHak Pakai yang berasal dari tanah Hak Milik

e. Hak Sewa Untuk Bangunan

98 Boedi Harsono.2008. Hukum Agraria Indonesia (Sejarah pembentukan Undang undang Pokok Agraria, Isi dan pelaksanaannya. Djambatan. Jakarta. Hal-177

89 Pemilikan bangunan di atas tanah yang berstatusHak Sewa berasal dari tanah Hak Milik99

Indonesia dalam hukum tanah nasional menganut asas pemisahan horizontal. Di dalam penjelasan umum angka (6) paragraf I, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan menentukan bahwa sebagaimana diketahui hukum tanah nasional didasarkan pada hukum adat, yang menggunakan asas pemisahan horizontal. Sehubungan dengan itu, maka dalam kaitannya dengan bangunan, tanaman dan hasil karya, hukum tanah nasional menggunakan asas pemisahan horizontal. Dalam asas pemisahan horizontal, benda-benda yang merupakan satu kesatuandengan tanah menurut hukum bukan merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan. Oleh karena itu setiap perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah, tidak dengan sendirinya meliputi benda-benda tersebut.

Asas pemisahan horizontal adalah kebalikan dari asas perlekatan (vertical scheidings beginsel) yang dikenal dalam KUHPerdata, suatu asas yang menentukan segala apa yang melekat pada suatu benda atau yang merupakan satu tubuh dengan kebendaan itu dianggap menjadi satu dengan benda itu.

Artinya dalam kasus ini tidak ada pemisahan antara pemilikan hak atas tanah dengan kepemilikan benda-benda atau bangunan yang

99 Urip Santoso.2014. Hukum Perumahan. Kencana Pranada Media Grup. Jakarta. Hal-299

90 ada diatasnya. Jadi, bangunan dan tanaman merupakan satu kesatuan dengan tanah.

KUH Perdata menganut asas asesi yaitu asas perlekatan, baik yang sifatnya perlekatan horizontal maupun perlekatan vertikal, yang menentukan bahwa benda bergerak yang tertancap atau terpaku pada benda tidak bergerak, berdasarkan asas asesi maka benda-benda yang melekat pada benda pokok, secara yuridis harus dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari benda pokoknya. KUHPerdata Pasal 571:“Hak milik atas sebidang tanah mengandung di dalamnya kepemilikan atas segala apa yang ada di atasnya dan di dalam tanah.”

Adapun asas pemisahan horizontal (horizontale scheidings beginsel) menentukan bangunan dan tanaman bukan merupakan bagian dari tanah. Konsekuensinya hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan tanaman yang ada diatasnya.Asas ini memisahkan antara pemilikan hak atas tanah dengan kepemilikan benda-benda atau bangunan-bangunan yang ada diatasnya.

Di dalam UUPA tidak terdapat ketentuan mengenai status bangunan, rumah yang berdiri di atas tanah, karena berdasarkan asas pemisahan horizontal dimungkinkan pemilikan dan peralihan benda-benda di atas tanah itu terlepas dari tanahnya. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan mengatakan bahwa UUPA tidak mengenal

91 pengertian aardvast (tertancap) dalam tanah, negelvast (terpaku) dalam bangunan, wortelvest (tertanam dalam tanah). Oleh karenanya terhadap bangunan-bangunan yang ada di atas tanah hak milik, HGU dan HGB dan juga di atas tanah hak orang lain dapat dijaminkan secara terpisah dari tanahnya, bengunan tersebut tidak dapat dijaminakn dengan hipotik tetapi dengan fidusia.100

Olah karena itu setiap perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah, tidak dengan sendirinya meliputi benda-benda di atasnya. Asas pemisahan horizontal adalah asas yang dianut di dalam hukum adat. Berdasarkan pemikiran tersebut, SudargoGautama101 menguraikan bahwa menurut hukum adat yang berlaku untuk tanah milik maka dibedakan antara tanah dan rumah atau bangunan yang didirikan di atasnya. Tanah dan rumah batu yang diidirikan di atasnya dipandang terpisah bukan sebagai kesatuan hukum sebagai yang ditentukan dalam hukum barat.

Adapun ciri-ciri dari asas pemisahan horizontal adalah bahwa bangunan diatas tanah orang lain merupakan benda yang terpisah dari tanahnya, benda tersebut dapat dialihkan dan status benda adalah benda bergerak. 102

Patut diperhatikan kembali, konsepsi hukum tanah nasional (hukum agraria), berlandaskan pada ketentuan Pasal 5 UUPA yang

100 Sri Soedewi masjchoen Sofyan,1980. Hukum Jaminan di Indonesia. Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, BPHN, Jakarta Hlm. 16 dan Hal. 19.

101 Sudargo Gautama,Masalah Agraria, Alumni, Bandung,1973, hlm. 57

102 Tan Kamello, Op.Cit, Hal 106

92 menentukan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

Kaitan kedua asas yang dianut ini dengan hak tanggungan yaitu ketika kedua hak ini digunakan sebagai jaminan perlunasan hutang atau sebagai jaminan kebendaan hak tanggungan. Yang dijaminkan dalam hak tanggungan adalah tanah atas hak kepemilikannya baik itu sebagai hak milik, hak pakai atau hak guna bangunan atau hak guna usaha.

Kedua asas tersebut di atas dapat dijadikan landasan dasar penerapan hak tanggungan sebagai jaminan terhadap benda tidak bergerak baik berupa tanah, tanah dan bangunan yang melekat padanya atau bangunan yang berdiri atas tanah tersebut terpisah dari dari status hak atas tanahnya. Bangunan yang terpisah dari hak atas tanah yang dapat dijadikan hak tanggungan apabila bangunan tersebut didirikan di atas status tanah hak guna bangunan, hak pakai, hal guna usaha dan hak sewa, namun hal itu dinyatakan secara tegas. Apabila bangunan tersebut didirikan atas

93 hak milik maka bangunan tidak dapat dipisahkan dari tanahnya sebagai jaminan perlunasan hutang.

Demikian juga halnya pada Hak Guna Usaha (HGU), walaupun dalam Pasal 28 ayat 1 UUPA menentukan sebagai hak untuk mengusahakan tanah negara dalam waktu tertentu guna perngusahaan pertanian, perikanan, dan peternakan, masih dimungkinkan bagi pemegang haknya untuk mendirikan bangunan sepanjang hal itu diperlukan untuk mendukung kegiatan yang sesuai dengan peruntukan haknya. Apabila HGU tersebut telah habis masa berlakunya serta tidak diperpanjang dan atau diperbaharui haknya, akan dikenakan pengaturan seperti yang ditentukan dalam Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996. Ketentuan ini mengatur hal yang sama seperti Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Keberadaan Bangunan setelah HGB habis masa berlakunya. Ketentuan yang sama juga berlaku terhadap bangunan yang berdiri di atas tanah Hak Pakai seperti yang diatur dalam Pasal 41 UUPA dan Pasal 57 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996.

Penerapan asas pemisahan horizontal juga dapat dilihat dalam Pasal 44 UUPA yang mengatur tentang Hak Sewa Untuk Bangunan, yang menentukan bahwa seseorang atau suatu Badan hukum dapat mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan dengan membayar kepada pemilik tanahnya

94 sejumlah uang sebagai sewanya. Kondisi ini akan menyebabkan kepemilikan bangunan dan tanahnya berada dalam subjek yang berbeda. Kepemilikan hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi bangunan dan tanaman yang ada di atasnya. Dengan demikian perbuatan hukum mengenai tanah tidak dengan sendirinya meliputi pula bangunan dan tanaman yang ada di atasnya. Dalam konteks ini pembebanan hak atas tanah dengan hak tanggungan tidak serta merta meliputi pula bangunan dan atau benda-benda lain yang ada di atasnya, kecuali dinyatakan secara tegas.

Mencermati isi dari ketentuan ini, jelas dinyatakan bahwa pembebanan terhadap hak atas tanah akan termasuk atau beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, kalau pemilik hak atas tanah dan bendanya adalah subjek yang sama serta dinyatakan secara tegas dalam akta pembebanannya. Jika kepemilikan hak atas tanah dengan bendanya berada pada subjek yang berbeda, maka menurut Pasal 4 ayat 5 Undang Undang Nomor 4 tahun 1996 bahwa apabila bangunan, tanaman dan hasil karya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah, pembebanan Hak Tanggungan atas benda benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan penandatanganan serta pada Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa untuk itu olehnya dengan akta otentik.Jadi,

95 akta pembebannya tersebut harus ditandatangani secara bersama oleh subjek pemegang hak atas tanah dan pemilik benda-benda yang ada di atas tanah itu. Rumusan yang ada dalam ketentuan tersebut untuk mencegah adanya kesulitan dalam praktik eksekusi, ketika debitor melakukan wanprestasi atau tidak dapat memenuhi hutangnya pada kreditor. Tidaklah mudah menjual atau melelang tanahnya tanpa sekaligus menjual atau melelang bangunan beserta bangunan atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah.

Rumusan Pasal 4 ayat 4 dan 5 dari Undang Undang nomor 4 Tahun 1996 tersebut di atas paralel dengan hasil Seminar Hukum Adat dan Pembangunan Nasional dalam praktik perbuatan hukum mengenai tanah juga pula meliputi bangunan dan atau tanaman yang ada di atasnya, jika memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Bangunan dan tanaman tersebut secara fisik merupakan satu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan, artinya bangunan tersebut berfondasi dan tanamannya merupakan tanaman keras;

b. Kepemilikan bangunan dan tanahnya berada pada orang yang sama;

c. Disebutkan secara tegas dalam akta yang membuktikan adanya perbuatan hukum tersebut.

Dari uraian tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa secara substantif, keberadaan Undang Undang Nomor 4 Tahun 1996 tidak

96 bertentangan dengan UUPA yang menganut asas pemisahan horizontal.Selain Indonesia yang merupakan negara yang menganut asas pemisahan horizontal, Jepang secara tegas menganut asas pemisahan horizontal dalam sistem hukum jaminan.103 Dalam sistem hukum Jepang, menurutThe Immovables Registration Law, pemilikan atas tanah dan bangunan atau tanaman dapat terpisah, karena rumah atau tanaman mempunyai identitas tersendiri dengan sertifikat terpisah dari sertifikat tanahnya. Konsekuensi dari ketentuan tersebut dalah penting bagi hukum jaminan, artinya tanah dan bangunan atau tanaman masing-masing dapat dijaminkan secara terpisah.104

Dalam The Immovables Registration Law, Law Number 24, Februari 1899 dan Law Relating to Standing Timbers, Law Number 22 1909 menentukan:

The most significant practical result of this distinction between land and structures thereon is that building may be owned separately disposed of. In addition, the land and buildings may separately used as collateral securing obligations of the owner.105

Dengan demikian, menurut Djuhaendah Hasan106 di Jepang tanah dapat dijaminkan terlepas dari bangunan yang berdiri di atasnya, demikian pula gedung atau bangunan karena mempunyai i

103 Tan Kamello. Op.Cit, 143

104 ibid

105 http://ajieland.blogspot.co.id/2011/10/asas-pemisahan-horizontal-dalam-hukum.html

106 Djuhaendah Hasan. 2011. Op.Cit, Hal 67

97 dentitas sendiri dapat di hipotik tanpa tanahnya, bahkan di sini ternyata tanaman terdaftar dapat juga menjadi objek hipotik.

Mengingat tanah dan bangunan itu merupakan bagian yang terpisah, maka keduanya juga merupakan objek pendaftaran yang terpisah pula. Dengan demikian akan dapat dibedakan antara sertipikat pemilikan tanah dan sertipikat pemilikan bangunan.

Pemisahan dan pembedaaan alat bukti kepemilikan tanah dan bangunan serta benda lain yang ada di atasnya seperti yang berlaku di Jepang, juga berlaku pula di Indonesia. Ketentuan yang mengatur tentang alat bukti hak atas tanah dijumpai dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pasal 32 ayat 1 menentukan bahwa sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data juridis sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.

Sertipikat yang demikian ini dibuat dan dikeluarkan oleh Kantor Peratanahan107.

Pengaturan alat bukti bangunan mendapatkan pengaturan dalam Undang Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung serta Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung. Pasal 7 dan 8 dari Undang

107 Lihat KEPRES Nomor 44 tahun 1993

98 Undang Nomor 28 Tahun 2002 menentukan bahwa bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif yang meliputi :

a. status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah;

b. status kepemilikan bangunan gedung; dan c. izin mendirikan bangunan gedung.